Lily menggigit bibir bawahnya. Dia baru menyadari kalau sudah salah karena membuat status yang baru saja diunggahnya.“Bagaimana ini?” Lily bingung, apalagi Risha sudah melihat statusnya itu.Lily meletakkan ponselnya mencoba mengabaikan. Dia memilih kembali fokus bekerja, meski masih memikirkan soal status yang dibuatnya itu.Dia merasa bodoh, kenapa harus seimpulsif itu membuat status tidak penting yang malah akan membuatnya malu sendiri?Lily berusaha tenang menarik napas dan membuangnya lewat mulut. Saat Lily mencoba fokus bekerja lagi, dia tak sengaja mendengar Dini mengeluh.“Ah, bagaimana ini. Selalu saja kalah war tiket. Kalau begini caranya, kapan aku bisa nonton konser mereka?”Lily menajamkan pendengaran. Dia mendadak mendapat ide untuk menutupi kebodohannya membuat status yang sebelumnya.Lily membuka sebuah situs web, lalu mencari informasi boyband yang Dini maksud. Matanya berbinar saat mendapat apa yang diinginkan, dia lalu mengambil screenshot informasi konser boyband
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Arsen belum juga pulang. Lily mendesah kecil, tetapi ia kembali membolak-balikan majalah fashion yang ada di tangannya.Pandangannya tertuju pada majalah di tangannya, namun pikirannya memikirkan hal lain. Pikirannya yang terus berkelana membuatnya tidak sadar jika pintu kamarnya terbuka dan Arsen telah pulang.Lily berjengit kaget ketika sesuatu menghalangi pandangannya dari majalah fashion di hadapannya.Lily mengerutkan alis saat melihat kertas bertuliskan tiket konser. Dia menoleh dan terkejut mendapati Arsen yang menyodorkan tiket itu padanya.“Apa ini?” tanya Lily keheranan.“Untukmu.” Arsen masih berdiri seraya menggerakkan tiket itu agar Lily cepat mengambilnya.Lily terkesiap. Dia hanya iseng demi menutupi kebodohannya soal status yang dibuatnya, tetapi kenapa Arsen malah mendapatkan tiket konser untuknya?Tetapi, tunggu sebentar … bukankah Arsen juga tidak bisa melihat statusnya karena Lily memblokir nomor pria itu agar tidak
Arsen dan Lily benar-benar pergi menonton konser bersama. Keduanya mendapat kursi di Cat 2 yang ada di bagian sisi depan panggung utama. Mereka menggunakan masker dan topi agar tidak ada yang mengenali keduanya.Selama konser berlangsung, Lily hanya menyaksikan dan tidak seheboh fans yang datang ke acara itu. Sesekali Lily meringis karena suara teriakan keras ketika boyband ternama itu menyanyikan lagu dan saat menyapa para fans yang datang.“Apa tenggorokan mereka tidak sakit berteriak sekencang itu?” bisik Arsen. Dia membuang muka kesal setelah bicara.Lily melirik Arsen, lalu membalas, “Lebih baik jangan bersuara nanti kamu bisa ditendang keluar stadion karena memprotes mereka.”Arsen tersenyum hambar di balik maskernya. Dia memilih melipat kedua tangan di depan dada, lalu kembali menyaksikan acara konser itu.Saat suasana semakin riuh, orang yang berada di sebelah Lily tak sengaja menyenggol lengan gadis itu sampai terhuyung. Beruntung Arsen langsung merengkuh kedua lengan Lily.P
