Ucapan Lily tidak berhenti di situ ketika melihat Sonia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.“Bibi Monica masih mengirimiku pesan, memohon padaku untuk kembali bersama Bryan." Usai berkata itu, Lily melihat Sonia melepas pelukan Bryan dan hampir menamparnya."Tak perlu pamer seolah hubungan kalian baik-baik saja, itu memalukan,” kata Lily lagi."Berani sekali kamu!"Lily membuang muka saat Bryan menahan Sonia.Lily tetap bersikap tenang meski beberapa staff yang kebetulan menunggu di depan lift menatap curiga."Jangan ladeni dia." Bryan menarik Sonia, tepat setelah lift terbuka. Mereka buru-buru pergi meski itu bukan lantai tujuan mereka.Sonia meradang, wajahnya merah padam. "Kenapa kamu menahanku?!" Suaranya cukup keras.Bryan melirik sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar. Nadanya pelan tetapi penuh peringatan. "Kamu mau dipecat? Perusahaan ini punya aturan anti-perundungan. Kamu harus ingat, hanya status direkturmu lah yang bisa aku banggakan pada orang tuaku, Sonia." Sete
Lily menatap keluar jendela pesawat. Hari ini adalah hari keberangkatan ke Jogja, tak elak senyum terus mengembang di bibirnya. Terlebih karena ucapan Arsen tadi malam terus terngiang di telinga, menciptakan sensasi aneh di perutnya. Pikiran Lily yang ikut terbang, membuat ia tidak sadar sedari tadi Dini mengajaknya berbicara. Karena tidak ada sahutan dari Lily, Dini menyenggol lengannya, membuyarkan lamunan. “Bagaimana menurutmu?” tanya Dini, matanya berbinar. “Maaf, tadi kamu bilang apa?” Lily bertanya, berusaha fokus. Dini mencebik, tetapi sedetik kemudian kembali bersemangat. “Kubilang Pak Arsen luar biasa, menyewa pesawat dan satu hotel untuk pelatihan ini. Semua demi kita!” “Memang luar biasa,” gumam Lily, pikirannya masih melayang. “Tapi, menurutku daripada dua hari menginap di hotel, lebih seru kalau langsung saja berkemah.” Dini terdiam, menatap Lily dengan tatapan aneh, seolah Lily baru saja mengatakan sesuatu yang gila. Lily mengalihkan perhatian, menatap pramugari
Melihat Arsen yang menatapnya dingin, Thomas menelan ludah, takut. Ia lantas menunduk, menyuapkan potongan buah ke mulutnya, lalu bergumam lirih, “Istri Anda sejak tadi juga sudah menjadi pusat perhatian staff lain. Lihat saja si staff baru itu, tidak sedetik pun dia mengalihkan pandangan dari Nona Lily.”Satu sudut alis Arsen terangkat. Ia melirik ke arah yang ditunjuk Thomas dengan ekor matanya. Juna. Memang, pemuda itu tak henti-hentinya memandangi Lily.Arsen tetap tenang, seolah tak terusik sedikit pun. Kemudian, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, mengetik pesan singkat untuk Lily.[Segera kembali ke kamar untuk istirahat setelah selesai makan.]Setelah memastikan pesan terkirim, Arsen bangkit dari kursi, meninggalkan Thomas yang masih makan dan terperangah.Thomas buru-buru menghabiskan makanannya dan menyusul atasannya.Arsen melangkah melewati meja-meja tempat para staff makan. Kehadirannya sontak menarik perhatian, semua mata tertuju padanya.Lily, yang semula sedang meman
