Laili terdiam sepanjang perjalanan, sehabis tersedak tadi. Untung saja dia selalu membawa bekal minum, sehingga tenggorokannya tidak terlalu sakit karena harus batuk lama. Ekor matanya melirik Arya yang sepertinya sedang mengulum senyum.
"Jam berapa pulang hari ini?"
"Jam sebelas."
"Kok cepat?"
"Ujian Nasional."
"Pulang nanti naik apa? sepeda Doni belum saya betulkan."
"Naik pesawat."
"Ha ha ha ... "
"Kamu lucu juga. Sudah jangan marah, saya hanya bercanda. Kita menikah setelah kamu lulus saja."
"Kalau saya tidak mau?"
"Harus mau!"
Laili memutar bola mata malasnya, lelaki berumur di sampingnya ini benar-benar mengesalkan. Jika saja bukan majikan yang sudah berbuat banyak padanya sedari ia Sekolah Dasar, tentulah ia tidak mau dikawinkan dalam usia muda. Masih banyak yang ingin ia lakukan, seperti kuliah, bekerja, menikmati hasil jerih payah dari bekerja. Namun, sepertinya itu impian yang sia-sia, mengingat tidak lama lagi, mau tidak mau, ia harus menikah dengan lelaki dewasa bernama Arya Jovan.
"Laili," panggil Arya. Namun, Laili masih asik melamun.
"Laili," panggilnya lagi. Namun, tetap saja Laili tak sadar dari lamunannya.
"Laili, kita sudah sampai. Kamu mau turun, apa ikut saya ke kantor?" suara Arya sedikit tegas, membuat Laili tersentak dari lamunannya.
"Eh, iya. Maaf, Tuan. Saya pamit." Laili menunduk malu, pasti sedari tadi majikannya memperhatikan dirinya yang tengah melamun.
"Laili, tunggu!" Arya menahan tas Laili, hingga tubuh Laili ikut tertahan. Pintu mobil sudah terbuka dan kaki kiri Laili sudah turun. Laili menoleh, "ada apa, Tuan?" keningnya berkerut.
"Ini uang untuk ongkos ya. Sisanya buat kamu saja," ucap Arya sambil memberikan dua lembar uang berwarna merah pada Laili.
"Terimakasih, Tuan. Saya pamit," ucap Laili sambil menerima uang pemberian Arya. Ia turun sambil tersenyum, karena ongkos yang diberikan Arya bisa untuk sepuluh hari.
Baru saja menutup pintu mobil majikannya, Laili kaget dengan tatapan beberapa siswi yang menatap aneh dirinya. Laili mencoba biasa saja, tidak mau peduli. Sudah biasa ia diperlakukan seperti ini oleh penduduk sekolah. Hanya Suci dan Diana yang baik serta mau berteman dengannya. Namun, telinganya menjadi panas, saat lelaki bernama Danu menyindirnya dengan kalimat tajam, "ga dapat yang muda, dia pilih jadi simpanan aki-aki. Ha ha ha ..." tawa Danu dan ketiga temannya yang ikut bersama Danu.
"Hei, Danu! Apa maksud kamu?" balas Laili tidak terima dengan ledekan Danu. Semua mata kini tertuju pada Laili yang sudah memerah wajahnya menahan amarah. Arya belum membawa pergi mobilnya, ia masih di situ dan memperhatikan Laili bersama teman lelakinya yang sedang berdebat.
"Pacaran sama gue, baru dipegang tangannya aja, udah ceramah kayak Mama Dedeh. Eh, sekalinya putus, langsung jadi sugar baby," ledek Danu yang diikuti anggukan serta tawa teman-temannya.
"Apa itu sugar baby?" tanya Laili dengan kening berkerut.
"Ha ha ha ... pura-pura gak tahu lo. Sugar baby itu, bobok bareng aki-aki. Ha ha ha ..."
"Ada apa ya?" suara berat Arya menyela keduanya, membuat Laili dan juga Danu terkejut. Bahkan Danu kini mundur beberapa langkah dengan wajah pucat tak berani menatap wajah Arya yang tegas namun tampan.
"Kamu bilang apa tadi sama Laili?" tanya Arya masih dengan nada suara datar.
"Bukan apa-apa, Om," jawab Danu sambil hendak berbalik badan meninggalkan Laili yang kini sudah bercucuran air mata.
