Pembacaku sayang, sebelum baca, follow dulu akun saya, ya. Simpan cerita ini di reading list kalian.
Terimakasih.
Ikan mujaer di dalam kali
Para reader selamat membaca Laili****
"Saya terima nikah dan kawinnya, Laili binti Ahmad Jaelani dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas, dibayar tunai."
Laili melirik lelaki tampan yang memakai baju koko lengkap dengan peci, yang kini duduk persis di sampingnya. Setelah prosesi ijab kabul dan juga memakaikan cincin di jari manisnya, Laili dan Arya kini duduk di kursi yang berdampingan. Tak banyak tamu yang hadir, hanya keluarga Arya, keluarga Ririn yang tadinya sempat menolak. Juga ada Suci dan Diana, teman sekolah Laili yang hadir di sana.
Acara dilangsungkan tepat dua hari setelah pengumuman kelulusan sekolah. Laili kini memasrahkan kepada Tuhan, apa yang akan terjadi ke depannya. Karena bagaimana pun menjadi istri kedua itu tidaklah mudah, meski ada restu dari istri pertama, tetapi tetap saja sang pria bukanlah miliknya semata. Laili harus belajar menumbuhkan rasa cinta di hatinya untuk Arya Jovan, lelaki yang biasa ia panggil Tuan, kini harus ia panggil Mas.
"Lihat saja kalau mau lihat, jangan dilirik begitu," ujar Arya sambil berbisik. Ucapan yang tentu saja membuat Laili bersemu merah sekaligus kesal tak terkira. Pasti suami tuanya ini akan menjadi orang yang selalu mengganggunya.
"Sudah halal, diapain aja boleh," lanjut Arya lagi membuat Laili terbahak.
"Ha ha ha ...,"
"Tertawalah, maka kamu jadi terlihat cantik," bisik Arya lagi hingga membuat semburat merah hadir lagi di kedua pipi Laili.
Dari kejauhan, Ririn meneteskan air mata melihat pemandangan manis di depannya. Ia tak paham dengan perasaannya saat ini, saat suaminya menolak untuk poligami pada Laili, dialah yang setiap hari merayu, bahkan meracuni pikiran suaminya agar mau menjadikan Laili istri kedua.
Begitu hari yang dinanti tiba, hatinya menjadi sakit karena cemburu. Suaminya selalu saja berbisik pada madunya di depan sana, ada rasa penasaran sekaligus iri. Namun, semua telah menjadi keputusannya. Paling tidak, ia bisa memantau Laili dan mengaturnya. Jika suaminya berselingkuh atau menikah dengan wanita lain, pasti ia akan lebih repot.
Cepat Ririn menghapus air matanya, saat langkah kaki suaminya kini mendekat menghampirinya. Dira yang baru saja mengempeng ASI-nya sudah dibawa bibik ke kamar, begitu juga Anes yang sudah tertidur saat asik bermain dengan para saudaranya.
"Kenapa nangis?" tanya Arya pada Ririn.
"Cemburu."
"Lho, bukannya ini semua maunya Mama. Masa cemburu." Arya kini sudah menggengam jemari sang istri, menghapus air mata yang kini semakin deras membasahi kedua pipi Ririn.
Laili memandangnya sambil tersenyum tipis. Apakah ia cemburu? Tidak, ia tidak akan pernah cemburu melihat kebersamaan dan kemesraan Arya dengan Ririn. Karena ia sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Jadi, ia tidak akan cemburu dan tidak boleh ada cemburu. Ia pun yakin, Arya menikahinya karena kasihan semata, bukan karena cinta.
"Laili, kami pulang dulu ya," pamit Diana dan Suci bersamaan. Keduanya memeluk erat Laili.
"Danu tidak kamu undang, Li?" goda Suci.
"Malees. Maaf ya gengs, Arya Jovan sang pemilik hotel, lebih berharga dari pada seorang Danu, yang buat bayar pipis di WC umum saja, masih minta sama mamanya." Ketiganya terbahak dengan keras, hingga beberapa orang di sekitar Laili ikut memperhatikan, tak terkecuali Arya dan Ririn.
"Satu lagi yang pasti." Lanjut Suci.
"Apa tuh?" Laili dan Diana penasaran.
"Punya Danu, bak biji salak. Sedangkan suami lo, biji mangga. Ha ha ha ha...."
Puk
PukPukLaili memukul gemas Suci dengan sekuat tenaga. Wajahnya merona dan itu berhasil membuat Arya di ujung sana mengulum senyum.