"Apa yang terjadi?!" Arsen mematung. Langkahnya yang semula nyaris berlari, mendadak berhenti di ambang pintu. Di hadapannya, Bryan sudah melompat ke dalam kolam. Arsen mengepalkan tangan. Dia terlambat. Ekspresinya menggelap melihat Bryan yang menolong Lily dari air. "Pak." Suara Thomas terdengar lirih, menyadarkan Arsen dari keterkejutan. Arsen tak menjawab. Matanya tetap terpaku, menatap tajam ke arah kolam. "Pastikan Lily baik-baik saja!" Perintahnya, dingin dan datar. Setelah berkata, Arsen berbalik pergi dari sana. Bryan membopong Lily ke tepi, membaringkannya dengan hati-hati. Lily terbatuk-batuk, satu tangannya menyentuh dada, dan satu tangan yang lain menahan tubuhnya, berusaha memuntahkan air. Bryan memeriksa dan memastikan keadaan Lily. Lega. Tetapi kemudian, ia menoleh ke arah Sonia, melotot kesal. "Apa kamu sudah gila?!" Desisnya, penuh amarah yang tertahan. Sonia hanya diam dengan tenang. Belum sempat ia menjawab, Thomas, Juna, dan Dini sudah berlari menghampir
Lily menurunkan pandangan pada jaket yang tersemat di pundaknya. Lily tertegun. Ia kenal jaket ini, karena ia yang memasukkan jaket itu di koper kemarin. Senyum kecil muncul di bibir Lily sebelum membalikkan badan. Namun, Lily berjengit kaget melihat seseorang di hadapannya. Di saat yang sama, Thomas ikut terkejut. “Kenapa kamu yang ada di sini?” tanya Lily. Nada suaranya kecewa. Yang datang bukan seseorang yang diharapkannya. “Kenapa Anda malam-malam di sini? Apalagi udara di sini sangat dingin.” Thomas balas bertanya. Lily membuang napas kasar kemudian kembali berbalik dan memandang pemandangan malam di hadapannya. “Aku hanya tidak bisa tidur,” kata Lily. “Apa kamu mengikutiku?” Lily menoleh lagi ketika Thomas berdiri di sampingnya. “Hm … ya, begitulah,” jawab Thomas ragu. Dahi Lily berkerut samar mendengar jawaban Thomas. “Sejak kejadian Anda jatuh di kolam tadi, Pak Arsen memintaku untuk memastikan kondisi Anda baik-baik saja. Aku bahkan tidak diperbolehkan tidur ma
Lily dan Dini melangkah beriringan menuju ballroom, tempat pelatihan akan segera dimulai. Langkah mereka ringan, namun benak Lily dipenuhi bayangan kejadian semalam. Baru saja mereka tiba, beberapa staf menghampiri Lily. Wajah-wajah mereka memancarkan kekhawatiran. "Lily, kami dengar kamu jatuh ke kolam semalam. Kamu baik-baik saja?" tanya seorang staf wanita, suaranya bergetar. Lily memaksakan senyum, mengangguk meyakinkan. "Iya, aku baik-baik saja." Ucapan syukur terdengar dari para staf. Mereka kemudian membubarkan diri, menuju kursi masing-masing, menanti pelatihan dimulai. "Tadi ada yang bertanya padaku," bisik Dini, mendekatkan tubuhnya pada Lily, "apa mungkin kamu jatuh karena didorong Bu Sonia?" Lily menoleh, menatap Dini sejenak. "Lalu, kamu jawab apa?" "Ya, kujawab tidak tahu. Lagipula aku tidak melihat langsung saat kamu jatuh. Meskipun, memang benar ada Bu Sonia di sana," jelas Dini, meskipun ia sendiri juga ragu. Senyum tipis kembali tersungging di bibir Lily. "Su
Lily memandang ponselnya yang berdering dan terkejut saat melihat nama Arsen terpampang di layar. ‘Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku sekarang?’ Lily mendadak panik karena takut ada yang tahu. 'Apa tidak bisa mengirim pesan saja seperti biasa?' Kening Lily berkerut samar karena tidak biasanya Arsen bersikap seperti ini. Lily sedang mengantri bersama staff lainnya untuk menyewa skuter, membuatnya memilih menjauh untuk menjawab panggilan dari Arsen. Dini melihat Lily memisahkan diri tapi bersikap biasa saja. Dini merasa Lily mencurigakan, tapi ia hanya diam. Mungkin itu dari seseorang yang penting untuk Lily. Di sisi lain, sedari tadi Juna telah memperhatikan Lily. Ketika wanita itu mengangkat teleponnya dan bergerak mencurigakan, ia jadi ikut penasaran. Melihat Lily pergi dari antrean dan memegang ponsel di depan dadanya. Lily berjalan agak jauh dari kerumunan para staff. Saat dirasa sudah aman, Lily menjawab panggilan dari Arsen. “Di mana kamu?” Lily langsung mendapa
