Ririn sedang berlatih menggerakkan kakinya yang terasa sangat berat. Betapa ia begitu rajin melakukan fisioterapi dan terapi lainnya di sebuah rumah sakit, agar kakinya bisa kembali digerakkan. Namun, sudah hampir sepuluh bulan berlatih, kakinya masih saja terasa berat. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain duduk, tidur, makan, nonton, membaca, dan melamun.
Kasihan dengan Dira, bayi berumur sepuluh bulan itu yang perlu perhatian lebih dari dirinya. Tetapi, sekeras apapun ia mencoba, namun tetap kakinya tidak bisa digerakkan. Jangankan untuk ke kamar mandi, untuk menggeser kakinya saja ia terkadang meminta suaminya. Bagaimana ia bisa melaksakan kewajibannya sebagai istri, jika menggeser tubuhnya saja ia tidak bisa.
"Melamunkan apa, Sayang?" tegur Arya yang baru saja keluar kamar mandi dengan tubuh segar dan harum sampo serta sabun yang begitu menggoda indera penciuman.
"Suamiku tampan sekali kalau habis mandi, segar," pujinya sambil tersenyum lebar.
"Masa sih?" kini Arya berjalan ke arah sang istri, lalu mengecup keningnya penuh sayang.
"Ganteng mana, kalau ininya dibuka." Arya membuka handuknya, bermaksud menggoda sang istri.
"Ish, Papa. Apaan sih? Malu," ujar Ririn sambil menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan.
"Bukannya ini pose favorit Mama," bisik Arya lagi sambil melepas kedua tangan sang istri yang saat ini menutupi wajahnya.
Cup...
Arya mengecup bibir sang istri begitu lembut, bahkan sangat lembut hingga Ririn terbuai dan tersulut nafsunya.
"Pa, gak bisa," lirih Ririn mencoba melepaskan diri dari suaminya. Berat ia membuang pandangan. Benar-benar ia tidak bisa memenuhi kebutuhan batin sang suami. Dengan tubuh telanjangnya, Arya masih mengungkung Ririn di sandaran ranjang. Menatap wajah sang istri yang kini bercucuran air mata.
"Tuan, ini... Aaaarrg!" jerit Laili saat membuka pintu kamar majikannya yang tidak tertutup rapat dan salahnya juga tidak mengetuk dahulu sebelum membuka pintu kamar itu. Laili lari tunggang-langgang bagai melihat setan, bahkan ia melemparkan celana santai kotak-kotak yang tadi diminta Arya untuk disetrika karena akan dipakai. Ia syok dengan pemandangan tujuh belas tahun ke atas.
Arya dan Ririn saling pandang. Wajah keduanya pucat saat Laili memergoki mereka dalam pose seperti ini.
"Papa tadi ga tutup pintu rapat ya?"
"Iya, Ma. Papa lupa." Arya memakai kembali handuknya lalu memungut celana santainya yang tergeletak di lantai depan kamar.
Dengan cepat Arya memakainya, begitu juga dengan baju kaus yang dia ambil di dalam lemari.
"Pasti Laili kaget, Pa. Ha ha ha ... Papa sih!" Ririn terbahak, apalagi kini ekspresi suaminya tengah menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan wajah merona.
****
Laili lari terbirit-birit ke kamarnya. Jantungnya berdegub begitu kencang. Tangan dan kakinya gemetar. Pemandangan yang seharusnya tidak boleh ia lihat, kini ia lihat semuanya, ya...catat. Semuanya ia lihat dengan jelas."Ya ampun, sial banget sih!" gerutu Laili sambil menggaruk kasar rambutnya.
"Aduh, mataku ternoda. Tak perawan lagi," Laili menggosok kasar matanya. Merasa semakin tak tenang, Laili memutuskan untuk ke kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari dapur.
Karena tergesa dan tidak memperhatikan langkahnya, Laili tersandung karpet dapur.
Buugh
"Eh... " hampir saja Laili terjerembab di lantai jika tidak ditahan tubuhnya oleh Arya.