Pagi itu, Sonia masuk ke ruang kerjanya dengan ponsel yang menempel di telinga. Dia mengabaikan staff yang menyapa karena sedang menghubungi Bryan.“Aku merasa aneh dengan hal ini, Beb.”Sonia baru saja mendapat kabar yang dia terima dari rapat direktur. Dia mengeluhkan keputusan mendadak dari Arsen tentang penggantian acara pelatihan.Arsen membatalkan pelatihan di hotel yang bahkan sudah dilunasi pembayarannya oleh perusahaan dan memindahkan acara itu ke Jogja.“Mungkin dia ada pertimbangan lain,” balas Bryan dari seberang panggilan.Sonia mendudukkan tubuhnya di kursi. Dia menghela napas kasar. Tatapannya tajam ke arah Lily meskipun pandangannya terhalang tembok kaca ruangannya.“Bukan begitu, saat tim mengajukan lokasi di Jogja dia menolak proposal itu mentah-mentah, sekarang sudah hampir mendekati hari acara lokasi dipindahkan atas perintahnya begitu saja. Bukankah ini sangat aneh?” Sonia mengeluh masih dengan memandang benci Lily yang sibuk bekerja.“Mana mungkin dia mengambil k
Untuk beberapa waktu, Arsen dan Lily saling menatap dalam diam.Napas Lily tertahan di tenggorokkan ketika melihat wajah suaminya yang benar-benar tenang tanpa ekspresi. Apa suaminya itu marah karena tindakannya barusan?“Hm.” Arsen hanya menjawab dengan gumaman setelah itu beralih dari hadapan Lily dan pergi menuju kamar mandi.Tubuh Lily berputar mengikuti kepergian Arsen. Napas yang sejak tadi dia tahan, akhirnya Lily keluarkan perlahan.Malam harinya, Lily berbaring memunggungi Arsen. Perasaan canggung itu tetap ada di dalam hatinya mengingat tindakannya yang memeluk pria itu tanpa sadar. Lily berusaha memejamkan mata, tetapi meskipun sudah mencoba beberapa kali dia tetap tidak bisa jatuh ke alam mimpi.Kenapa dirinya merasa gelisah seperti ini?Lily menghembuskan napas kasar. Dia tidak merasakan gerakan sama sekali dari belakang punggungnya.Bingung harus melakukan apa, akhirnya Lily meraih ponselnya yang ada di nakas, lalu mencoba mengirim pesan pada Natasha yang sudah lama tida
Arsen tak bisa langsung membalas pertanyaan Lily, dia kembali menyandarkan punggung dengan kasar lalu menggaruk pelan pelipisnya menggunakan jari telunjuk. Arsen berdecak sebelum membalas pesan itu. [Kenapa kamu bertanya begini? Apa kamu sedang menyukai orang yang umurnya jauh lebih tua?] Lily diam membaca pesan yang baru saja Arsen kirimkan, lalu akhirnya dia mengetik pesan balasan lagi. [Aku tidak yakin, lagipula itu terjadi saat aku masih sangat kecil, aku juga sudah lupa bagaimana wajah orang yang aku sukai itu karena ini sudah sangat lama.] Arsen terdiam membaca pesan yang Lily kirimkan, dia tidak mau menduga siapa orang yang Lily sukai dan memutuskan untuk mengakhiri percakapan via aplikasi berbalas pesan itu. [Ya sudah, ini sudah malam. Berdoalah sebelum tidur, semoga malam ini tidak ada mimpi buruk menghampirimu.] Lily tersenyum membaca pesan dari Natasha yang sangat perhatian. Dia membalas pesan dengan harapan yang sama untuk Natasha lalu mengakhiri kegiatan berbalas p
Ucapan Lily tidak berhenti di situ ketika melihat Sonia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.“Bibi Monica masih mengirimiku pesan, memohon padaku untuk kembali bersama Bryan." Usai berkata itu, Lily melihat Sonia melepas pelukan Bryan dan hampir menamparnya."Tak perlu pamer seolah hubungan kalian baik-baik saja, itu memalukan,” kata Lily lagi."Berani sekali kamu!"Lily membuang muka saat Bryan menahan Sonia.Lily tetap bersikap tenang meski beberapa staff yang kebetulan menunggu di depan lift menatap curiga."Jangan ladeni dia." Bryan menarik Sonia, tepat setelah lift terbuka. Mereka buru-buru pergi meski itu bukan lantai tujuan mereka.Sonia meradang, wajahnya merah padam. "Kenapa kamu menahanku?!" Suaranya cukup keras.Bryan melirik sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar. Nadanya pelan tetapi penuh peringatan. "Kamu mau dipecat? Perusahaan ini punya aturan anti-perundungan. Kamu harus ingat, hanya status direkturmu lah yang bisa aku banggakan pada orang tuaku, Sonia." Sete