“Aku tidak mau bicara denganmu lagi!” Suara Sonia meninggi, penuh kebencian. Ia menatap Bryan dengan sorot mata penuh rasa kesal, lalu berbalik, meninggalkan pria itu tanpa menoleh. Sonia melangkah dengan tergesa untuk mengejar Lily. Ada sesuatu yang harus ia pastikan. Jadi, ia mempercepat langkah, berusaha menyusul Lily. Namun, usahanya terhenti. Rombongan staf lain mulai berdatangan kembali ke villa, membuat Sonia terpaksa menghentikan langkahnya. “Kalian mau ke mana?” Di saat yang sama Juna dan Dini hendak masuk villa, namun ia melihat Lily juga Sonia keluar dari vila. Pertanyaan Juna menghentikan langkah mereka. “Kita harus segera berkemas,” lanjut Juna, meskipun ia mulai penasaran dengan mereka, tetapi senyumnya tetap tersungging di bibirnya. “Kita akan pindah ke bumi perkemahan, lebih dekat ke gunung Merapi.” Tangannya menunjuk ke arah belakang villa, seolah menunjukkan jalan. Juna melirik Bryan, yang kini muncul dari dalam villa, mendekati mereka. Melihat mereka bertiga
Dini seketika diam. Dia menatap Lily dengan tatapan tak percaya. “Kamu bercanda? Mana mungkin kamu istrinya Pak Arsen?"Lily mengedikkan kedua bahu. “Seperti gosip yang kamu dengar, aku juga bisa dengan mudah membuat gosip dan membuat gempar dengan pernyataanku," ucapnya .Dini menggeleng pelan dan menganggap Lily hanya sedang bercanda. “Sudahlah Lily! Kamu jangan bertindak aneh-aneh. Lebih baik fokus ke tahap akhir pemilihan direktur pemasaran.”Lily seketika ingat akan hal itu, lalu berkata, “Oh ... ya, aku mau mengajakmu ke suatu tempat.”Dahi Dini berkerut halus. “Ke mana?”“Ikut saja, nanti juga kamu akan tahu.”“Kapan perginya?” tanya Dini penasaran.“Nanti habis makan siang.”Dini mengangguk-angguk.Mereka masuk ke ruangan, di sana sudah ada Sonia dan staff lain yang sedang asik bergosip.“Pak Arsen memang sangat kaya, pulang dari kantor saja memakai helikopter padahal mobil juga banyak di bawah,” ucap salah satu staff.“Pasti dia pergi menjemput kekasihnya untuk mengajak ken
Arsen melihat senyuman hambar tergambar jelas di wajah Lily. Dia membiarkan wanita itu berjalan meninggalkannya di belakang dan hanya memandangi punggung Lily.Arsen membeku di tempatnya untuk beberapa detik, sebelum dia berjalan cepat dan memeluk tubuh Lily dari belakang. "Masih seperti mimpi?" bisiknya.Lily mengangguk. Tak lama dia berjengket.Arsen menggigit telinga Lily sampai wanita itu mengaduh, setelahnya Arsen menyandarkan dagu ke pundak Lily."Masih merasa ini mimpi?" Arsen berbisik lagi di telinga Lily.Lily menggeleng. "Tidak! Aku percaya ini bukan mimpi," ucapnya. Suaranya tercekat. Lily memejamkan mata menahan gelenyar aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya saat Arsen mulai menciumi lehernya.Perbuatan Arsen membuat Lily tak kuasa.Mereka berakhir kembali ke kamar dan melakukan aktivitas menyenangkan bagi pasangan suami istri seperti malam sebelumnya. Arsen memeluk Lily setelah mereka bercinta, tatapannya beralih ke kalung yang melingkar di leher wanita itu. Arsen men
