Ira memalingkan wajah. Ia tak berani menatap punggung Bian terus karena khawatir khilaf.‘Sadar, Ira! Jangan sampe khilaf. Jangan malu-maluin,’ batin Ira sambil komat-kamit.Saat seperti itu, ternyata Bian sudah selesai mencuci piring. Bahkan ia berdiri tepat di samping Ira.“Kenapa?” tanyanya tanpa dosa.Deg!Ira refleks menoleh dan ternyata Bian sudah ada di hadapannya. “Astaghfirullah!” pekik Ira. Ia sangat terkejut karena Ira pikir Bian masih berada di tempat cuci piring.Ira yang terkejut pun langsung mundur, hingga ia hampir terjatuh. Beruntung Bian yang merupakan seorang tentara itu sigap menangkap Ira dan menariknya.Set!Buk!Ira pun langsung mendarat di dada Bian yang sedang berdiri tegak itu. Tanpa sengaja posisi mereka saat ini sedang berpelukan.“Hati-hati!” ucap Bian. Ia dapat merasakan d
“Kamu ini mau nanya apa ngagetin?” tegur Bian. Ia kesal karena anak buahnya itu sangat mengejutkan. Padahal biasanya jika anak buahnya bicara pelan, Bian pun menegurnya karena tidak bersemangat.“Hehehe, Komandan udah kayak orang lagi mojok di semak-semak aja. Pake kaget segala,” ledek anak buah Bian. Ia jadi merasa serba salah karena sikap Bian.“Ck! Sembarangan. Mau aku tembak kamu, hah?” ancam Bian sambil mengambil senjata yang ada di balik jaketnya. Bian tersinggung karena ucapan anak buahnya memang benar. Meski ia tidak sedang mojok di semak-semak, tetapi Bian sedang perang batin agar bisa berbincang dengan Ira.“Hehehe, jangan dong, ndan! Maaf, Ndan. Ini kan masih pagi, jadi harus semangat. Kalau gak semangat nanti disuruh lari di lapangan 7 putaran,” jawab anak buah Bian. Ia menyindir Bian karena biasanya Bian menghukum mereka seperti itu.“Oke, kalau be
Mereka pun melanjutkan jalannya menuju ke atas bukit. “Hati-hati!” ucap Bian sambil bersiaga, barang kali Ira akan terpeleset lagi.“Iyah. Masih jauh gak?” tanya Ira.“Enggak, kok. Nanti di ujung sana, kita tinggal jalan lurus, udah gak perlu nanjak lagi. Gubuknya juga pasti kelihatan,” jawab Bian.“Ooh.”Setelah itu mereka pun hening kembali. Hanya terdengar suara napas yang ngos-ngosan karena kelelahan menanjak.“Cakep, ya?” tanya Bian.“Hah?” Ira pikir ia salah paham karena memang sedang canggung.“Capek. Kamu capek, gak?” Bian langsung meralatnya.“Oh, iya lumayanlah. Namanya juga manjat bukit,” jawab Ira. 'Masa iya aku salah denger?' batinnya.Namun kemudian mereka merasa ada yang aneh. Kata ‘memanjat bukit’ memiliki konotasi yang lain jika diucapka
Saat Bian dan Ira sedang melamun, ternyata anak-anak membuat kesepakatan. “Oke, setuju, ya!” ucap mereka sambil berbisik.Mereka pun selama memperlama lagunya. Hingga membuat Ira semakin salah tingkah. Setelah itu, saat lagunya selesai, Ira dan Bian hendak menangkap salah satu dari anak tersebut.Namun, saat Ira dan Bian hendak memeluknya, anak itu malah berjongkok kemudian berlari. Sehingga Ira dan Bian berpelukan dan bibir mereka tak sengaja bertabrakan.Deg!Sontak saja bola mata mereka hampir melompat. Mereka yang sejak tadi memang sudah salah tingkah itu seperti kehilangan akal. Jika tidak ada anak-anak, mungkin Bian akan melanjutkan yang lebih dari itu.“Ciee! Cieee!” ledek anak-anak.Bian dan Ira pun langsung memisahkan diri dengan cepat. Ira melipat bibirnya, sebab ia seolah masih merasakan bagaimana bibirnya bersentuhan dengan bibir Bian.Sementara
Saat Ira menoleh, Bian terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, tetapi ia yang hendak mengatakan sesuatu itu begitu sulit mengucapkannya.‘Astaga, kenapa sulit sekali? Lidahku terasa kelu,’ batin Bian. Ia merasa seperti orang bodoh. Sebab dirinya tak mampu mengatakan cinta pada Ira. Mulutnya hanya bergerak-gerak tanpa bisa mengeluarkan suara.Ira mengangkat kedua alisnya. “Apa?” tanyanya lagi. Ia bingung karena Bian seperti orang gagap. Hal itu pun membuat Ira takut. Ia khawtair Bian diganggu oleh makhluk halus yang ada di sana.Ira menoleh ke sekitar, khawatir Bian melihat sesuatu. Namun ia tak melihat apa pun yang menakutkan di sana. "Kenapa sih, Bi?" tanya Ira, panik.Bian sudah tidak sanggup menahannya lagi. Jantungnya terasa hampir meledak karena debarannya begitu kencang. Mengatakannya pun tak bisa. Sehingga Bian langsung megungkapkannya dengan sebuah tindakan yang cukup ekstrem.
