Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Arsen belum juga pulang. Lily mendesah kecil, tetapi ia kembali membolak-balikan majalah fashion yang ada di tangannya.Pandangannya tertuju pada majalah di tangannya, namun pikirannya memikirkan hal lain. Pikirannya yang terus berkelana membuatnya tidak sadar jika pintu kamarnya terbuka dan Arsen telah pulang.Lily berjengit kaget ketika sesuatu menghalangi pandangannya dari majalah fashion di hadapannya.Lily mengerutkan alis saat melihat kertas bertuliskan tiket konser. Dia menoleh dan terkejut mendapati Arsen yang menyodorkan tiket itu padanya.“Apa ini?” tanya Lily keheranan.“Untukmu.” Arsen masih berdiri seraya menggerakkan tiket itu agar Lily cepat mengambilnya.Lily terkesiap. Dia hanya iseng demi menutupi kebodohannya soal status yang dibuatnya, tetapi kenapa Arsen malah mendapatkan tiket konser untuknya?Tetapi, tunggu sebentar … bukankah Arsen juga tidak bisa melihat statusnya karena Lily memblokir nomor pria itu agar tidak
Arsen dan Lily benar-benar pergi menonton konser bersama. Keduanya mendapat kursi di Cat 2 yang ada di bagian sisi depan panggung utama. Mereka menggunakan masker dan topi agar tidak ada yang mengenali keduanya.Selama konser berlangsung, Lily hanya menyaksikan dan tidak seheboh fans yang datang ke acara itu. Sesekali Lily meringis karena suara teriakan keras ketika boyband ternama itu menyanyikan lagu dan saat menyapa para fans yang datang.“Apa tenggorokan mereka tidak sakit berteriak sekencang itu?” bisik Arsen. Dia membuang muka kesal setelah bicara.Lily melirik Arsen, lalu membalas, “Lebih baik jangan bersuara nanti kamu bisa ditendang keluar stadion karena memprotes mereka.”Arsen tersenyum hambar di balik maskernya. Dia memilih melipat kedua tangan di depan dada, lalu kembali menyaksikan acara konser itu.Saat suasana semakin riuh, orang yang berada di sebelah Lily tak sengaja menyenggol lengan gadis itu sampai terhuyung. Beruntung Arsen langsung merengkuh kedua lengan Lily.P
Pagi itu, Sonia masuk ke ruang kerjanya dengan ponsel yang menempel di telinga. Dia mengabaikan staff yang menyapa karena sedang menghubungi Bryan.“Aku merasa aneh dengan hal ini, Beb.”Sonia baru saja mendapat kabar yang dia terima dari rapat direktur. Dia mengeluhkan keputusan mendadak dari Arsen tentang penggantian acara pelatihan.Arsen membatalkan pelatihan di hotel yang bahkan sudah dilunasi pembayarannya oleh perusahaan dan memindahkan acara itu ke Jogja.“Mungkin dia ada pertimbangan lain,” balas Bryan dari seberang panggilan.Sonia mendudukkan tubuhnya di kursi. Dia menghela napas kasar. Tatapannya tajam ke arah Lily meskipun pandangannya terhalang tembok kaca ruangannya.“Bukan begitu, saat tim mengajukan lokasi di Jogja dia menolak proposal itu mentah-mentah, sekarang sudah hampir mendekati hari acara lokasi dipindahkan atas perintahnya begitu saja. Bukankah ini sangat aneh?” Sonia mengeluh masih dengan memandang benci Lily yang sibuk bekerja.“Mana mungkin dia mengambil k
