Sementara Bian sedang menjalankan misinya, Ira menjalani harinya seperti biasa. Ia sudah terlanjur kecewa pada Bian, sehingga Ira memutuskan untuk move on dan tidak ingin memikirkan Bian lagi.Bahkan, semua foto Bian sudah ia hapus dari ponselnya. Padahal gadis yang bertemu Bian di mall kala itu adalah adik Bian. Namun, karena Bian tidak menjelaskannya Ira pun jadi salah paham.“Mau ke mana, Ra?” tanya Muh saat melihat anaknya hendak pergi.“Mau nonton, Pah,” jawab Ira, santai.Muh senang karena saat ini Ira sudah tidak murung lagi. Namun ia penasaran Ira hendak pergi dengan siapa. “Sama siapa?” tanyanya.“Sama Arga,” jawab Ira.Tak lama kemudian terdengar suara Arga. “Assalamualaikum,” ucap Arga saat berada di depan pintu rumah Muh.“Waalaikumsalam,” sahut Muh dan yang lain.“Nah, tuh dia orangnya udah datang. Aku pergi dulu ya, Pah,” ucap Ira.“Malam, Pak,” sapa Arga pada Muh. Ia pun bersalaman dengan Rani.“Eh, dokter Arga. Mau ke mana, nih?” tanya Muh.“Maaf, Pak. Kalau diizinkan
Seketika air mata Ira mengalir. Sudah sebulan lebih sejak terakhir kali mereka bertemu di mall. Ira berusaha keras untuk melupakan Bian, bahkan ia rela berusaha membuka hati untuk Arga.Kekecewaannya sudah sangat dalam. Apalagi kala itu Bian meninggalkan Ira sendirian dan ia malah pergi dengan wanita lain.Namun, kini Bian justru ada di hadapannya. Datang bersama keluarga untuk melamarnya. Ira tidak paham dengan situasi yang ia hadapi. Ia merasa bahwa Bian telah mempermainkannya.Mereka semua diam karena paham bahwa Ira pasti sangat kecewa pada Bian. Namun mereka pun tahu bahwa dua insan itu masih sama-sama saling mencintai. Hal itulah yang membuat Muh memberi kesempatan pada Bian.Kemarin Bian menghubungi Muh kembali dan mengatakan niat baiknya itu. Awalnya Muh sempat menolak. Namun Bian memohon dan berjanji akan memperbaiki semuanya.Bian pun menjelaskan apa yang terjadi selama sebulan terakhir. Sehingga Muh tidak tega dan mau memberikan kesempatan padanya lagi.Ira menatap Bian unt
Awalnya Muh dan Irawan sepakat menunggu Bian dan Ira sambil berbincang di ruang tamu. Namun mereka sangat pensaran karena dua insan itu berbincang cukup lama. Mereka pun ingin tahu apakah Ira memaafkan Bian atau tidak. “Bagaimana kalau kita lihat mereka?” usul Muh. “Boleh,” sahut ayah Bian. Mereka pun berjalan ke arah ruang tengah yang jendelanya mengarah ke taman. Tiba di sana, mereka mengintip dari balik jendela dan Muh terkejut saat melihat Bian membuka kancing kemejanya. “Tunggu! Sepertinya dia hanya ingin menunjukkan bekas lukanya,” ucap Irawan, sambil menahan Muh yang hendak berlari ke arah mereka. Sebagai orang tua, Muh tidak ingin anak gadisnya disentuh oleh pria yang bukan mahrom. Sehingga reaksinya cukup berlebihan ketika melihat tindakan Bian yang mencurigakan. Namun ternyata tebakan Irawan benar. Sebagai Jenderal, tentu Irawan sangat pintar menebak situasi. Sehingga ia bisa tahu apa yang akan anaknya lakukan. Awalnya Muh lega karena Bian hanya menunjukkan luka. Namun
Bian terkesiap mendengar ucapan Muh. Tentu saja ia keberatan jika harus dipisahkan lagi dengan Ira, meski hanya sebentar.“Kenapa seperti itu, Om?” tanya Bian. Wajahnya tidak dapat menyembunyikan ekspresi keberatan.“Om tidak mau kalian khilaf!” skak Muh. Ia terlihat begitu serius.Gluk!Bian menelan saliva. Ia menyesal karena tadi sudah melampaui batas.“Maaf, Om. Yang tadi itu khilaf karena terlalu bahagia Ira mau nerima aku lagi. Aku janji selanjutnya gak akan begitu sampai sah nanti,” ucap Bian. Ia berusaha memohon agar Muh mau memberikan keringanan pada mereka.Ia pun berharap Muh hanya bercanda atau bisa menarik ucapannya. Baginya sudah cukup mereka terpisah selama setahun lebih.“Siapa yang bisa jamin?” tanya Muh. Pertanyaannya terdengar menantang.“Tapi kan nanti Ira akan menjalani berbagai test untuk nikah kantor. Pasti aku yang harus mengantarnya, kan?” Bian masih berusaha mencari celah.“Masalah itu biar Bapak yang atur, Bi,” ucap Ayah Bian.Bian pun lemas. Ia kesal karena
