Arya yang baru saja mendapat telepon dari Doni menjadi khawatir. Karena ponsel Laili tidak bisa dihubungi, begitu juga dengan ponsel Ririn. Arya kembali menelepon Doni agar ponselnya diberikan pada Ririn, tetapi Ririn tidak membukakan pintu untuk Doni. Bibik yang mengantar Laili sampai depan gerbang rumah, ikit bersedih. Ia masuk ke dalam sambil melihat Doni yang menggedor pintu kamar mamanya.
"Ada apa, Don?" tanya Bibik.
"Papa mau bicara sama Mama, tapi ga mau Mamanya," jawab Doni sambil menuruni anak tangga dengan cepat.
"Mana Teh Laili, Bik?"
"Udah pergi naik ojek dari depan," jawab Bik Kokom sedih.
"Aduh, kenapa tidak ditahan, Bik? Papa gak bolehin Teh Laili pergi." Doni berlari keluar rumah, tanpa memakai alas kaki ia mengejar Laili yang mungkin belum jauh. Kepala remaja itu menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan ada sosok yang ia cari. Namun sayang, tak ada siapapun di sana. Jalanan blok telah sepi. Hanya ada tiga orang lelaki tukang ojek yang m
"Sekarang, kamu harus bujuk istrimu. Jangan biarkan dia salah paham terlalu lama. Apalagi kondisi kesehatan Ririn belum baik. Ditambah sekarang, jatuh lagi. Baru aja Ibu dengar sudah bisa bergerak sedikit-sedikit. Eh, sekarang harus begini lagi," nasehat sang ibu untuk anaknya, Arya."Ririn cemburu terus lho, Bu. Padahal semua ini terjadi juga karena ide Ririn.""Lha, kamu setuju-setuju saja, toh. Apa lagi Ibu dengar udah nyawah sama Laili," wanita paruh baya itu mencebik."Ha ha ha .. Apa sih, Ibu? Nyawah apa lagi?" Arya terbahak, hingga membuat Dira membuka matanya."Eh, anak Papa sudah bangun. Mana yang sakit, Nak?" lekas Arya menggendong si bungsu. Sepulangnya dari Yogya, Arya memang langsung menuju rumah sakit, tempat Ririn dan Dira dirawat. Kamar perawatan Dira-lah yang pertama kali ia kunjungi. Apalagi, saat melewati kamar Ririn, istrinya itu tengah terlelap. Sehingga, Arya memutuskan untuk lebih dahulu menjenguk Dira.Lama ia bermain bersa
Laili sangat senang diajak berkeliling di dalam mal, apalagi hanya berduaan dengan sang suami. Tak hentinya Laili melirik sang suami yang terlihat tenang, tampan, dan bulu-bulu halus di atas bibirnya, tampak tumbuh malu-malu. Genggaman tangan keduanya juga tak terlepas, seakan ada magnet yang menempel pada jemari keduanya.Setelah lelah keliling dan membeli beberapa pernak-pernik rambut untuk dirinya dan juga Anes. Laili mulai merengek lapar. Sesuai janji Arya, dia mengajak Laili makan di restoran cepat saji. Ada ayam crispi, burger, minuman bersoda, es krim, dan juga kentang goreng untuk Laili. Sedangkan Arya hanya memesan kopi dan burger."Pa, jangan lupa belikan makanan juga untuk Nyonya, Anes, dan Doni," ujar Laili mengingatkan suaminya."Oh iya, Sayang. Untung kamu ingatkan." Arya mengusap sayang kepala Laili."Pa, mau selfi boleh, gak?""Boleh." Arya tersenyum senang, lalu menarik Laili mendekat padanya.CeklekP
Arya sedang mandi saat ponselnya kembali berkelap-kelip. Laili yang masih bergelung dalam selimut, akhirnya mengintip siapa penelepon suaminya.Sayang 1Kening Laili berkerut. Apa ini nama kontak Nyonya Ririn? Berarti kalau Nyonya Ririn sayang 1, maka dia sayang 2. Laili mengulum senyum memikirkannya. Wajahnya sudah bersemu merah kembali. Tidak apa sayang dua, yang penting sayang. He he he ..."Pa, ada telepon!" teriak Laili."Angkat saja, Sayang," jawab Arya yang tengah tanggung, karena perutnya mulas.[H-hallo, assalamualaykum][Saya Nyonya Ririn. Mana Mas Arya?][Eh, Nyonya. Mas Arya sedang mandi]Ririn kembali naik darah, tetapi coba ia menahannya. Suaminya pasti habis bermesraan dengan Laili, buktinya Arya sedang mandi saat ini.[Emangnya habis ngapain?][Eh, itu. Saya nyobain baju tidur baru yang tipis, Nya. Baju baru dibelikan Mas Arya. Pas saya kasih lihat, malah saya diajak bobar]Cerita Lail
"Papa.""Apa yang kalian bicarakan tentang Laili dan Arya?" tanya lelaki paruh baya itu pada istri dan juga puteri sulungnya."B-bicara apa, Pa? Papa salah dengar kali," sahut Bu Rosa sedikit canggung, bahkan ia tidak berani menatap wajah suaminya."Untung Papa yang dengar, bukan Arya. Kalau sampai Arya tahu rencana Mama dan Ririn, maka bisa jadi besok Ririn juga sudah janda. Dah, jangan macam-macam!" Pak Mulyono, papa dari Ririn yang ternyata baru saja masuk ke kamar perawatan anaknya. Karena dua wanita di dalam sana terlalu asik, sehingga tidak menyadari kehadirannya."Ma, anak itu diademin. Bukan dipanas-panasi," tegur Pak Mulyono pada istrinya."Kamu juga Ririn, harus kuat, sabar, dan menjalani takdir yang kamu buat untuk dirimu sendiri. Dipoligami ini pilihanmu, bukan Arya atau pun Laili. Ingat, Laili anak yatim piatu. Jangan sampai kamu dapat teguran lebih parah dari tak bisa berjalan."Ririn dan sang mama terdiam usai mendapat ce
