Laili termenung di taman belakang rumah keluarga Arya Jovan. Tangannya mengulurkan selang air yang mengeluarkan air cukup deras untuk menyiram tanaman. Memang sudah menjadi tugasnya untuk menyiram tanaman pada pagi dan sore hari. Tetapi sore ini begitu berbeda, sejak permintaan Nyonya Ririn yang dianggapnya mustahil. Aku menikah dini dengan lelaki yang sudah tua seperti ayahku. Ya ampun, ujian apa lagi ini? Laili terus saja menghembuskan nafas kasar.
"Teteh, lagi siram tanaman, apa lagi mandiin motor?" tanya Doni yang kebetulan lewat dari pintu belakang.
"Allahu akbar!" pekik Laili kaget, saat menyadari ia bukannya menyiram tanaman, tetapi menyiram motor hingga basah kuyup. Bahkan jaket motor majikannya ikut basah karena ia mandikan juga.
"Melamun apa sih? Ampe salah mandiin gitu." Doni tertawa geli. Kemudian berjalan masuk ke dalam rumahnya.
"Laili!" panggilan dari lantai dua. Suara merdu namun tegas milik Tuan Arya.
"Ya, Tuan," sahutnya sambil mematikan kran air, lalu dnegan tergopoh naik ke lantai dua. Tak dipedulikannya bajunya yang setengah basah dan juga rambutnya yang sangat berantakan.
"Ada apa, Tuan?" tanya Laili sambil menunduk. Lelaki dewasa itu tengah berdiri di depan pintu kamarnya, sambil memandang Laili dari atas sampai bawah.
"Jangan panggil Tuan lagi, dong. Belajar panggil Mas," sela Bu Ririn dari dalam kamar. Wanita itu bahkan kini tertawa geli.
"Ada apa, Tuan?" tanya Laili lagi. Kali ini wajahnya sudah merona malu. Jangan ditanya bagaimana kondisi jantungnya saat ini, pasti benar-benar tidak sehat.
"Tidak jadi," jawab Arya lalu masuk ke dalam kamarnya kembali sambil menuntup pintu. Laili hanya tergugu, ia yang masih kecil ini tidak paham maksud ucapan orang dewasa yang menurutnya di luar logika. Laili bergegas turun kembali untuk melanjutkan kegiatannya menyiram tanaman.
"Teteh!" panggil Anes dengan suara cukup keras dari kamarnya.
"Iya, Sayang. Ada apa?" jawab Laili kembali naik ke lantai dua. Sambil berjalan, ia menoleh ke belakang, tepatnya di mana posisi betisnya ini berada. Mengkal. Itulah gambaran betis Laili, akibat terlalu sering naik-turun setiap hari. Mulai pagi hingga malam hari.
"Ada apa Kakak Anes?" tanya Laili masuk ke dalam kamar Anes.
"Teteh, bantuin kerjakan PR," rengek Anes sambil bersandar di tubuh Laili.
"PR dari sekolah?"
"Iya. Ada banyak, tangan Anes pegal. Teteh bantuin tulisin ya!" rengek Anes lagi sambil memijat jari-jemarinya yang terasa pegal.
"Kalau PR sekolah, harus kerjakan sendiri. Tidak boleh minta ditulisin. Itu namanya Anes tidak jujur. Waktu Teteh pegal nulis juga, Teteh ga minta tulisin sama Anes'kan?"
"He he he ... Ya pasti Anes tidak bisa bantuin tulislah," jawab Anes sambil tertawa.
"Kalau gitu, Anes kerjakan sendiri ya. Pelan-pelan saja!"
"Capek Teteh!" rengek Anes lagi. Bahkan gadis kecil itu kini mengeluarkan air mata. Membuat Laili tidak tega. Ia sangat menyayangi Anes, seperti adiknya sendiri. Ya, keluarga Arya Jovan, adalah sudah Laili anggap keluarga keduanya.
"Sini, Teteh pijat jarinya! Biar tidak pegal." Laili sudah menarik tangan Anes untuk ia pijat dengan hati-hati dan lembut.
"Enak, Teh," komentar Anes sambil mengusap air matanya.
