"Doni, ada apa?" tanya Laili saat Doni kembali ke rumah dengan kesal, bahkan Doni tidak mengucapkan salam saat masuk. Lekas Laili menaruh sayur asem yang baru saja ia masak ke dalam mangkuk, lalu berjalan menyusul ke kamar Doni.
"Doni, ini Teteh. Kamu kenapa?""Hiks ... hiks ...." terdengar suara isak tangis dari dalam kamar Doni, membuat Laili semakin khawatir. Sepanjang ia tinggal bersama Doni, tidak pernah ia melihat Doni menangis seperti ini. Tangisan penuh kesal.BughBughTerdengar suara benda dilempar oleh Doni ke segala penjuru di kamar."Doni, buka pintunya, De. Cerita sama Teteh," bujuk Laili masih dengan rasa sabar. Tangannya turun ke perut, ia usap lembut sambil berucap dalam hati, "kalau ngambek, jangan kayak Mas Doni, ya De.""Doni, buka ya.""Gak mau!" jawab Doni sambil berteriak, membuat Laili tersentak."Ya sudah, puasin dulu nangisnya ya. Kalau sudah kenyang nangis, buka pintunya. Kita bicara," ujaSelamat membaca.****"Beneran gak papa ke dokter, Pa?" tanya Laili pada suaminya yang kini sedang menyetir, menuju rumah RSIA Kembang."Ya gak papa, malah harus. Papa mau lihat yang di dalam sini kayak apa." Arya mengusap perut istrinya dengan lembut, kemudian tangannya pindah ke pipi Laili."Masa anak kecil bisa punya anak kecil ya, Pa.""Ha ha ha ...." keduanya tergelak."Jadi, kuliahnya setelah bayi kembar lahir saja ya. Mereka usia dua tahun, kamu baru kuliah.""Masa manggilnya gitu, Pa. Laili pernah lihat berita di media sosial, ada anak SD sama pacarnya manggil ayah bunda, ada yang umi abi. Masa papa yang hampir udzur manggilnya, kamu." Laili cemberut, namun kemudian menyeringai lebar."Belum uzur, Sayang. Masih tiga puluh sembilan tahun," bantah Arya tak siap jika dibilang uzur."Ha ha ha ... OTW uzur ya, Pa, he he ...." Laili kembali tertawa lepas, membuat sang suami semakin jatuh cinta rasanya."Bahagia
"Ririn! Allahu Akbar!" pekik Arya dengan melotot kaget saat melihat Laili terhuyung hampir saja terbentur tiang penyangga yang berada di dekatnya.HapCepat Arya menangkap tubuh Laili agar tidak jatuh, menahannya dengan satu tangan. Wajahnya memerah karena menahan amarah. Laili menangis, rasa perih di kedua sudut bibirnya membuat air matanya semakin deras mengalir."Maafkan Papa lama ya, Sayang," ujar Arya iba memandang wajah Laili yang kesakitan, dengan setitik luka berdarah di sudut bibirnya."Kamu!" Arya menahan geram pada Ririn, namun Laili mengusap dada suaminya, kemudian menggeleng."Dari pada meladeni wanita yang patah hati, mending gendong Bunda, Pa! Udah dipanggil dokter tuh, kita lihat dede bayi KITA," rengek Laili manja dengan ekor mata melirik Ririn yang membuang wajah. Sigap Arya menggendong Laili alabridal,lalu membawanya masuk ke ruang praktek dokter kandungan. Tanpa memedulikan Ririn yang te
Flash back"Doni! Berhenti!" teriak Ririn berjalan cepat ke halaman rumah, bermaksud mengejar Doni."Biar aku yang susul," potong Alex cepat, kemudian segera berlalu dari hadapan Ririn."Hati-hati, Lex. Doni baru selesai operasi!" teriak Rirun sebelum Alex benar-benar hilang di balik pagar.Doni tidak berlari, ia hanya berjalan cepat saja. Itu pun sudah menyebabkan kepalanya yang sudah tak sakit lagi, menjadi kembali nyeri. Sambil memegang kepala belakangnya, Doni terus saja berjalan cepay, tanpa menoleh ke belakang. Ia tidak kenal dengan suara lelaki yang memanggilnya. Mata Doni masih sibuk mencari di mana keberadaan tukang ojek yang biasanya mangkal tak jauh dari rumahnya."Doni, tunggu!" akhirnya Alex berhasil menahan lengan Doni, menghentikan langkah ABG itu. Doni berbalik, memandang Alex dengan penuh kebencian."Om siapa?" tanya Doni."Saya Alex, ayah kamu.""Ck, ha ha ha ... Apa lagi ini? Ngaco!" Doni mengi
Tanpa memedulikan apa yang Laili perbuat di dalam rumahnya, Ririn memilih masuk ke dalam mobil dan duduk di depan, tepat di samping kursi kemudi. Dalam hati ia tertawa senang. Arya yang menggendong Dira, akhirnya memberikannya pada Ririn, setelah memastikan Ririn duduk dengan nyaman. Laili mengunci pintu rumah, sambil membawa tas perlengkapan Dira, hal yang dilupakan oleh Ririn yang notabene sudah melahirkan tiga kali."Pintarnya istriku, bawain tas Dira," puji Arya saat Laili masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang. Apa Laili iri melihat Ririn duduk di samping suaminya? Sama sekali tidak. Laili cuek saja, sambil memandang jalanan yang sudah lengang."Sama-sama, Sayang," jawab Laili sambil mengecup pipi Arya."Lebay," sindir Ririn melirik keduanya."He he he ... Gak papa lebay sama suami sendiri, daripada sama suami orang," balas Laili sambil menyeringai.Ririn memutar bola mata malasnya, adegan demi adegan, ucapan demi ucapan Arya d