"Mau ke mana buru-buru?" tanya Arya sambil melepaskan pegangan tangannya pada Laili.
"M-mau cuci muka, Tuan."
"Kenapa muka kamu?"
"Itu, tadi biar yang saya lihat di atas ti..."
"Ha ha ha ... jadi kamu lihat semua?"
"I-iya."
"Kapan kamu selesai Ujian Nasional?"
"Dua hari lagi, Tuan."
"Kalau begitu, pekan depan kita menikah."
"Hah? t-tapi... Tuan! Tuan!" teriak Laili cukup keras, namun Arya tidak menoleh, kaki ya ringan melangkah naik ke lantai dua sambil membawa sepiring ubi rebus yang disediakan bibik untuk istrinya. Lelaki dewasa itu terkekeh geli. Laili sungguh polos, pikirnya.
Sedangkan gadis remaja yang bernama Laili hanya bisa mengdengkus kesal, ia terus saja menghentak-hentakkan kakinya karena begitu sebal dengan majikan lelakinya ini.
****
Pagi hari, seperti biasa selalu repot dengan tiga anak yang sangat aktif. Ditambah dua orang majikan Laili yang sama repotnya dengan ketiga anaknya. Pagi sekali, Laili sudah memasak air mandi untuk Nyonya Ririn, dilanjut dengan memandikan Dira, bayi sepuluh bulan Nyonya Ririn. Untunglah ada bibik yang membantu Anes mandi dan berpakaian, dilanjut memasak sarapan. Sedangkan Doni sudah lebih mandiri."Permisi, Nyonya. Saya mau berangkat lebih dulu," pamit Laili pada Ririn dan Arya yang sedang menyantap sarapan bihun goreng. Laili berbicara sambil menunduk, tidak berani ia melihat ke arah Arya.
"Diantar Tuan Arya ya," sahut Ririn.
"S-saya sendiri saja, Nya. Gak papa. Pakai sepeda Doni."
"Sepeda Doni rusak, belum diperbaiki. Kamu berangkat sama saya saja. Sayang, aku duluan gak papa'kan?" ujar Arya pada sang istri.
Laili tidak bisa menolak, saat sang majikan wanitanya kini mengangguk senang. Seringainya begitu lebar, saat melepas kepergian sang suami dengan calon madunya. Jika semua wanita sakit hati saat suaminya ingin menikah lagi, lain hal dengan Ririn. Wanita itu sepertinya sangat senang, bahkan dengan sengaja memberikan kesempatan pada suaminya.
Keluarga yang aneh! Itu yang terbersit di hati Laili saat ini.
"Kenapa diam saja? Sariawan?"
"Eh, nggak kok, Tuan."
"Masih memikirkan yang semalam? Udah jangan dipikirin, minggu depan juga pasti lihat."
Huk!
Huk!Huk!Laili tersedak ludahnya sendiri.
~Bersambung~
Laili terdiam sepanjang perjalanan, sehabis tersedak tadi. Untung saja dia selalu membawa bekal minum, sehingga tenggorokannya tidak terlalu sakit karena harus batuk lama. Ekor matanya melirik Arya yang sepertinya sedang mengulum senyum."Jam berapa pulang hari ini?""Jam sebelas.""Kok cepat?""Ujian Nasional.""Pulang nanti naik apa? sepeda Doni belum saya betulkan.""Naik pesawat.""Ha ha ha ... ""Kamu lucu juga. Sudah jangan marah, saya hanya bercanda. Kita menikah setelah kamu lulus saja.""Kalau saya tidak mau?""Harus mau!"Laili memutar bola mata malasnya, lelaki berumur di sampingnya ini benar-benar mengesalkan. Jika saja bukan majikan yang sudah berbuat banyak padanya sedari ia Sekolah Dasar, tentulah ia tidak mau dikawinkan dalam usia muda. Masih banyak yang ingin ia lakukan, seperti kuliah, bekerja, menikmati hasil jerih payah dari bekerja. Namun, sepertinya itu impian yang sia-sia, mengingat tidak lama l
