Lily menatap keluar jendela pesawat. Hari ini adalah hari keberangkatan ke Jogja, tak elak senyum terus mengembang di bibirnya. Terlebih karena ucapan Arsen tadi malam terus terngiang di telinga, menciptakan sensasi aneh di perutnya. Pikiran Lily yang ikut terbang, membuat ia tidak sadar sedari tadi Dini mengajaknya berbicara. Karena tidak ada sahutan dari Lily, Dini menyenggol lengannya, membuyarkan lamunan. “Bagaimana menurutmu?” tanya Dini, matanya berbinar. “Maaf, tadi kamu bilang apa?” Lily bertanya, berusaha fokus. Dini mencebik, tetapi sedetik kemudian kembali bersemangat. “Kubilang Pak Arsen luar biasa, menyewa pesawat dan satu hotel untuk pelatihan ini. Semua demi kita!” “Memang luar biasa,” gumam Lily, pikirannya masih melayang. “Tapi, menurutku daripada dua hari menginap di hotel, lebih seru kalau langsung saja berkemah.” Dini terdiam, menatap Lily dengan tatapan aneh, seolah Lily baru saja mengatakan sesuatu yang gila. Lily mengalihkan perhatian, menatap pramugari
Melihat Arsen yang menatapnya dingin, Thomas menelan ludah, takut. Ia lantas menunduk, menyuapkan potongan buah ke mulutnya, lalu bergumam lirih, “Istri Anda sejak tadi juga sudah menjadi pusat perhatian staff lain. Lihat saja si staff baru itu, tidak sedetik pun dia mengalihkan pandangan dari Nona Lily.”Satu sudut alis Arsen terangkat. Ia melirik ke arah yang ditunjuk Thomas dengan ekor matanya. Juna. Memang, pemuda itu tak henti-hentinya memandangi Lily.Arsen tetap tenang, seolah tak terusik sedikit pun. Kemudian, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, mengetik pesan singkat untuk Lily.[Segera kembali ke kamar untuk istirahat setelah selesai makan.]Setelah memastikan pesan terkirim, Arsen bangkit dari kursi, meninggalkan Thomas yang masih makan dan terperangah.Thomas buru-buru menghabiskan makanannya dan menyusul atasannya.Arsen melangkah melewati meja-meja tempat para staff makan. Kehadirannya sontak menarik perhatian, semua mata tertuju padanya.Lily, yang semula sedang meman
"Apa yang terjadi?!" Arsen mematung. Langkahnya yang semula nyaris berlari, mendadak berhenti di ambang pintu. Di hadapannya, Bryan sudah melompat ke dalam kolam. Arsen mengepalkan tangan. Dia terlambat. Ekspresinya menggelap melihat Bryan yang menolong Lily dari air. "Pak." Suara Thomas terdengar lirih, menyadarkan Arsen dari keterkejutan. Arsen tak menjawab. Matanya tetap terpaku, menatap tajam ke arah kolam. "Pastikan Lily baik-baik saja!" Perintahnya, dingin dan datar. Setelah berkata, Arsen berbalik pergi dari sana. Bryan membopong Lily ke tepi, membaringkannya dengan hati-hati. Lily terbatuk-batuk, satu tangannya menyentuh dada, dan satu tangan yang lain menahan tubuhnya, berusaha memuntahkan air. Bryan memeriksa dan memastikan keadaan Lily. Lega. Tetapi kemudian, ia menoleh ke arah Sonia, melotot kesal. "Apa kamu sudah gila?!" Desisnya, penuh amarah yang tertahan. Sonia hanya diam dengan tenang. Belum sempat ia menjawab, Thomas, Juna, dan Dini sudah berlari menghampir