Lily menatap keluar jendela pesawat. Hari ini adalah hari keberangkatan ke Jogja, tak elak senyum terus mengembang di bibirnya. Terlebih karena ucapan Arsen tadi malam terus terngiang di telinga, menciptakan sensasi aneh di perutnya. Pikiran Lily yang ikut terbang, membuat ia tidak sadar sedari tadi Dini mengajaknya berbicara. Karena tidak ada sahutan dari Lily, Dini menyenggol lengannya, membuyarkan lamunan. “Bagaimana menurutmu?” tanya Dini, matanya berbinar. “Maaf, tadi kamu bilang apa?” Lily bertanya, berusaha fokus. Dini mencebik, tetapi sedetik kemudian kembali bersemangat. “Kubilang Pak Arsen luar biasa, menyewa pesawat dan satu hotel untuk pelatihan ini. Semua demi kita!” “Memang luar biasa,” gumam Lily, pikirannya masih melayang. “Tapi, menurutku daripada dua hari menginap di hotel, lebih seru kalau langsung saja berkemah.” Dini terdiam, menatap Lily dengan tatapan aneh, seolah Lily baru saja mengatakan sesuatu yang gila. Lily mengalihkan perhatian, menatap pramugari
Lily panik. Dia mendorong Arsen sekuat tenaga, menjauhkan tubuh pria itu darinya. "Jangan macam-macam!" serunya panik dan takut.Arsen tersenyum tipis melihat Lily buru-buru bangkit dari tempat tidur.Lily berjalan cepat menuju sofa lalu mengambil berkas kontrak di atas meja. Dia melirik Arsen yang berjalan ke kamar mandi, kemudian mulai membaca isi kontrak pernikahan yang terlanjur ia tanda tangani.Matanya membulat sempurna saat membaca poin-poin perjanjian itu.[Pihak pertama dan pihak kedua akan bekerja sama agar Adhitama mengizinkan pihak pertama dan pihak kedua mengumumkan pernikahan keduanya.]Lily mengerutkan keningnya, bingung. Apa maksudnya ini?"Apa jangan-jangan dia benar-benar serius ingin memberi Papa cucu?" gumamnya, tak percaya.Lily menggelengkan kepalanya. Ini tak seperti yang dia bayangkan.Lily menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Lalu, dengan langkah cepat ia meninggalkan kamar sebelum Arsen keluar dari kamar mandi.Saat menuruni tangga, ia berpapasan dengan B
Risha menghela napas, bahunya merosot. Ekspresi prihatin tergambar jelas di wajahnya."Keputusan papamu masih sama. Dia tidak akan mengakui Arsen sebagai menantu kalau sampai dia mengingkari janjinya," jawab Risha lirih.Lily terdiam, mencerna kata-kata bundanya. Pantas saja saat itu Arsen tidak langsung mengiyakan permintaannya. Dia tahu Adhitama tidak akan merestui.Apa Arsen menyesal menikah dengannya karena kini sang papa sudah tidak memperlakukannya seperti tuan putri lagi?Pikiran-pikiran itu berkecamuk di benaknya. Namun, ia menepisnya. Arsen sudah bersikap hangat padanya, tidak mungkin dia hanya bersandiwara.Lily masih terdiam, tenggelam dalam pikirannya, hingga sentuhan lembut Risha di lengannya menyadarkannya."Ada apa, Sayang?" tanya Risha khawatir."Tidak apa-apa, Bunda. Aku agak lelah, Bunda. Aku pulang dulu, ya? Aku hanya ingin mengantar oleh-oleh ini," jawab Lily berusaha tersenyum untuk menutupi kekecewaannya."Kamu tidak mau bertemu papamu dulu?" tanya Risha terkejut
