"Bu, kenapa saya tidak dicari oleh suami saya, ya?" tanya Laili pada Bu Gyta saat mereka duduk di teras rumah sore hari.
"Sabar ya, mungkin saja nyonya majikan kamu masih sakit."
"Oh,iya. Benar juga. Kalau jatuh dari tangga gitu, sebenarnya masih bisa hidup ya, Bu?" tanya Laili dengan polosnya.
"Ha ha ha ... Laili, kamu ada-ada saja pertanyaannya. Ya, bisa atuh. Umur, jodoh, rezeki, semua atas ketetapan Allah. Kalau kata Allah meninggal ya meninggal, tapi kalau kata Allah, umur panjang, ya tetap umur panjang."
"Kamu ngarepnya mati ya. He he he ...."
"Fifti-fifti, Bu. He he he ... gaklah, Bu. Saya pengennya akur terus kayak orang-orang tuh. Kiwil pelawak aja istrinya sabar, nrimo sama madunya. Malah bisa berteman walau tak dekat."
"Jarang ada yang seperti itu, namanya cinta terbagi, pasti akan sangat sakit hati. Coba sekarang Ibu tanya, kalau Pak Arya tiba-tiba menikah lagi
Arya mencoba menggedor pintu kamar Ririn, setelah mendengar lengkingan tangis Dira, yang tak kunjung reda dari dalam kamar. Dibantu Bik Kokom dan Bik Iyem, ketiganya berusaha mendobrak pintu kamar, namun sayang, pintu begitu koko sehingga tak dapat didobrak oleh ketiganya. Arya hanya bisa mendorong semampunya, karena tubuhnya masih lemas. Ditambah tenaga dua orang wanita paruh baya, tentulah susah mendobrak pintu kamar yang kokoh itu."Tuan, saya panggil security di depan ya," usul Bik Iyem."Cepat, Bik!" titah Arya dengan keringat sudah membanjiri wajah dan tubuhnya. Kepalanya seakan berputar-putar, hingga tubuhnya pun terhuyung ke belakang, membentur meja vas bunga.Bugh"Eh, Tuan. Ya, Allah. Gimana ini?" Bik Kokom bingung sendiri saat Arya kembali pingsan di lantai. Anes pun ikut berwajah panik, melihat sang papa pingsan, sedangkan di dalam kamar sana, adiknya menjerit nangis."Non, ambil minyak kayu putih, cepat!" pinta Bik Kokom pada
"Teteh!" teriak Anes memanggil nama Laili sambil berlari menghampirinya. Arya melotot kaget, begitu juga dengan Bik Kokom yang melihat Laili dengan mata berkaca-kaca."Laili, benar itu kamu?" lirih Arya dengan kepala semakin berputar. Baru akan melangkah menghampiri Laili dan Anes, tubuh Arya limbung dan ia pingsan.Bugh"Papa!" teriak Laili menghampiri suaminya yang terbaring lemah di aspal jalan. Dengan dibantu oleh dua orang sopir taksi, Arya akhirnya bisa dibawa masuk ke dalam kamar yang memang sudah ia siapkan menjadi kamarnya. Semua barang juga sudah dimasukkan ke dalam kamar anak-anak. Bik Kokom pun sudah bertugas di dapur, membuatkan teh untuk Arya dan Laili."Yakin, ini kamar Pak Arya?" tanya Laili pada Bik Kokom yang masuk ke dalam kamar sambil membawa teh."Yakin, Non. He he he ....""Kok, kamarnya seperti kamar anak perempuan? Pink semua lagi, lucu banget," puji Laili sambil tak henti matamya menjelajah ke seluruh
"Doni, ada apa?" tanya Laili saat Doni kembali ke rumah dengan kesal, bahkan Doni tidak mengucapkan salam saat masuk. Lekas Laili menaruh sayur asem yang baru saja ia masak ke dalam mangkuk, lalu berjalan menyusul ke kamar Doni."Doni, ini Teteh. Kamu kenapa?""Hiks ... hiks ...." terdengar suara isak tangis dari dalam kamar Doni, membuat Laili semakin khawatir. Sepanjang ia tinggal bersama Doni, tidak pernah ia melihat Doni menangis seperti ini. Tangisan penuh kesal.BughBughTerdengar suara benda dilempar oleh Doni ke segala penjuru di kamar."Doni, buka pintunya, De. Cerita sama Teteh," bujuk Laili masih dengan rasa sabar. Tangannya turun ke perut, ia usap lembut sambil berucap dalam hati, "kalau ngambek, jangan kayak Mas Doni, ya De.""Doni, buka ya.""Gak mau!" jawab Doni sambil berteriak, membuat Laili tersentak."Ya sudah, puasin dulu nangisnya ya. Kalau sudah kenyang nangis, buka pintunya. Kita bicara," uja
