Sebagai pria dan wanita normal, melakukan hal seperti itu membuat gairah mereka semakin memanas. Bian pun mulai kehilangan akal, tangannya menelusup ke dalam baju Ira.
Greb!
Ira menggenggam tangan Bian dengan cepat. Kemudian tautan bibir mereka pun terlepas.
“Jangan!” lirih Ira. Sebenarnya saat ini ia sedang perang batin. Antara ingin pasrah, tapi ia merasa itu tidak benar dan harus menolak.
Gluk!
Bian jadi tidak enak hati karena hampir saja melewati batas. Kemudian ia memejamkan mata dan mengusap wajah dengan kedua tangannya. Setelah itu Bian menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.
“Maaf, aku khilaf,” ucap Bian.
“Lagi,” jawab Ira.
“Kamu mau lagi?” tanya Bian, serius. Seolah ia sangat siap jika Ira menginginkannya lagi.
“Bukan! Maksudnya kamu khilaf lagi. Kalau dua kali begini apa masih disebut khilaf?&
“Ngaco kamu! Mana ada begitu. Kamu itu wanita pertama yang aku kasih kalung ini,” jawab Bian. Ia tak menyangka Ira akan menganggapnya playboy.Namun ucapan Ira ada benarnya. Padahal Bian memiliki dua kalung karena yang satunya hanya untuk cadangan apabila hilang. Apalagi saat ini ia sedang hidup di perbatasan.“Masa? Tapi aku taunya tentara itu terkenal playboy. Aku jadi ragu, deh. Jangan-jangan kamu mau mainin aku, ya?” tanya Ira lagi. Ia jadi berpikir negatif karena ucapan Bian tadi.Bian menatap Ira dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Ia memikirkan cara menjelaskan pada Ira agar Ira tidak menuduhnya lagi.“Sekarang aku balik tanya ke kamu. Di luar sana kan ada beberapa kasus dokter. Ada yang mal praktek, atau pelecehan, atau lainnya. Kalau aku bilang semua dokter seperti itu, kamu mau gak?” tanya Bian.“Ya enggaklah. Gak semua begitu. Itu cuma ulah beberapa oknum yang kebetulan profesinya dokter aja,” jawab Ira, sebal.“So? Apa karena ulah beberapa oknum tentara yang jadi play
Ira tersenyum lebar saat mendengar ucapan Bian barusan. Hidungnya pun kembang kempis karena tidak bisa menahan kebahagiaan.“Bi!” ucap Ira.“Hem?” sahut Bian.“Oke kalau kamu bilang gak semua tentara playboy. Tapi kayaknya kalau gombal mah emang iya, ya?” tanya Ira.“Maksudnya?” Bian balik bertanya.“Entahlah, aku merasa kamu itu suka banget gombal. Mungkin karena udah kebiasaan. Dan aku taunya emang tentara pada pinter gombal,” ucap Ira.Beberapa teman Ira ada yang menikah dengan anggota TNI. Termasuk yang tempo hari ia mendapat bucket bunga secara tidak sengaja. Temannya yang dokter itu menikah dengan teman Bian yang merupakan TNI.Sehingga sedikit banyak Ira mengetahui tentang anggota tersebut. Hal itulah yang membuat Ira sempat sesumbar bahwa ia tidak ingin memiliki pasangan apalagi suami seorang TNI.“Oya? Emang kamu merasa aku gombalin?” tanya Bian.“Iyalah. Dari tadi kamu gombal terus!” ucap Ira, sebal. Ucapan Bian terlalu manis. Sehingga Ira merasa digombali olehnya.“Hem ...
Mendengar suara anak buah Bian, mereka langsung salah tingkah. Apalagi anak buah Bian malah menggoda mereka.“Sore!” sahut Bian, kikuk. Ia sangat malu karena ketahuan anak buahnya sedang berduaan dengan Ira.“Wah, jaganya lancar ya, Ndan?” sindir anak buah Bian. Mereka ingin tertawa melihat Bian yang tertangkap basah sedang asik menikmati mie berdua.“Silakan dilanjut, Ndan! Anggap aja kami gak lewat,” ucap anak buah Bian. Namun anak buah Bian yang langsung berlalu itu membuat Bian tidak bisa menjelaskan apa pun."Hihihi, kalian lihat gak muka Komandan tadi? Kaget banget pas lihat kita lewat," gumam anak buah Bian, cekikikan."Iya, pantesan aja betah. sampe gak pulang-pulang. Ternyata asik berduaan.""Kalian jangan senang dulu! Siap-siap nanti kalau Komandan pulang ke markas, kita pasti dihukum.""Aku gak yakin, sih. Kalau lagi kasmaran gitu kan biasanya suka lupa segalanya. Hahaha."Mereka asik menertawakan Bian.‘Ck! Sial. Pasti mereka sengaja lewat ke sini. Ini kan bukan jam patrol
Ira langsung salah tingkah. Saat mendengar Bian mengatakan mereka akan langsung menikah ketika Bian pulang ke Jakarta nanti.Bian pun tersenyum sambil melirik-lirik ke arah Ira. “Kamu ... mau kan nikah cepat?” tanya Bian, malu-malu.Ira yang malu itu hanya menjawabnya dengan anggukkan. Ia tak sanggup mengatakan bahwa dirinya mau menikah dalam waktu dekat. Rasanya lidah Ira terasa kelu.Sejak saat itu, hubungan mereka semakin baik. Mereka bersikap layaknya sepasang kekasih. Mereka pun semakin dekat dan mulai tidak ada rasa canggung lagi. Meski begitu, mereka tetap tahu batasan-batasan.Bian yang mencintai Ira itu tidak ingin menodainya sebelum halal. Meski beberapa kali mereka sempat ingin melewati batas. Namun mereka masih bisa menahan diri.“Ternyata sebulan cepet banget ya, Bi,” ucap Ira saat sedang duduk di depan teras.Kini sebulan sudah berlalu dan besok Ira sudah harus kembali ke Jakarta. Sehingga bisa dikatakan malam ini adalah malam terakhir bagi mereka. Sampai Bian pulang ke