"Teteh akan buatkan pisang goreng setelah ini, jadi Anes harus selesaikan dulu tugasnya," ujar Laili memberitahu.
"Siap, Bos." Anes tertawa, bahkan ia kini keenakan dipijat oleh Laili.
"Kamu pintar memijat juga?"
Laili melotot kaget. Suara bariton di belakangnya sangat ia kenal. Laili dengan malu-malu menoleh.
"B-bisa sedikit, Tuan," jawab Laili gugup.
"Jika sudah sah, saya juga mau dipijat!"
Blush
Laili tidak tahu lagi harus menyembunyikan wajahnya di mana. Kenapa majikan lelakinya menjadi sosok yang berbeda? Bukannya lelaki itu tipe tegas, pendiam, bicara hanya seperlunya saja. Tak pernah memperlihatkan senyum, apalagi tawanya.
Selepas magrib, Laili sudah kembali ke kamar. Ia belajar untuk ujian besok. Bibik dan Anes sudah memanggilnya untuk makan malam, tetapi ia menolak halus, dengan alasan bahwa ia masih kenyang. Padahal bukan itu, ia tidak ingin bertemu dengan Tuan Arya. Malu, sangat malu saat ini. Jika bisa menghindar, maka lebih baik ia menghindar. Ia tidak ingin, benar-benar jatuh cinta pada lelaki tua bercambang di sana.
Laili menggelengkan kepalanya keras, saat kilasan balik wajah tegas Tuan Arya menari di kepalanya. Duh, kenapa jadi ingat terus? Laili menepuk kepalanya.
"Kenapa kepalanya? Lagi ingat suami saya ya."
Laili kembali dibuat merona. Anes lupa menutup pintu kamarnya kembali, sedangkan ia sibuk melamunkan suami orang yang nanti apakah akan jadi suaminya juga?
"Maksud Nyonya?"
"Tawaran saya tolong dipikirkan ya. Demi kebaikan kita semua di sini. Apalagi anak-anak sayang sekali dengan kamu, Li." Ririn memencet tombol kursi rodanya, sehingga ia bisa masuk ke dalam kamar Laili.
"T-tapi, tidak mungkin, Nya."
"Kenapa?"
"Saya menyukai orang lain."
"Siapa?"
"Teman sekolah saya."
"Apa dia bisa bertanggung jawab dengan kamu nantinya?"
Laili menggeleng tidak tahu.
"Laili, lelaki yang mengajak pacaran, pasti akan kalah dengan lelaki yang mengajak naik pelaminan."
Laili masih terdiam. Ririn kini sudah menggenggam jemari Laili dengan hangat. Mencoba membaca raut wajah remaja itu. Berharap menemukan bias tanda persetujuan.
"Saya sebagai istri, tidak bisa melayani suami dengan baik. Kamu lihat sendiri kaki saya tidak bisa digerakkan gini. Dari pada dia berselingkuh, lebih baik saya nikahkan dengan kamu, Li." Panjang kali lebar, Ririn menjelaskan.
"Mau ya?"
"Mm...apa nanti saya boleh kuliah?"
"Tentu saja boleh."
"Mmm... Baiklah, Nya. Saya mau."