Ririn menangis tersedu, saat Dira jatuh, kemudian pingsan. Berselang sepuluh menit, Dira sadar, kemudian Dira mengalami muntah-muntah dengan suhu tubuh kembali naik. Bayi itu kejang, hingga tiga kali. Membuat Laili ikut menangis sekaligus lemas. Ia tak sampai hati melihat Dira yang terbujur kaku di atas brangkar dengan jarum infus di punggung tangannya. Dira mengalami pendarahan dalam otaknya.Jangankan Laili, Arya pun ikut meneteskan air mata. Sungguh kasihan Dira jika memiliki ibu bertabiat tak baik seperti Ririn. Tidak, ini bukan Ririn, Arya bahkan tak mengenali sosok wanita yang pernah menjadi istrinya ini."Semua gara-gara kalian," lirih Ririn sambil menatap tajam Laili serta Arya."Apa maksudmu?" tanya Arya dengan suara tak suka."Seandainya wanita pelakor ini tak ikut-ikutan menggendong Dira, tentu anakku tak jadi seperti ini, hiks.""Sampai kapan Nyonya akan menyalahkan saya? Apa menunggu ada anggota keluarga yang merenggang nyawa? Se
"Assalamualaykum. Permisi, Nyonya," tegur Laili yang sudah berdiri di depan pintu. Alex dan Ririn melepas ciumannya, lalu terbelalak melihat Laili yang tergugu di depan pintu, dengan membawa tas pakaian."Wa'laykumussalam. Mari masuk Laili," ajak Alex, Laili menurut. Kakinya melangkah pelan masuk ke dalam kamar isolasi Dira."Dira bagaimana kabarnya, Nya?""Gak perlu kamu tahu! Mau apa kemari?" Laili terdiam saat Ririn masih saja bicara ketus padanya."Mau antar pakaian ganti Nyonya. Bau ketek nanti kalau gak ganti baju," terang Laili sambil menyerahkan tas jinjing berisi pakaian Ririn."Sudah selesaikan? Udah sana pergi!" usir Ririn."Iya, saya juga mau pergi. Gak mungkin saya mau gangguin yang pacaran," sahut Laili membuat Alex tertawa."Laili, kamu jangan bingung ya, saya memang akan menikahi Ririn setelah perceraiannya dengan Arya selesai. Kamu dengan Arya, aman. Saya pun dengan Ririn, aman. Begitukan, Sayang?"
Laili tidak banyak bersuara pagi ini. Dia masih merasa takut dengan suaminya. Sedangkan Arya sudah bersikap biasa saja dan dia tidak paham jika sang istri masih ketakutan dengan dirinya. Arya keluar dari kamar mandi dan mendapati kemeja kerja dan celana bahan warna hitam sudah ada di atas ranjang. Namun tidak ada istrinya di sana. Biasanya, Laili selalu bertanya, mau pakai kemeja apa hari ini. Namun pagi ini, Laili belum bicara apapun sejak bangun tidur.Arya memakai baju kerjanya dengan cepat, lalu berjalan keluar kamar, menghampiri Doni, Anes, dan juga Laili yang sudah siap di meja makan. Arya mengambil posisi di sebelah Doni, karena Laili memilih duduk di sebelah Anes. Biasanya, Laili selalu duduk di sampingnya."Ayo dimakan," katanya sambil tersenyum tipis penuh paksaan. Anes dan Doni menyendok sendiri sarapannya, setelah mereka selesai, baru Laili menyendokkan nasi untuk Arya dan juga untuknya. Doni memperhatikan Papa dan Bunda tirinya bergantian. Mulut Laili tert
Sehari pulang dari rumah sakit, Laili sudah benar-benar berdamai dengan suaminya dan sangat menikmati perannya sebagai istri dari Arya Jovan, apalagi saat pagi hari seperti ini. Entah dari mana datangnya, ataukah bawaan hamil semata. Untuk pertama kalinya, Laili memakaikan suaminya pakaian dalam, kaus, dan juga celana panjang, tak lupa memasang gesper sebagai pelengkap ketampanan pria dewasa.Mirip saat Laili memakaikan Anes baju, begitulah yang ia lakukan pada suaminya. Arya tak sedikit pun menolak, lelaki itu malah tertawa-tawa saat yang dilakukan Laili, menurutnya sangat konyol tapi mengasikkan. Yang lebih menggelikan lagi adalah, Arya dipakaikan minyak telon lengkap dengan bedak tabur. Mulai dari perut, dada, punggung, hingga leher. Sehingga harum Arya seperti harumnya Dira. Apa Arya protes? Tidak. Ia lebih mengikuti maunya Laili, dari pada istrinya stres dan berakibat fatal pada kandungannya."Dah, selesai," kata Laili sembari menepuk tangannya yang penuh de