Aruni terbangun setelah Naufal mencipratkan air ke wajahnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian Aruni meminum air putih yang diberikan Kania padanya.Aruni terbangun tetapi dia langsung menghambur memeluk Kania, seolah membutuhkan dukungan. Tangisannya tumpah, dia merasa kecewa pada dirinya sendiri karena telah merahasiakan tentang Naufal Alatas pada Nuha. Nuha pasti syok dan marah padanya.“Ummi, tenang saja, insyaallah Nuha tidak akan apa-apa. Mungkin dia hanya butuh waktu sendiri untuk menerima kebenaran itu.” Kania berusaha menenangkan Aruni yang terlihat sama syok nya melihat respon Nuha padanya. Sebetulnya Kania sangat mengkhawatirkan Nuha akan tetapi setelah dia berpikir sejenak mungkin Nuha memang butuh sendiri sebab dia pun mengalami hal yang sama.Hanya saja di luar hujan begitu deras. Mata Kania terbelalak saat melihat tas bahu Nuha tertinggal di atas meja. Suara telepon berbunyi berasal dari dalam tasnya. Diam-diam Kania mengambil ponsel Nuha dan mengangkatny
Pikiran Aruni terpecah antara memikirkan Salwa dan Nuha. Sebagai seorang ibu, Aruni mengkhawatirkan ke duanya. Namun Salwa dalam keadaan bahaya oleh karena itu Salwa harus segera ditolong.Saat tiba di sekitar curug Aruni sangat terkejut melihat ke bagian bawah jurang, sebuah mobil pikap bergelantung.Terlihat Salwa melihat Aruni dengan mata yang berkaca-kaca pada spion dan wajah yang pucat pasi saat lampu senter yang Aruni pegang menyorot tepat ke wajahnya. Suasana semakin mencekam karena hari sudah gelap.Dengan menggunakan headlamp di kepalanya, Aruni membuat penerangan buatan. “Salwa, lihat ke sini! Kau lompatlah dan ambil tambang itu. Ummi akan menarikmu.”Aruni berteriak berusaha menenangkan putrinya. “KAU JAGO SILAT, lompat sejauh itu kau bisa melakukannya,”Mengarahkan lampu senter, Aruni menunjuk sebuah celah batu yang lebar, yang bisa memudahkan Salwa berpijak. Dari celah batu tersebut Aruni dan Alwi bisa menarik Salwa naik ke atas dengan mudah.“Jangan lihat terus ke bawah
Di ruang operasi Arunika yang tangguh tengah berjuang antara hidup dan mati menjalani operasi besar. Semua orang merasa tegang menunggu kabarnya. Aruni mengalami luka di bagian kepala, tulang belakang patah dan pendarahan. Sudah hampir dua jam lebih Aruni berada di dalam ruangan tertutup tersebut ditemani tim dokter ahli bedah.Di luar ruangan ke dua anaknya terlihat sendu menunggunya dengan harap-harap cemas, mengkhawatirkan kondisinya yang tengah kritis. Melihat Salwa dan Rasyid yang duduk dengan tatapan kosong dan merana, Kania yang baru pulang dari mini market dengan menjinjing sekantong makanan dan minuman menghampiri mereka.Kania memilih tempat duduk di sisi Salwa, menaruh kantong belanjaannya di sampingnya. Tergerak hatinya mengusap kepala Salwa seolah Salwa adiknya. Adik Nuha berarti adik dirinya pula.“Salwa, sabar ya! Insyallah Ummi tidak kenapa-kenapa. Doakan saja operasinya lancar,”Kania memeluk Salwa dengan erat dan mengusap punggungnya.“Kau baru pulang sekolah pasti k
Darren memilih menjauh dari Nuha kemudian menghubungi Kania kembali dan menanyakan kondisi ibu mertuanya. Kania mengatakan padanya bahwa Aruni sudah ditangani oleh tim medis terbaik karena sang ayah telah mengurusnya. Darren merasa lega mendengarnya. Kemudian dia kembali mendekati Nuha yang berdiri dan bersandar pada pagar villa dengan tatapan kosong.Darren merasa tak sanggup untuk mengatakan kabar buruk Aruni pada Nuha. Dia benar-benar merasa sedih harus melihat Nuha menitikan air mata lagi dan lagi. Namun jika tidak mengatakannya, Darren khawatir jika terjadi apa-apa pada ibu mertuanya.Darren menarik nafas dalam. Dia harus tega mengatakan kabar tersebut akan tetapi setelah mereka tiba di rumah sakit. Darren takkan membiarkan istrinya menangis saat ini. Dia berusaha menahan diri.“Nuha, kau belum makan malam. Kita makan malam dulu yuk! Aku juga lapar,” seru Darren membujuk Nuha kemudian tatapannya tertuju pada pakaian Nuha yang lusuh dan kaki Nuha yang tak memakai sepatu.Darren me
