"Papa."
"Apa yang kalian bicarakan tentang Laili dan Arya?" tanya lelaki paruh baya itu pada istri dan juga puteri sulungnya.
"B-bicara apa, Pa? Papa salah dengar kali," sahut Bu Rosa sedikit canggung, bahkan ia tidak berani menatap wajah suaminya.
"Untung Papa yang dengar, bukan Arya. Kalau sampai Arya tahu rencana Mama dan Ririn, maka bisa jadi besok Ririn juga sudah janda. Dah, jangan macam-macam!" Pak Mulyono, papa dari Ririn yang ternyata baru saja masuk ke kamar perawatan anaknya. Karena dua wanita di dalam sana terlalu asik, sehingga tidak menyadari kehadirannya.
"Ma, anak itu diademin. Bukan dipanas-panasi," tegur Pak Mulyono pada istrinya.
"Kamu juga Ririn, harus kuat, sabar, dan menjalani takdir yang kamu buat untuk dirimu sendiri. Dipoligami ini pilihanmu, bukan Arya atau pun Laili. Ingat, Laili anak yatim piatu. Jangan sampai kamu dapat teguran lebih parah dari tak bisa berjalan."
Ririn dan sang mama terdiam usai mendapat ce
"Mari, saya pamit ya, Om, Tante," pamit Suci pada Arya dan juga Ririn, setelah mereka bersalaman. Tak ada suara yang keluar dari bibir Ririn, bagai terkunci rapat. Suci dan lelaki yang bernama Salman pun berlalu dari hadapan mereka. Laili masih sempat melambaikan tangan pada Suci yang kini sudah di dalam mobil."Ayo, masuk!" ajak Arya sambil mendorong kursi roda Ririn."Iya, Pa. Duluan saja, saya tutup pagar dulu," sahut Laili sambil tersenyum manis dan tentu saja membuat Ririn jengah.Arya pun mendorong kursi roda Ririn masuk ke dalam, meninggalkan Laili yang masih sibuk menutup pintu pagar."Teteeeh!" pekik Anes senang sambil menghambur ke pelukan Laili."Aduh, adik Teteh. Kangen banget tahu gak?" Laili mencium gemmas pipi Anes."Teteh ke mana aja? Anes juga rindu."Anes menggelayut manja pada Laili."Teteh menginap di rumah teman.""Aku juga kangen, Teh. Apalagi PR aku banyak," sela Doni yang tiba-tiba muncul dari pintu
Laili hari ini tidak ke sekolah, karena memang sudah libur. Tinggal menunggu pengumuman kelulusan, sidik jari, kemudian pembagian ijazah. Tangannya mahir mengaduk nasi di dalam wajan untuk dibuat nasi goreng ikan teri. Menu sarapan kesukaan Arya dan juga Doni. Untuk Anes, Laili membuatkan bubur kacang hijau dengan potongan roti tawar di atasnya.Untunglah semalam, Arya tidak jadi tidur di kamarnya, karena kalau tidak, maka dijamin ia akan kesiangan saat ini. Suara langkah kaki perlahan turun dari lantai dua, Laili dapat melihat Arya sedang menuntun sang istri untuk turun dengan sangat hati-hati. Biasanya Arya akan menggendong Ririn, namun untuk melatih kaki Ririn agar terbiasa digerakkan, mulai hari ini, Ririn dituntun turun ke bawah."Laili, saya mau makan!" teriak Ririn saat punggungnya menyentuh sandaran kursi makan."Sebentar, Nya. Ini lagi disiapkan," jawab Laili dengan bergegas menuangkan nasi goreng ke dalam wadah. Bik Kokom membantu menatanya di atas
Dengan air mata yang menggenang, Laili sangat terpaksa meminum obat yang diberikan oleh Ririn. Perasaannya sungguh tak enak, apalagi terlihat raut puas saat dirinya menenggak obat tersebut. Bik Kokom di depan sana hanya bisa menggelengkan kepala tak percaya. Sungguh tega sekali majikannya memperlakukan Laili yang yatim piatu dengan semena-mena."Bagus. Sekarang kamu lanjutkan lagi pekerjaanmu dan jangan berhenti sebelum rumah rapi. Ingat itu!" Ririn pergi dari hadapan Laili menuju ruang televisi, sedangkan Laili memilih masuk ke kamar mandi, lalu mengunci pintunya. Kran air dinyalakan besar oleh Laili.BbuuaaarLaili membuang obat yang ia tahan di bawah lidahnya ke dalam closet. Ya, untung saja Laili mendapatkan ide untuk pura-pura menelan obat yang ia minum. Padahal ia menyimpan obat tersebut di bawah lidahnya. Rasa pahit yang mendera ia harus tahan, asal obat itu tidak sampai masuk ke dalam perutnya.Setelah tenang, Laili mematikan kran air, lalu ke r
