Seharian ini, Ririn tidak keluar kamar. Ia menangis di dalam di dalam sana, sejak Laili dengan terpaksa mengakui kejadian yang dia alami bersama Arya, semalam. Laili yang tadinya bungkam, dipaksa untuk mengaku, apalagi melihat Laili memakai kalung emas mahal, tentu emosinya semakin memuncak. Kenapa suaminya harus membelikan Laili kalung yang hampir mirip dengan dirinya, hanya beda di liontin inisialnya saja. Hal itu yang membuat ia semakin sakit hati.
Ia tidak menyangka, Arya bermain di belakangnya. Padahal jelas-jelas Arya berjanji untuk menggauli Laili setelah mendapat persetujuan darinya. Namun, malah ia kecolongan sendiri. Laili dan Suaminya berselingkuh. Itu kata hatinya. Sangat sulit mencoba ikhlas ternyata, berbagi suami dengan wanita lain. Apalagi madunya masih muda, cantik, dan energik.
Tuk!
Tuk!"Masuk."
Cekleek
Pintu kamar terbuka. Ada Doni di sana yang masuk sambil memegang ponselnya. Lekas Ririn menghapus air mata, sebelum anak lelakinya
Arya yang baru saja mendapat telepon dari Doni menjadi khawatir. Karena ponsel Laili tidak bisa dihubungi, begitu juga dengan ponsel Ririn. Arya kembali menelepon Doni agar ponselnya diberikan pada Ririn, tetapi Ririn tidak membukakan pintu untuk Doni. Bibik yang mengantar Laili sampai depan gerbang rumah, ikit bersedih. Ia masuk ke dalam sambil melihat Doni yang menggedor pintu kamar mamanya."Ada apa, Don?" tanya Bibik."Papa mau bicara sama Mama, tapi ga mau Mamanya," jawab Doni sambil menuruni anak tangga dengan cepat."Mana Teh Laili, Bik?""Udah pergi naik ojek dari depan," jawab Bik Kokom sedih."Aduh, kenapa tidak ditahan, Bik? Papa gak bolehin Teh Laili pergi." Doni berlari keluar rumah, tanpa memakai alas kaki ia mengejar Laili yang mungkin belum jauh. Kepala remaja itu menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan ada sosok yang ia cari. Namun sayang, tak ada siapapun di sana. Jalanan blok telah sepi. Hanya ada tiga orang lelaki tukang ojek yang m
"Sekarang, kamu harus bujuk istrimu. Jangan biarkan dia salah paham terlalu lama. Apalagi kondisi kesehatan Ririn belum baik. Ditambah sekarang, jatuh lagi. Baru aja Ibu dengar sudah bisa bergerak sedikit-sedikit. Eh, sekarang harus begini lagi," nasehat sang ibu untuk anaknya, Arya."Ririn cemburu terus lho, Bu. Padahal semua ini terjadi juga karena ide Ririn.""Lha, kamu setuju-setuju saja, toh. Apa lagi Ibu dengar udah nyawah sama Laili," wanita paruh baya itu mencebik."Ha ha ha .. Apa sih, Ibu? Nyawah apa lagi?" Arya terbahak, hingga membuat Dira membuka matanya."Eh, anak Papa sudah bangun. Mana yang sakit, Nak?" lekas Arya menggendong si bungsu. Sepulangnya dari Yogya, Arya memang langsung menuju rumah sakit, tempat Ririn dan Dira dirawat. Kamar perawatan Dira-lah yang pertama kali ia kunjungi. Apalagi, saat melewati kamar Ririn, istrinya itu tengah terlelap. Sehingga, Arya memutuskan untuk lebih dahulu menjenguk Dira.Lama ia bermain bersa
Laili sangat senang diajak berkeliling di dalam mal, apalagi hanya berduaan dengan sang suami. Tak hentinya Laili melirik sang suami yang terlihat tenang, tampan, dan bulu-bulu halus di atas bibirnya, tampak tumbuh malu-malu. Genggaman tangan keduanya juga tak terlepas, seakan ada magnet yang menempel pada jemari keduanya.Setelah lelah keliling dan membeli beberapa pernak-pernik rambut untuk dirinya dan juga Anes. Laili mulai merengek lapar. Sesuai janji Arya, dia mengajak Laili makan di restoran cepat saji. Ada ayam crispi, burger, minuman bersoda, es krim, dan juga kentang goreng untuk Laili. Sedangkan Arya hanya memesan kopi dan burger."Pa, jangan lupa belikan makanan juga untuk Nyonya, Anes, dan Doni," ujar Laili mengingatkan suaminya."Oh iya, Sayang. Untung kamu ingatkan." Arya mengusap sayang kepala Laili."Pa, mau selfi boleh, gak?""Boleh." Arya tersenyum senang, lalu menarik Laili mendekat padanya.CeklekP