****
Eeaa...kecil-kecil jadi manten😂Ririn sedang berlatih menggerakkan kakinya yang terasa sangat berat. Betapa ia begitu rajin melakukan fisioterapi dan terapi lainnya di sebuah rumah sakit, agar kakinya bisa kembali digerakkan. Namun, sudah hampir sepuluh bulan berlatih, kakinya masih saja terasa berat. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain duduk, tidur, makan, nonton, membaca, dan melamun.Kasihan dengan Dira, bayi berumur sepuluh bulan itu yang perlu perhatian lebih dari dirinya. Tetapi, sekeras apapun ia mencoba, namun tetap kakinya tidak bisa digerakkan. Jangankan untuk ke kamar mandi, untuk menggeser kakinya saja ia terkadang meminta suaminya. Bagaimana ia bisa melaksakan kewajibannya sebagai istri, jika menggeser tubuhnya saja ia tidak bisa."Melamunkan apa, Sayang?" tegur Arya yang baru saja keluar kamar mandi dengan tubuh segar dan harum sampo serta sabun yang begitu menggoda indera penciuman."Suamiku tampan sekali kalau habis mandi, segar," pujinya sambil tersenyum lebar."Ma
Laili terdiam sepanjang perjalanan, sehabis tersedak tadi. Untung saja dia selalu membawa bekal minum, sehingga tenggorokannya tidak terlalu sakit karena harus batuk lama. Ekor matanya melirik Arya yang sepertinya sedang mengulum senyum."Jam berapa pulang hari ini?""Jam sebelas.""Kok cepat?""Ujian Nasional.""Pulang nanti naik apa? sepeda Doni belum saya betulkan.""Naik pesawat.""Ha ha ha ... ""Kamu lucu juga. Sudah jangan marah, saya hanya bercanda. Kita menikah setelah kamu lulus saja.""Kalau saya tidak mau?""Harus mau!"Laili memutar bola mata malasnya, lelaki berumur di sampingnya ini benar-benar mengesalkan. Jika saja bukan majikan yang sudah berbuat banyak padanya sedari ia Sekolah Dasar, tentulah ia tidak mau dikawinkan dalam usia muda. Masih banyak yang ingin ia lakukan, seperti kuliah, bekerja, menikmati hasil jerih payah dari bekerja. Namun, sepertinya itu impian yang sia-sia, mengingat tidak lama l
Pembacaku sayang, sebelum baca, follow dulu akun saya, ya. Simpan cerita ini di reading list kalian.Terimakasih.Ikan mujaer di dalam kaliPara reader selamat membaca Laili****"Saya terima nikah dan kawinnya, Laili binti Ahmad Jaelani dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas, dibayar tunai."Laili melirik lelaki tampan yang memakai baju koko lengkap dengan peci, yang kini duduk persis di sampingnya. Setelah prosesi ijab kabul dan juga memakaikan cincin di jari manisnya, Laili dan Arya kini duduk di kursi yang berdampingan. Tak banyak tamu yang hadir, hanya keluarga Arya, keluarga Ririn yang tadinya sempat menolak. Juga ada Suci dan Diana, teman sekolah Laili yang hadir di sana.Acara dilangsungkan tepat dua hari setelah pengumuman kelulusan sekolah. Laili kini memasrahkan kepada Tuhan, apa yang akan terjadi ke depannya. Karena bagaimana pun menjadi istri kedua itu tidaklah mudah, meski ada restu dari istri pert
"Boleh saya mencium kamu?"Bola mata Laili membesar, nafasnya pun seakan terhenti saat sang suami meminta izin untuk menciumnya. Tanpa bisa berkedip, Laili merasakan nafas Arya semakin dekat di hidungnya. Aroma sambal goreng hati dan semur daging yang ia makan saat sukuran pernikahan mereka tadi."M-mas, belum sikat gigi ya?" tanya Laili pelan membuat Arya kaget, lalu merenggangkan tubuhnya."Hah!" Arya membaui hawa mulutnya di telapak tangan. Benar saja, masih terasa bau amis. Lelaki itu pun menyeringai, lalu berdiri dari duduknya."Saya sikat gigi dulu," ujar Arya langsung berjalan ke kamar mandi. Laili hanya bisa tertawa kecil melihat kelakuan suami tuanya yang seperti beneran pengantin baru.Sambil menunggu Arya selesai, Laili merapikan mukena serta sajadahnya. Ia berjalan ke arah meja kecil untuk menyimpan peralatan sholat, kemudian berjalan ke meja rias untuk menyisir rambutnya. Arya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, kare
