Keduanya masuk ke dalam selimut yang sama. Laili mengambil posisi terlentang menghadap langit-langit kamar. Sedangkan Arya, mengambil posisi miring ke kanan menghadap Laili. Lelaki ini sepertinya akan mempunyai mainan baru yang akan selalu membuat ia tertawa.
"Mau tidur kok kayak robot. Sini, lihat saya!" Arya menarik lengan baju kaus Laili, namun ditahan olehnya.
"Begini saja, Tuan. Saya biasa tidur terlentang. Kalau miring ke kanan atau ke kiri leher saya menjadi sakit," terang Laili berbohong. Dalam hati berkali-kali ia beristighfar. Sebenarnya ia tak ingin berbohong, tapi ia terlalu takut dengan suasana seperti ini.
"Kok Tuan lagi? Panggil sayang saja, biar lebih akrab," bisik Arya membuat perut Laili seketika bergolak.
"Ha ha ha ... Tuan lucu!" Laili terbahak lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih.
Cup
"Kamu lebih lucu," balas Arya setelah mengecup cepat pipi sang istri muda. Laili mematung kembali, hatinya membuncah gembira s
Laili yang tadinya ingin berangkat naik ojek online, tetapi tidak jadi. Ririn bersikeras meminta Laili diantar oleh Arya, suami mereka. Karena memang sekolah Laili dan juga Doni tidak terlalu berjauhan, lagi pula searah dengan kantor Arya. Dengan berat hati, Laili akhirnya mengikuti saran Ririn. Sebenarnya bukan ia tak suka, ia hanya malu saja. Apalagi saat mengingat semalam Arya hampir saja mencium bibirnya."Kucing tetangga kita suka melamun lho, Bang. Eh, besokannya hamil," sindir Arya mengajak Doni berbicara. Tetapi matanya melirik Laili yang kini menahan senyum."Masa sih, Pa? Siapa yang hamilin?" tanya Doni dengan polosnya."Ya suaminya, masa Papa yang hamilin. Ha ha ha ha ..." Doni dan Arya terbahak, sedangkan Laili mati-matian menutup mulutnya agar tidak ikut terbahak."Laili.""Ya, Tuan.""Kamu sakit?""Nggak.""Kenapa diam saja?""Saya jatuh cinta."Ckkkkiiittt...."Allahu Akbar!" pekik Laili dan Dono yang k
"Assalamualaykum," ucap Laili di depan pintu dapur sambil membuka sepatu sekolahnya."Wa'alaykumussalam," jawab Ririn sambil menoleh pada Laili, yang pulang lebih cepat dari biasanya. Namun, yang lebih mengherankan dirinya, adalah keberadaan Arya, suami mereka yang juga datang bersama Laili."Saya ganti baju dulu, Nya," ujar Laili langsung naik ke lantai atas dengan wajah kusam."Mas, Laili kok bisa sama kamu? Kenapa dia pulang cepat?""Laili baru saja menampar teman lelakinya hingga tersungkur di lantai," terang Arya sambil merenggangkan ikatan dasinya."Hah? Laili menampar lelaki? Masa sih, Mas?" Ririn tersenyum tak percaya."Ya, itu kenyataannya. Maka dari itu, Papa dipanggil ke sekolah oleh wali kelasnya. Terus, Laili diminta pulang lebih dulu.""Oh, gitu. Terus, masalahnya selesai tidak? Laili tidak dituntutkan? Tahu sendiri wali murid jaman sekarang. Salah dikit aja, langsung lapor," omel Ririn yang merasa kasihan dengan Laili.
Ririn meneteskan air mata di depan suaminya saat ini. Kejadian yang baru saja ia saksikan dengan mata kepala sendiri, membuat ia begitu sedih dan cemburu. Bagaimana bisa suaminya malah berciuman di ruang makan dengan Laili? Meskipun mereka melakukannya dalam status sah, tetap saja hatinya sakit."Sudah, Ma. Jangan nangis terus!" bujuk Arya kini duduk di samping istrinya. Ririn menepis lengan sang suami yang baru saja hendak merangkul pundaknya. Arya menghela nafas gusar."Kenapa Papa harus berciuman dengan Laili? Secepat itu Papa bisa mencium wanita lain, selain Mama.""Ya Allah, Ma. Laili itu istri Papa juga. Mama yang suruh Papa nikahi Laili, tapi sekarang Mama terlihat tidak ikhlas, seakan Papa dan Laili berselingkuh," terang Arya sungguh-sungguh."Tapi Mama cemburu, Mama takut Papa diambil Laili, karena dia lebih muda, cantik, gesit pula. Tidak seperti Mama yang, hiks ....""Sudah-sudah, kita tidur saja. Jangan mudah suudzon
Laili mendengar bahwa Arya pingsan dan sedang diperiksa oleh dokter. Membuat Laili dengan susah payah berjalan menghampiri kamar suaminya. Pintu sedikit terbuka, sayup-sayup suara wanita dari dalam kamar. Laili lebih memilih turun dengan jalan sedikit mengangkang."Kenapa kakinya, Neng?" tanya Bik Kokom, saat Laili berada di dapur hendak menuangkan air ke dalam gelas."Ini, haidnya banyak, Bik. Jadi mau jalan seperti biasa tidak nyaman," jawab Laili terpaksa berbohong."Oh, ya sudah. Saya mau ke atas dulu, bawakan ini buat Tuan." Bik Kokom memperlihatkan nampan yang di atasnya ada dua cangkir teh hangat."Biar saya saja, Bik. Sekalian saya naik." Laili mengambil nampan dari tangan Bik Kokom."Tumben rambutnya digerai, Neng? Cantikkan begini," komentar Bik Kokom sambil memegang ujung rambut Laili."Tadi pagi habis keramas, Bik. Belum benar-benar kering," jawab Laili dengan wajah malu."Oh, keramas. Mmm ... Masa sih? He he he ...." goda Bik Ko
