"Boleh saya mencium kamu?"
Bola mata Laili membesar, nafasnya pun seakan terhenti saat sang suami meminta izin untuk menciumnya. Tanpa bisa berkedip, Laili merasakan nafas Arya semakin dekat di hidungnya. Aroma sambal goreng hati dan semur daging yang ia makan saat sukuran pernikahan mereka tadi.
"M-mas, belum sikat gigi ya?" tanya Laili pelan membuat Arya kaget, lalu merenggangkan tubuhnya.
"Hah!" Arya membaui hawa mulutnya di telapak tangan. Benar saja, masih terasa bau amis. Lelaki itu pun menyeringai, lalu berdiri dari duduknya.
"Saya sikat gigi dulu," ujar Arya langsung berjalan ke kamar mandi. Laili hanya bisa tertawa kecil melihat kelakuan suami tuanya yang seperti beneran pengantin baru.
Sambil menunggu Arya selesai, Laili merapikan mukena serta sajadahnya. Ia berjalan ke arah meja kecil untuk menyimpan peralatan sholat, kemudian berjalan ke meja rias untuk menyisir rambutnya. Arya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, karena ia mencuci wajahnya.
Dengan berani, Arya memeluk Laili dari belakang, membuat Laili berjengkit kaget.
"M-mas," panggilnya dengan suara serak. Sungguh ia malu diperlakukan seperti ini, apalagi dengan lelaki yang biasa menjadi Tuannya."Kamu cantik kalau rambutnya digerai gini. Mulai besok, rambutnya digerai saja. Saya suka." Arya menyentuh rambut basah Laili.
"Mmm...baik."
"Kenapa selalu dikepang sih?" tanya Arya lagi.
"Biar ga banyak yang naksir," jawab Laili sambil menahan tawa.
"Percaya diri sekali gadis kecilku ini."
Cup
Arya sudah mengecup pipi Laili yang kini bersemu merah. Dituntunnya Laili menuju ranjang pengantin. Tidak hanya Laili, Arya pun sama berdebarnya saat ini. Luar biasa sekali hidupnya, bisa memiliki kesempatan belah durian dua kali. Langkah kaki Laili. mau tidak mau akhirnya menurut. Sangat lembut Arya memperlakukan Laili, apalagi Laili masih sangat muda. Ia tidak ingin Laili trauma.
"Umur kamu berapa?"
"Delapan belas tahun, dua hari lagi," jawab Laili sambil menunduk, kini keduanya sudah duduk saling berhadapan di atas ranjang.
"Mau hadiah apa?" tanya Arya serius.
"Saya sudah mempunyai hadiah yang sangat istimewa," jawab Laili pelan, sambil memberanikan diri menatap suaminya.
"Dari siapa?" kening Arya berkerut, ada raut kaget tercetal di wajah tampannya.
"Dari Allah."
"Maksudnya?"
"Ini hadiah saya." Laili dengan berani memeluk tubuh tingga besar Arya. Membenamkan wajahnya di dada bidang suaminya yang terasa hangat.
"Dasar ABG! Bisa-bisanya merayu orang tua," gumam Arya dengan wajah merona. Tangannya ikut mendekap Laili dengan hangat.
"Papaaa!"
Sayup-sayup, suara Ririn masuk ke dalam kamar Laili.
"Papaaa!" teriak Ririn lagi.
Arya dan Laili saling pandang, keduanya bahkan segera merenggangkan pelukan dan kembali bersikap canggung.
"Saya ke kamar dulu ya?" ujar Arya yang merasa tidak enak dengan Laili. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum.
Cup
Arya mengecup hangat kening Laili.
"Terimakasih untuk pengertiannya," ujar Arya sebelum ia benar-benar keluar dari kamar istri keduanya.
Dengan langkah malas, Arya berjalan kembali ke kamarnya, sedangkan Laili memilih menutup pintu kamar tanpa menguncinya. Ada rasa tidak nyaman di hatinya. Apakah ia cemburu? Tidak, ia tidak boleh cemburu pada Ririn. Ia harus selalu ingat pesan dari ibunya Arya saat tadi pagi memberikan restunya.
Sampai kapanpun, Ririn adalah nyonya rumah dan kamu bukan siapa-siapa. Melainkan madunya yang harus berbaik hati membalas jasa Ririn.