Malam itu Sonia terlihat senang karena Bryan mengajaknya makan malam. Dia dan Bryan datang ke restoran bintang lima dan diarahkan ke private room yang sudah dipesan Bryan sebelumnya. Saat masuk ke private room, di sana sudah ada Monica dan Arya yang menunggu kedatangan Bryan. Namun, mereka tak menyangka jika ternyata Bryan malah mengajak Sonia. Monica menatap tak senang. Dia bertanya-tanya, kenapa Bryan malah datang bersama Sonia, sedangkan putranya itu tak memberitahu kalau mereka akan makan malam berempat. “Selamat malam, Om, Tante,” sapa Sonia sopan. Bahkan Sonia juga mengulurkan hadiah yang dibawanya untuk Monica. Bukannya menerima hadiah pemberian Sonia, Monica langsung membuang muka. Dia memperlihatkan rasa tak senangnya akan kehadiran Sonia di sana. Sonia kecewa karena Monica tak mengambil hadiah yang dibawanya, sampai Bryan yang menerimanya lalu meletakkan di samping kursi Monica. “Ternyata kamu mengajaknya ikut makan malam,” ucap Monica dengan nada ketus, “pad
Lily panik, dia berdiri kemudian mendekat ke arah Arsen. Lily meraih tangan pria itu dan menariknya masuk."Apa yang kamu lakukan di sini?" Lily ketakutan, mengintip dari ambang pintu, dia menoleh ke kiri lalu kanan sebelum menutup pintu.Lily memandang Arsen cemas. Dia tidak bisa melakukan apa-apa saat pria itu malah berjalan meninggalkannya.Lily mengekori Arsen yang mendekat ke meja kerjanya, pria itu mengambil lembaran kertas di atas meja lalu membacanya.Lily takut Arsen akan mengomentari pekerjaannya, lalu menyambar kertas itu dari tangan sang suami.Arsen membalik badannya, dia menyandarkan pinggang ke meja kerja Lily lalu bersedekap mengamati seisi ruangan."Sudah sepi apa kamu tidak takut sendirian? Ada yang bilang di sini seram." Lily memandang Arsen yang berdiri di depannya. Dia menggeleng lalu berkata," Aku tidak takut hantu, manusia lebih menakutkan."Arsen menarik sudut bibir, tangannya menggapai pinggang Lily hingga wanita itu jatuh ke dalam pelukannya."Aku manusia,
Lily berpura-pura tak mendengar obrolan Juna dan Dini. Dia kembali menikmati sarapannya dan menyesap kopi yang baru saja Dini buatkan. Lily berprinsip tidak akan mempercayai omongan orang lain jika tidak mengalami atau melihatnya secara langsung. Dia tidak ingin menjadi orang bodoh untuk kesekian kali di hidupnya. Termakan omongan orang yang hanya ingin merusak kebahagiaannya. Terlebih ini tentang Arsen. Pria yang dia cintai. "Lily bagaimana menurutmu?" Lily menoleh Dini yang bertanya, dia meletakkan gelas kopinya lantas menjawab," Aku malas mengomentari gosip." Lily tersenyum. "Sebentar lagi aku mau ke lantai tujuh," ucapnya. Juna hanya menatap datar melihat reaksi Lily. *** Sepuluh menit kemudian Lily berjalan pelan menuju lantai tujuh. Saat keluar lift sebuah pesan masuk dari Arsen. Lily berhenti sejenak untuk membaca pesan itu. [ Pulang awal saja kalau merasa sakit dan tidak nyaman ] Lily tersenyum, membalas kembali pesan dari Arsen untuk menenangkan pr
Lily pergi ke kamar mandi. Dia berdiri di depan cermin lalu memakai syal yang Thomas berikan untuk menutupi lehernya. Lily memerhatikan dengan seksama dan memastikan syal itu sudah menutup sempurna di lehernya. “Sepertinya sudah aman,” gumam Lily. Lily merapikan tasnya karena harus segera kembali ke ruang divisi pemasaran, tetapi saat masih berdiri di depan cermin, Sonia tiba–tiba keluar dari salah satu bilik kamar mandi dan berdiri mensejajari Lily sambil cuci tangan. “Syalmu bagus.” Sonia melirik Lily yang berdiri di sampingnya. “Apa karena tak bisa mendapatkan Pak Arsen, lalu sekarang kamu mengincar asistennya? Seleramu sekarang turun, ya,” sindir Sonia sambil tersenyum miring. Lily berdiri tegap, ekspresi wajahnya datar menanggapi ucapan Sonia. “Aku tidak perlu menjelaskan kehidupan pribadiku padamu,” balas Lily dengan enteng, “lagi pula aku tidak butuh orang yang mengajakku bicara agar dianggap teman tapi kemudian menusuk dari belakang dan merundungku.” Lily bicara