Lily menurunkan pandangan pada jaket yang tersemat di pundaknya. Lily tertegun. Ia kenal jaket ini, karena ia yang memasukkan jaket itu di koper kemarin. Senyum kecil muncul di bibir Lily sebelum membalikkan badan. Namun, Lily berjengit kaget melihat seseorang di hadapannya. Di saat yang sama, Thomas ikut terkejut. “Kenapa kamu yang ada di sini?” tanya Lily. Nada suaranya kecewa. Yang datang bukan seseorang yang diharapkannya. “Kenapa Anda malam-malam di sini? Apalagi udara di sini sangat dingin.” Thomas balas bertanya. Lily membuang napas kasar kemudian kembali berbalik dan memandang pemandangan malam di hadapannya. “Aku hanya tidak bisa tidur,” kata Lily. “Apa kamu mengikutiku?” Lily menoleh lagi ketika Thomas berdiri di sampingnya. “Hm … ya, begitulah,” jawab Thomas ragu. Dahi Lily berkerut samar mendengar jawaban Thomas. “Sejak kejadian Anda jatuh di kolam tadi, Pak Arsen memintaku untuk memastikan kondisi Anda baik-baik saja. Aku bahkan tidak diperbolehkan tidur ma
Lily dan Dini melangkah beriringan menuju ballroom, tempat pelatihan akan segera dimulai. Langkah mereka ringan, namun benak Lily dipenuhi bayangan kejadian semalam. Baru saja mereka tiba, beberapa staf menghampiri Lily. Wajah-wajah mereka memancarkan kekhawatiran. "Lily, kami dengar kamu jatuh ke kolam semalam. Kamu baik-baik saja?" tanya seorang staf wanita, suaranya bergetar. Lily memaksakan senyum, mengangguk meyakinkan. "Iya, aku baik-baik saja." Ucapan syukur terdengar dari para staf. Mereka kemudian membubarkan diri, menuju kursi masing-masing, menanti pelatihan dimulai. "Tadi ada yang bertanya padaku," bisik Dini, mendekatkan tubuhnya pada Lily, "apa mungkin kamu jatuh karena didorong Bu Sonia?" Lily menoleh, menatap Dini sejenak. "Lalu, kamu jawab apa?" "Ya, kujawab tidak tahu. Lagipula aku tidak melihat langsung saat kamu jatuh. Meskipun, memang benar ada Bu Sonia di sana," jelas Dini, meskipun ia sendiri juga ragu. Senyum tipis kembali tersungging di bibir Lily. "Su
Lily memandang ponselnya yang berdering dan terkejut saat melihat nama Arsen terpampang di layar. ‘Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku sekarang?’ Lily mendadak panik karena takut ada yang tahu. 'Apa tidak bisa mengirim pesan saja seperti biasa?' Kening Lily berkerut samar karena tidak biasanya Arsen bersikap seperti ini. Lily sedang mengantri bersama staff lainnya untuk menyewa skuter, membuatnya memilih menjauh untuk menjawab panggilan dari Arsen. Dini melihat Lily memisahkan diri tapi bersikap biasa saja. Dini merasa Lily mencurigakan, tapi ia hanya diam. Mungkin itu dari seseorang yang penting untuk Lily. Di sisi lain, sedari tadi Juna telah memperhatikan Lily. Ketika wanita itu mengangkat teleponnya dan bergerak mencurigakan, ia jadi ikut penasaran. Melihat Lily pergi dari antrean dan memegang ponsel di depan dadanya. Lily berjalan agak jauh dari kerumunan para staff. Saat dirasa sudah aman, Lily menjawab panggilan dari Arsen. “Di mana kamu?” Lily langsung mendapa
“Aku tidak mau bicara denganmu lagi!” Suara Sonia meninggi, penuh kebencian. Ia menatap Bryan dengan sorot mata penuh rasa kesal, lalu berbalik, meninggalkan pria itu tanpa menoleh. Sonia melangkah dengan tergesa untuk mengejar Lily. Ada sesuatu yang harus ia pastikan. Jadi, ia mempercepat langkah, berusaha menyusul Lily. Namun, usahanya terhenti. Rombongan staf lain mulai berdatangan kembali ke villa, membuat Sonia terpaksa menghentikan langkahnya. “Kalian mau ke mana?” Di saat yang sama Juna dan Dini hendak masuk villa, namun ia melihat Lily juga Sonia keluar dari vila. Pertanyaan Juna menghentikan langkah mereka. “Kita harus segera berkemas,” lanjut Juna, meskipun ia mulai penasaran dengan mereka, tetapi senyumnya tetap tersungging di bibirnya. “Kita akan pindah ke bumi perkemahan, lebih dekat ke gunung Merapi.” Tangannya menunjuk ke arah belakang villa, seolah menunjukkan jalan. Juna melirik Bryan, yang kini muncul dari dalam villa, mendekati mereka. Melihat mereka bertiga