"Tunggu sebentar, Ma. Jangan asal menuduh. Papa biar telepon Pak RT dan security komplek untuk bantu cari Anes. Tenang, Mama jangan panik," ujar Arya menenangkan Ririn."Tidak usah, Pa. Langsung lapor polisi saja. Papa selalu membela Laili, lihat dia jadi besar kepala. Kali ini Mama tidak akan ampuni. Masuklah kamu di penjara Laili!""Astaghfirulloh, ada apa ini?" Bu Warty yang baru turun dari ojek, kebingungan melihat Ririn membentak Laili dan akan membawa Laili ke kantor polisi."Lihat tuh, Bu. Menantu kesayangan Ibu bersekongkol dengan penculik, untuk menculik Anes. Hiks ....""Gak mungkin. Laili bagaimana bisa?""Saya lalai, Bu. Maaf, tadi saya ketemu teman, trus hiks ... Hiks ... Trus ... Anes duluan gowes sepedanya. Pas ... Hiks ... Saya susulin, udah ga ada. Bukan salah saya, Bu. Saya tidak menculik Anes. Astaghfirulloh, tolong percaya saya!" Laili mengiba luruh di lantai tanah, ia menangis sesegukan."Sudah, sudah. Ayo, kamu bangun d
25. Ririn jatuh tergulingRirin melemparkan bungkusan obat ke lantai, tepat di hadapan Laili dan suaminya."Apa ini, Ma?" Arya menurunkan pelan Laili, lalu membungkuk mengambil satu strip obat yang tergeletak di lantai."Wanita yang papa bucinin ini, bermain cantik di belakang. Lihatlah dia! Berani-beraninya minum pil KB agar tidak hamil anak Papa.""T-tidak." tubuh Laili kembali bergetar hebatYa Allah fitnah apa lagi ini?"Benar ini punya kamu Laili?" Arya menoleh pada istri mudanya yang masih terlihat lemas."Bukan, Pa. Laili malah ga tahu kalau itu obat apa," terang Laili sambil menggelengkan keras kepalanya."Bohong! Buktinya obat ini ada di kamar kamu. Di laci lemari," bohong Ririn mengarang cerita. Laili semakin sakit hati dan takut, dia tak punya tenaga untuk membantah, karena jujur saja, saat ini kepalanya pun masih berputar."Laili, saya tanya kamu. Benar kamu minum obat ini?""Saya membuangnya di
Ririn dilarikan ke rumah sakit setelah pingsan dengan darah mengalir banyak dari kepala belakangnya. Semua histeris kaget, terutama Doni yang baru saja akan turun mengambil susu. Bu Warti dan Bik Iyem bahkan hampir saja pingsan melihat darah berceceran di mana-mana. Wajah Arya menyeramkan, lelaki itu sangat ketakutan dengan darah yang terus saja mengalir tanpa henti. Jok mobil yang sudah basah oleh darah. Arya menutup pintu mobil, lalu melesat meninggalkan rumah untuk menuju rumah sakit terdekat.Mereka yang sibuk dengan kejadian menyeramkan Ririn, sampai lupa akan kehadiran Laili. Gadis itu berjalan dengan tatapan kosong, air mata tidak bisa keluar dari pelupuk matanya. Otaknya buntu, berjalan pun bagai tak menapak tanah.ByyuurrLaili menoleh saat mobil melewatinya dengan kencang, sehingga menyemburkan genangan air kotor sehabis hujan."Mas Arya," gumamnya sedih, saat mengetahui mobil siapa yang melewatinya. Hatinya begitu nyeri, bagai ter