Perkataan yang dibisikkan Bu Warti, ibu dari Arya yang kini jadi mertuanya juga. Membuat Laili tak juga bisa memejamkan kedua matanya. Laili memilih keluar kamar, hendak ke dapur membuat susu coklat. Telinganya menangkap suara parau dari dalam kamar majikannya yang terdengar seperti desahan. Ia yang tidak paham itu apa, hanya mengangkat bahu, lalu turun ke dapur.
Laili membawa segelas susu hangat ke naik ke atas, maksud hati mau dibawa ke kamarnya. Kembali ia melewati kamar Ririn dan juga Arya, ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya kasar. Entah setan apa yang membuatnya ingin menguping pembicaraan di dalam kamar majikannya. Sambil memantau keadaan yang telah sepi, Laili mendekatkan telinganya di pintu.
"Terimakasih, Mas. Kamu selalu bisa memuaskanku. Beri aku waktu sampai aku rela kamu meniduri Laili."
"Iya, Sayang."
"Kamu gak papakan?"
"Iya, gak papa."
"Janji kamu hanya mencintaiku, Mas?"
"Janji."
Laili menyesal telah menguping pembicaraan di dalam sana. Hatinya seakan kembali patah, rasanya sama persis saat melihat Danu bergandengan tangan dengan adik kelasnya. Laili bergegas pergi dari sana, lalu masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya. Dihapusnya satu dua air mata yang membasahi pipi.
"Ini baru awal Laili. Kamu harus lebih tegar dari ujian yang lebih berat sebagai istri kedua," gumamnya pelan sambil meneguk perlahan susu coklat panas yang ia buat.
Setelah susu coklat habis, Laili memilih naik ke atas ranjang lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terasa dingin. Maklum saja, tidak terbiasa pakai AC, selalu kipas angin yang menemani tidurnya. Sekarang, setelah ia menjadi nyonya kedua dan menempati kamar tamu, maka mau tidak mau, ia terpaksa menyalakan AC kamar.
Laili lelah, ia memilih memejamkan mata setelah mbaca doa mau tidur.
Pendengarannya terusik, saat mendengar suara ketukan pintu. Dengan memicing ,Laili melihat jam di dinding sudah pukul dua dini hari. Siapa yang mengetuk pintu? Laili menyalakan lampu kamar, lalu bergegas turun.
Ceklek
Ceklek
"Mas, ada apa?"
Bukannya menjawab, Arya malah masuk ke dalam kamar Laili lalu menutup pintunya, bahkan kembali menguncinya.
"Eh, mau ngapain, Mas? Nanti ketahuan Nyonya." Laili sedikit bergidik ngeri.
"Laili, biarkan malam ini saya tidur di sini," bisik Arya.
"Nanti, kalau Nyonya mencari Tuan, eh...mencari Mas, bagaimana?"
"Ririn tidak akan terbangun, ia terlalu lelah hari ini." Arya sudah naik ke atas ranjang sambil tersenyum pada Laili.
"Matikan lampunya!" titah Arya. Laili menurut, berjalan ke arah saklar lampu lalu mematikannya. Ia pun naik ke atas ranjang dengan malu-malu.
"Biarkan malam ini saya tidur sambil memeluk kamu," bisik Arya yang sudah membawa Laili ke dekapannya.