Lily bergegas menerobos semak-semak untuk mencari kalungnya. Ia tak peduli pada Sonia yang tersenyum mengejek, tak peduli juga saat Sonia meninggalkannya sendirian.Bagi Lily tidak ada yang lebih penting daripada kalung itu."Tadi ... jatuhnya di mana?" gumamnya lirih. Matanya menyisir setiap jengkal tanah di antara semak-semak.Kalung itu terlalu berharga. Lily tak ragu menyibak semak belukar, mengabaikan ranting-ranting yang mengotori dan merusak pakaiannya.Lily terus mencari, namun kalung itu seolah lenyap ditelan bumi. Namun, Lily masih belum bisa menemukannya sama sekali.Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia terus bertahan. Di tengah pencariannya, tangannya tak sengaja menyentuh tanaman berduri. Rasa perih menjalar, namun Lily tak peduli. Ia hanya meringis, menyeka air mata dengan lengan bajunya, lalu kembali melanjutkan pencarian.Meskipun perih di tangannya bercampur dengan tanah basah, namun Lily tetap gigih. Ia tak akan menyerah.Hari mulai gelap, perlahan b
Lily panik. Dia mendorong Arsen sekuat tenaga, menjauhkan tubuh pria itu darinya. "Jangan macam-macam!" serunya panik dan takut.Arsen tersenyum tipis melihat Lily buru-buru bangkit dari tempat tidur.Lily berjalan cepat menuju sofa lalu mengambil berkas kontrak di atas meja. Dia melirik Arsen yang berjalan ke kamar mandi, kemudian mulai membaca isi kontrak pernikahan yang terlanjur ia tanda tangani.Matanya membulat sempurna saat membaca poin-poin perjanjian itu.[Pihak pertama dan pihak kedua akan bekerja sama agar Adhitama mengizinkan pihak pertama dan pihak kedua mengumumkan pernikahan keduanya.]Lily mengerutkan keningnya, bingung. Apa maksudnya ini?"Apa jangan-jangan dia benar-benar serius ingin memberi Papa cucu?" gumamnya, tak percaya.Lily menggelengkan kepalanya. Ini tak seperti yang dia bayangkan.Lily menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Lalu, dengan langkah cepat ia meninggalkan kamar sebelum Arsen keluar dari kamar mandi.Saat menuruni tangga, ia berpapasan dengan B
Risha menghela napas, bahunya merosot. Ekspresi prihatin tergambar jelas di wajahnya."Keputusan papamu masih sama. Dia tidak akan mengakui Arsen sebagai menantu kalau sampai dia mengingkari janjinya," jawab Risha lirih.Lily terdiam, mencerna kata-kata bundanya. Pantas saja saat itu Arsen tidak langsung mengiyakan permintaannya. Dia tahu Adhitama tidak akan merestui.Apa Arsen menyesal menikah dengannya karena kini sang papa sudah tidak memperlakukannya seperti tuan putri lagi?Pikiran-pikiran itu berkecamuk di benaknya. Namun, ia menepisnya. Arsen sudah bersikap hangat padanya, tidak mungkin dia hanya bersandiwara.Lily masih terdiam, tenggelam dalam pikirannya, hingga sentuhan lembut Risha di lengannya menyadarkannya."Ada apa, Sayang?" tanya Risha khawatir."Tidak apa-apa, Bunda. Aku agak lelah, Bunda. Aku pulang dulu, ya? Aku hanya ingin mengantar oleh-oleh ini," jawab Lily berusaha tersenyum untuk menutupi kekecewaannya."Kamu tidak mau bertemu papamu dulu?" tanya Risha terkejut