Selamat membaca.****"Beneran gak papa ke dokter, Pa?" tanya Laili pada suaminya yang kini sedang menyetir, menuju rumah RSIA Kembang."Ya gak papa, malah harus. Papa mau lihat yang di dalam sini kayak apa." Arya mengusap perut istrinya dengan lembut, kemudian tangannya pindah ke pipi Laili."Masa anak kecil bisa punya anak kecil ya, Pa.""Ha ha ha ...." keduanya tergelak."Jadi, kuliahnya setelah bayi kembar lahir saja ya. Mereka usia dua tahun, kamu baru kuliah.""Masa manggilnya gitu, Pa. Laili pernah lihat berita di media sosial, ada anak SD sama pacarnya manggil ayah bunda, ada yang umi abi. Masa papa yang hampir udzur manggilnya, kamu." Laili cemberut, namun kemudian menyeringai lebar."Belum uzur, Sayang. Masih tiga puluh sembilan tahun," bantah Arya tak siap jika dibilang uzur."Ha ha ha ... OTW uzur ya, Pa, he he ...." Laili kembali tertawa lepas, membuat sang suami semakin jatuh cinta rasanya."Bahagia
"Ririn! Allahu Akbar!" pekik Arya dengan melotot kaget saat melihat Laili terhuyung hampir saja terbentur tiang penyangga yang berada di dekatnya.HapCepat Arya menangkap tubuh Laili agar tidak jatuh, menahannya dengan satu tangan. Wajahnya memerah karena menahan amarah. Laili menangis, rasa perih di kedua sudut bibirnya membuat air matanya semakin deras mengalir."Maafkan Papa lama ya, Sayang," ujar Arya iba memandang wajah Laili yang kesakitan, dengan setitik luka berdarah di sudut bibirnya."Kamu!" Arya menahan geram pada Ririn, namun Laili mengusap dada suaminya, kemudian menggeleng."Dari pada meladeni wanita yang patah hati, mending gendong Bunda, Pa! Udah dipanggil dokter tuh, kita lihat dede bayi KITA," rengek Laili manja dengan ekor mata melirik Ririn yang membuang wajah. Sigap Arya menggendong Laili alabridal,lalu membawanya masuk ke ruang praktek dokter kandungan. Tanpa memedulikan Ririn yang te
Flash back"Doni! Berhenti!" teriak Ririn berjalan cepat ke halaman rumah, bermaksud mengejar Doni."Biar aku yang susul," potong Alex cepat, kemudian segera berlalu dari hadapan Ririn."Hati-hati, Lex. Doni baru selesai operasi!" teriak Rirun sebelum Alex benar-benar hilang di balik pagar.Doni tidak berlari, ia hanya berjalan cepat saja. Itu pun sudah menyebabkan kepalanya yang sudah tak sakit lagi, menjadi kembali nyeri. Sambil memegang kepala belakangnya, Doni terus saja berjalan cepay, tanpa menoleh ke belakang. Ia tidak kenal dengan suara lelaki yang memanggilnya. Mata Doni masih sibuk mencari di mana keberadaan tukang ojek yang biasanya mangkal tak jauh dari rumahnya."Doni, tunggu!" akhirnya Alex berhasil menahan lengan Doni, menghentikan langkah ABG itu. Doni berbalik, memandang Alex dengan penuh kebencian."Om siapa?" tanya Doni."Saya Alex, ayah kamu.""Ck, ha ha ha ... Apa lagi ini? Ngaco!" Doni mengi