Bukannya berpura-pura tidur, Lily malah menatap Arsen lekat-lekat, tak berkedip. Ia semakin salah tingkah saat Arsen menangkap basah jari telunjuknya yang menggantung di udara karena tadi hendak menyentuh punggungnya. "Sudah kubilang, tidur," kata Arsen. "Kamu, sulit sekali diberitahu!" "Maaf ... aku hanya ..." Kalimat Lily terputus. Arsen tiba-tiba menarik jari Lily yang tadi tertangkap, lalu didekatkan ke bibirnya. "Apa sudah tidak sakit?" tanya Arsen, ada nada kekhawatiran di sana. "I... iya. Sudah tidak sakit … sejak kemarin," jawab Lily, gugup. Jantungnya berdetak tak karuan. Lily membiarkan Arsen memegang jarinya. Melihat Arsen menatap jari telunjuknya, Lily memberanikan diri bertanya, "Selama ini ... berapa banyak mantan pacarmu?" Arsen melepaskan jari Lily perlahan dan dengan santai menjawab, "Menurutmu, apa pria sepertiku mudah menjalin komitmen?" Pertanyaan balasan dari Arsen justru membuat bibir Lily kelu. "Apa ... selama ini kamu masih sering ke klub? Mi
Lily tak begitu mendengar ucapan Arsen. Ia menoleh, namun tak menangkap maksudnya. "Ada apa?" tanyanya. Ia melihat ke arah pandang Arsen. Seketika, Lily salah tingkah. ‘Apa Arsen melihatku dan aktor itu saling pandang? Apa dia … cemburu?’ Lily menggigit sedotan minumannya. ‘Tidak mungkin,’ batinnya. ‘Mana mungkin pria sedingin balok es ini punya perasaan padaku?’ "Kalau sudah selesai, ayo kembali ke hotel. Aku lelah," kata Arsen sambil menghentakkan gelasnya ke meja. Lily tersentak, menatap Arsen yang juga sedang menatapnya. "Apa … kamu baik-baik saja?" tanya Lily, melihat wajah Arsen yang memerah. "Berikan kunci mobilnya. Biar aku yang menyetir." Lily buru-buru meletakkan minumannya saat Arsen bangkit berdiri. Namun, Arsen tak menjawab. Ia hanya merogoh saku celananya, memberikan kunci mobil pada Lily, tanpa berkata apa-apa. Sepanjang perjalanan kembali ke hotel, mereka tak bicara. Lily fokus menyetir, sementara Arsen duduk di sampingnya, tangan terlipat di depan d
Arsen mengemudikan mobil tanpa banyak bicara, sesekali melirik Lily yang duduk di sampingnya. Jari-jari Lily tak lepas dari liontin kalung yang kini melingkar apik di lehernya. Arsen mengalihkan pandangannya ke kaca spion samping, pura-pura mengecek kendaraan di belakang. Meskipun sebenarnya, ia sedang memikirkan jawaban Lily tadi. "Kalung ini ... dari Kak Audrey. Pengawalku dulu." Lily menjawab jujur pertanyaannya, seolah tidak ada lagi rahasia yang perlu dia sembunyikan. Arsen larut dalam ingatan, hingga suara Lily menyadarkannya. "Sekarang kita mau ke mana? Apa mau kembali ke hotel?" Arsen menoleh, lalu menjawab, "Katakan saja jika ada tempat yang ingin kamu datangi lagi, sebelum kita benar-benar kembali ke hotel." Lily terdiam sejenak, berpikir. Lalu, senyum mengembang di wajahnya. "Aku ingin membeli oleh-oleh untuk Bunda. Bunda pasti senang kalau aku bawakan makanan khas Jogja. Bunda juga sudah lama tidak ke Jogja." “Jadi, setelah dari sini, kamu akan langsung menemui Bund
Lily tak menyangka Arsen akan menanyakan hal itu. Ia jadi salah tingkah, tak tahu harus menjawab apa.Lily kembali menyuapkan es krim ke mulutnya, berusaha menutupi kegugupannya. "Itu ... karena aku merasa kalau ... kamu seperti orang asing."Arsen tertegun. Dahi Arsen berkerut samar ketika perasaan tidak senang tiba-tiba muncul di hatinya setelah mendengar ucapan Lily barusan.Ia menatap Lily yang asyik makan, setelah menghela kecil lalu bertanya, "Apa sekarang aku masih terasa asing bagimu?"Lily mengulum bibirnya, menjilat sisa es krim di sana, lalu menatap Arsen. "Sekarang … aku merasa kamu lebih seperti kakakku." Ia tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana. "Karena aku yakin kamu juga menganggapku seperti adik, atau mungkin malah keponakanmu?"Namun, senyum itu lenyap seketika.Tiba-tiba ada rasa sakit yang aneh di dadanya saat ia mengucapkan kata-kata itu. Ada apa dengannya?Lily menggeleng kecil, berusaha keras menyembunyikan perasaannya yang campur aduk.Arsen ingin menangg