Untuk beberapa waktu, Arsen dan Lily saling menatap dalam diam.Napas Lily tertahan di tenggorokkan ketika melihat wajah suaminya yang benar-benar tenang tanpa ekspresi. Apa suaminya itu marah karena tindakannya barusan?“Hm.” Arsen hanya menjawab dengan gumaman setelah itu beralih dari hadapan Lily dan pergi menuju kamar mandi.Tubuh Lily berputar mengikuti kepergian Arsen. Napas yang sejak tadi dia tahan, akhirnya Lily keluarkan perlahan.Malam harinya, Lily berbaring memunggungi Arsen. Perasaan canggung itu tetap ada di dalam hatinya mengingat tindakannya yang memeluk pria itu tanpa sadar. Lily berusaha memejamkan mata, tetapi meskipun sudah mencoba beberapa kali dia tetap tidak bisa jatuh ke alam mimpi.Kenapa dirinya merasa gelisah seperti ini?Lily menghembuskan napas kasar. Dia tidak merasakan gerakan sama sekali dari belakang punggungnya.Bingung harus melakukan apa, akhirnya Lily meraih ponselnya yang ada di nakas, lalu mencoba mengirim pesan pada Natasha yang sudah lama tida
Arsen tak bisa langsung membalas pertanyaan Lily, dia kembali menyandarkan punggung dengan kasar lalu menggaruk pelan pelipisnya menggunakan jari telunjuk. Arsen berdecak sebelum membalas pesan itu. [Kenapa kamu bertanya begini? Apa kamu sedang menyukai orang yang umurnya jauh lebih tua?] Lily diam membaca pesan yang baru saja Arsen kirimkan, lalu akhirnya dia mengetik pesan balasan lagi. [Aku tidak yakin, lagipula itu terjadi saat aku masih sangat kecil, aku juga sudah lupa bagaimana wajah orang yang aku sukai itu karena ini sudah sangat lama.] Arsen terdiam membaca pesan yang Lily kirimkan, dia tidak mau menduga siapa orang yang Lily sukai dan memutuskan untuk mengakhiri percakapan via aplikasi berbalas pesan itu. [Ya sudah, ini sudah malam. Berdoalah sebelum tidur, semoga malam ini tidak ada mimpi buruk menghampirimu.] Lily tersenyum membaca pesan dari Natasha yang sangat perhatian. Dia membalas pesan dengan harapan yang sama untuk Natasha lalu mengakhiri kegiatan berbalas p
Ucapan Lily tidak berhenti di situ ketika melihat Sonia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.“Bibi Monica masih mengirimiku pesan, memohon padaku untuk kembali bersama Bryan." Usai berkata itu, Lily melihat Sonia melepas pelukan Bryan dan hampir menamparnya."Tak perlu pamer seolah hubungan kalian baik-baik saja, itu memalukan,” kata Lily lagi."Berani sekali kamu!"Lily membuang muka saat Bryan menahan Sonia.Lily tetap bersikap tenang meski beberapa staff yang kebetulan menunggu di depan lift menatap curiga."Jangan ladeni dia." Bryan menarik Sonia, tepat setelah lift terbuka. Mereka buru-buru pergi meski itu bukan lantai tujuan mereka.Sonia meradang, wajahnya merah padam. "Kenapa kamu menahanku?!" Suaranya cukup keras.Bryan melirik sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar. Nadanya pelan tetapi penuh peringatan. "Kamu mau dipecat? Perusahaan ini punya aturan anti-perundungan. Kamu harus ingat, hanya status direkturmu lah yang bisa aku banggakan pada orang tuaku, Sonia." Sete
Lily menatap keluar jendela pesawat. Hari ini adalah hari keberangkatan ke Jogja, tak elak senyum terus mengembang di bibirnya. Terlebih karena ucapan Arsen tadi malam terus terngiang di telinga, menciptakan sensasi aneh di perutnya. Pikiran Lily yang ikut terbang, membuat ia tidak sadar sedari tadi Dini mengajaknya berbicara. Karena tidak ada sahutan dari Lily, Dini menyenggol lengannya, membuyarkan lamunan. “Bagaimana menurutmu?” tanya Dini, matanya berbinar. “Maaf, tadi kamu bilang apa?” Lily bertanya, berusaha fokus. Dini mencebik, tetapi sedetik kemudian kembali bersemangat. “Kubilang Pak Arsen luar biasa, menyewa pesawat dan satu hotel untuk pelatihan ini. Semua demi kita!” “Memang luar biasa,” gumam Lily, pikirannya masih melayang. “Tapi, menurutku daripada dua hari menginap di hotel, lebih seru kalau langsung saja berkemah.” Dini terdiam, menatap Lily dengan tatapan aneh, seolah Lily baru saja mengatakan sesuatu yang gila. Lily mengalihkan perhatian, menatap pramugari