Bu Gyta; wali kelas Laili hanya bisa memandang punggung Laili yang masih saja naik turun. Seharian ini, Laili hanya menangis dan menangis. Bahkan ia tidak mau makan, minum pun hanya sedikit sekali.Sejak tahu dirinya hamil, Laili murung. Entah apa yang dipikirkannya, hingga tak mau bersuara. Sedari tadi hanya meremas-remas perutnya dengan gemas, sambil sesegukan."Masih belum mau makan, Bu?" tanya perawat yang kebetulan visit pagi ini."Belum, Sus, sudah dari semalam," jawab Bu Gyta terlihat sedih."Kenapa tidak hubungi keluarganya saja?""Laili melarang saya, ada masalah keluarga, Sus.""Oh, ya sudah. Mbak Laili, dimakan buburnya ya, kasian bayinya," pesan suster pada Laili sebelum suster pamit keluar ruang perawatan sederhana."Saya lebih kasihan lagi kalau dia lahir, Sus. Mau saya kasih makan apa bayi saya? Mau di mana kami tinggal. Apa kami akan jadi gelandangan?" ujar Laili tiba-tiba membuat suster dan Bu Gyta menoleh."Kena
"Bagaimana keadaan Ririn, Ma?""Ya Allah, Arya. Kamu kenapa lama sekali?""Ponsel saya kecopetan, Ma. Setelah terima telepon dari Mama.""Itulah namanya kualat, menyia-nyiakan istri sah," omel Bu Rosa, sedangkan Arya hanya diam saja, tak menimpali ucapan mertuanya."Kata dokter bagaimana kondisi Ririn?" tanya Arya mengalihkan."Kata dokter, istri kamu gak boleh stres. Tadi langsung disuntik, makanya reda teriak-teriaknya dan sekarang bisa tidur.""Alhamdulillah, sukur deh Ma.""Cepat sana lihat Ririn! Mama mau ke kantin, lapar. Kamu mau Mama belikan makan?""Tidak usah, Ma. Nanti saja."Arya mendekat ke arah ranjang istrinya yang nampak terlelap. Arya mengusap rambut istrinya dengan perlahan, tak ada pergerakan dari Ririn, itu tandanya sang istri sangat lelap. Tak ingin membangunkan, Arya memutuskan berjalan menuju sofa. Ponsel Laili yang baru ia belikan, ternyata tertinggal di kamar Laili, sebelum ke rumah saki
Arya membaringkan pelan tubuh Laili di atas ranjang baru miliknya yang berukuran tidak terlalu besar. Lelaki itu sangat ingin menunaikan kewajibannya malam ini, tapi juga sangat gugup. Arya khawatir Laili merasa kaget sekaligus kesakitan. Apa yang harus ia lakukan nanti jika hal itu benar terjadi? Dengan tangan gemetar dan sesekali melirik pintu, Arya memiringkaan wajah Laili agar mendekat padanya. Detak jantung istri mudanya itu bahkan terdengar begitu jelas ke dalam indera pendengarannya. Pertanda Laili dan dirinya sama-sama gugup. “Kita harus belajar mencintai mulai hari ini,” bisik Arya tepat di depan bibir Laili. Embusan napas keduanya seakan berlomba bagaikan habis berlari jauh. Pelan dan hati-hati, Arya mendekatkan bibirnya ke bibir Laili yang masih tertutup rapat bagaikan dilem. Dikecupnya tipis, lalu dirasakannya tubuh istri mudanya yang sedikit terlonjak kaget. “Tak apa. Jangan takut. Ayo sini, lihat wajah saya,” bisik Arya mesra dengan
Pesta pernikahan Laili dan Arya berlangsung meriah. Banyak sanak-saudara berkumpul dan banyak juga teman sejawat. Ya, setelah dua bulan Laili melahirkan bayi kembarnya secara normal, Arya memberikan pesat pernikahan meriah untuk Laili. Berikut dengan status sebagai istri yang sah secara agama dan negara.Senyum lebar Laili terus saja mengembang di atas pelaminan sana. Dengan gaun pernikahan putih modern ala boneka, Laili tampil sangat cantik. Bahkan sang suami tak bisa berpaling dari melirik istri mudanya yang sangat cantik. Tak lupa dua bayi kembar mereka ikut berada di dalam keranjang bayi dihias begitu cantik, berdampingan dengan kursi pengantin.Banyak ucapan selamat, serta pujian yang tamu berikan pada Laili dan Arya. Tak elak lagi, Arya menjadi bulan-bulanan teman-teman seumurannya karena berhasil mendapatkan daun muda yang sangat cantik. Suasana meriah, mewah, serta ramah, begitu mengesankan bagi siapa saja yang menghadiri pernikahan Laili dan Arya. Banyak makan