Mereka tiba di depan sekolah TK Lily. Mereka hanya duduk di dalam mobil, tak ada niatan turun dari mobil dan masuk ke sekolah itu. Lily menghela napas panjang, menatap bangunan sekolahnya. Senyum kecil terukir di wajahnya, mengenang masa lalu. “Dulu, waktu TK, aku punya teman dekat. Tapi, karena aku sering sakit, Bunda harus membawaku pindah ke Jakarta untuk berobat. Kami pun berpisah,” cerita Lily, tanpa diminta. “Sakit apa?” tanya Arsen. “Dulu aku belum tahu. Aku hanya ingat sering mimisan. Setiap kali dibawa ke rumah sakit, dokter selalu mengambil darahku, menusukku dengan jarum besar. Itu mengerikan jika diingat,” jawab Lily, bergidik ngeri. “Setelah itu, baru aku tahu. Aku diduga mengidap leukemia.” “Apa?” Arsen terkejut, menatap Lily tak percaya. Lily menoleh pada Arsen. “Tapi, aku baik-baik saja. Kata Bunda, itu hanya akal-akalan Kakek Buyut. Dia membayar dokter untuk berbohong.” Dahi Arsen berkerut. Kenapa Kakek Buyut Lily melakukan itu? “Kenapa harus berbohong? Kesehat
Esok harinya. Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui celah gorden samar-samar menerangi kamar hotel.Lily membuka mata dan terkesiap mendapati Arsen masih terlelap di sampingnya.Jantung Lily berdebar kencang. Dengan perlahan ia menoleh lalu menatap wajah Arsen yang tenang dalam tidurnya. Senyum tipis terukir di bibirnya.‘Biasanya dia sudah bangun lalu sibuk dengan pekerjaannya. Tapi, sekarang dia terlihat seperti bayi,’ batin Lily.Senyumnya melebar. Ia terus mengamati Arsen, terpaku pada ketampanan pria itu.Mata Arsen perlahan terbuka.Lily tersentak. Buru-buru ia memejamkan matanya lagi, berpura-pura tidur.Namun, terlambat. Arsen sudah melihatnya."Hari ini, kamu tidak perlu kembali ke vila," kata Arsen seraya bangkit perlahan dari tempat tidur. Suaranya terdengar serak khas seseorang yang baru bangun tidur.Mata Lily membelalak. Pipinya memerah malu karena ketahuan. ‘Kenapa aku jadi bodoh begini?’"Ke ... kenapa tidak usah kembali?" tanyanya bingung dan berusaha untuk men
Di vila.Hujan deras tiba-tiba mengguyur vila, Thomas, di salah satu sudut vila, sedang berbicara dengan Arsen melalui telepon, memberikan laporan tentang situasi terkini di perkemahan."Semua staf sudah kembali ke vila karena hujan deras, Pak,” lapor Thomas. “Anda tidak perlu khawatir, saya sudah memberikan alasan yang masuk akal tentang kepergian Anda dan Nona Lily.”Di seberang panggilan Arsen menjawab, "Lily akan pulang bersamaku. Kalau ada yang bertanya, katakan saja dia dijemput orang suruhan papanya.”Thomas mengangguk, meskipun Arsen tak bisa melihatnya. "Baik, Pak. Oh ya, apa Anda sudah melihat rekaman video yang saya kirim?" tanyanya, memastikan Arsen mengetahui detail kejadian tadi."Ya.""Kemungkinan besar Nona Lily dan Sonia bertengkar lagi.” Thomas menjeda ucapannya sejenak, sebelum melanjutkan dengan hati-hati. “Saya menduga Sonia meninggalkan Nona Lily sendirian di hutan.”Hening sejenak. Arsen tak menanggapi."Menurut saya, sebaiknya Anda meminta klarifikasi dari Soni