Melihat Arsen yang menatapnya dingin, Thomas menelan ludah, takut. Ia lantas menunduk, menyuapkan potongan buah ke mulutnya, lalu bergumam lirih, “Istri Anda sejak tadi juga sudah menjadi pusat perhatian staff lain. Lihat saja si staff baru itu, tidak sedetik pun dia mengalihkan pandangan dari Nona Lily.”Satu sudut alis Arsen terangkat. Ia melirik ke arah yang ditunjuk Thomas dengan ekor matanya. Juna. Memang, pemuda itu tak henti-hentinya memandangi Lily.Arsen tetap tenang, seolah tak terusik sedikit pun. Kemudian, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, mengetik pesan singkat untuk Lily.[Segera kembali ke kamar untuk istirahat setelah selesai makan.]Setelah memastikan pesan terkirim, Arsen bangkit dari kursi, meninggalkan Thomas yang masih makan dan terperangah.Thomas buru-buru menghabiskan makanannya dan menyusul atasannya.Arsen melangkah melewati meja-meja tempat para staff makan. Kehadirannya sontak menarik perhatian, semua mata tertuju padanya.Lily, yang semula sedang meman
Dini seketika diam. Dia menatap Lily dengan tatapan tak percaya. “Kamu bercanda? Mana mungkin kamu istrinya Pak Arsen?"Lily mengedikkan kedua bahu. “Seperti gosip yang kamu dengar, aku juga bisa dengan mudah membuat gosip dan membuat gempar dengan pernyataanku," ucapnya .Dini menggeleng pelan dan menganggap Lily hanya sedang bercanda. “Sudahlah Lily! Kamu jangan bertindak aneh-aneh. Lebih baik fokus ke tahap akhir pemilihan direktur pemasaran.”Lily seketika ingat akan hal itu, lalu berkata, “Oh ... ya, aku mau mengajakmu ke suatu tempat.”Dahi Dini berkerut halus. “Ke mana?”“Ikut saja, nanti juga kamu akan tahu.”“Kapan perginya?” tanya Dini penasaran.“Nanti habis makan siang.”Dini mengangguk-angguk.Mereka masuk ke ruangan, di sana sudah ada Sonia dan staff lain yang sedang asik bergosip.“Pak Arsen memang sangat kaya, pulang dari kantor saja memakai helikopter padahal mobil juga banyak di bawah,” ucap salah satu staff.“Pasti dia pergi menjemput kekasihnya untuk mengajak ken
Arsen melihat senyuman hambar tergambar jelas di wajah Lily. Dia membiarkan wanita itu berjalan meninggalkannya di belakang dan hanya memandangi punggung Lily.Arsen membeku di tempatnya untuk beberapa detik, sebelum dia berjalan cepat dan memeluk tubuh Lily dari belakang. "Masih seperti mimpi?" bisiknya.Lily mengangguk. Tak lama dia berjengket.Arsen menggigit telinga Lily sampai wanita itu mengaduh, setelahnya Arsen menyandarkan dagu ke pundak Lily."Masih merasa ini mimpi?" Arsen berbisik lagi di telinga Lily.Lily menggeleng. "Tidak! Aku percaya ini bukan mimpi," ucapnya. Suaranya tercekat. Lily memejamkan mata menahan gelenyar aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya saat Arsen mulai menciumi lehernya.Perbuatan Arsen membuat Lily tak kuasa.Mereka berakhir kembali ke kamar dan melakukan aktivitas menyenangkan bagi pasangan suami istri seperti malam sebelumnya. Arsen memeluk Lily setelah mereka bercinta, tatapannya beralih ke kalung yang melingkar di leher wanita itu. Arsen men