****
Ahaaayy๐
Keduanya masuk ke dalam selimut yang sama. Laili mengambil posisi terlentang menghadap langit-langit kamar. Sedangkan Arya, mengambil posisi miring ke kanan menghadap Laili. Lelaki ini sepertinya akan mempunyai mainan baru yang akan selalu membuat ia tertawa."Mau tidur kok kayak robot. Sini, lihat saya!" Arya menarik lengan baju kaus Laili, namun ditahan olehnya."Begini saja, Tuan. Saya biasa tidur terlentang. Kalau miring ke kanan atau ke kiri leher saya menjadi sakit," terang Laili berbohong. Dalam hati berkali-kali ia beristighfar. Sebenarnya ia tak ingin berbohong, tapi ia terlalu takut dengan suasana seperti ini."Kok Tuan lagi? Panggil sayang saja, biar lebih akrab," bisik Arya membuat perut Laili seketika bergolak."Ha ha ha ... Tuan lucu!" Laili terbahak lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih.Cup"Kamu lebih lucu," balas Arya setelah mengecup cepat pipi sang istri muda. Laili mematung kembali, hatinya membuncah gembira s
Laili yang tadinya ingin berangkat naik ojek online, tetapi tidak jadi. Ririn bersikeras meminta Laili diantar oleh Arya, suami mereka. Karena memang sekolah Laili dan juga Doni tidak terlalu berjauhan, lagi pula searah dengan kantor Arya. Dengan berat hati, Laili akhirnya mengikuti saran Ririn. Sebenarnya bukan ia tak suka, ia hanya malu saja. Apalagi saat mengingat semalam Arya hampir saja mencium bibirnya."Kucing tetangga kita suka melamun lho, Bang. Eh, besokannya hamil," sindir Arya mengajak Doni berbicara. Tetapi matanya melirik Laili yang kini menahan senyum."Masa sih, Pa? Siapa yang hamilin?" tanya Doni dengan polosnya."Ya suaminya, masa Papa yang hamilin. Ha ha ha ha ..." Doni dan Arya terbahak, sedangkan Laili mati-matian menutup mulutnya agar tidak ikut terbahak."Laili.""Ya, Tuan.""Kamu sakit?""Nggak.""Kenapa diam saja?""Saya jatuh cinta."Ckkkkiiittt...."Allahu Akbar!" pekik Laili dan Dono yang k
"Assalamualaykum," ucap Laili di depan pintu dapur sambil membuka sepatu sekolahnya."Wa'alaykumussalam," jawab Ririn sambil menoleh pada Laili, yang pulang lebih cepat dari biasanya. Namun, yang lebih mengherankan dirinya, adalah keberadaan Arya, suami mereka yang juga datang bersama Laili."Saya ganti baju dulu, Nya," ujar Laili langsung naik ke lantai atas dengan wajah kusam."Mas, Laili kok bisa sama kamu? Kenapa dia pulang cepat?""Laili baru saja menampar teman lelakinya hingga tersungkur di lantai," terang Arya sambil merenggangkan ikatan dasinya."Hah? Laili menampar lelaki? Masa sih, Mas?" Ririn tersenyum tak percaya."Ya, itu kenyataannya. Maka dari itu, Papa dipanggil ke sekolah oleh wali kelasnya. Terus, Laili diminta pulang lebih dulu.""Oh, gitu. Terus, masalahnya selesai tidak? Laili tidak dituntutkan? Tahu sendiri wali murid jaman sekarang. Salah dikit aja, langsung lapor," omel Ririn yang merasa kasihan dengan Laili.
Ririn meneteskan air mata di depan suaminya saat ini. Kejadian yang baru saja ia saksikan dengan mata kepala sendiri, membuat ia begitu sedih dan cemburu. Bagaimana bisa suaminya malah berciuman di ruang makan dengan Laili? Meskipun mereka melakukannya dalam status sah, tetap saja hatinya sakit."Sudah, Ma. Jangan nangis terus!" bujuk Arya kini duduk di samping istrinya. Ririn menepis lengan sang suami yang baru saja hendak merangkul pundaknya. Arya menghela nafas gusar."Kenapa Papa harus berciuman dengan Laili? Secepat itu Papa bisa mencium wanita lain, selain Mama.""Ya Allah, Ma. Laili itu istri Papa juga. Mama yang suruh Papa nikahi Laili, tapi sekarang Mama terlihat tidak ikhlas, seakan Papa dan Laili berselingkuh," terang Arya sungguh-sungguh."Tapi Mama cemburu, Mama takut Papa diambil Laili, karena dia lebih muda, cantik, gesit pula. Tidak seperti Mama yang, hiks ....""Sudah-sudah, kita tidur saja. Jangan mudah suudzon