Arya sedang mandi saat ponselnya kembali berkelap-kelip. Laili yang masih bergelung dalam selimut, akhirnya mengintip siapa penelepon suaminya.Sayang 1Kening Laili berkerut. Apa ini nama kontak Nyonya Ririn? Berarti kalau Nyonya Ririn sayang 1, maka dia sayang 2. Laili mengulum senyum memikirkannya. Wajahnya sudah bersemu merah kembali. Tidak apa sayang dua, yang penting sayang. He he he ..."Pa, ada telepon!" teriak Laili."Angkat saja, Sayang," jawab Arya yang tengah tanggung, karena perutnya mulas.[H-hallo, assalamualaykum][Saya Nyonya Ririn. Mana Mas Arya?][Eh, Nyonya. Mas Arya sedang mandi]Ririn kembali naik darah, tetapi coba ia menahannya. Suaminya pasti habis bermesraan dengan Laili, buktinya Arya sedang mandi saat ini.[Emangnya habis ngapain?][Eh, itu. Saya nyobain baju tidur baru yang tipis, Nya. Baju baru dibelikan Mas Arya. Pas saya kasih lihat, malah saya diajak bobar]Cerita Lail
"Papa.""Apa yang kalian bicarakan tentang Laili dan Arya?" tanya lelaki paruh baya itu pada istri dan juga puteri sulungnya."B-bicara apa, Pa? Papa salah dengar kali," sahut Bu Rosa sedikit canggung, bahkan ia tidak berani menatap wajah suaminya."Untung Papa yang dengar, bukan Arya. Kalau sampai Arya tahu rencana Mama dan Ririn, maka bisa jadi besok Ririn juga sudah janda. Dah, jangan macam-macam!" Pak Mulyono, papa dari Ririn yang ternyata baru saja masuk ke kamar perawatan anaknya. Karena dua wanita di dalam sana terlalu asik, sehingga tidak menyadari kehadirannya."Ma, anak itu diademin. Bukan dipanas-panasi," tegur Pak Mulyono pada istrinya."Kamu juga Ririn, harus kuat, sabar, dan menjalani takdir yang kamu buat untuk dirimu sendiri. Dipoligami ini pilihanmu, bukan Arya atau pun Laili. Ingat, Laili anak yatim piatu. Jangan sampai kamu dapat teguran lebih parah dari tak bisa berjalan."Ririn dan sang mama terdiam usai mendapat ce
"Mari, saya pamit ya, Om, Tante," pamit Suci pada Arya dan juga Ririn, setelah mereka bersalaman. Tak ada suara yang keluar dari bibir Ririn, bagai terkunci rapat. Suci dan lelaki yang bernama Salman pun berlalu dari hadapan mereka. Laili masih sempat melambaikan tangan pada Suci yang kini sudah di dalam mobil."Ayo, masuk!" ajak Arya sambil mendorong kursi roda Ririn."Iya, Pa. Duluan saja, saya tutup pagar dulu," sahut Laili sambil tersenyum manis dan tentu saja membuat Ririn jengah.Arya pun mendorong kursi roda Ririn masuk ke dalam, meninggalkan Laili yang masih sibuk menutup pintu pagar."Teteeeh!" pekik Anes senang sambil menghambur ke pelukan Laili."Aduh, adik Teteh. Kangen banget tahu gak?" Laili mencium gemmas pipi Anes."Teteh ke mana aja? Anes juga rindu."Anes menggelayut manja pada Laili."Teteh menginap di rumah teman.""Aku juga kangen, Teh. Apalagi PR aku banyak," sela Doni yang tiba-tiba muncul dari pintu