Hari berikutnya Lily sudah bangun, tapi malas membuka mata. Dia masih betah memeluk Arsen di atas ranjang, merasakan betapa nyamannya kulit mereka saat bersentuhan. Lily tersenyum, merasa senang karena kejadian malam tadi yang dilewatinya bersama Arsen bukanlah mimpi. Dia bahagia, meskipun merasa pegal dan perih di beberapa bagian tubuhnya. Lily semakin mencurukkan kepala saat Arsen menariknya lebih dalam ke pelukan. Dia ingin berlama-lama seperti ini, tapi sadar tetap harus pergi bekerja. "Sudah pagi, tidak mandi?" Suara Arsen yang serak dan lengket terdengar begitu seksi di telinga Lily. Dia tersenyum menyadari kalau pria seksi itu adalah miliknya. "Aku boleh terlambat 'kan Pak CEO? Aku masih ingin bersamamu," kata Lily, memeluk erat Arsen dan masih enggan membuka mata. "Terserah! Tidak ada yang akan memarahimu." Arsen membalas setelah itu mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Lily. Lily berbunga-bunga, berpikir setidaknya masih bisa bermalas-malasan se
Arsen mengerutkan kening, menahan tubuhnya dan menatap curiga pada Lily. "Tunggu! Kamu minum alkohol?" Arsen melihat Lily kaget mendengar pertanyaannya. Dia memegang tangan Lily karena Lily baru saja memukul dadanya. "Sembarangan! Apa kamu mencium bau alkohol dari mulutku?" Amuk Lily dengan bibir cemberut. Arsen tersenyum lantas menahan tangan Lily di sisi kepala wanita itu. "Aku harus memastikan kamu menginginkannya dengan kesadaran penuh." Arsen memandang mata Lily, tatapan mereka saling mengunci. "Aku sadar, aku menginginkanmu," balas Lily. Lily merasakan cekalan tangan Arsen melonggar bersamaan dengan pria itu yang kembali menyatukan bibir mereka. Arsen menjauhkan wajah, menatap begitu dalam pada Lily, dari mata indah sampai bibir ranum gadis itu tak luput dari sapuan pandangannya. “Aku tidak akan mundur, jadi kamu jangan menyesal,” ucap Arsen. Lily menggeleng pelan dengan senyum manis di wajahnya. “Aku tidak akan menyesal.” Mendapat sinyal untuk terus maju dari
Lily penasaran. Benarkah apa yang dikatakan bundanya kalau pria akan luluh dengan mudah di atas ranjang? Lily membawa pulang ke mansion Arsen semua baju tidur dan lingerie yang tadi mereka beli. Lily menyimpannya rapi ke dalam lemari, lalu memakai satu baju tidur yang bundanya bilang sangat cocok untuknya tadi. Dia mematut diri di depan cermin menunggu Arsen pulang. "Aku tidak bisa membiarkan Sonia menang, apalagi karena masalah internal rumah tangga seperti ini," ucap Lily. "Kalau memang jalan lurus susah ditempuh, aku akan menggunakan jalan orang dalam." Lily mengerjap, kemudian menggeleng untuk menyadarkan diri. "Tidak! Intinya malam ini aku harus mendapatkan hatinya." Lily melihat kembali model baju tidur yang dia pakai dari pantulan cermin. Lily yang begitu polos, manis dan tidak tahu apa-apa tentang hal berbau dua puluh satu tiba-tiba harus merayu pria. "Tenang! Pokoknya aku harus membuat Arsen luluh," ucap Lily lagi. Dia lantas menyemprotkan parfum mahal ya