Malam itu Sonia terlihat senang karena Bryan mengajaknya makan malam. Dia dan Bryan datang ke restoran bintang lima dan diarahkan ke private room yang sudah dipesan Bryan sebelumnya. Saat masuk ke private room, di sana sudah ada Monica dan Arya yang menunggu kedatangan Bryan. Namun, mereka tak menyangka jika ternyata Bryan malah mengajak Sonia. Monica menatap tak senang. Dia bertanya-tanya, kenapa Bryan malah datang bersama Sonia, sedangkan putranya itu tak memberitahu kalau mereka akan makan malam berempat. “Selamat malam, Om, Tante,” sapa Sonia sopan. Bahkan Sonia juga mengulurkan hadiah yang dibawanya untuk Monica. Bukannya menerima hadiah pemberian Sonia, Monica langsung membuang muka. Dia memperlihatkan rasa tak senangnya akan kehadiran Sonia di sana. Sonia kecewa karena Monica tak mengambil hadiah yang dibawanya, sampai Bryan yang menerimanya lalu meletakkan di samping kursi Monica. “Ternyata kamu mengajaknya ikut makan malam,” ucap Monica dengan nada ketus, “pad
Lily panik, dia berdiri kemudian mendekat ke arah Arsen. Lily meraih tangan pria itu dan menariknya masuk."Apa yang kamu lakukan di sini?" Lily ketakutan, mengintip dari ambang pintu, dia menoleh ke kiri lalu kanan sebelum menutup pintu.Lily memandang Arsen cemas. Dia tidak bisa melakukan apa-apa saat pria itu malah berjalan meninggalkannya.Lily mengekori Arsen yang mendekat ke meja kerjanya, pria itu mengambil lembaran kertas di atas meja lalu membacanya.Lily takut Arsen akan mengomentari pekerjaannya, lalu menyambar kertas itu dari tangan sang suami.Arsen membalik badannya, dia menyandarkan pinggang ke meja kerja Lily lalu bersedekap mengamati seisi ruangan."Sudah sepi apa kamu tidak takut sendirian? Ada yang bilang di sini seram." Lily memandang Arsen yang berdiri di depannya. Dia menggeleng lalu berkata," Aku tidak takut hantu, manusia lebih menakutkan."Arsen menarik sudut bibir, tangannya menggapai pinggang Lily hingga wanita itu jatuh ke dalam pelukannya."Aku manusia,
Lily berpura-pura tak mendengar obrolan Juna dan Dini. Dia kembali menikmati sarapannya dan menyesap kopi yang baru saja Dini buatkan. Lily berprinsip tidak akan mempercayai omongan orang lain jika tidak mengalami atau melihatnya secara langsung. Dia tidak ingin menjadi orang bodoh untuk kesekian kali di hidupnya. Termakan omongan orang yang hanya ingin merusak kebahagiaannya. Terlebih ini tentang Arsen. Pria yang dia cintai. "Lily bagaimana menurutmu?" Lily menoleh Dini yang bertanya, dia meletakkan gelas kopinya lantas menjawab," Aku malas mengomentari gosip." Lily tersenyum. "Sebentar lagi aku mau ke lantai tujuh," ucapnya. Juna hanya menatap datar melihat reaksi Lily. *** Sepuluh menit kemudian Lily berjalan pelan menuju lantai tujuh. Saat keluar lift sebuah pesan masuk dari Arsen. Lily berhenti sejenak untuk membaca pesan itu. [ Pulang awal saja kalau merasa sakit dan tidak nyaman ] Lily tersenyum, membalas kembali pesan dari Arsen untuk menenangkan pr
Lily pergi ke kamar mandi. Dia berdiri di depan cermin lalu memakai syal yang Thomas berikan untuk menutupi lehernya. Lily memerhatikan dengan seksama dan memastikan syal itu sudah menutup sempurna di lehernya. “Sepertinya sudah aman,” gumam Lily. Lily merapikan tasnya karena harus segera kembali ke ruang divisi pemasaran, tetapi saat masih berdiri di depan cermin, Sonia tiba–tiba keluar dari salah satu bilik kamar mandi dan berdiri mensejajari Lily sambil cuci tangan. “Syalmu bagus.” Sonia melirik Lily yang berdiri di sampingnya. “Apa karena tak bisa mendapatkan Pak Arsen, lalu sekarang kamu mengincar asistennya? Seleramu sekarang turun, ya,” sindir Sonia sambil tersenyum miring. Lily berdiri tegap, ekspresi wajahnya datar menanggapi ucapan Sonia. “Aku tidak perlu menjelaskan kehidupan pribadiku padamu,” balas Lily dengan enteng, “lagi pula aku tidak butuh orang yang mengajakku bicara agar dianggap teman tapi kemudian menusuk dari belakang dan merundungku.” Lily bicara