Seharian ini, Ririn tidak keluar kamar. Ia menangis di dalam di dalam sana, sejak Laili dengan terpaksa mengakui kejadian yang dia alami bersama Arya, semalam. Laili yang tadinya bungkam, dipaksa untuk mengaku, apalagi melihat Laili memakai kalung emas mahal, tentu emosinya semakin memuncak. Kenapa suaminya harus membelikan Laili kalung yang hampir mirip dengan dirinya, hanya beda di liontin inisialnya saja. Hal itu yang membuat ia semakin sakit hati.Ia tidak menyangka, Arya bermain di belakangnya. Padahal jelas-jelas Arya berjanji untuk menggauli Laili setelah mendapat persetujuan darinya. Namun, malah ia kecolongan sendiri. Laili dan Suaminya berselingkuh. Itu kata hatinya. Sangat sulit mencoba ikhlas ternyata, berbagi suami dengan wanita lain. Apalagi madunya masih muda, cantik, dan energik.Tuk!Tuk!"Masuk."CekleekPintu kamar terbuka. Ada Doni di sana yang masuk sambil memegang ponselnya. Lekas Ririn menghapus air mata, sebelum anak lelakinya
Arya yang baru saja mendapat telepon dari Doni menjadi khawatir. Karena ponsel Laili tidak bisa dihubungi, begitu juga dengan ponsel Ririn. Arya kembali menelepon Doni agar ponselnya diberikan pada Ririn, tetapi Ririn tidak membukakan pintu untuk Doni. Bibik yang mengantar Laili sampai depan gerbang rumah, ikit bersedih. Ia masuk ke dalam sambil melihat Doni yang menggedor pintu kamar mamanya."Ada apa, Don?" tanya Bibik."Papa mau bicara sama Mama, tapi ga mau Mamanya," jawab Doni sambil menuruni anak tangga dengan cepat."Mana Teh Laili, Bik?""Udah pergi naik ojek dari depan," jawab Bik Kokom sedih."Aduh, kenapa tidak ditahan, Bik? Papa gak bolehin Teh Laili pergi." Doni berlari keluar rumah, tanpa memakai alas kaki ia mengejar Laili yang mungkin belum jauh. Kepala remaja itu menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan ada sosok yang ia cari. Namun sayang, tak ada siapapun di sana. Jalanan blok telah sepi. Hanya ada tiga orang lelaki tukang ojek yang m
"Sekarang, kamu harus bujuk istrimu. Jangan biarkan dia salah paham terlalu lama. Apalagi kondisi kesehatan Ririn belum baik. Ditambah sekarang, jatuh lagi. Baru aja Ibu dengar sudah bisa bergerak sedikit-sedikit. Eh, sekarang harus begini lagi," nasehat sang ibu untuk anaknya, Arya."Ririn cemburu terus lho, Bu. Padahal semua ini terjadi juga karena ide Ririn.""Lha, kamu setuju-setuju saja, toh. Apa lagi Ibu dengar udah nyawah sama Laili," wanita paruh baya itu mencebik."Ha ha ha .. Apa sih, Ibu? Nyawah apa lagi?" Arya terbahak, hingga membuat Dira membuka matanya."Eh, anak Papa sudah bangun. Mana yang sakit, Nak?" lekas Arya menggendong si bungsu. Sepulangnya dari Yogya, Arya memang langsung menuju rumah sakit, tempat Ririn dan Dira dirawat. Kamar perawatan Dira-lah yang pertama kali ia kunjungi. Apalagi, saat melewati kamar Ririn, istrinya itu tengah terlelap. Sehingga, Arya memutuskan untuk lebih dahulu menjenguk Dira.Lama ia bermain bersa
Laili sangat senang diajak berkeliling di dalam mal, apalagi hanya berduaan dengan sang suami. Tak hentinya Laili melirik sang suami yang terlihat tenang, tampan, dan bulu-bulu halus di atas bibirnya, tampak tumbuh malu-malu. Genggaman tangan keduanya juga tak terlepas, seakan ada magnet yang menempel pada jemari keduanya.Setelah lelah keliling dan membeli beberapa pernak-pernik rambut untuk dirinya dan juga Anes. Laili mulai merengek lapar. Sesuai janji Arya, dia mengajak Laili makan di restoran cepat saji. Ada ayam crispi, burger, minuman bersoda, es krim, dan juga kentang goreng untuk Laili. Sedangkan Arya hanya memesan kopi dan burger."Pa, jangan lupa belikan makanan juga untuk Nyonya, Anes, dan Doni," ujar Laili mengingatkan suaminya."Oh iya, Sayang. Untung kamu ingatkan." Arya mengusap sayang kepala Laili."Pa, mau selfi boleh, gak?""Boleh." Arya tersenyum senang, lalu menarik Laili mendekat padanya.CeklekP