Keduanya masuk ke dalam selimut yang sama. Laili mengambil posisi terlentang menghadap langit-langit kamar. Sedangkan Arya, mengambil posisi miring ke kanan menghadap Laili. Lelaki ini sepertinya akan mempunyai mainan baru yang akan selalu membuat ia tertawa."Mau tidur kok kayak robot. Sini, lihat saya!" Arya menarik lengan baju kaus Laili, namun ditahan olehnya."Begini saja, Tuan. Saya biasa tidur terlentang. Kalau miring ke kanan atau ke kiri leher saya menjadi sakit," terang Laili berbohong. Dalam hati berkali-kali ia beristighfar. Sebenarnya ia tak ingin berbohong, tapi ia terlalu takut dengan suasana seperti ini."Kok Tuan lagi? Panggil sayang saja, biar lebih akrab," bisik Arya membuat perut Laili seketika bergolak."Ha ha ha ... Tuan lucu!" Laili terbahak lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih.Cup"Kamu lebih lucu," balas Arya setelah mengecup cepat pipi sang istri muda. Laili mematung kembali, hatinya membuncah gembira s
Laili yang tadinya ingin berangkat naik ojek online, tetapi tidak jadi. Ririn bersikeras meminta Laili diantar oleh Arya, suami mereka. Karena memang sekolah Laili dan juga Doni tidak terlalu berjauhan, lagi pula searah dengan kantor Arya. Dengan berat hati, Laili akhirnya mengikuti saran Ririn. Sebenarnya bukan ia tak suka, ia hanya malu saja. Apalagi saat mengingat semalam Arya hampir saja mencium bibirnya."Kucing tetangga kita suka melamun lho, Bang. Eh, besokannya hamil," sindir Arya mengajak Doni berbicara. Tetapi matanya melirik Laili yang kini menahan senyum."Masa sih, Pa? Siapa yang hamilin?" tanya Doni dengan polosnya."Ya suaminya, masa Papa yang hamilin. Ha ha ha ha ..." Doni dan Arya terbahak, sedangkan Laili mati-matian menutup mulutnya agar tidak ikut terbahak."Laili.""Ya, Tuan.""Kamu sakit?""Nggak.""Kenapa diam saja?""Saya jatuh cinta."Ckkkkiiittt...."Allahu Akbar!" pekik Laili dan Dono yang k
"Assalamualaykum," ucap Laili di depan pintu dapur sambil membuka sepatu sekolahnya."Wa'alaykumussalam," jawab Ririn sambil menoleh pada Laili, yang pulang lebih cepat dari biasanya. Namun, yang lebih mengherankan dirinya, adalah keberadaan Arya, suami mereka yang juga datang bersama Laili."Saya ganti baju dulu, Nya," ujar Laili langsung naik ke lantai atas dengan wajah kusam."Mas, Laili kok bisa sama kamu? Kenapa dia pulang cepat?""Laili baru saja menampar teman lelakinya hingga tersungkur di lantai," terang Arya sambil merenggangkan ikatan dasinya."Hah? Laili menampar lelaki? Masa sih, Mas?" Ririn tersenyum tak percaya."Ya, itu kenyataannya. Maka dari itu, Papa dipanggil ke sekolah oleh wali kelasnya. Terus, Laili diminta pulang lebih dulu.""Oh, gitu. Terus, masalahnya selesai tidak? Laili tidak dituntutkan? Tahu sendiri wali murid jaman sekarang. Salah dikit aja, langsung lapor," omel Ririn yang merasa kasihan dengan Laili.
Ririn meneteskan air mata di depan suaminya saat ini. Kejadian yang baru saja ia saksikan dengan mata kepala sendiri, membuat ia begitu sedih dan cemburu. Bagaimana bisa suaminya malah berciuman di ruang makan dengan Laili? Meskipun mereka melakukannya dalam status sah, tetap saja hatinya sakit."Sudah, Ma. Jangan nangis terus!" bujuk Arya kini duduk di samping istrinya. Ririn menepis lengan sang suami yang baru saja hendak merangkul pundaknya. Arya menghela nafas gusar."Kenapa Papa harus berciuman dengan Laili? Secepat itu Papa bisa mencium wanita lain, selain Mama.""Ya Allah, Ma. Laili itu istri Papa juga. Mama yang suruh Papa nikahi Laili, tapi sekarang Mama terlihat tidak ikhlas, seakan Papa dan Laili berselingkuh," terang Arya sungguh-sungguh."Tapi Mama cemburu, Mama takut Papa diambil Laili, karena dia lebih muda, cantik, gesit pula. Tidak seperti Mama yang, hiks ....""Sudah-sudah, kita tidur saja. Jangan mudah suudzon