Awalnya Ira tak menolak. Ia yang memang merindukan Bian pun menyambutnya. Ira membuka mulutnya dan menjulurkan lidahnya.Medapatkan sambutan dari Ira, Bian pun semakin bersemangat. Cumbuannya semakin menuntut dan tanpa sadar dirinya telah mendorong Ira mundur, hingga mereka berdua sudah berada di atas tempat tidur.Napas Bian semakin menggebu. Ia pun langsung merangkak naik ke tubuh Ira. Sekujur tubuhnya meremang, ia sudah sangat bergairah.Namun, menyadari hal itu, Ira langsung menghentikannya. “Tunggu, Bi!” ucap Ira saat Bian sedang melumati lehernya.Bian tak mendengar ucapan istrinya itu. Matanya sudah berkabut, sebab ia memang menantikan momen itu sejak lama. Sehingga Bian tidak pikir panjang lagi dan ingin langsung melakukannya saat itu juga.“Bi, lepas!” keluh Ira, sambil berusaha mendorong tubuh suaminya yang semakin menempel itu.“Bi!” bentak Ira. Kali ini ia mendorongnya dengan kuat, sehingga Bian mundur.Bian yang sedang bersimpuh di atas tubuh istrinya pun bingung. “Kenapa
Sepulang dari masjid, Bian ingin segera pergi ke kamar. Sebab ia sudah mendapat izin dari Ira untuk melakukannya sore itu juga. Namun sayangnya Muh malah menahannya.“Bi, kita ngopi dulu, yuk!” ajak Muh saat memasuki rumah.Deg!Debaran jantung Bian yang sedang menggebu itu mendadak berhenti sejenak. “Tapi, Pah,” ucap Bian.“Udah, gak apa-apa! Biar Ira istirahat, kita ngobrol aja dulu!” ajak Muh sambil merangkul menantunya itu.“Oh, iya Pah,” sahut Bian. Ia sudah tidak dapat mengelak lagi.‘Duh, gagal lagi, deh. Semoga Papah ngobrolnya gak lama,’ batin Bian.“Mbak, tolong bikinin kopi, ya. Kamu mau kopi gak, Bi?” tanya Muh pada Bian.“Boleh,” sahut Bian.Mereka pergi ke taman samping rumah dan duduk di kursi.Muh berbincang panjang kali lebar dengan Bian. Ia pun menyampaikan beberapa pesan pada menantunya itu.Meski bisa menjawab ucapan Muh, tetapi pikiran Bian tidak fokus. Ia gelisah karena ingin segera kembali ke kamar.Namun sayangnya Muh tidak memberi celah Bian untuk pergi dari s
“Kamu hebat, Sayang. Aku sangat puas,” bisik Bian, sambil memeluk Ira yang terkulai lemas di atas tubuhnya. Saat itu mereka baru saja melakukan pergulatan panas.Cinta mereka sangat menggebu karena sempat terpisahkan dalam waktu yang lama. Entah apa lagi yang akan mereka hadapi ke depannya.Saat azan subuh berkumandang, Ira membuka matanya. Meski semalam mereka baru melewatkan malam yang panas, tetapi mereka masih bisa bangun tepat waktu.“Alhamdulillah ....” Ira membaca doa setelah bangun tidur. Kemudian ia menoleh ke sebelahnya, terlihat Bian masih terlelap.“Duh, yang abis kerja keras, nyenyak banget tidurnya,” gumam Ira sambil tersenyum. Ia pun mengusap wajah Bian yang sedang tidur menghadap ke arahnya itu.“Iya, aku emang ganteng,” gumam Bian tanpa membuka matanya. Kemudian ia menggenggam tangan Ira yang ada di wajahnya itu.“Iih, kirain belum bangun,” keluh Ira, manja. Ia sempat terkejut saat Bian menjawabnya.Bian malah mendekap Ira. “Udahlah, soalnya bukan cuma aku yang bangun
“Iya sih, Bi. Tapi aku sayang kamu, aku gak sanggup kehilangan kamu lagi, Bi,” ucap Ira sambil memeluk Bian.“Yang penting kamu selalu doain aku aja, Sayang. Lagian untuk sementara kondisinya sudah kondusif. Mereka semua sudah ditangkap dan diamankan oleh polisi,” jelas Bian.“Kok polisi?” tanya Ira.“Iyalah. Masalah kejahatan itu kan sebenarnya urusan polisi. Tapi karena sejak awal mereka berhubungan sama aku di perbatasan, jadi kami pun turun tangan. Apalagi aku yang jadi incaran mereka. Tapi untungnya kepolisian dan mantan bos mafianya mau bantu.”“Terus kenapa kamu bisa terluka?” tanya Ira.“Yah, namanya juga menghadapi orang jahat malem-malem. Waktu itu aku lengah karena takut kamu diambil orang. Jadi begini, deh,” canda Bian.“Kalau takut aku diambil orang, harusnya gak digantungin begitu, dong!”“Dih, ngomongnya balik lagi. Masa aku harus jelasin dari awal?” keluh Bian.“Hehehe, tapi kalau ternyata aku diambil orang, gimana?” tanya Ira.“Aku yakin kamu itu jodoh aku, jadi apa p