Setelah satu per satu tamu pulang, rumah kembali seperti sedia kala. Ada dua orang yang dibayar oleh Ririn untuk membantunya membereskan rumah. Laili pun sudah berganti pakaian dengan pakaian santainya. Yaitu celana bahan katun panjang dipadupadankan dengan kaus yang sudah lusuh warnanya. Kaus yang selalu ia pakai jika ingin tidur.
Laili membantu menyapu rumah dan merapikan perabotan. Ia juga mengangkat piring-piring kotor yang masih tertinggal di halaman rumah.
"Non Laili, dipanggil Tuan," seru Bik Kokom dari depan pintu. Laili mengangguk, lalu berjalan masul ke dalam rumah. Sebelumnya ia sudah mencuci dulu tangannya, lalu bergegas naik ke lantai dua.
Tuk
Tuk"Permisi, Tuan-Nyonya. Ini Laili," ujar Laili di depan pintu kamar majikannya.
Kreek
Arya membuka pintu kamarnya, ia sudah berganti pakaian dengan yang lebih santai juga. Lelaki itu tersenyum tipis pada Laili, sambil menarik masuk istri keduanya itu ke dalam kamarnya.
"Ada apa, Tuan?" tanya Laili.
"Laili, mohon maaf sebelumnya. Saya mau minta izin, meskipun kini suami saya sudah menjadi suami kamu juga, tetapi Mas Arya setiap malam akan tidur dengan saya. Bagaimana?"
"Siap, Nyonya. Tak masalah," jawab Laili penuh keyakinan. Justru ia merasa lega karena tidak harus tidur seranjang dengan suami tuanya.
"Kamu tidak keberatan?" kali ini Arya yang bersuara, membuat Ririn dan Laili menoleh ke arahnya. Arya menatap Laili dengam intens, bahkan tanpa berkedip. Membuat dirinya salah tingkah.
"Mm...b-begini Tuan. Eh, Mas. Nyonya bila malam suka bangun buang air kecil, jika Mas tidur bersama saya, nanti yang membantu Nyonya siapa. Jadi saya tidak keberatan," terang Laili sambil tersenyum kepada dua orang dewasa di depannya. Raut wajah Ririn seketika melunak, bahkan garis lengkung bibirnya naik ke atas. Hatinya tenang, saat merasa benar telah memilih Laili jadi madunya. Ia tidak akan takut ditinggalkan oleh Arya.
"Kalau tidak ada lagi yang mau dibicarakan, saya pamit ya, Nyonya. Saya mau bantu bibik di bawah."
"Ok, kamu boleh pergi. Terimakasih atas pengertian kamu Laili. Tidak salah saya memilih kamu jadi istri kedua Mas Arya. Semoga kita selalu akur ya," ujar Ririn dengan senyum mekar.
"Kamar tamu kini menjadi kamar kamu ya. Jadi, mulai malam ini, kamu tidur di sana," ujar Ririn memberitahu.
"Baik, Nya. Terimakasih." Laili mengangguk paham, lalu berjalan keluar dari kamar majikannya.
Ia pun melanjutkan membantu pekerjaan bibik di bawah. Padahal sudah dilarang, tetapi Laili tetap mengerjakannya. Hingga malam tiba tanpa terasa.
Laili melaksakan sholat isya di kamar barunya, ia melipat mukena baru yang dijadikan mahar dari suaminya. Mukena sutera yang sangat bagus. Laili betah berlama-lama memakainya.
"Laili," panggil Arya yang kini sudah masuk ke dalam kamarnya.
"Eh, Tuan. A-ada apa? Apa Nyonya perlu bantuan?"
Arya berjalan mendekat pada Laili yang masih mengenakan mukena. Lelaki itu ikut duduk di samping Laili. "Maaf, saya belum bisa mengimami kamu sholat ya?" ujar Arya membuat hati Laili berdesir.
"I-iya, Tuan. Tidak apa-apa," jawab Laili kikuk.
"Laili," panggil Arya dengan suara sedikit bergetar.
"Ya."
"Saya mau mencium kamu, boleh?"