Hari berikutnya Lily sudah bangun, tapi malas membuka mata. Dia masih betah memeluk Arsen di atas ranjang, merasakan betapa nyamannya kulit mereka saat bersentuhan. Lily tersenyum, merasa senang karena kejadian malam tadi yang dilewatinya bersama Arsen bukanlah mimpi. Dia bahagia, meskipun merasa pegal dan perih di beberapa bagian tubuhnya. Lily semakin mencurukkan kepala saat Arsen menariknya lebih dalam ke pelukan. Dia ingin berlama-lama seperti ini, tapi sadar tetap harus pergi bekerja. "Sudah pagi, tidak mandi?" Suara Arsen yang serak dan lengket terdengar begitu seksi di telinga Lily. Dia tersenyum menyadari kalau pria seksi itu adalah miliknya. "Aku boleh terlambat 'kan Pak CEO? Aku masih ingin bersamamu," kata Lily, memeluk erat Arsen dan masih enggan membuka mata. "Terserah! Tidak ada yang akan memarahimu." Arsen membalas setelah itu mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Lily. Lily berbunga-bunga, berpikir setidaknya masih bisa bermalas-malasan se
Arsen mengerutkan kening, menahan tubuhnya dan menatap curiga pada Lily. "Tunggu! Kamu minum alkohol?" Arsen melihat Lily kaget mendengar pertanyaannya. Dia memegang tangan Lily karena Lily baru saja memukul dadanya. "Sembarangan! Apa kamu mencium bau alkohol dari mulutku?" Amuk Lily dengan bibir cemberut. Arsen tersenyum lantas menahan tangan Lily di sisi kepala wanita itu. "Aku harus memastikan kamu menginginkannya dengan kesadaran penuh." Arsen memandang mata Lily, tatapan mereka saling mengunci. "Aku sadar, aku menginginkanmu," balas Lily. Lily merasakan cekalan tangan Arsen melonggar bersamaan dengan pria itu yang kembali menyatukan bibir mereka. Arsen menjauhkan wajah, menatap begitu dalam pada Lily, dari mata indah sampai bibir ranum gadis itu tak luput dari sapuan pandangannya. “Aku tidak akan mundur, jadi kamu jangan menyesal,” ucap Arsen. Lily menggeleng pelan dengan senyum manis di wajahnya. “Aku tidak akan menyesal.” Mendapat sinyal untuk terus maju dari
Lily penasaran. Benarkah apa yang dikatakan bundanya kalau pria akan luluh dengan mudah di atas ranjang? Lily membawa pulang ke mansion Arsen semua baju tidur dan lingerie yang tadi mereka beli. Lily menyimpannya rapi ke dalam lemari, lalu memakai satu baju tidur yang bundanya bilang sangat cocok untuknya tadi. Dia mematut diri di depan cermin menunggu Arsen pulang. "Aku tidak bisa membiarkan Sonia menang, apalagi karena masalah internal rumah tangga seperti ini," ucap Lily. "Kalau memang jalan lurus susah ditempuh, aku akan menggunakan jalan orang dalam." Lily mengerjap, kemudian menggeleng untuk menyadarkan diri. "Tidak! Intinya malam ini aku harus mendapatkan hatinya." Lily melihat kembali model baju tidur yang dia pakai dari pantulan cermin. Lily yang begitu polos, manis dan tidak tahu apa-apa tentang hal berbau dua puluh satu tiba-tiba harus merayu pria. "Tenang! Pokoknya aku harus membuat Arsen luluh," ucap Lily lagi. Dia lantas menyemprotkan parfum mahal ya