Bian langsung tersenyum simetris. Ia merasa bangga karena Ira cemburu padanya.“Kamu cemburu?” godanya, sambil menaik turunkan alisnya.“Gak! Aku cuma ngingetin kamu, kok,” jawab Ira, ketus. Ia kesal karena Bian malah menggodanya.“Ah ... bilang aja kalau cemburu,” ledek Bian. Senyumannya pun makin melebar.“Apa, sih. Ngapain aku cemburu? Kalau kamu macem-macem, aku bisa kok ngelakuin hal yang sama. Kan kamu sendiri yang bilang, peluangku lebih besar,” ujar Ira.Ia gengsi untuk mengakui bahwa dirinya cemburu. Persis seperti kakaknya dulu.“Lho, kamu kok gitu, sih? Jangan, dong! Kita kan mau nikah. Gak usah aneh-aneh,” keluh Bian. Ia khawatir Ira benar-benar melakukan hal itu.“Ya gampang aja. Kamu gak usah takut kalau kamu gak ada niat macem-macem. Kan aku begitu cuma kalau kamu nakal,” sahut Ira.Bian tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ia hampir salah paham karena ucapan Ira barusan. Mendengar Ira akan nakal membuat pikiran Bian jadi buntu.“Kamu, nih!” ucapnya, gemas. Ia mencubi
Saat Bian yakin pesawat yang Ira tumpangi telah mengudara, ia pun meninggalkan bandara tersebut. Sata itu hari masih siang, sehingga masih ada pesawat komersil yang terbang ke perbatasan. Di jalan, Ira hanya bisa bersantai sambil membaca buku. Saat merasa bosan, ia pun memilih untuk tidur. Ia tidak sadar, saat pesawat yang ia tumpangi transit di makasar, ada penumpang pria yang duduk di sebelahnya. Kala itu Ira tetap terlelap karena semalam ia bergadang. Akan berpisah dengan Bian selama dua bulan, membuat Bian dan Ira menghabiskan waktu lebih lama dan tidak rela untuk tidur cepat. Setelah duduk di samping Ira, pria itu hanya menoleh sekilas ke arah Ira. Kemudian ia asik membaca buku. Saat pesawatnya tengah mengudara kembali, tiba-tiba kepala Ira bersandar di bahu pria tersebut. Sehingga pria yang sedang asik membaca buku itu menoleh ke arahnya. Ia ingin membangunkan Ira. Namun tidak enak hati. Akhirnya ia membiarkan Ira tetap terlelap dalam posisi seperti itu selama satu jam lebih
Ira salah tingkah saat ditanya seperti itu oleh Zein. “Emang masalahnya apa kalau tentara?” tanya Ira sambil masuk ke mobil Zein.“Aku gak suka! Tentara itu kebanyakan hidung belang. Pokoknya jangan sampai kamu nikah sama tentara!” ucap Zein, kesal.“Lha, gak semua gitu kali, Bang. Lagian emang kenapa sih anti banget? Pernah punya masalah sama tentara, kah?” tanya Ira.“Ssstt! Dulu saingannya tentara,” bisik Intan sambil tersenyum. Kemudian ia pun masuk ke mobil.Ira langsung terdiam. Ia baru ingat bahwa dulu Bian menyukai Intan. ‘Lha, iya. Kenapa aku bodoh banget. Bisa-bisanya aku lupain hal sepenting itu?’ batin Ira.Ira jadi melamun sambil menatap mereka berdua. ‘Gara-gara Bian, Bang Zein jadi anti sama tentara. Lha, tentaranya aja dia anti, apalagi Biannya?’ gumam Ira dalam hati.Ia jadi khawatir hubungannya dengan Bian nanti akan terhalang restu Zein. Sebab ia masih belum tahu bahwa papahnya yang justru akan mendukung.“Ya udahlah, kalau jodoh gak kemana,” gumam Ira, pelan-pelan.
Ira pun panik karena khawatir Bian mengenal suara Zein. Ia over thinking karena menyembunyikan kenyataan dari Bian.“Bi, udah dulu, ya. Ada Abang aku. Nanti aku telepon lagi. Bye!” ucap Ira. Kemudian ia langsung memutus sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Bian.“Lho, kok main ditutup aja, sih? Lagian kenapa harus dimatiin juga teleponnya?” gumam Bian. Ia heran karena sikap Ira begitu aneh.Sementara itu, Ira membukakan pintu untuk Zein.Ceklek!“Terima kasih udah dibawain kopernya,” ucap Ira, sambil tersenyum.“Lama banget buka pintunya? Lagi ngapain, sih?” tanya Zein.“lagi istirahat lah, Bang. Namanya juga capek, baru habis perjalanan jauh,” sahut Ira. Kemudian ia mengambil koper itu dan menariknya masuk.“Makasih ya, Bang. Aku mau istirahat dulu. Bye!” ucap Ira. Lalu ia langsung menutup pintunya.“Yee, dasar main tutup aja! Awas kamu kalau minta tolong lagi, ya!” ancam Zein.“Hutang Abang masih banyak. Belum lunas,” sahut Ira.Mereka memang seperti itu. Namun mereka se