Laili hari ini tidak ke sekolah, karena memang sudah libur. Tinggal menunggu pengumuman kelulusan, sidik jari, kemudian pembagian ijazah. Tangannya mahir mengaduk nasi di dalam wajan untuk dibuat nasi goreng ikan teri. Menu sarapan kesukaan Arya dan juga Doni. Untuk Anes, Laili membuatkan bubur kacang hijau dengan potongan roti tawar di atasnya.Untunglah semalam, Arya tidak jadi tidur di kamarnya, karena kalau tidak, maka dijamin ia akan kesiangan saat ini. Suara langkah kaki perlahan turun dari lantai dua, Laili dapat melihat Arya sedang menuntun sang istri untuk turun dengan sangat hati-hati. Biasanya Arya akan menggendong Ririn, namun untuk melatih kaki Ririn agar terbiasa digerakkan, mulai hari ini, Ririn dituntun turun ke bawah."Laili, saya mau makan!" teriak Ririn saat punggungnya menyentuh sandaran kursi makan."Sebentar, Nya. Ini lagi disiapkan," jawab Laili dengan bergegas menuangkan nasi goreng ke dalam wadah. Bik Kokom membantu menatanya di atas
Dengan air mata yang menggenang, Laili sangat terpaksa meminum obat yang diberikan oleh Ririn. Perasaannya sungguh tak enak, apalagi terlihat raut puas saat dirinya menenggak obat tersebut. Bik Kokom di depan sana hanya bisa menggelengkan kepala tak percaya. Sungguh tega sekali majikannya memperlakukan Laili yang yatim piatu dengan semena-mena."Bagus. Sekarang kamu lanjutkan lagi pekerjaanmu dan jangan berhenti sebelum rumah rapi. Ingat itu!" Ririn pergi dari hadapan Laili menuju ruang televisi, sedangkan Laili memilih masuk ke kamar mandi, lalu mengunci pintunya. Kran air dinyalakan besar oleh Laili.BbuuaaarLaili membuang obat yang ia tahan di bawah lidahnya ke dalam closet. Ya, untung saja Laili mendapatkan ide untuk pura-pura menelan obat yang ia minum. Padahal ia menyimpan obat tersebut di bawah lidahnya. Rasa pahit yang mendera ia harus tahan, asal obat itu tidak sampai masuk ke dalam perutnya.Setelah tenang, Laili mematikan kran air, lalu ke r
Arya membaringkan pelan tubuh Laili di atas ranjang baru miliknya yang berukuran tidak terlalu besar. Lelaki itu sangat ingin menunaikan kewajibannya malam ini, tapi juga sangat gugup. Arya khawatir Laili merasa kaget sekaligus kesakitan. Apa yang harus ia lakukan nanti jika hal itu benar terjadi? Dengan tangan gemetar dan sesekali melirik pintu, Arya memiringkaan wajah Laili agar mendekat padanya. Detak jantung istri mudanya itu bahkan terdengar begitu jelas ke dalam indera pendengarannya. Pertanda Laili dan dirinya sama-sama gugup. “Kita harus belajar mencintai mulai hari ini,” bisik Arya tepat di depan bibir Laili. Embusan napas keduanya seakan berlomba bagaikan habis berlari jauh. Pelan dan hati-hati, Arya mendekatkan bibirnya ke bibir Laili yang masih tertutup rapat bagaikan dilem. Dikecupnya tipis, lalu dirasakannya tubuh istri mudanya yang sedikit terlonjak kaget. “Tak apa. Jangan takut. Ayo sini, lihat wajah saya,” bisik Arya mesra dengan
Pesta pernikahan Laili dan Arya berlangsung meriah. Banyak sanak-saudara berkumpul dan banyak juga teman sejawat. Ya, setelah dua bulan Laili melahirkan bayi kembarnya secara normal, Arya memberikan pesat pernikahan meriah untuk Laili. Berikut dengan status sebagai istri yang sah secara agama dan negara.Senyum lebar Laili terus saja mengembang di atas pelaminan sana. Dengan gaun pernikahan putih modern ala boneka, Laili tampil sangat cantik. Bahkan sang suami tak bisa berpaling dari melirik istri mudanya yang sangat cantik. Tak lupa dua bayi kembar mereka ikut berada di dalam keranjang bayi dihias begitu cantik, berdampingan dengan kursi pengantin.Banyak ucapan selamat, serta pujian yang tamu berikan pada Laili dan Arya. Tak elak lagi, Arya menjadi bulan-bulanan teman-teman seumurannya karena berhasil mendapatkan daun muda yang sangat cantik. Suasana meriah, mewah, serta ramah, begitu mengesankan bagi siapa saja yang menghadiri pernikahan Laili dan Arya. Banyak makan