Pembacaku sayang, sebelum baca, follow dulu akun saya, ya. Simpan cerita ini di reading list kalian.Terimakasih.Ikan mujaer di dalam kaliPara reader selamat membaca Laili****"Saya terima nikah dan kawinnya, Laili binti Ahmad Jaelani dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas, dibayar tunai."Laili melirik lelaki tampan yang memakai baju koko lengkap dengan peci, yang kini duduk persis di sampingnya. Setelah prosesi ijab kabul dan juga memakaikan cincin di jari manisnya, Laili dan Arya kini duduk di kursi yang berdampingan. Tak banyak tamu yang hadir, hanya keluarga Arya, keluarga Ririn yang tadinya sempat menolak. Juga ada Suci dan Diana, teman sekolah Laili yang hadir di sana.Acara dilangsungkan tepat dua hari setelah pengumuman kelulusan sekolah. Laili kini memasrahkan kepada Tuhan, apa yang akan terjadi ke depannya. Karena bagaimana pun menjadi istri kedua itu tidaklah mudah, meski ada restu dari istri pert
"Boleh saya mencium kamu?"Bola mata Laili membesar, nafasnya pun seakan terhenti saat sang suami meminta izin untuk menciumnya. Tanpa bisa berkedip, Laili merasakan nafas Arya semakin dekat di hidungnya. Aroma sambal goreng hati dan semur daging yang ia makan saat sukuran pernikahan mereka tadi."M-mas, belum sikat gigi ya?" tanya Laili pelan membuat Arya kaget, lalu merenggangkan tubuhnya."Hah!" Arya membaui hawa mulutnya di telapak tangan. Benar saja, masih terasa bau amis. Lelaki itu pun menyeringai, lalu berdiri dari duduknya."Saya sikat gigi dulu," ujar Arya langsung berjalan ke kamar mandi. Laili hanya bisa tertawa kecil melihat kelakuan suami tuanya yang seperti beneran pengantin baru.Sambil menunggu Arya selesai, Laili merapikan mukena serta sajadahnya. Ia berjalan ke arah meja kecil untuk menyimpan peralatan sholat, kemudian berjalan ke meja rias untuk menyisir rambutnya. Arya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, kare
Keduanya masuk ke dalam selimut yang sama. Laili mengambil posisi terlentang menghadap langit-langit kamar. Sedangkan Arya, mengambil posisi miring ke kanan menghadap Laili. Lelaki ini sepertinya akan mempunyai mainan baru yang akan selalu membuat ia tertawa."Mau tidur kok kayak robot. Sini, lihat saya!" Arya menarik lengan baju kaus Laili, namun ditahan olehnya."Begini saja, Tuan. Saya biasa tidur terlentang. Kalau miring ke kanan atau ke kiri leher saya menjadi sakit," terang Laili berbohong. Dalam hati berkali-kali ia beristighfar. Sebenarnya ia tak ingin berbohong, tapi ia terlalu takut dengan suasana seperti ini."Kok Tuan lagi? Panggil sayang saja, biar lebih akrab," bisik Arya membuat perut Laili seketika bergolak."Ha ha ha ... Tuan lucu!" Laili terbahak lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih.Cup"Kamu lebih lucu," balas Arya setelah mengecup cepat pipi sang istri muda. Laili mematung kembali, hatinya membuncah gembira s
Laili yang tadinya ingin berangkat naik ojek online, tetapi tidak jadi. Ririn bersikeras meminta Laili diantar oleh Arya, suami mereka. Karena memang sekolah Laili dan juga Doni tidak terlalu berjauhan, lagi pula searah dengan kantor Arya. Dengan berat hati, Laili akhirnya mengikuti saran Ririn. Sebenarnya bukan ia tak suka, ia hanya malu saja. Apalagi saat mengingat semalam Arya hampir saja mencium bibirnya."Kucing tetangga kita suka melamun lho, Bang. Eh, besokannya hamil," sindir Arya mengajak Doni berbicara. Tetapi matanya melirik Laili yang kini menahan senyum."Masa sih, Pa? Siapa yang hamilin?" tanya Doni dengan polosnya."Ya suaminya, masa Papa yang hamilin. Ha ha ha ha ..." Doni dan Arya terbahak, sedangkan Laili mati-matian menutup mulutnya agar tidak ikut terbahak."Laili.""Ya, Tuan.""Kamu sakit?""Nggak.""Kenapa diam saja?""Saya jatuh cinta."Ckkkkiiittt...."Allahu Akbar!" pekik Laili dan Dono yang k