"Mari, saya pamit ya, Om, Tante," pamit Suci pada Arya dan juga Ririn, setelah mereka bersalaman. Tak ada suara yang keluar dari bibir Ririn, bagai terkunci rapat. Suci dan lelaki yang bernama Salman pun berlalu dari hadapan mereka. Laili masih sempat melambaikan tangan pada Suci yang kini sudah di dalam mobil."Ayo, masuk!" ajak Arya sambil mendorong kursi roda Ririn."Iya, Pa. Duluan saja, saya tutup pagar dulu," sahut Laili sambil tersenyum manis dan tentu saja membuat Ririn jengah.Arya pun mendorong kursi roda Ririn masuk ke dalam, meninggalkan Laili yang masih sibuk menutup pintu pagar."Teteeeh!" pekik Anes senang sambil menghambur ke pelukan Laili."Aduh, adik Teteh. Kangen banget tahu gak?" Laili mencium gemmas pipi Anes."Teteh ke mana aja? Anes juga rindu."Anes menggelayut manja pada Laili."Teteh menginap di rumah teman.""Aku juga kangen, Teh. Apalagi PR aku banyak," sela Doni yang tiba-tiba muncul dari pintu
Laili hari ini tidak ke sekolah, karena memang sudah libur. Tinggal menunggu pengumuman kelulusan, sidik jari, kemudian pembagian ijazah. Tangannya mahir mengaduk nasi di dalam wajan untuk dibuat nasi goreng ikan teri. Menu sarapan kesukaan Arya dan juga Doni. Untuk Anes, Laili membuatkan bubur kacang hijau dengan potongan roti tawar di atasnya.Untunglah semalam, Arya tidak jadi tidur di kamarnya, karena kalau tidak, maka dijamin ia akan kesiangan saat ini. Suara langkah kaki perlahan turun dari lantai dua, Laili dapat melihat Arya sedang menuntun sang istri untuk turun dengan sangat hati-hati. Biasanya Arya akan menggendong Ririn, namun untuk melatih kaki Ririn agar terbiasa digerakkan, mulai hari ini, Ririn dituntun turun ke bawah."Laili, saya mau makan!" teriak Ririn saat punggungnya menyentuh sandaran kursi makan."Sebentar, Nya. Ini lagi disiapkan," jawab Laili dengan bergegas menuangkan nasi goreng ke dalam wadah. Bik Kokom membantu menatanya di atas
Dengan air mata yang menggenang, Laili sangat terpaksa meminum obat yang diberikan oleh Ririn. Perasaannya sungguh tak enak, apalagi terlihat raut puas saat dirinya menenggak obat tersebut. Bik Kokom di depan sana hanya bisa menggelengkan kepala tak percaya. Sungguh tega sekali majikannya memperlakukan Laili yang yatim piatu dengan semena-mena."Bagus. Sekarang kamu lanjutkan lagi pekerjaanmu dan jangan berhenti sebelum rumah rapi. Ingat itu!" Ririn pergi dari hadapan Laili menuju ruang televisi, sedangkan Laili memilih masuk ke kamar mandi, lalu mengunci pintunya. Kran air dinyalakan besar oleh Laili.BbuuaaarLaili membuang obat yang ia tahan di bawah lidahnya ke dalam closet. Ya, untung saja Laili mendapatkan ide untuk pura-pura menelan obat yang ia minum. Padahal ia menyimpan obat tersebut di bawah lidahnya. Rasa pahit yang mendera ia harus tahan, asal obat itu tidak sampai masuk ke dalam perutnya.Setelah tenang, Laili mematikan kran air, lalu ke r
"Tunggu sebentar, Ma. Jangan asal menuduh. Papa biar telepon Pak RT dan security komplek untuk bantu cari Anes. Tenang, Mama jangan panik," ujar Arya menenangkan Ririn."Tidak usah, Pa. Langsung lapor polisi saja. Papa selalu membela Laili, lihat dia jadi besar kepala. Kali ini Mama tidak akan ampuni. Masuklah kamu di penjara Laili!""Astaghfirulloh, ada apa ini?" Bu Warty yang baru turun dari ojek, kebingungan melihat Ririn membentak Laili dan akan membawa Laili ke kantor polisi."Lihat tuh, Bu. Menantu kesayangan Ibu bersekongkol dengan penculik, untuk menculik Anes. Hiks ....""Gak mungkin. Laili bagaimana bisa?""Saya lalai, Bu. Maaf, tadi saya ketemu teman, trus hiks ... Hiks ... Trus ... Anes duluan gowes sepedanya. Pas ... Hiks ... Saya susulin, udah ga ada. Bukan salah saya, Bu. Saya tidak menculik Anes. Astaghfirulloh, tolong percaya saya!" Laili mengiba luruh di lantai tanah, ia menangis sesegukan."Sudah, sudah. Ayo, kamu bangun d