Acara peresmian toko akseseoris Laili berjalan dengan lancar, walaupun hanya berlangsung selama satu jam. Bayi Maura dan Maira yang masih sangat kecil membuat Arya dan Laili tak mau berlama-lama di sana. Setelah potong pita dan makan cake bentuk jepitan rambut, mereka semua kembali ke rumah dengan hati senang. Laili bahkan tak henti melirik suaminya dengan tatapan penuh sukur.Mimpi apa ia kemarin, sehingga mendapat kejutan yang sangat istimewa dari suaminya. Kapan suaminya menyiapkannya? Padahal suaminya tak pernah lembur di luar semenjak ia melahirkan."Pa, terimakasih," ucapnya dengan mata kembali berkaca-kaca."Bunda sukakan?""Anes juga suka, Pa. Sukaa ... banget," potong Anes dengan seringai lebar. Di tangannya ia sedang memilin kunciran rambut motif hello kity."Kalau Bunda repot urus dedek bayi kembar, biar Anes yang di toko ya," ujar Anes dengan polosnya."He he he ... Mau ngapain Anes di toko?""M
"Pa, mau BAB ini!" rintih Laili yang kini sudah berbaring gelisah di brangkar kamar bersalin."Tahan, Sayang. Memang seperti itu, sabar ya." Arya berusaha menenangkan dengan mengusap rambut Laili dengan lembut."Uuh ... Pa, ini mau cepirit beneran!" Laili gelagapan dengan rasa mulas yang mirip seperti mulas ingin BAB."Pa." Keringat bercucuran dengan deras, membasahi kening dan lehernya, padahal ruangan bersalin memiliki pesnin pendingin ruangan yang cukup baik."Eeeemm ....""Jangan ngeden ya, Mbak. Masih pembukaan enam, sabar ya. Empat pembukaan lagi," terang suster sambil tersenyum."Sus, ini bukan mules mau lahiran kayaknya. Saya mau BAB beneran, Sus. Tolong! Masa saya BAB di sini? Pa, uuh ... Mules, Pa. Mau BAB beneran, Pa," rengek Laili kimi dengan derai air mata."Ssst ... Jangan buang tenaganya! Sabar, tahan sedikit lagi.""Papa sabar,sabar terus. Sini Papa aja yang gantiin, ih ... Orang sakit beneran ini. Pokokny
Arya masih terus memandangi wajah istrinya yang pucat pasi dengan luka di kening. Sudah tiga jam berlalu dan Laili belum sadar juga. Untunglah luka Laili tidak terlalu parah, hanya saja sepertinya Laili syok berat dengan kecelakaan yang menimpa dirinya dan juga Ririn. Kandungan Laili juga sudah di cek, kedua janinnya aman walau tadi sempat ada benguran cukup hebat.Keduanya ditabrak oleh motor yang dikemudikan oleh orang mabuk. Motor lelaki besar, menghantam kedua wanita itu hingga terpental. Jika Laili terpental ke trotoar, maka Ririn terpental hingga menubruk tiang listrik yang ada di seberang, dengan kondisi sekarang kritis. Pelaku penabrakan sudah digelandang ke kantor polisi dterdekat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya yang lalai, hingga mengakibatkan nyawa orang lain hampir melayang."Pa.""Ya Allah, alhamdulillah, Bunda udah sadar." Arya lega melihat Laili membuka mata."Haus, Pa," rengek Laili dan sigap Arya mengambilkan minum untuk istrin