Bukannya berpura-pura tidur, Lily malah menatap Arsen lekat-lekat, tak berkedip. Ia semakin salah tingkah saat Arsen menangkap basah jari telunjuknya yang menggantung di udara karena tadi hendak menyentuh punggungnya. "Sudah kubilang, tidur," kata Arsen. "Kamu, sulit sekali diberitahu!" "Maaf ... aku hanya ..." Kalimat Lily terputus. Arsen tiba-tiba menarik jari Lily yang tadi tertangkap, lalu didekatkan ke bibirnya. "Apa sudah tidak sakit?" tanya Arsen, ada nada kekhawatiran di sana. "I... iya. Sudah tidak sakit … sejak kemarin," jawab Lily, gugup. Jantungnya berdetak tak karuan. Lily membiarkan Arsen memegang jarinya. Melihat Arsen menatap jari telunjuknya, Lily memberanikan diri bertanya, "Selama ini ... berapa banyak mantan pacarmu?" Arsen melepaskan jari Lily perlahan dan dengan santai menjawab, "Menurutmu, apa pria sepertiku mudah menjalin komitmen?" Pertanyaan balasan dari Arsen justru membuat bibir Lily kelu. "Apa ... selama ini kamu masih sering ke klub? Mi
Lily tak begitu mendengar ucapan Arsen. Ia menoleh, namun tak menangkap maksudnya. "Ada apa?" tanyanya. Ia melihat ke arah pandang Arsen. Seketika, Lily salah tingkah. ‘Apa Arsen melihatku dan aktor itu saling pandang? Apa dia … cemburu?’ Lily menggigit sedotan minumannya. ‘Tidak mungkin,’ batinnya. ‘Mana mungkin pria sedingin balok es ini punya perasaan padaku?’ "Kalau sudah selesai, ayo kembali ke hotel. Aku lelah," kata Arsen sambil menghentakkan gelasnya ke meja. Lily tersentak, menatap Arsen yang juga sedang menatapnya. "Apa … kamu baik-baik saja?" tanya Lily, melihat wajah Arsen yang memerah. "Berikan kunci mobilnya. Biar aku yang menyetir." Lily buru-buru meletakkan minumannya saat Arsen bangkit berdiri. Namun, Arsen tak menjawab. Ia hanya merogoh saku celananya, memberikan kunci mobil pada Lily, tanpa berkata apa-apa. Sepanjang perjalanan kembali ke hotel, mereka tak bicara. Lily fokus menyetir, sementara Arsen duduk di sampingnya, tangan terlipat di depan d
Arsen mengemudikan mobil tanpa banyak bicara, sesekali melirik Lily yang duduk di sampingnya. Jari-jari Lily tak lepas dari liontin kalung yang kini melingkar apik di lehernya. Arsen mengalihkan pandangannya ke kaca spion samping, pura-pura mengecek kendaraan di belakang. Meskipun sebenarnya, ia sedang memikirkan jawaban Lily tadi. "Kalung ini ... dari Kak Audrey. Pengawalku dulu." Lily menjawab jujur pertanyaannya, seolah tidak ada lagi rahasia yang perlu dia sembunyikan. Arsen larut dalam ingatan, hingga suara Lily menyadarkannya. "Sekarang kita mau ke mana? Apa mau kembali ke hotel?" Arsen menoleh, lalu menjawab, "Katakan saja jika ada tempat yang ingin kamu datangi lagi, sebelum kita benar-benar kembali ke hotel." Lily terdiam sejenak, berpikir. Lalu, senyum mengembang di wajahnya. "Aku ingin membeli oleh-oleh untuk Bunda. Bunda pasti senang kalau aku bawakan makanan khas Jogja. Bunda juga sudah lama tidak ke Jogja." “Jadi, setelah dari sini, kamu akan langsung menemui Bund
Lily tak menyangka Arsen akan menanyakan hal itu. Ia jadi salah tingkah, tak tahu harus menjawab apa.Lily kembali menyuapkan es krim ke mulutnya, berusaha menutupi kegugupannya. "Itu ... karena aku merasa kalau ... kamu seperti orang asing."Arsen tertegun. Dahi Arsen berkerut samar ketika perasaan tidak senang tiba-tiba muncul di hatinya setelah mendengar ucapan Lily barusan.Ia menatap Lily yang asyik makan, setelah menghela kecil lalu bertanya, "Apa sekarang aku masih terasa asing bagimu?"Lily mengulum bibirnya, menjilat sisa es krim di sana, lalu menatap Arsen. "Sekarang … aku merasa kamu lebih seperti kakakku." Ia tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana. "Karena aku yakin kamu juga menganggapku seperti adik, atau mungkin malah keponakanmu?"Namun, senyum itu lenyap seketika.Tiba-tiba ada rasa sakit yang aneh di dadanya saat ia mengucapkan kata-kata itu. Ada apa dengannya?Lily menggeleng kecil, berusaha keras menyembunyikan perasaannya yang campur aduk.Arsen ingin menangg