Ditanya seperti itu, Ira pun tertegun. Tenggorokkannya tercekat, ia bingung bagaimana cara menjawab Bian. Jika langsung menjawab iya, rasanya terlalu malu.“Bi, ini terlalu mendadak. Jujur aku masih shock. Bisa kasih waktu, gak?” tanya Ira. Ia ingin menenangkan diri dari keterkejutannya lebih dulu.Mendapat jawaban seperti itu, Bian langsung tidak enak hati. Ia pun salah tingkah karena Bian pikir Ira akan langsung menerimanya. Apalagi setelah apa yang mereka lakukan barusan. Bian mengira Ira memiliki perasaan yang sama dengannya.Bian menunduk sambil melipat bibirnya ke dalam. “Emm, oke. Aku gak mungkin maksa juga, kan. Tapi kalau emang kamu mau nolak aku juga gak apa-apa, kok. Itu hak kamu,” ucap Bian.Ia salah paham dengan jawaban Ira barusan. Sehingga Bian pikir Ira menolaknya.“Lho, aku bukannya mau nolak, Bi. Aku cuma butuh waktu aja. Kamu paham gak, sih?” tanya
Sebagai pria dan wanita normal, melakukan hal seperti itu membuat gairah mereka semakin memanas. Bian pun mulai kehilangan akal, tangannya menelusup ke dalam baju Ira.Greb!Ira menggenggam tangan Bian dengan cepat. Kemudian tautan bibir mereka pun terlepas.“Jangan!” lirih Ira. Sebenarnya saat ini ia sedang perang batin. Antara ingin pasrah, tapi ia merasa itu tidak benar dan harus menolak.Gluk!Bian jadi tidak enak hati karena hampir saja melewati batas. Kemudian ia memejamkan mata dan mengusap wajah dengan kedua tangannya. Setelah itu Bian menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.“Maaf, aku khilaf,” ucap Bian.“Lagi,” jawab Ira.“Kamu mau lagi?” tanya Bian, serius. Seolah ia sangat siap jika Ira menginginkannya lagi.“Bukan! Maksudnya kamu khilaf lagi. Kalau dua kali begini apa masih disebut khilaf?&
“Ngaco kamu! Mana ada begitu. Kamu itu wanita pertama yang aku kasih kalung ini,” jawab Bian. Ia tak menyangka Ira akan menganggapnya playboy.Namun ucapan Ira ada benarnya. Padahal Bian memiliki dua kalung karena yang satunya hanya untuk cadangan apabila hilang. Apalagi saat ini ia sedang hidup di perbatasan.“Masa? Tapi aku taunya tentara itu terkenal playboy. Aku jadi ragu, deh. Jangan-jangan kamu mau mainin aku, ya?” tanya Ira lagi. Ia jadi berpikir negatif karena ucapan Bian tadi.Bian menatap Ira dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Ia memikirkan cara menjelaskan pada Ira agar Ira tidak menuduhnya lagi.“Sekarang aku balik tanya ke kamu. Di luar sana kan ada beberapa kasus dokter. Ada yang mal praktek, atau pelecehan, atau lainnya. Kalau aku bilang semua dokter seperti itu, kamu mau gak?” tanya Bian.“Ya enggaklah. Gak semua begitu. Itu cuma ulah beberapa oknum yang kebetulan profesinya dokter aja,” jawab Ira, sebal.“So? Apa karena ulah beberapa oknum tentara yang jadi play
Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany
“Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di
“Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua
“Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel
“Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka
“Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan
Ira mendorong Bian secara perlahan. “Berarti nanti kamu bisa gak pilih aku, dong?” tanyanya, saat Bian melepaskan tautan bibir mereka.Bian menatap Ira. “Kamu kan tau kalau aku sudah bersumpah untuk menjadikan tugas negara sebagai prioritas?” Ia balik bertanya.Wajah Ira langsung murung. “Iya,” lirihnya. Ia tidak bisa protes untuk hal itu. Apalagi mereka sudah beberapa kali membahas hal itu.“Maaf ya, Sayang,” ucap Bian sambil menangkup pipi Ira. Ia pun bingung karena tidak bisa berbuat apa-apa. Mengatakan janji manis pun tidak mungkin jika tak sesuai kenyataan.“Yah, mau gimana lagi. Udah risiko aku,” ucap Ira, pasrah.Sebenarnya ia hanya ingin jawaban gombal. Namun nyatanya Bian tidak bisa seperti itu. Sehingga Ira kecewa.“Dari pada mikirin yang enggak-enggak. Mending kita kerjakan yang iya-iya,” ucap Bian, genit.Ira mengerutkan keningnya. “Apa?” tanyanya.Bian melirik ke arah tempat tidur.Ira langsung menyipitkan matanya. “Ya ampun, Bi. Ini masih siang, lho,” keluh Ira.“Masalah
“Siap aku salah!” ucap Bian. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan istrinya. Saat ini ia hanya bisa mengakui kesalahannya. Bian tidak mau sampai bulan madunya gagal karena hanya hal sepele.“Aku kecewa sama kamu,” ucap Ira sambil memalingkan wajah.Meski sedang kesal, melihat Bian mau mengakui kesalahannya membuat Ira senang. Baginya Bian mau mengaku saja sudah cukup, tetapi rasa kesalnya masih ada walaupun ia tidak marah lagi.“Yank, itu camilannya mau di makan, gak?” tanya Bian. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.“Gak!” jawab Ira, ketus.‘Haduh! Pake ketemu dia segala, sih. Jadi kacau gini kan bulan madunya. Gawat banget kalau sampe dia ngambek terus,’ batin Bian.‘Apa iya cewek tadi cuma temen lama dia? Tapi kenapa tatapannya ke aku sinis banget? Aku gak yakin,’ batin Ira. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. Ia ingin menelisik apakah Bian berbohong padanya atau tidak.‘Semoga dia gak nanya macem-macem lagi, deh,’ gumam Bian dalam hati.Ira yang sedang kesal itu akhirnya t
Bian terkekeh. “Ya udah jalan dulu ya, Bang. Dari pada bulan madunya gagal nanti. Bahaya,” ucap Bian.“Oke, hati-hati!” sahut Zein. Ia pun tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Zein merasa Ira tidak jauh berbeda dengan dirinya.Akhirnya mereka pun pergi.“Sayang, mau beli camilan dulu, gak?” tanya Bian. Ia khawatir istrinya akan bosan jika tidak ada makanan ringan.“Boleh, deh. Kalau gitu nanti mampir di minimarket aja dulu!” jawab ira.“Siap!” sahut Bian. Mereka pun menuju ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan.“Beli di situ aja ya, Yank?” tanya Bian saat melihat ada minimarket di depan.“Ya udah, ada parkirannya, kan?” sahut Ira.“Ada, tuh!” jawab Bian. Ia pun mengarahkan mobilnya ke minimarket tersebut. Kebetulan parkirannya sedang kosong, sehingga mobil Bian bisa masuk.“Kamu mau ikut turun atau nunggu di sini?” tanya Bian, saat hendak turun dari mobil.“Aku nunggu aja, deh,” sahut Ira. Ia malas jika harus turun. Sebab di luar, matahari cukup terik.“Ya udah, mau beli apa?