Sehari pulang dari rumah sakit, Laili sudah benar-benar berdamai dengan suaminya dan sangat menikmati perannya sebagai istri dari Arya Jovan, apalagi saat pagi hari seperti ini. Entah dari mana datangnya, ataukah bawaan hamil semata. Untuk pertama kalinya, Laili memakaikan suaminya pakaian dalam, kaus, dan juga celana panjang, tak lupa memasang gesper sebagai pelengkap ketampanan pria dewasa.Mirip saat Laili memakaikan Anes baju, begitulah yang ia lakukan pada suaminya. Arya tak sedikit pun menolak, lelaki itu malah tertawa-tawa saat yang dilakukan Laili, menurutnya sangat konyol tapi mengasikkan. Yang lebih menggelikan lagi adalah, Arya dipakaikan minyak telon lengkap dengan bedak tabur. Mulai dari perut, dada, punggung, hingga leher. Sehingga harum Arya seperti harumnya Dira. Apa Arya protes? Tidak. Ia lebih mengikuti maunya Laili, dari pada istrinya stres dan berakibat fatal pada kandungannya."Dah, selesai," kata Laili sembari menepuk tangannya yang penuh de
Laili tidak banyak bersuara pagi ini. Dia masih merasa takut dengan suaminya. Sedangkan Arya sudah bersikap biasa saja dan dia tidak paham jika sang istri masih ketakutan dengan dirinya. Arya keluar dari kamar mandi dan mendapati kemeja kerja dan celana bahan warna hitam sudah ada di atas ranjang. Namun tidak ada istrinya di sana. Biasanya, Laili selalu bertanya, mau pakai kemeja apa hari ini. Namun pagi ini, Laili belum bicara apapun sejak bangun tidur.Arya memakai baju kerjanya dengan cepat, lalu berjalan keluar kamar, menghampiri Doni, Anes, dan juga Laili yang sudah siap di meja makan. Arya mengambil posisi di sebelah Doni, karena Laili memilih duduk di sebelah Anes. Biasanya, Laili selalu duduk di sampingnya."Ayo dimakan," katanya sambil tersenyum tipis penuh paksaan. Anes dan Doni menyendok sendiri sarapannya, setelah mereka selesai, baru Laili menyendokkan nasi untuk Arya dan juga untuknya. Doni memperhatikan Papa dan Bunda tirinya bergantian. Mulut Laili tert
"Assalamualaykum. Permisi, Nyonya," tegur Laili yang sudah berdiri di depan pintu. Alex dan Ririn melepas ciumannya, lalu terbelalak melihat Laili yang tergugu di depan pintu, dengan membawa tas pakaian."Wa'laykumussalam. Mari masuk Laili," ajak Alex, Laili menurut. Kakinya melangkah pelan masuk ke dalam kamar isolasi Dira."Dira bagaimana kabarnya, Nya?""Gak perlu kamu tahu! Mau apa kemari?" Laili terdiam saat Ririn masih saja bicara ketus padanya."Mau antar pakaian ganti Nyonya. Bau ketek nanti kalau gak ganti baju," terang Laili sambil menyerahkan tas jinjing berisi pakaian Ririn."Sudah selesaikan? Udah sana pergi!" usir Ririn."Iya, saya juga mau pergi. Gak mungkin saya mau gangguin yang pacaran," sahut Laili membuat Alex tertawa."Laili, kamu jangan bingung ya, saya memang akan menikahi Ririn setelah perceraiannya dengan Arya selesai. Kamu dengan Arya, aman. Saya pun dengan Ririn, aman. Begitukan, Sayang?"
Ririn menangis tersedu, saat Dira jatuh, kemudian pingsan. Berselang sepuluh menit, Dira sadar, kemudian Dira mengalami muntah-muntah dengan suhu tubuh kembali naik. Bayi itu kejang, hingga tiga kali. Membuat Laili ikut menangis sekaligus lemas. Ia tak sampai hati melihat Dira yang terbujur kaku di atas brangkar dengan jarum infus di punggung tangannya. Dira mengalami pendarahan dalam otaknya.Jangankan Laili, Arya pun ikut meneteskan air mata. Sungguh kasihan Dira jika memiliki ibu bertabiat tak baik seperti Ririn. Tidak, ini bukan Ririn, Arya bahkan tak mengenali sosok wanita yang pernah menjadi istrinya ini."Semua gara-gara kalian," lirih Ririn sambil menatap tajam Laili serta Arya."Apa maksudmu?" tanya Arya dengan suara tak suka."Seandainya wanita pelakor ini tak ikut-ikutan menggendong Dira, tentu anakku tak jadi seperti ini, hiks.""Sampai kapan Nyonya akan menyalahkan saya? Apa menunggu ada anggota keluarga yang merenggang nyawa? Se