Acara peresmian toko akseseoris Laili berjalan dengan lancar, walaupun hanya berlangsung selama satu jam. Bayi Maura dan Maira yang masih sangat kecil membuat Arya dan Laili tak mau berlama-lama di sana. Setelah potong pita dan makan cake bentuk jepitan rambut, mereka semua kembali ke rumah dengan hati senang. Laili bahkan tak henti melirik suaminya dengan tatapan penuh sukur.Mimpi apa ia kemarin, sehingga mendapat kejutan yang sangat istimewa dari suaminya. Kapan suaminya menyiapkannya? Padahal suaminya tak pernah lembur di luar semenjak ia melahirkan."Pa, terimakasih," ucapnya dengan mata kembali berkaca-kaca."Bunda sukakan?""Anes juga suka, Pa. Sukaa ... banget," potong Anes dengan seringai lebar. Di tangannya ia sedang memilin kunciran rambut motif hello kity."Kalau Bunda repot urus dedek bayi kembar, biar Anes yang di toko ya," ujar Anes dengan polosnya."He he he ... Mau ngapain Anes di toko?""M
"Pa, mau BAB ini!" rintih Laili yang kini sudah berbaring gelisah di brangkar kamar bersalin."Tahan, Sayang. Memang seperti itu, sabar ya." Arya berusaha menenangkan dengan mengusap rambut Laili dengan lembut."Uuh ... Pa, ini mau cepirit beneran!" Laili gelagapan dengan rasa mulas yang mirip seperti mulas ingin BAB."Pa." Keringat bercucuran dengan deras, membasahi kening dan lehernya, padahal ruangan bersalin memiliki pesnin pendingin ruangan yang cukup baik."Eeeemm ....""Jangan ngeden ya, Mbak. Masih pembukaan enam, sabar ya. Empat pembukaan lagi," terang suster sambil tersenyum."Sus, ini bukan mules mau lahiran kayaknya. Saya mau BAB beneran, Sus. Tolong! Masa saya BAB di sini? Pa, uuh ... Mules, Pa. Mau BAB beneran, Pa," rengek Laili kimi dengan derai air mata."Ssst ... Jangan buang tenaganya! Sabar, tahan sedikit lagi.""Papa sabar,sabar terus. Sini Papa aja yang gantiin, ih ... Orang sakit beneran ini. Pokokny
Arya masih terus memandangi wajah istrinya yang pucat pasi dengan luka di kening. Sudah tiga jam berlalu dan Laili belum sadar juga. Untunglah luka Laili tidak terlalu parah, hanya saja sepertinya Laili syok berat dengan kecelakaan yang menimpa dirinya dan juga Ririn. Kandungan Laili juga sudah di cek, kedua janinnya aman walau tadi sempat ada benguran cukup hebat.Keduanya ditabrak oleh motor yang dikemudikan oleh orang mabuk. Motor lelaki besar, menghantam kedua wanita itu hingga terpental. Jika Laili terpental ke trotoar, maka Ririn terpental hingga menubruk tiang listrik yang ada di seberang, dengan kondisi sekarang kritis. Pelaku penabrakan sudah digelandang ke kantor polisi dterdekat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya yang lalai, hingga mengakibatkan nyawa orang lain hampir melayang."Pa.""Ya Allah, alhamdulillah, Bunda udah sadar." Arya lega melihat Laili membuka mata."Haus, Pa," rengek Laili dan sigap Arya mengambilkan minum untuk istrin