"Dengar ya, anak kecil! Laili itu calon istri saya. Jadi jaga bicaramu!"
"Apa?!" kali ini, Laili ikut terperangah dengan ucapan majikannya barusan dan itu terdengar oleh semua siswa dan guru yang kebetulan ada di sana. Laili sudah tidak punya muka lagi, ia memilih meninggalkan Arya dan juga Danu dengan sejuta kesal.
Sepanjang menyelesaikan soal ujian, pikiran Laili tidak tenang. Apalagi saat jam istrirahat pertama tadi, kasak-kusuk siswi terdengar jelas mencibir dirinya. Untung saja, beberapa hari lagi, ia selesai bersekolah. Sehingga ia tidak perlu terlalu lama mendengar cibiran teman-temannya.
Drrt
DrrtPonselnya bergetar, namun ia abaikan. Fokusnya kini pada soal mata pelajaran Matematika yang tersisa sebelas nomor lagi belum ia kerjakan. Sambil mengusap peluh dan menarik nafas panjang. Laili berusaha kembali berkonsentrasi, meskipun saat ini, ekor matanya menangkap Danu yang kini juga meliriknya.
Hari yang melelahkan bagi Laili, ia turun dari ojek online dengan langkah lemas, tidak bersemangat seperti biasanya. Setelah membuka sepatu, lalu menyimpannya di rak sepatu, Laili pun masuk ke dalam rumah melalui pintu samping. Sudah ada Bik Kokom yang sedang menyuapi Dira buah alpukat yang sedikit dihaluskan.
"Assalamualaykum," sapa Laili saat masuk rumah.
"Wa'alaykumussalam. Eh, Teteh Laili udah pulang," sahut Anes yang kebetulan berada tak jauh dari Bik Kokom.
"Ada tamu ya, De?"
"Iya, teman mama. Bawa baju pengantin," terang Anes sambil terus menyisir boneka barbienya. Laili terdiam, benarkah hari yang paling tidak ia inginkan semakin dekat.
"Laili, sini deh!" suara Ririn memanggilnya dengan cukup keras.
"I-iya, Nya," sahut Laili gugup.
"Pilih yang simple bajunya ya," bisik Bu Kokom sambil mencolek pipi Laili yang kini bersemu merah.
"Apaan sih, Bibik," elak Laili dengan langkah lebar menuju ruang tamu. Ada dua orang wanita cantik yang kini ikut tersenyum padanya. Di dekat tamu majikannya duduk, ada dua koper besar, yang entah apa isinya.
"Kenalkan, ini Laili. Calon maduku," suara Ririn terdengar riang memperkenalkan Laili pada tamunya. Laili hanya bisa mengangguk sambil tersenyum tipis.
"Cantik ya," puji tamu Ririn yang memakai kerudung.
"Cepat pakaikan baju yang cocok untuknya, aku ingin lihat!" titah Ririn tak sabar pada dua orang temannya. Laili hanya bisa pasrah mencoba satu per satu pakaian yang diberikan padanya. Ririn akan menggeleng saat baju yang dipakai oleh Laili terlihat kurang pas. Terus saja begitu hingga Laili berganti pakaian sampai enam kali. Jujur, ia sangat lelah hari ini. Ingin sekali buru-buru rebahan di atas ranjangnya. Namun, apalah daya jika sang majikan sudah memberikan perintah. Maka, ia tidak akan bisa menolak.
"Kalau yang ini bagaimana, Say?"
Ririn menoleh dan betapa takjubnya ia, saat melihat Laili memakai kebaya brukat putih panjang, sampai menyentuh lantai, dipadu padankan dengan rok batik yang motifnya sangat cantik.
Ceklek
Ririn memotret Laili yang tampak anggun dan semakin cantik. Kemudian foto itu ia kirimkan pada Arya suaminya.
"Siapa gadis cantik ini?" Arya mengerutkan keningnya.