“Hehehe, jangan dong, Om. Aku cuma bercanda,” jawab Bian, malu-malu.“Tapi kalau kami setuju, kamu mau kan?” tanya Muh. Ia menyunggingkan sebelah ujung bibirnya.“Ya mau, Om. Kan sambil menyelam minum air, hehe,” sahut Bian. Saat ini ia tidak terlihat seperti seorang komandan. Bian malah salah tingkah karena tadi sudah keperegok oleh Muh.“Dasar anak muda!” ucap Muh. Meski begitu harapannya pada Bian tidak berkurang. Sebenarnya ia paham atas sikap Bian tersebut. Namun Muh tidak ingin jika sampai anaknya dijamah sebelum menikah.Seandainya ia tahu apa yang telah mereka lakukan selama di perbatasan, mungkin Muh akan mengamuk. Meski begitu, untungnya Bian dan Ira tidak pernah berlebihan.“Oh iya, kebetulan besok ada acara sertijab di rumah sakit. Kalau sempat, tolong hadir!” ucap Muh. Ia mengundang mereka secara langsung untuk menghadiri acara tersebut.Saat ini Zein sedang sibuk persiapan alih jabatan, sehingga ia tidak bisa hadir di sana. Meski begitu, Muh sudah memberi informasi bahwa
“Hehehe, iya Pah,” jawab Ira, jujur. Ia tidak ingin mengambil risiko dengan berbohong pada papahnya. Sehingga ia memilih jujur meski mungkin Muh tidak akan mengizinkan. Muh lega karena Ira jujur. “Oke, tapi kamu harus ingat pesan Papah!” ucap Muh, dengan nada sedikit mengancam. “Siap, Pah,” sahut Ira. Ia tak menyangka Muh akan mengizinkannya. Wajah Ira pun terlihat sumeringah. Muh geleng-geleng melihat kelakuan anaknya itu. Ira pun segera keluar dari ruangan itu. Kemudian ia menyusul Bian yang ada di kantin. Saat itu Bian menunggu Ira bersama Kiana. Saat hampir tiba di depan kantin, Ira berpapasan dengan Arga. “Lho, kok ada di sini, Ra?” tanya Arga. Ia senang karena bertemu dengan Ira. “Iya, ada perlu,” sahut Ira. Ia khawtir Bian melihat Arga dan cemburu padanya. Sebab, sejak dulu Arga memang menjadi saingan Bian. “Gimana acaranya semalam, lancar?” tanya Arga. Sebelumnya Ira sudah memberi tahu Arga bahwa ia akan dijodohkan oleh orang tuanya. Sebenarnya Arga sakit hati, tetapi i
Jantung Ira berdebar dengan sangat cepat. Momen ini adalah yang ia nantikan sejak setahun lalu. Ia tak menyangka ternyata akan menjadi kenyataan.Ira sempat pasrah dan berpikir bahwa pernikahannya hanya sekadar khayalan. Sebab Bian sempat menghilang dalam waktu yang lama. Sehingga saat ini kebahagiaan Ira membuncah, luar biasa.Jantungnya berdebar cepat, tubuhnya gemetar, tangannya keringat dingin. Bahkan ia sampai ingin buang air karena terlalu nervous.“Semoga gak terlalu tegang kayak aku dan ijab kabulnya lancar,” gumam Ira.Ia khawatir Bian sama gugup dengan dirinya. Ia takut Bian tidak bisa mengucapkan kabul dengan benar.Setelah penyambutan kehadiran mereka, kini ada pembacaan tilawah sebelum akad dimulai. Suaranya terdengar begitu merdu. Namun menambah ketegangan kedua mempelai tersebut.Sebab, mendengarnya membuat mereka terharu. Entah mengapa ada rasa sedih yang menyeruak dari dalam diri mereka.“Alhamdulillah, baiklah mari kita mulai akadnya!” ucap penghulu.Deg!Ira terceka
Awalnya Ira tak menolak. Ia yang memang merindukan Bian pun menyambutnya. Ira membuka mulutnya dan menjulurkan lidahnya.Medapatkan sambutan dari Ira, Bian pun semakin bersemangat. Cumbuannya semakin menuntut dan tanpa sadar dirinya telah mendorong Ira mundur, hingga mereka berdua sudah berada di atas tempat tidur.Napas Bian semakin menggebu. Ia pun langsung merangkak naik ke tubuh Ira. Sekujur tubuhnya meremang, ia sudah sangat bergairah.Namun, menyadari hal itu, Ira langsung menghentikannya. “Tunggu, Bi!” ucap Ira saat Bian sedang melumati lehernya.Bian tak mendengar ucapan istrinya itu. Matanya sudah berkabut, sebab ia memang menantikan momen itu sejak lama. Sehingga Bian tidak pikir panjang lagi dan ingin langsung melakukannya saat itu juga.“Bi, lepas!” keluh Ira, sambil berusaha mendorong tubuh suaminya yang semakin menempel itu.“Bi!” bentak Ira. Kali ini ia mendorongnya dengan kuat, sehingga Bian mundur.Bian yang sedang bersimpuh di atas tubuh istrinya pun bingung. “Kenapa
Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany
“Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di
“Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua
“Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel
“Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka
“Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan
Ira mendorong Bian secara perlahan. “Berarti nanti kamu bisa gak pilih aku, dong?” tanyanya, saat Bian melepaskan tautan bibir mereka.Bian menatap Ira. “Kamu kan tau kalau aku sudah bersumpah untuk menjadikan tugas negara sebagai prioritas?” Ia balik bertanya.Wajah Ira langsung murung. “Iya,” lirihnya. Ia tidak bisa protes untuk hal itu. Apalagi mereka sudah beberapa kali membahas hal itu.“Maaf ya, Sayang,” ucap Bian sambil menangkup pipi Ira. Ia pun bingung karena tidak bisa berbuat apa-apa. Mengatakan janji manis pun tidak mungkin jika tak sesuai kenyataan.“Yah, mau gimana lagi. Udah risiko aku,” ucap Ira, pasrah.Sebenarnya ia hanya ingin jawaban gombal. Namun nyatanya Bian tidak bisa seperti itu. Sehingga Ira kecewa.“Dari pada mikirin yang enggak-enggak. Mending kita kerjakan yang iya-iya,” ucap Bian, genit.Ira mengerutkan keningnya. “Apa?” tanyanya.Bian melirik ke arah tempat tidur.Ira langsung menyipitkan matanya. “Ya ampun, Bi. Ini masih siang, lho,” keluh Ira.“Masalah
“Siap aku salah!” ucap Bian. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan istrinya. Saat ini ia hanya bisa mengakui kesalahannya. Bian tidak mau sampai bulan madunya gagal karena hanya hal sepele.“Aku kecewa sama kamu,” ucap Ira sambil memalingkan wajah.Meski sedang kesal, melihat Bian mau mengakui kesalahannya membuat Ira senang. Baginya Bian mau mengaku saja sudah cukup, tetapi rasa kesalnya masih ada walaupun ia tidak marah lagi.“Yank, itu camilannya mau di makan, gak?” tanya Bian. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.“Gak!” jawab Ira, ketus.‘Haduh! Pake ketemu dia segala, sih. Jadi kacau gini kan bulan madunya. Gawat banget kalau sampe dia ngambek terus,’ batin Bian.‘Apa iya cewek tadi cuma temen lama dia? Tapi kenapa tatapannya ke aku sinis banget? Aku gak yakin,’ batin Ira. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. Ia ingin menelisik apakah Bian berbohong padanya atau tidak.‘Semoga dia gak nanya macem-macem lagi, deh,’ gumam Bian dalam hati.Ira yang sedang kesal itu akhirnya t
Bian terkekeh. “Ya udah jalan dulu ya, Bang. Dari pada bulan madunya gagal nanti. Bahaya,” ucap Bian.“Oke, hati-hati!” sahut Zein. Ia pun tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Zein merasa Ira tidak jauh berbeda dengan dirinya.Akhirnya mereka pun pergi.“Sayang, mau beli camilan dulu, gak?” tanya Bian. Ia khawatir istrinya akan bosan jika tidak ada makanan ringan.“Boleh, deh. Kalau gitu nanti mampir di minimarket aja dulu!” jawab ira.“Siap!” sahut Bian. Mereka pun menuju ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan.“Beli di situ aja ya, Yank?” tanya Bian saat melihat ada minimarket di depan.“Ya udah, ada parkirannya, kan?” sahut Ira.“Ada, tuh!” jawab Bian. Ia pun mengarahkan mobilnya ke minimarket tersebut. Kebetulan parkirannya sedang kosong, sehingga mobil Bian bisa masuk.“Kamu mau ikut turun atau nunggu di sini?” tanya Bian, saat hendak turun dari mobil.“Aku nunggu aja, deh,” sahut Ira. Ia malas jika harus turun. Sebab di luar, matahari cukup terik.“Ya udah, mau beli apa?