Sehari pulang dari rumah sakit, Laili sudah benar-benar berdamai dengan suaminya dan sangat menikmati perannya sebagai istri dari Arya Jovan, apalagi saat pagi hari seperti ini. Entah dari mana datangnya, ataukah bawaan hamil semata. Untuk pertama kalinya, Laili memakaikan suaminya pakaian dalam, kaus, dan juga celana panjang, tak lupa memasang gesper sebagai pelengkap ketampanan pria dewasa.Mirip saat Laili memakaikan Anes baju, begitulah yang ia lakukan pada suaminya. Arya tak sedikit pun menolak, lelaki itu malah tertawa-tawa saat yang dilakukan Laili, menurutnya sangat konyol tapi mengasikkan. Yang lebih menggelikan lagi adalah, Arya dipakaikan minyak telon lengkap dengan bedak tabur. Mulai dari perut, dada, punggung, hingga leher. Sehingga harum Arya seperti harumnya Dira. Apa Arya protes? Tidak. Ia lebih mengikuti maunya Laili, dari pada istrinya stres dan berakibat fatal pada kandungannya."Dah, selesai," kata Laili sembari menepuk tangannya yang penuh de
Laili tidak banyak bersuara pagi ini. Dia masih merasa takut dengan suaminya. Sedangkan Arya sudah bersikap biasa saja dan dia tidak paham jika sang istri masih ketakutan dengan dirinya. Arya keluar dari kamar mandi dan mendapati kemeja kerja dan celana bahan warna hitam sudah ada di atas ranjang. Namun tidak ada istrinya di sana. Biasanya, Laili selalu bertanya, mau pakai kemeja apa hari ini. Namun pagi ini, Laili belum bicara apapun sejak bangun tidur.Arya memakai baju kerjanya dengan cepat, lalu berjalan keluar kamar, menghampiri Doni, Anes, dan juga Laili yang sudah siap di meja makan. Arya mengambil posisi di sebelah Doni, karena Laili memilih duduk di sebelah Anes. Biasanya, Laili selalu duduk di sampingnya."Ayo dimakan," katanya sambil tersenyum tipis penuh paksaan. Anes dan Doni menyendok sendiri sarapannya, setelah mereka selesai, baru Laili menyendokkan nasi untuk Arya dan juga untuknya. Doni memperhatikan Papa dan Bunda tirinya bergantian. Mulut Laili tert
"Assalamualaykum. Permisi, Nyonya," tegur Laili yang sudah berdiri di depan pintu. Alex dan Ririn melepas ciumannya, lalu terbelalak melihat Laili yang tergugu di depan pintu, dengan membawa tas pakaian."Wa'laykumussalam. Mari masuk Laili," ajak Alex, Laili menurut. Kakinya melangkah pelan masuk ke dalam kamar isolasi Dira."Dira bagaimana kabarnya, Nya?""Gak perlu kamu tahu! Mau apa kemari?" Laili terdiam saat Ririn masih saja bicara ketus padanya."Mau antar pakaian ganti Nyonya. Bau ketek nanti kalau gak ganti baju," terang Laili sambil menyerahkan tas jinjing berisi pakaian Ririn."Sudah selesaikan? Udah sana pergi!" usir Ririn."Iya, saya juga mau pergi. Gak mungkin saya mau gangguin yang pacaran," sahut Laili membuat Alex tertawa."Laili, kamu jangan bingung ya, saya memang akan menikahi Ririn setelah perceraiannya dengan Arya selesai. Kamu dengan Arya, aman. Saya pun dengan Ririn, aman. Begitukan, Sayang?"
Ririn menangis tersedu, saat Dira jatuh, kemudian pingsan. Berselang sepuluh menit, Dira sadar, kemudian Dira mengalami muntah-muntah dengan suhu tubuh kembali naik. Bayi itu kejang, hingga tiga kali. Membuat Laili ikut menangis sekaligus lemas. Ia tak sampai hati melihat Dira yang terbujur kaku di atas brangkar dengan jarum infus di punggung tangannya. Dira mengalami pendarahan dalam otaknya.Jangankan Laili, Arya pun ikut meneteskan air mata. Sungguh kasihan Dira jika memiliki ibu bertabiat tak baik seperti Ririn. Tidak, ini bukan Ririn, Arya bahkan tak mengenali sosok wanita yang pernah menjadi istrinya ini."Semua gara-gara kalian," lirih Ririn sambil menatap tajam Laili serta Arya."Apa maksudmu?" tanya Arya dengan suara tak suka."Seandainya wanita pelakor ini tak ikut-ikutan menggendong Dira, tentu anakku tak jadi seperti ini, hiks.""Sampai kapan Nyonya akan menyalahkan saya? Apa menunggu ada anggota keluarga yang merenggang nyawa? Se