Tanpa memedulikan apa yang Laili perbuat di dalam rumahnya, Ririn memilih masuk ke dalam mobil dan duduk di depan, tepat di samping kursi kemudi. Dalam hati ia tertawa senang. Arya yang menggendong Dira, akhirnya memberikannya pada Ririn, setelah memastikan Ririn duduk dengan nyaman. Laili mengunci pintu rumah, sambil membawa tas perlengkapan Dira, hal yang dilupakan oleh Ririn yang notabene sudah melahirkan tiga kali."Pintarnya istriku, bawain tas Dira," puji Arya saat Laili masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang. Apa Laili iri melihat Ririn duduk di samping suaminya? Sama sekali tidak. Laili cuek saja, sambil memandang jalanan yang sudah lengang."Sama-sama, Sayang," jawab Laili sambil mengecup pipi Arya."Lebay," sindir Ririn melirik keduanya."He he he ... Gak papa lebay sama suami sendiri, daripada sama suami orang," balas Laili sambil menyeringai.Ririn memutar bola mata malasnya, adegan demi adegan, ucapan demi ucapan Arya d
Ririn menangis tersedu, saat Dira jatuh, kemudian pingsan. Berselang sepuluh menit, Dira sadar, kemudian Dira mengalami muntah-muntah dengan suhu tubuh kembali naik. Bayi itu kejang, hingga tiga kali. Membuat Laili ikut menangis sekaligus lemas. Ia tak sampai hati melihat Dira yang terbujur kaku di atas brangkar dengan jarum infus di punggung tangannya. Dira mengalami pendarahan dalam otaknya.Jangankan Laili, Arya pun ikut meneteskan air mata. Sungguh kasihan Dira jika memiliki ibu bertabiat tak baik seperti Ririn. Tidak, ini bukan Ririn, Arya bahkan tak mengenali sosok wanita yang pernah menjadi istrinya ini."Semua gara-gara kalian," lirih Ririn sambil menatap tajam Laili serta Arya."Apa maksudmu?" tanya Arya dengan suara tak suka."Seandainya wanita pelakor ini tak ikut-ikutan menggendong Dira, tentu anakku tak jadi seperti ini, hiks.""Sampai kapan Nyonya akan menyalahkan saya? Apa menunggu ada anggota keluarga yang merenggang nyawa? Se
Arya membaringkan pelan tubuh Laili di atas ranjang baru miliknya yang berukuran tidak terlalu besar. Lelaki itu sangat ingin menunaikan kewajibannya malam ini, tapi juga sangat gugup. Arya khawatir Laili merasa kaget sekaligus kesakitan. Apa yang harus ia lakukan nanti jika hal itu benar terjadi? Dengan tangan gemetar dan sesekali melirik pintu, Arya memiringkaan wajah Laili agar mendekat padanya. Detak jantung istri mudanya itu bahkan terdengar begitu jelas ke dalam indera pendengarannya. Pertanda Laili dan dirinya sama-sama gugup. “Kita harus belajar mencintai mulai hari ini,” bisik Arya tepat di depan bibir Laili. Embusan napas keduanya seakan berlomba bagaikan habis berlari jauh. Pelan dan hati-hati, Arya mendekatkan bibirnya ke bibir Laili yang masih tertutup rapat bagaikan dilem. Dikecupnya tipis, lalu dirasakannya tubuh istri mudanya yang sedikit terlonjak kaget. “Tak apa. Jangan takut. Ayo sini, lihat wajah saya,” bisik Arya mesra dengan
Pesta pernikahan Laili dan Arya berlangsung meriah. Banyak sanak-saudara berkumpul dan banyak juga teman sejawat. Ya, setelah dua bulan Laili melahirkan bayi kembarnya secara normal, Arya memberikan pesat pernikahan meriah untuk Laili. Berikut dengan status sebagai istri yang sah secara agama dan negara.Senyum lebar Laili terus saja mengembang di atas pelaminan sana. Dengan gaun pernikahan putih modern ala boneka, Laili tampil sangat cantik. Bahkan sang suami tak bisa berpaling dari melirik istri mudanya yang sangat cantik. Tak lupa dua bayi kembar mereka ikut berada di dalam keranjang bayi dihias begitu cantik, berdampingan dengan kursi pengantin.Banyak ucapan selamat, serta pujian yang tamu berikan pada Laili dan Arya. Tak elak lagi, Arya menjadi bulan-bulanan teman-teman seumurannya karena berhasil mendapatkan daun muda yang sangat cantik. Suasana meriah, mewah, serta ramah, begitu mengesankan bagi siapa saja yang menghadiri pernikahan Laili dan Arya. Banyak makan
