Ririn dilarikan ke rumah sakit setelah pingsan dengan darah mengalir banyak dari kepala belakangnya. Semua histeris kaget, terutama Doni yang baru saja akan turun mengambil susu. Bu Warti dan Bik Iyem bahkan hampir saja pingsan melihat darah berceceran di mana-mana. Wajah Arya menyeramkan, lelaki itu sangat ketakutan dengan darah yang terus saja mengalir tanpa henti. Jok mobil yang sudah basah oleh darah. Arya menutup pintu mobil, lalu melesat meninggalkan rumah untuk menuju rumah sakit terdekat.
Mereka yang sibuk dengan kejadian menyeramkan Ririn, sampai lupa akan kehadiran Laili. Gadis itu berjalan dengan tatapan kosong, air mata tidak bisa keluar dari pelupuk matanya. Otaknya buntu, berjalan pun bagai tak menapak tanah.
Byyuurr
Laili menoleh saat mobil melewatinya dengan kencang, sehingga menyemburkan genangan air kotor sehabis hujan.
"Mas Arya," gumamnya sedih, saat mengetahui mobil siapa yang melewatinya. Hatinya begitu nyeri, bagai ter
Bu Gyta; wali kelas Laili hanya bisa memandang punggung Laili yang masih saja naik turun. Seharian ini, Laili hanya menangis dan menangis. Bahkan ia tidak mau makan, minum pun hanya sedikit sekali.Sejak tahu dirinya hamil, Laili murung. Entah apa yang dipikirkannya, hingga tak mau bersuara. Sedari tadi hanya meremas-remas perutnya dengan gemas, sambil sesegukan."Masih belum mau makan, Bu?" tanya perawat yang kebetulan visit pagi ini."Belum, Sus, sudah dari semalam," jawab Bu Gyta terlihat sedih."Kenapa tidak hubungi keluarganya saja?""Laili melarang saya, ada masalah keluarga, Sus.""Oh, ya sudah. Mbak Laili, dimakan buburnya ya, kasian bayinya," pesan suster pada Laili sebelum suster pamit keluar ruang perawatan sederhana."Saya lebih kasihan lagi kalau dia lahir, Sus. Mau saya kasih makan apa bayi saya? Mau di mana kami tinggal. Apa kami akan jadi gelandangan?" ujar Laili tiba-tiba membuat suster dan Bu Gyta menoleh."Kena
"Bagaimana keadaan Ririn, Ma?""Ya Allah, Arya. Kamu kenapa lama sekali?""Ponsel saya kecopetan, Ma. Setelah terima telepon dari Mama.""Itulah namanya kualat, menyia-nyiakan istri sah," omel Bu Rosa, sedangkan Arya hanya diam saja, tak menimpali ucapan mertuanya."Kata dokter bagaimana kondisi Ririn?" tanya Arya mengalihkan."Kata dokter, istri kamu gak boleh stres. Tadi langsung disuntik, makanya reda teriak-teriaknya dan sekarang bisa tidur.""Alhamdulillah, sukur deh Ma.""Cepat sana lihat Ririn! Mama mau ke kantin, lapar. Kamu mau Mama belikan makan?""Tidak usah, Ma. Nanti saja."Arya mendekat ke arah ranjang istrinya yang nampak terlelap. Arya mengusap rambut istrinya dengan perlahan, tak ada pergerakan dari Ririn, itu tandanya sang istri sangat lelap. Tak ingin membangunkan, Arya memutuskan berjalan menuju sofa. Ponsel Laili yang baru ia belikan, ternyata tertinggal di kamar Laili, sebelum ke rumah saki
"Mm ... Satu lagi ya, maaf ini Mama ya. Kamu jangan kaget.""Ada apa, Ma?""Kata Doni, ia melihat Ririn mematikan CCTV saat sore hari, lalu ia juga melihat Ririn yang membuang tubuh ke lantai, saat dituntun Laili.""Apa?!""Ririn jahat Arya, istri kamu mengerikan!""Gak mungkin, Bu. Doni pasti salah lihat." Arya menggeleng tidak percaya."Ck, anakmu itu bahkan menangis ketakutan, sekarang saja malas ke sekolah. Makanya, kamu harus segera sehat, Ya, biar bisa membereskan kerusuhan di rumah tangga kamu.""Apa Doni yakin Mamanya mematikan CCTV?""Kamu tanya saja. Mau Mama telepon?""Laporan CCTV yang mati ada di ponsel Doni, ponsel kamu yang hilang, dan juga ponsel Ririn'kan?""Iya, Bu. Ya Allah, tega sekali Ririn memfitnah Laili sampai seperti ini. Bahkan membahayakan nyawanya sendiri. Baru saja saya mau memisahkan Ririn dan Laili tidak satu rumah. Laili malah sudah benar-benar pergi," ujar Arya penuh pe