****
Pembacaku sayang, sebelum baca, follow dulu akun saya, ya. Simpan cerita ini di reading list kalian.Terimakasih.Ikan mujaer di dalam kaliPara reader selamat membaca Laili****"Saya terima nikah dan kawinnya, Laili binti Ahmad Jaelani dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas, dibayar tunai."Laili melirik lelaki tampan yang memakai baju koko lengkap dengan peci, yang kini duduk persis di sampingnya. Setelah prosesi ijab kabul dan juga memakaikan cincin di jari manisnya, Laili dan Arya kini duduk di kursi yang berdampingan. Tak banyak tamu yang hadir, hanya keluarga Arya, keluarga Ririn yang tadinya sempat menolak. Juga ada Suci dan Diana, teman sekolah Laili yang hadir di sana.Acara dilangsungkan tepat dua hari setelah pengumuman kelulusan sekolah. Laili kini memasrahkan kepada Tuhan, apa yang akan terjadi ke depannya. Karena bagaimana pun menjadi istri kedua itu tidaklah mudah, meski ada restu dari istri pert
"Boleh saya mencium kamu?"Bola mata Laili membesar, nafasnya pun seakan terhenti saat sang suami meminta izin untuk menciumnya. Tanpa bisa berkedip, Laili merasakan nafas Arya semakin dekat di hidungnya. Aroma sambal goreng hati dan semur daging yang ia makan saat sukuran pernikahan mereka tadi."M-mas, belum sikat gigi ya?" tanya Laili pelan membuat Arya kaget, lalu merenggangkan tubuhnya."Hah!" Arya membaui hawa mulutnya di telapak tangan. Benar saja, masih terasa bau amis. Lelaki itu pun menyeringai, lalu berdiri dari duduknya."Saya sikat gigi dulu," ujar Arya langsung berjalan ke kamar mandi. Laili hanya bisa tertawa kecil melihat kelakuan suami tuanya yang seperti beneran pengantin baru.Sambil menunggu Arya selesai, Laili merapikan mukena serta sajadahnya. Ia berjalan ke arah meja kecil untuk menyimpan peralatan sholat, kemudian berjalan ke meja rias untuk menyisir rambutnya. Arya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, kare
Keduanya masuk ke dalam selimut yang sama. Laili mengambil posisi terlentang menghadap langit-langit kamar. Sedangkan Arya, mengambil posisi miring ke kanan menghadap Laili. Lelaki ini sepertinya akan mempunyai mainan baru yang akan selalu membuat ia tertawa."Mau tidur kok kayak robot. Sini, lihat saya!" Arya menarik lengan baju kaus Laili, namun ditahan olehnya."Begini saja, Tuan. Saya biasa tidur terlentang. Kalau miring ke kanan atau ke kiri leher saya menjadi sakit," terang Laili berbohong. Dalam hati berkali-kali ia beristighfar. Sebenarnya ia tak ingin berbohong, tapi ia terlalu takut dengan suasana seperti ini."Kok Tuan lagi? Panggil sayang saja, biar lebih akrab," bisik Arya membuat perut Laili seketika bergolak."Ha ha ha ... Tuan lucu!" Laili terbahak lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih.Cup"Kamu lebih lucu," balas Arya setelah mengecup cepat pipi sang istri muda. Laili mematung kembali, hatinya membuncah gembira s
Laili yang tadinya ingin berangkat naik ojek online, tetapi tidak jadi. Ririn bersikeras meminta Laili diantar oleh Arya, suami mereka. Karena memang sekolah Laili dan juga Doni tidak terlalu berjauhan, lagi pula searah dengan kantor Arya. Dengan berat hati, Laili akhirnya mengikuti saran Ririn. Sebenarnya bukan ia tak suka, ia hanya malu saja. Apalagi saat mengingat semalam Arya hampir saja mencium bibirnya."Kucing tetangga kita suka melamun lho, Bang. Eh, besokannya hamil," sindir Arya mengajak Doni berbicara. Tetapi matanya melirik Laili yang kini menahan senyum."Masa sih, Pa? Siapa yang hamilin?" tanya Doni dengan polosnya."Ya suaminya, masa Papa yang hamilin. Ha ha ha ha ..." Doni dan Arya terbahak, sedangkan Laili mati-matian menutup mulutnya agar tidak ikut terbahak."Laili.""Ya, Tuan.""Kamu sakit?""Nggak.""Kenapa diam saja?""Saya jatuh cinta."Ckkkkiiittt...."Allahu Akbar!" pekik Laili dan Dono yang k
"Assalamualaykum," ucap Laili di depan pintu dapur sambil membuka sepatu sekolahnya."Wa'alaykumussalam," jawab Ririn sambil menoleh pada Laili, yang pulang lebih cepat dari biasanya. Namun, yang lebih mengherankan dirinya, adalah keberadaan Arya, suami mereka yang juga datang bersama Laili."Saya ganti baju dulu, Nya," ujar Laili langsung naik ke lantai atas dengan wajah kusam."Mas, Laili kok bisa sama kamu? Kenapa dia pulang cepat?""Laili baru saja menampar teman lelakinya hingga tersungkur di lantai," terang Arya sambil merenggangkan ikatan dasinya."Hah? Laili menampar lelaki? Masa sih, Mas?" Ririn tersenyum tak percaya."Ya, itu kenyataannya. Maka dari itu, Papa dipanggil ke sekolah oleh wali kelasnya. Terus, Laili diminta pulang lebih dulu.""Oh, gitu. Terus, masalahnya selesai tidak? Laili tidak dituntutkan? Tahu sendiri wali murid jaman sekarang. Salah dikit aja, langsung lapor," omel Ririn yang merasa kasihan dengan Laili.