Laili mendengar bahwa Arya pingsan dan sedang diperiksa oleh dokter. Membuat Laili dengan susah payah berjalan menghampiri kamar suaminya. Pintu sedikit terbuka, sayup-sayup suara wanita dari dalam kamar. Laili lebih memilih turun dengan jalan sedikit mengangkang."Kenapa kakinya, Neng?" tanya Bik Kokom, saat Laili berada di dapur hendak menuangkan air ke dalam gelas."Ini, haidnya banyak, Bik. Jadi mau jalan seperti biasa tidak nyaman," jawab Laili terpaksa berbohong."Oh, ya sudah. Saya mau ke atas dulu, bawakan ini buat Tuan." Bik Kokom memperlihatkan nampan yang di atasnya ada dua cangkir teh hangat."Biar saya saja, Bik. Sekalian saya naik." Laili mengambil nampan dari tangan Bik Kokom."Tumben rambutnya digerai, Neng? Cantikkan begini," komentar Bik Kokom sambil memegang ujung rambut Laili."Tadi pagi habis keramas, Bik. Belum benar-benar kering," jawab Laili dengan wajah malu."Oh, keramas. Mmm ... Masa sih? He he he ...." goda Bik Ko
Seharian ini, Ririn tidak keluar kamar. Ia menangis di dalam di dalam sana, sejak Laili dengan terpaksa mengakui kejadian yang dia alami bersama Arya, semalam. Laili yang tadinya bungkam, dipaksa untuk mengaku, apalagi melihat Laili memakai kalung emas mahal, tentu emosinya semakin memuncak. Kenapa suaminya harus membelikan Laili kalung yang hampir mirip dengan dirinya, hanya beda di liontin inisialnya saja. Hal itu yang membuat ia semakin sakit hati.Ia tidak menyangka, Arya bermain di belakangnya. Padahal jelas-jelas Arya berjanji untuk menggauli Laili setelah mendapat persetujuan darinya. Namun, malah ia kecolongan sendiri. Laili dan Suaminya berselingkuh. Itu kata hatinya. Sangat sulit mencoba ikhlas ternyata, berbagi suami dengan wanita lain. Apalagi madunya masih muda, cantik, dan energik.Tuk!Tuk!"Masuk."CekleekPintu kamar terbuka. Ada Doni di sana yang masuk sambil memegang ponselnya. Lekas Ririn menghapus air mata, sebelum anak lelakinya
Arya yang baru saja mendapat telepon dari Doni menjadi khawatir. Karena ponsel Laili tidak bisa dihubungi, begitu juga dengan ponsel Ririn. Arya kembali menelepon Doni agar ponselnya diberikan pada Ririn, tetapi Ririn tidak membukakan pintu untuk Doni. Bibik yang mengantar Laili sampai depan gerbang rumah, ikit bersedih. Ia masuk ke dalam sambil melihat Doni yang menggedor pintu kamar mamanya."Ada apa, Don?" tanya Bibik."Papa mau bicara sama Mama, tapi ga mau Mamanya," jawab Doni sambil menuruni anak tangga dengan cepat."Mana Teh Laili, Bik?""Udah pergi naik ojek dari depan," jawab Bik Kokom sedih."Aduh, kenapa tidak ditahan, Bik? Papa gak bolehin Teh Laili pergi." Doni berlari keluar rumah, tanpa memakai alas kaki ia mengejar Laili yang mungkin belum jauh. Kepala remaja itu menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan ada sosok yang ia cari. Namun sayang, tak ada siapapun di sana. Jalanan blok telah sepi. Hanya ada tiga orang lelaki tukang ojek yang m
"Sekarang, kamu harus bujuk istrimu. Jangan biarkan dia salah paham terlalu lama. Apalagi kondisi kesehatan Ririn belum baik. Ditambah sekarang, jatuh lagi. Baru aja Ibu dengar sudah bisa bergerak sedikit-sedikit. Eh, sekarang harus begini lagi," nasehat sang ibu untuk anaknya, Arya."Ririn cemburu terus lho, Bu. Padahal semua ini terjadi juga karena ide Ririn.""Lha, kamu setuju-setuju saja, toh. Apa lagi Ibu dengar udah nyawah sama Laili," wanita paruh baya itu mencebik."Ha ha ha .. Apa sih, Ibu? Nyawah apa lagi?" Arya terbahak, hingga membuat Dira membuka matanya."Eh, anak Papa sudah bangun. Mana yang sakit, Nak?" lekas Arya menggendong si bungsu. Sepulangnya dari Yogya, Arya memang langsung menuju rumah sakit, tempat Ririn dan Dira dirawat. Kamar perawatan Dira-lah yang pertama kali ia kunjungi. Apalagi, saat melewati kamar Ririn, istrinya itu tengah terlelap. Sehingga, Arya memutuskan untuk lebih dahulu menjenguk Dira.Lama ia bermain bersa