"Hei, apa yang kau lakukan pada Ririn?" seketika jantung Ririn berhenti berdetak, suara bariton di ujung sana sangat ia hapal."Mas Arya."Alex pun menoleh ke arah yang sama. Jujur jantungnya pun berdetak kencang, namun ia coba mengatur nafasnya agar tetap bersikap wajar."Ada apa? Siapa kamu?" Arya menghampiri keduanya, dengan berjalan masih dengan selang infus di tangannya."Saya mekanik rumah sakit, Pak. Sedang memeriksa lampu di kamar ini yang katanya selalu berkelap-kelip," kilah Alex memberi alasan.Mata Arya tak kunjung berpindah, ia masih fokus memperhatikan Alex dari ujung rambut sampai ujung kaki. Celana gunung dengan banyak kantong di sampingnya, memakai topi sewarna dengan celananya, tak lupa tas model weistbag yang ada di dadanya. Memang terlihat seperti seorang mekanik."Tumben sekali mekaniknya rapi," ujar Arya berkomentar."Terimakasih, Pak. Tadi saat saya akan mengecek, ibu ini berteriak sakit kepala, jadi saya bermaksud mem
Ada yang belum follow saya? Cuz, follow dulu sebelum baca ya.😍****"Doni, duduk!" titah Arya, Doni pun menurut."Sekarang, ceritakan yang sebenarnya terjadi pada Teh Laili! Benar kamu melihat Mama menonaktifkan CCTV pada hari itu? dan apa benar kamu lihat Mama yang melepas tangan dari Teh Laili?""Jawab jujur, Doni!""Mmm ... ia, Pa," jawab Doni santai."Bohong!" Bu Rosa dan Ririn berteriak menentang, membuat Doni dan Arya menoleh kaget ke arah keduanya."Tega sekali kamu memfitnah Mama, Doni, apa salah Mama sama kamu? hiks ...." Ririn memainkan perannya."Apa yang diberikan Laili pada kamu, Doni? Katakan!" Ririn berapi-api meneriaki Doni di depan orang banyak, membuat Doni menunduk takut."Doni jujur. Doni lihat Mama melepaskan tangan dari Teh Laili, lalu melemparkan tubuh Mama sendiri ke bawah," terang Doni dengan lancar, tetapi ia tidak berani mengangkat wajahnya."Astaghfirulloh, u
Arya menoleh pada istrinya, lalu berjalan mendekat. Ia mengkungkung Ririn di kursi rodanya, wajah keduanya begitu dekat, hingga nafas keduanya bisa terhirup ke indera penciuman mereka."A-ada apa, Pa?" tanya Ririn takut, karena wajah Arya memerah."Lelaki itu bukannya mekanik rumah sakit? Kenapa dia bisa ada di sini juga? Tidak mungkin sebuah kebetulankan? Ada hubungan apa kamu dengan lelaki itu? Katakan!""Mama gak t-tahu. Emangnya siapa lelaki itu?" Ririn kembali berlakon. Arya melepas kungkungannya, namun matanya tak lepas dari menatap Ririn dengan tajam."Jika sebuah keburukan yang ditutupi, suatu saat pasti baunya akan tercium," ujar Arya dengan ketus. Ia memelilih tidak memedulikan Ririn dan semua orang yang ada di sana. Jauh di lubuk hatinya, ia yakin, istri sahnya menutupi sesuatu dari dirinya.Ia akan mengetahuinya cepat atau lambat, sehingga Ririn tak bisa berkelit lagi. Sekali lagi Arya menatap Ririn, wanita yang menemaninya
"Bu, kenapa saya tidak dicari oleh suami saya, ya?" tanya Laili pada Bu Gyta saat mereka duduk di teras rumah sore hari."Sabar ya, mungkin saja nyonya majikan kamu masih sakit.""Oh,iya. Benar juga. Kalau jatuh dari tangga gitu, sebenarnya masih bisa hidup ya, Bu?" tanya Laili dengan polosnya."Ha ha ha ... Laili, kamu ada-ada saja pertanyaannya. Ya, bisa atuh. Umur, jodoh, rezeki, semua atas ketetapan Allah. Kalau kata Allah meninggal ya meninggal, tapi kalau kata Allah, umur panjang, ya tetap umur panjang.""Kamu ngarepnya mati ya. He he he ....""Fifti-fifti, Bu. He he he ... gaklah, Bu. Saya pengennya akur terus kayak orang-orang tuh. Kiwil pelawak aja istrinya sabar, nrimo sama madunya. Malah bisa berteman walau tak dekat.""Jarang ada yang seperti itu, namanya cinta terbagi, pasti akan sangat sakit hati. Coba sekarang Ibu tanya, kalau Pak Arya tiba-tiba menikah lagi
Arya mencoba menggedor pintu kamar Ririn, setelah mendengar lengkingan tangis Dira, yang tak kunjung reda dari dalam kamar. Dibantu Bik Kokom dan Bik Iyem, ketiganya berusaha mendobrak pintu kamar, namun sayang, pintu begitu koko sehingga tak dapat didobrak oleh ketiganya. Arya hanya bisa mendorong semampunya, karena tubuhnya masih lemas. Ditambah tenaga dua orang wanita paruh baya, tentulah susah mendobrak pintu kamar yang kokoh itu."Tuan, saya panggil security di depan ya," usul Bik Iyem."Cepat, Bik!" titah Arya dengan keringat sudah membanjiri wajah dan tubuhnya. Kepalanya seakan berputar-putar, hingga tubuhnya pun terhuyung ke belakang, membentur meja vas bunga.Bugh"Eh, Tuan. Ya, Allah. Gimana ini?" Bik Kokom bingung sendiri saat Arya kembali pingsan di lantai. Anes pun ikut berwajah panik, melihat sang papa pingsan, sedangkan di dalam kamar sana, adiknya menjerit nangis."Non, ambil minyak kayu putih, cepat!" pinta Bik Kokom pada