"Assalamualaykum," ucap Laili di depan pintu dapur sambil membuka sepatu sekolahnya."Wa'alaykumussalam," jawab Ririn sambil menoleh pada Laili, yang pulang lebih cepat dari biasanya. Namun, yang lebih mengherankan dirinya, adalah keberadaan Arya, suami mereka yang juga datang bersama Laili."Saya ganti baju dulu, Nya," ujar Laili langsung naik ke lantai atas dengan wajah kusam."Mas, Laili kok bisa sama kamu? Kenapa dia pulang cepat?""Laili baru saja menampar teman lelakinya hingga tersungkur di lantai," terang Arya sambil merenggangkan ikatan dasinya."Hah? Laili menampar lelaki? Masa sih, Mas?" Ririn tersenyum tak percaya."Ya, itu kenyataannya. Maka dari itu, Papa dipanggil ke sekolah oleh wali kelasnya. Terus, Laili diminta pulang lebih dulu.""Oh, gitu. Terus, masalahnya selesai tidak? Laili tidak dituntutkan? Tahu sendiri wali murid jaman sekarang. Salah dikit aja, langsung lapor," omel Ririn yang merasa kasihan dengan Laili.
Ririn meneteskan air mata di depan suaminya saat ini. Kejadian yang baru saja ia saksikan dengan mata kepala sendiri, membuat ia begitu sedih dan cemburu. Bagaimana bisa suaminya malah berciuman di ruang makan dengan Laili? Meskipun mereka melakukannya dalam status sah, tetap saja hatinya sakit."Sudah, Ma. Jangan nangis terus!" bujuk Arya kini duduk di samping istrinya. Ririn menepis lengan sang suami yang baru saja hendak merangkul pundaknya. Arya menghela nafas gusar."Kenapa Papa harus berciuman dengan Laili? Secepat itu Papa bisa mencium wanita lain, selain Mama.""Ya Allah, Ma. Laili itu istri Papa juga. Mama yang suruh Papa nikahi Laili, tapi sekarang Mama terlihat tidak ikhlas, seakan Papa dan Laili berselingkuh," terang Arya sungguh-sungguh."Tapi Mama cemburu, Mama takut Papa diambil Laili, karena dia lebih muda, cantik, gesit pula. Tidak seperti Mama yang, hiks ....""Sudah-sudah, kita tidur saja. Jangan mudah suudzon
Laili mendengar bahwa Arya pingsan dan sedang diperiksa oleh dokter. Membuat Laili dengan susah payah berjalan menghampiri kamar suaminya. Pintu sedikit terbuka, sayup-sayup suara wanita dari dalam kamar. Laili lebih memilih turun dengan jalan sedikit mengangkang."Kenapa kakinya, Neng?" tanya Bik Kokom, saat Laili berada di dapur hendak menuangkan air ke dalam gelas."Ini, haidnya banyak, Bik. Jadi mau jalan seperti biasa tidak nyaman," jawab Laili terpaksa berbohong."Oh, ya sudah. Saya mau ke atas dulu, bawakan ini buat Tuan." Bik Kokom memperlihatkan nampan yang di atasnya ada dua cangkir teh hangat."Biar saya saja, Bik. Sekalian saya naik." Laili mengambil nampan dari tangan Bik Kokom."Tumben rambutnya digerai, Neng? Cantikkan begini," komentar Bik Kokom sambil memegang ujung rambut Laili."Tadi pagi habis keramas, Bik. Belum benar-benar kering," jawab Laili dengan wajah malu."Oh, keramas. Mmm ... Masa sih? He he he ...." goda Bik Ko