Acara peresmian toko akseseoris Laili berjalan dengan lancar, walaupun hanya berlangsung selama satu jam. Bayi Maura dan Maira yang masih sangat kecil membuat Arya dan Laili tak mau berlama-lama di sana. Setelah potong pita dan makan cake bentuk jepitan rambut, mereka semua kembali ke rumah dengan hati senang. Laili bahkan tak henti melirik suaminya dengan tatapan penuh sukur.Mimpi apa ia kemarin, sehingga mendapat kejutan yang sangat istimewa dari suaminya. Kapan suaminya menyiapkannya? Padahal suaminya tak pernah lembur di luar semenjak ia melahirkan."Pa, terimakasih," ucapnya dengan mata kembali berkaca-kaca."Bunda sukakan?""Anes juga suka, Pa. Sukaa ... banget," potong Anes dengan seringai lebar. Di tangannya ia sedang memilin kunciran rambut motif hello kity."Kalau Bunda repot urus dedek bayi kembar, biar Anes yang di toko ya," ujar Anes dengan polosnya."He he he ... Mau ngapain Anes di toko?""M
"Pa, mau BAB ini!" rintih Laili yang kini sudah berbaring gelisah di brangkar kamar bersalin."Tahan, Sayang. Memang seperti itu, sabar ya." Arya berusaha menenangkan dengan mengusap rambut Laili dengan lembut."Uuh ... Pa, ini mau cepirit beneran!" Laili gelagapan dengan rasa mulas yang mirip seperti mulas ingin BAB."Pa." Keringat bercucuran dengan deras, membasahi kening dan lehernya, padahal ruangan bersalin memiliki pesnin pendingin ruangan yang cukup baik."Eeeemm ....""Jangan ngeden ya, Mbak. Masih pembukaan enam, sabar ya. Empat pembukaan lagi," terang suster sambil tersenyum."Sus, ini bukan mules mau lahiran kayaknya. Saya mau BAB beneran, Sus. Tolong! Masa saya BAB di sini? Pa, uuh ... Mules, Pa. Mau BAB beneran, Pa," rengek Laili kimi dengan derai air mata."Ssst ... Jangan buang tenaganya! Sabar, tahan sedikit lagi.""Papa sabar,sabar terus. Sini Papa aja yang gantiin, ih ... Orang sakit beneran ini. Pokokny
Arya masih terus memandangi wajah istrinya yang pucat pasi dengan luka di kening. Sudah tiga jam berlalu dan Laili belum sadar juga. Untunglah luka Laili tidak terlalu parah, hanya saja sepertinya Laili syok berat dengan kecelakaan yang menimpa dirinya dan juga Ririn. Kandungan Laili juga sudah di cek, kedua janinnya aman walau tadi sempat ada benguran cukup hebat.Keduanya ditabrak oleh motor yang dikemudikan oleh orang mabuk. Motor lelaki besar, menghantam kedua wanita itu hingga terpental. Jika Laili terpental ke trotoar, maka Ririn terpental hingga menubruk tiang listrik yang ada di seberang, dengan kondisi sekarang kritis. Pelaku penabrakan sudah digelandang ke kantor polisi dterdekat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya yang lalai, hingga mengakibatkan nyawa orang lain hampir melayang."Pa.""Ya Allah, alhamdulillah, Bunda udah sadar." Arya lega melihat Laili membuka mata."Haus, Pa," rengek Laili dan sigap Arya mengambilkan minum untuk istrin