“Hehehe, iya mari makan! Kasihan ini pengantin baru pasti udah lapar,” goda Muh.Bian tersipu malu. “Panggilannya siapa, Bang?” tanya Bian, sambil melihat bayi Zein. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.“Panggil Aydin aja. Palingan nanti kalau gak mau ribet ujungnya dipanggil Adin, hehe,” sahut Zein.“Namanya unik sekali. Artinya apa?” tanya Bian lagi.“Artinya tampan. Biar dia jadi anak tampan kayak Bapaknya,” jawab Zein, pede.“Hahaha, asal galaknya gak ngikut ke bapaknya aja. Kasihan nanti ibunya tertekan,” ledek Ira.“Oh iya, kemarin Arga nanyain kamu, Ra,” celetuk Zein. Ia sebal karena Ira meledeknya terus.Ira langsung memelototi Zein. ‘Apaan sih becandanya gak lucu,’ batin Ira, kesal.“Mau ngapain?” tanyanya, ketus.“Itu, dia nanya kamu cuti sampe kapan. Terus dia juga minta maaf gak bisa datang karena ada acara keluarga,” jelas Zein.“Ooh,” sahut Ira, kesal. Kemudian ia melirik ke arah Bian. Ia khawatir suaminya itu akan cemburu.Namun ternyata ekspresi Bian biasa saja. Tidak
“Kebetulan aku masih ada cuti, Pah. Jadi kalau Papah mengizinkan, kami akan pergi bulan madu,” jawab Bian, malu-malu.Muh tersenyum. “Oh, silakan! Namanya pengantin baru pasti butuh bulan madu, kan. Pergi saja ke mana pun kalian mau, selama itu aman!” ucap Muh. Meski begitu ia tidak ingin membuat menantunya semakin malu.“InsyaaAllah untuk saat ini kondisi masih aman, Pah. Semua penjahat yang bermasalah pun sudah ditangkap. Jadi aku berani ngajak Ira pergi bulan madu,” jelas Bian.“Syukurlah kalau begitu. Tapi papah dengar kasus kemarin itu ada hubungannya sama pejabat negara, ya?” tanya Muh.“Iya, Pah. Makanya misi itu sangat rahasia dan aku baru bisa cerita ke Papah setelah semuanya clear,” jelas Bian.“Ya sudah, yang penting sekarang sudah beres. Semoga kedepannya tidak ada lagi hal seperti itu.”“Memang masalahnya apa, Bi?” tanya Zein, kepo.“Penyelundupan barang dan human trafficing, Bang,” jawab Bian.“Astaghfirullah ... masih ada saja orang seperti itu, ya?” Zein tidak habis pi
“Iiih, kamu nih! Gak kasihan itu sama anaknya?” tanya Intan, sebal.“Bukan gak kasihan, Sayang. Aydin kan ada Moma dan Popa-nya. Suster yang jaga juga ada. Gak apalah sesekali kita quality time berdua,” pinta Zein. Ia tetap berusaha merayu istrinya agar mau.“Kamu sayang sama Aydin gak, sih?” tanya Intan. Ia heran karena Zein tega meninggalkan anaknya.“Sayang, dong. Tapi kan kamu tau sendiri, waktu itu aku 40 hari lebih puasa. Setelahnya udah beberapa bulan kita gak pernah bisa main lama karena selalu ada gangguan. Masa kamu tega sama aku? Kan aku juga pingin main yang serius,” pinta Zein, memelas.“Ya udah nanti aku pikirin lagi. Terus kalaupun kita jadi pergi, nanti mau bilang apa sama Mamah dan Papah?” tanya Intan. Ia masih berusaha mencari celah agar tidak perlu meninggalkan anaknya.Sebagai seorang ibu, Intan tidak tega meninggalkan bayinya yang belum genap setahun itu. Ia yakin, jika memaksakan diri untuk pergi pun pasti tidak akan nyaman.“Jujur aja! Mereka pasti ngerti, kok.
“Kamu aja sana sendiri! Aku gak mau. Aku maunya di tempat yang nyaman dengan fasilitas lengkap!” ucap Ira, jujur. Ia sudah trauma tinggal di perbatasan dengan segala keterbatasannya.Apalagi jika mengingat bahwa dirinya pernah diculik. Ira tidak pernah ingin kembali ke sana lagi meski banyak view yang bagus.“Wah, ternyata selera istri aku tinggi juga, ya?” ujar Bian, sambil menggodanya.“Iyalah. Kalau gak tinggi, mana mungkin aku milih kamu jadi suami,” jawab Ira, ketus.“Ohh, jadi maksudnya aku ini high quality?” tanya Bian, bangga. Senyumannya mengembang sempurna karena dipuji Ira secara tidak langsung.“Duh, nyesel deh aku ngomongnya.” Ira pun jadi malas melihat suaminya narsis seperti itu.“Ya udah, sih. Ngaku aja!” ucap Bian sambil mencolek-colek istrinya.“Hem ... lumayan, lah. Menengah ke atas,” ledek Ira. Ia tidak ingin suaminya itu semakin ge'er.“Dih, mana ada menengah ke atas? Emangnya ekonomi?” Bian tak terima disebut seperti itu.“Lagian kamu ge’er," cibir Ira.“Itu nama