Darren kembali menguatkan Nuha. Dia menyeka air matanya dengan jemarinya. Kemudian dia tautkan jari jemarinya pada jemari Nuha, menggenggam tangannya erat dan membantunya bangun, mengantarnya menuju ruang operasi di mana Aruni masih ditangani. Seketika air mata Nuha mulai surut dan dia memandangi tangan suaminya yang terus memeganginya erat, tak pernah meninggalkannya. Darren selalu hadir saat dirinya merasa bersedih. Nuha menjadi lebih kuat dan tegar seketika.Nuha berjalan dan melihat ke dua adiknya dan Kania berada di sana duduk menunggu di depan ruang operasi. Tak jauh di depan ruang operasi terlihat Naufal juga berada di sana, berdiri dengan tatapan sendu.“Nuha!”Kania berlari memeluk saudarinya. Nuha hanya diam membeku saat tangan Kania memeluknya. “Syukurlah kau tak apa-apa,” Kania merasa sangat bahagia melihat Nuha kembali dalam keadaan selamat.Kemudian Kania mengurai pelukannya. “Ummi masih di dalam ruang operasi. Mudah-mudahan operasinya berjalan lancar,” ucapnya lagi seda
Naufal hanya bisa mendesah kasar akan tetapi dia berusaha keras untuk kuat dan tegar melihat sikap Nuha padanya. Dia berjalan menghampiri dokter bedah kembali.“Dokter, tolong pastikan Bu Aruni mendapat penanganan yang terbaik. Dia harus dirawat di ruang VVIP, pastikan dia memperoleh suster yang terus mengawasinya selama di sini dan tak kekurangan sesuatu apapun.”Naufal mengingatkan sang dokter dengan sejelas-jelasnya. Dia hanya ingin Aruni memperoleh perawatan terbaik selama di sana. Kemudian menyerahkan sebuah kartu nama pada dokter tersebut. “Jika ada apa-apa tolong hubungi nomor ini!”“Tentu Pak Naufal, saya akan pastikan istri Bapak ditangani dengan baik. Jangan khawatir! Kami berusaha sebisa mungkin memberikan pelayanan yang terbaik bagi semua pasien tanpa memandang bulu,” jawab sang dokter muda dengan diplomatis.Naufal sedikit terkejut mendengar sang dokter mengira jika dirinya suami Aruni. Namun entah kenapa dia tidak mengelak, rasanya hanya membayangkannya saja sudah bahagi
Jonathan masih ingat betul gadis cantik yang pernah dia tolong sekitar dua puluh tahun silam. “Tuan Jonathan,” sapa Aruni dengan tersenyum getir. Aruni menatap Jonathan dengan tatapan yang merana.“Betul, kau masih mengingatku,” Jonathan menarik kursi dan duduk di dekat Aruni. “Maaf, aku sudah tua, aku tak bisa berdiri lebih lama. Berbeda denganmu, rasanya tak pernah berubah. Kau terlihat lebih dewasa saja dan agamis.”Jonathan mengingat Aruni dulu yang belum memakai pakaian tertutup seperti sekarang. Aruni dulu berpakaian terbuka meski masih terlihat sopan dengan rambut panjangnya yang hitam legam mirip putrinya.“Tentu saja. Kau telah menyelamatkanku dan bayi itu. Aku masih ingat. Hanya saja dulu Tuan masih kurus,” jawab Aruni dengan perasaan yang merasa bersalah dan senang dalam waktu bersamaan. Senang bisa berjumpa dengan pria yang pernah menolongnya dan merasa bersalah karena mengingat pertemuannya dengannya dalam kondisi dia tengah frustrasi.Jonatham melirik pada Nuha yang te
Saat Jonathan berbincang dengan Aruni dan Nuha, Daniel memilih diam di dalam mobil sembari bermain game seperti biasa. Sebuah kebiasaan baru Daniel untuk mengisi kekosongan diri. Karena merasa jenuh dia pun memilih rebahan di kursi dengan menyalakan AC mobil dan menutup pintunya rapat. Dia pun mulai memejamkan matanya untuk mengusir rasa ngantuk.“Ya ampun, mataku mirip mata panda. Wajahku juga pucat. Ish, aku terlihat mengerikan.”Suara orang yang mengoceh mengusik ketenangan Daniel yang baru saja memejamkan matanya. Dia mendengus kasar.“Tapi aku masih terlihat cantik ‘kan hei cermin ajaib!” Terdengar lagi suara seorang perempuan yang berada di dekat telinganya hingga benar-benar membuat Daniel terbangun dan marah. Beberapa kali ketukan terdengar dari balik kaca.Daniel harus memberi pelajaran pada perempuan yang mengganggu ketentramannya. Dia menarik tuas kursi agar bisa duduk dengan tegak kemudian menarik handle pintu mobil. Namun sebelum hendak membuka pintu mobil dia mendongak