*****
"Boleh saya mencium kamu?"Bola mata Laili membesar, nafasnya pun seakan terhenti saat sang suami meminta izin untuk menciumnya. Tanpa bisa berkedip, Laili merasakan nafas Arya semakin dekat di hidungnya. Aroma sambal goreng hati dan semur daging yang ia makan saat sukuran pernikahan mereka tadi."M-mas, belum sikat gigi ya?" tanya Laili pelan membuat Arya kaget, lalu merenggangkan tubuhnya."Hah!" Arya membaui hawa mulutnya di telapak tangan. Benar saja, masih terasa bau amis. Lelaki itu pun menyeringai, lalu berdiri dari duduknya."Saya sikat gigi dulu," ujar Arya langsung berjalan ke kamar mandi. Laili hanya bisa tertawa kecil melihat kelakuan suami tuanya yang seperti beneran pengantin baru.Sambil menunggu Arya selesai, Laili merapikan mukena serta sajadahnya. Ia berjalan ke arah meja kecil untuk menyimpan peralatan sholat, kemudian berjalan ke meja rias untuk menyisir rambutnya. Arya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, kare
Keduanya masuk ke dalam selimut yang sama. Laili mengambil posisi terlentang menghadap langit-langit kamar. Sedangkan Arya, mengambil posisi miring ke kanan menghadap Laili. Lelaki ini sepertinya akan mempunyai mainan baru yang akan selalu membuat ia tertawa."Mau tidur kok kayak robot. Sini, lihat saya!" Arya menarik lengan baju kaus Laili, namun ditahan olehnya."Begini saja, Tuan. Saya biasa tidur terlentang. Kalau miring ke kanan atau ke kiri leher saya menjadi sakit," terang Laili berbohong. Dalam hati berkali-kali ia beristighfar. Sebenarnya ia tak ingin berbohong, tapi ia terlalu takut dengan suasana seperti ini."Kok Tuan lagi? Panggil sayang saja, biar lebih akrab," bisik Arya membuat perut Laili seketika bergolak."Ha ha ha ... Tuan lucu!" Laili terbahak lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih.Cup"Kamu lebih lucu," balas Arya setelah mengecup cepat pipi sang istri muda. Laili mematung kembali, hatinya membuncah gembira s
Laili yang tadinya ingin berangkat naik ojek online, tetapi tidak jadi. Ririn bersikeras meminta Laili diantar oleh Arya, suami mereka. Karena memang sekolah Laili dan juga Doni tidak terlalu berjauhan, lagi pula searah dengan kantor Arya. Dengan berat hati, Laili akhirnya mengikuti saran Ririn. Sebenarnya bukan ia tak suka, ia hanya malu saja. Apalagi saat mengingat semalam Arya hampir saja mencium bibirnya."Kucing tetangga kita suka melamun lho, Bang. Eh, besokannya hamil," sindir Arya mengajak Doni berbicara. Tetapi matanya melirik Laili yang kini menahan senyum."Masa sih, Pa? Siapa yang hamilin?" tanya Doni dengan polosnya."Ya suaminya, masa Papa yang hamilin. Ha ha ha ha ..." Doni dan Arya terbahak, sedangkan Laili mati-matian menutup mulutnya agar tidak ikut terbahak."Laili.""Ya, Tuan.""Kamu sakit?""Nggak.""Kenapa diam saja?""Saya jatuh cinta."Ckkkkiiittt...."Allahu Akbar!" pekik Laili dan Dono yang k
"Assalamualaykum," ucap Laili di depan pintu dapur sambil membuka sepatu sekolahnya."Wa'alaykumussalam," jawab Ririn sambil menoleh pada Laili, yang pulang lebih cepat dari biasanya. Namun, yang lebih mengherankan dirinya, adalah keberadaan Arya, suami mereka yang juga datang bersama Laili."Saya ganti baju dulu, Nya," ujar Laili langsung naik ke lantai atas dengan wajah kusam."Mas, Laili kok bisa sama kamu? Kenapa dia pulang cepat?""Laili baru saja menampar teman lelakinya hingga tersungkur di lantai," terang Arya sambil merenggangkan ikatan dasinya."Hah? Laili menampar lelaki? Masa sih, Mas?" Ririn tersenyum tak percaya."Ya, itu kenyataannya. Maka dari itu, Papa dipanggil ke sekolah oleh wali kelasnya. Terus, Laili diminta pulang lebih dulu.""Oh, gitu. Terus, masalahnya selesai tidak? Laili tidak dituntutkan? Tahu sendiri wali murid jaman sekarang. Salah dikit aja, langsung lapor," omel Ririn yang merasa kasihan dengan Laili.