Sehari pulang dari rumah sakit, Laili sudah benar-benar berdamai dengan suaminya dan sangat menikmati perannya sebagai istri dari Arya Jovan, apalagi saat pagi hari seperti ini. Entah dari mana datangnya, ataukah bawaan hamil semata. Untuk pertama kalinya, Laili memakaikan suaminya pakaian dalam, kaus, dan juga celana panjang, tak lupa memasang gesper sebagai pelengkap ketampanan pria dewasa.Mirip saat Laili memakaikan Anes baju, begitulah yang ia lakukan pada suaminya. Arya tak sedikit pun menolak, lelaki itu malah tertawa-tawa saat yang dilakukan Laili, menurutnya sangat konyol tapi mengasikkan. Yang lebih menggelikan lagi adalah, Arya dipakaikan minyak telon lengkap dengan bedak tabur. Mulai dari perut, dada, punggung, hingga leher. Sehingga harum Arya seperti harumnya Dira. Apa Arya protes? Tidak. Ia lebih mengikuti maunya Laili, dari pada istrinya stres dan berakibat fatal pada kandungannya."Dah, selesai," kata Laili sembari menepuk tangannya yang penuh de
Laili tidak banyak bersuara pagi ini. Dia masih merasa takut dengan suaminya. Sedangkan Arya sudah bersikap biasa saja dan dia tidak paham jika sang istri masih ketakutan dengan dirinya. Arya keluar dari kamar mandi dan mendapati kemeja kerja dan celana bahan warna hitam sudah ada di atas ranjang. Namun tidak ada istrinya di sana. Biasanya, Laili selalu bertanya, mau pakai kemeja apa hari ini. Namun pagi ini, Laili belum bicara apapun sejak bangun tidur.Arya memakai baju kerjanya dengan cepat, lalu berjalan keluar kamar, menghampiri Doni, Anes, dan juga Laili yang sudah siap di meja makan. Arya mengambil posisi di sebelah Doni, karena Laili memilih duduk di sebelah Anes. Biasanya, Laili selalu duduk di sampingnya."Ayo dimakan," katanya sambil tersenyum tipis penuh paksaan. Anes dan Doni menyendok sendiri sarapannya, setelah mereka selesai, baru Laili menyendokkan nasi untuk Arya dan juga untuknya. Doni memperhatikan Papa dan Bunda tirinya bergantian. Mulut Laili tert
"Assalamualaykum. Permisi, Nyonya," tegur Laili yang sudah berdiri di depan pintu. Alex dan Ririn melepas ciumannya, lalu terbelalak melihat Laili yang tergugu di depan pintu, dengan membawa tas pakaian."Wa'laykumussalam. Mari masuk Laili," ajak Alex, Laili menurut. Kakinya melangkah pelan masuk ke dalam kamar isolasi Dira."Dira bagaimana kabarnya, Nya?""Gak perlu kamu tahu! Mau apa kemari?" Laili terdiam saat Ririn masih saja bicara ketus padanya."Mau antar pakaian ganti Nyonya. Bau ketek nanti kalau gak ganti baju," terang Laili sambil menyerahkan tas jinjing berisi pakaian Ririn."Sudah selesaikan? Udah sana pergi!" usir Ririn."Iya, saya juga mau pergi. Gak mungkin saya mau gangguin yang pacaran," sahut Laili membuat Alex tertawa."Laili, kamu jangan bingung ya, saya memang akan menikahi Ririn setelah perceraiannya dengan Arya selesai. Kamu dengan Arya, aman. Saya pun dengan Ririn, aman. Begitukan, Sayang?"
Ririn menangis tersedu, saat Dira jatuh, kemudian pingsan. Berselang sepuluh menit, Dira sadar, kemudian Dira mengalami muntah-muntah dengan suhu tubuh kembali naik. Bayi itu kejang, hingga tiga kali. Membuat Laili ikut menangis sekaligus lemas. Ia tak sampai hati melihat Dira yang terbujur kaku di atas brangkar dengan jarum infus di punggung tangannya. Dira mengalami pendarahan dalam otaknya.Jangankan Laili, Arya pun ikut meneteskan air mata. Sungguh kasihan Dira jika memiliki ibu bertabiat tak baik seperti Ririn. Tidak, ini bukan Ririn, Arya bahkan tak mengenali sosok wanita yang pernah menjadi istrinya ini."Semua gara-gara kalian," lirih Ririn sambil menatap tajam Laili serta Arya."Apa maksudmu?" tanya Arya dengan suara tak suka."Seandainya wanita pelakor ini tak ikut-ikutan menggendong Dira, tentu anakku tak jadi seperti ini, hiks.""Sampai kapan Nyonya akan menyalahkan saya? Apa menunggu ada anggota keluarga yang merenggang nyawa? Se