Ririn meneteskan air mata di depan suaminya saat ini. Kejadian yang baru saja ia saksikan dengan mata kepala sendiri, membuat ia begitu sedih dan cemburu. Bagaimana bisa suaminya malah berciuman di ruang makan dengan Laili? Meskipun mereka melakukannya dalam status sah, tetap saja hatinya sakit."Sudah, Ma. Jangan nangis terus!" bujuk Arya kini duduk di samping istrinya. Ririn menepis lengan sang suami yang baru saja hendak merangkul pundaknya. Arya menghela nafas gusar."Kenapa Papa harus berciuman dengan Laili? Secepat itu Papa bisa mencium wanita lain, selain Mama.""Ya Allah, Ma. Laili itu istri Papa juga. Mama yang suruh Papa nikahi Laili, tapi sekarang Mama terlihat tidak ikhlas, seakan Papa dan Laili berselingkuh," terang Arya sungguh-sungguh."Tapi Mama cemburu, Mama takut Papa diambil Laili, karena dia lebih muda, cantik, gesit pula. Tidak seperti Mama yang, hiks ....""Sudah-sudah, kita tidur saja. Jangan mudah suudzon
Laili mendengar bahwa Arya pingsan dan sedang diperiksa oleh dokter. Membuat Laili dengan susah payah berjalan menghampiri kamar suaminya. Pintu sedikit terbuka, sayup-sayup suara wanita dari dalam kamar. Laili lebih memilih turun dengan jalan sedikit mengangkang."Kenapa kakinya, Neng?" tanya Bik Kokom, saat Laili berada di dapur hendak menuangkan air ke dalam gelas."Ini, haidnya banyak, Bik. Jadi mau jalan seperti biasa tidak nyaman," jawab Laili terpaksa berbohong."Oh, ya sudah. Saya mau ke atas dulu, bawakan ini buat Tuan." Bik Kokom memperlihatkan nampan yang di atasnya ada dua cangkir teh hangat."Biar saya saja, Bik. Sekalian saya naik." Laili mengambil nampan dari tangan Bik Kokom."Tumben rambutnya digerai, Neng? Cantikkan begini," komentar Bik Kokom sambil memegang ujung rambut Laili."Tadi pagi habis keramas, Bik. Belum benar-benar kering," jawab Laili dengan wajah malu."Oh, keramas. Mmm ... Masa sih? He he he ...." goda Bik Ko
Seharian ini, Ririn tidak keluar kamar. Ia menangis di dalam di dalam sana, sejak Laili dengan terpaksa mengakui kejadian yang dia alami bersama Arya, semalam. Laili yang tadinya bungkam, dipaksa untuk mengaku, apalagi melihat Laili memakai kalung emas mahal, tentu emosinya semakin memuncak. Kenapa suaminya harus membelikan Laili kalung yang hampir mirip dengan dirinya, hanya beda di liontin inisialnya saja. Hal itu yang membuat ia semakin sakit hati.Ia tidak menyangka, Arya bermain di belakangnya. Padahal jelas-jelas Arya berjanji untuk menggauli Laili setelah mendapat persetujuan darinya. Namun, malah ia kecolongan sendiri. Laili dan Suaminya berselingkuh. Itu kata hatinya. Sangat sulit mencoba ikhlas ternyata, berbagi suami dengan wanita lain. Apalagi madunya masih muda, cantik, dan energik.Tuk!Tuk!"Masuk."CekleekPintu kamar terbuka. Ada Doni di sana yang masuk sambil memegang ponselnya. Lekas Ririn menghapus air mata, sebelum anak lelakinya