Ririn meneteskan air mata di depan suaminya saat ini. Kejadian yang baru saja ia saksikan dengan mata kepala sendiri, membuat ia begitu sedih dan cemburu. Bagaimana bisa suaminya malah berciuman di ruang makan dengan Laili? Meskipun mereka melakukannya dalam status sah, tetap saja hatinya sakit."Sudah, Ma. Jangan nangis terus!" bujuk Arya kini duduk di samping istrinya. Ririn menepis lengan sang suami yang baru saja hendak merangkul pundaknya. Arya menghela nafas gusar."Kenapa Papa harus berciuman dengan Laili? Secepat itu Papa bisa mencium wanita lain, selain Mama.""Ya Allah, Ma. Laili itu istri Papa juga. Mama yang suruh Papa nikahi Laili, tapi sekarang Mama terlihat tidak ikhlas, seakan Papa dan Laili berselingkuh," terang Arya sungguh-sungguh."Tapi Mama cemburu, Mama takut Papa diambil Laili, karena dia lebih muda, cantik, gesit pula. Tidak seperti Mama yang, hiks ....""Sudah-sudah, kita tidur saja. Jangan mudah suudzon
Laili mendengar bahwa Arya pingsan dan sedang diperiksa oleh dokter. Membuat Laili dengan susah payah berjalan menghampiri kamar suaminya. Pintu sedikit terbuka, sayup-sayup suara wanita dari dalam kamar. Laili lebih memilih turun dengan jalan sedikit mengangkang."Kenapa kakinya, Neng?" tanya Bik Kokom, saat Laili berada di dapur hendak menuangkan air ke dalam gelas."Ini, haidnya banyak, Bik. Jadi mau jalan seperti biasa tidak nyaman," jawab Laili terpaksa berbohong."Oh, ya sudah. Saya mau ke atas dulu, bawakan ini buat Tuan." Bik Kokom memperlihatkan nampan yang di atasnya ada dua cangkir teh hangat."Biar saya saja, Bik. Sekalian saya naik." Laili mengambil nampan dari tangan Bik Kokom."Tumben rambutnya digerai, Neng? Cantikkan begini," komentar Bik Kokom sambil memegang ujung rambut Laili."Tadi pagi habis keramas, Bik. Belum benar-benar kering," jawab Laili dengan wajah malu."Oh, keramas. Mmm ... Masa sih? He he he ...." goda Bik Ko
Seharian ini, Ririn tidak keluar kamar. Ia menangis di dalam di dalam sana, sejak Laili dengan terpaksa mengakui kejadian yang dia alami bersama Arya, semalam. Laili yang tadinya bungkam, dipaksa untuk mengaku, apalagi melihat Laili memakai kalung emas mahal, tentu emosinya semakin memuncak. Kenapa suaminya harus membelikan Laili kalung yang hampir mirip dengan dirinya, hanya beda di liontin inisialnya saja. Hal itu yang membuat ia semakin sakit hati.Ia tidak menyangka, Arya bermain di belakangnya. Padahal jelas-jelas Arya berjanji untuk menggauli Laili setelah mendapat persetujuan darinya. Namun, malah ia kecolongan sendiri. Laili dan Suaminya berselingkuh. Itu kata hatinya. Sangat sulit mencoba ikhlas ternyata, berbagi suami dengan wanita lain. Apalagi madunya masih muda, cantik, dan energik.Tuk!Tuk!"Masuk."CekleekPintu kamar terbuka. Ada Doni di sana yang masuk sambil memegang ponselnya. Lekas Ririn menghapus air mata, sebelum anak lelakinya
Arya yang baru saja mendapat telepon dari Doni menjadi khawatir. Karena ponsel Laili tidak bisa dihubungi, begitu juga dengan ponsel Ririn. Arya kembali menelepon Doni agar ponselnya diberikan pada Ririn, tetapi Ririn tidak membukakan pintu untuk Doni. Bibik yang mengantar Laili sampai depan gerbang rumah, ikit bersedih. Ia masuk ke dalam sambil melihat Doni yang menggedor pintu kamar mamanya."Ada apa, Don?" tanya Bibik."Papa mau bicara sama Mama, tapi ga mau Mamanya," jawab Doni sambil menuruni anak tangga dengan cepat."Mana Teh Laili, Bik?""Udah pergi naik ojek dari depan," jawab Bik Kokom sedih."Aduh, kenapa tidak ditahan, Bik? Papa gak bolehin Teh Laili pergi." Doni berlari keluar rumah, tanpa memakai alas kaki ia mengejar Laili yang mungkin belum jauh. Kepala remaja itu menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan ada sosok yang ia cari. Namun sayang, tak ada siapapun di sana. Jalanan blok telah sepi. Hanya ada tiga orang lelaki tukang ojek yang m