Mereka tiba di depan sekolah TK Lily. Mereka hanya duduk di dalam mobil, tak ada niatan turun dari mobil dan masuk ke sekolah itu. Lily menghela napas panjang, menatap bangunan sekolahnya. Senyum kecil terukir di wajahnya, mengenang masa lalu. “Dulu, waktu TK, aku punya teman dekat. Tapi, karena aku sering sakit, Bunda harus membawaku pindah ke Jakarta untuk berobat. Kami pun berpisah,” cerita Lily, tanpa diminta. “Sakit apa?” tanya Arsen. “Dulu aku belum tahu. Aku hanya ingat sering mimisan. Setiap kali dibawa ke rumah sakit, dokter selalu mengambil darahku, menusukku dengan jarum besar. Itu mengerikan jika diingat,” jawab Lily, bergidik ngeri. “Setelah itu, baru aku tahu. Aku diduga mengidap leukemia.” “Apa?” Arsen terkejut, menatap Lily tak percaya. Lily menoleh pada Arsen. “Tapi, aku baik-baik saja. Kata Bunda, itu hanya akal-akalan Kakek Buyut. Dia membayar dokter untuk berbohong.” Dahi Arsen berkerut. Kenapa Kakek Buyut Lily melakukan itu? “Kenapa harus berbohong? Kesehat
Esok harinya. Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui celah gorden samar-samar menerangi kamar hotel.Lily membuka mata dan terkesiap mendapati Arsen masih terlelap di sampingnya.Jantung Lily berdebar kencang. Dengan perlahan ia menoleh lalu menatap wajah Arsen yang tenang dalam tidurnya. Senyum tipis terukir di bibirnya.‘Biasanya dia sudah bangun lalu sibuk dengan pekerjaannya. Tapi, sekarang dia terlihat seperti bayi,’ batin Lily.Senyumnya melebar. Ia terus mengamati Arsen, terpaku pada ketampanan pria itu.Mata Arsen perlahan terbuka.Lily tersentak. Buru-buru ia memejamkan matanya lagi, berpura-pura tidur.Namun, terlambat. Arsen sudah melihatnya."Hari ini, kamu tidak perlu kembali ke vila," kata Arsen seraya bangkit perlahan dari tempat tidur. Suaranya terdengar serak khas seseorang yang baru bangun tidur.Mata Lily membelalak. Pipinya memerah malu karena ketahuan. ‘Kenapa aku jadi bodoh begini?’"Ke ... kenapa tidak usah kembali?" tanyanya bingung dan berusaha untuk men
Di vila.Hujan deras tiba-tiba mengguyur vila, Thomas, di salah satu sudut vila, sedang berbicara dengan Arsen melalui telepon, memberikan laporan tentang situasi terkini di perkemahan."Semua staf sudah kembali ke vila karena hujan deras, Pak,” lapor Thomas. “Anda tidak perlu khawatir, saya sudah memberikan alasan yang masuk akal tentang kepergian Anda dan Nona Lily.”Di seberang panggilan Arsen menjawab, "Lily akan pulang bersamaku. Kalau ada yang bertanya, katakan saja dia dijemput orang suruhan papanya.”Thomas mengangguk, meskipun Arsen tak bisa melihatnya. "Baik, Pak. Oh ya, apa Anda sudah melihat rekaman video yang saya kirim?" tanyanya, memastikan Arsen mengetahui detail kejadian tadi."Ya.""Kemungkinan besar Nona Lily dan Sonia bertengkar lagi.” Thomas menjeda ucapannya sejenak, sebelum melanjutkan dengan hati-hati. “Saya menduga Sonia meninggalkan Nona Lily sendirian di hutan.”Hening sejenak. Arsen tak menanggapi."Menurut saya, sebaiknya Anda meminta klarifikasi dari Soni