Arga pun tidak kalah terkejut. Ia masih ingat betul siapa wanita yang ada di hadapannya saat ini. 'Ini kan yang waktu itu numpang tidur di bahu aku,' batin Arga.“Adiknya Prof Zein, kan?” tebak Arga. Ia ingat bahwa Ira adalah adik Zein.“Iya!” sahut Ira. “Boleh saya masuk?” tanya Ira lagi.“Oh iya, silakan!” sahut Arga. Ia merupakan dokter spesialis anak. Ini hari pertama Arga praktek di rumah sakit tersebut. Sehingga ia belum membuka poli dan fokus di ruang perawatan.Ira pun masuk dan mendekat ke arah meja Arga. Ia tidak menyangka akan bekerja dengan pria yang satu pesawat dengannya.“Silakan duduk!” ucap Arga.“Perkenalkan, nama saya Humaira, biasa dipanggil Ira. Mulai hari ini saya bekerja di sini sebagai dokter residen,” ucap Ira. Ia bersikap formal karena harus profesional. Apalagi Arga merupakan seniornya.“Wah, gak nyangka bisa ketemu di sini. Senang bisa bekerja sama dengan dokter Ira,” ucap Arga. Sementara dirinya berusaha bersikap santai. Ia tidak ingin terlalu canggung.“I
‘Duh, gimana ini? Kalau aku jawab, terus Bian tau aku lagi makan sama cowok, marah gak, ya? Dia kan cemburuan,’ batin Ira. Bukan tidak enak hati pada Arga. Namun Ira memikirkan reaksi Bian jika tahu dirinya sedang bersama pria.“Kenapa? Kok gak dijawab?” tanya Arga. Ia heran melihat Ira kebingungan. Ia pun penasaran siapa yang menghubungi Ira.“Gak apa-apa,” sahut Ira. Ia memilih untuk tidak menjawab panggilan itu. Sebab ia tidak enak hati jika harus bermesraan di depan Arga.Bukan bermaksud selingkuh. Hanya saja kondisinya tidak nyaman. Sehingga Ira tidak berani menjawab panggilan Bian. Apalagi jika di telepon, mereka selalu bermesraan.Namun, Bian pantang menyerah. Ia yang tahu bahwa itu adalah jam istirahat Ira pun masih berusaha menghubunginya. Sehingga ponsel Ira terus berdering.“Dijawab aja! Siapa tau penting,” ucap Arga.“Hehehe, iya,” sahut Ira, kikuk. 'Hiih, dasar mister bucin. Gak bisa nunggu nanti dulu apa?' batin Ira, kesal.Akhirnya dengan terpaksa ia menjawab panggilan
Zein kesal karena Dimas malah membela tentara. “Udah lo gak usah sok tau!” ucap Zein, sambil berlalu.“Lha, aneh banget. Kenapa jadi dia yang sewot. Perasaan pertanyaan gue biasa aja,” gumam Dimas, bingung.Sementara itu, Ira sedang kesal pada Dimas. ‘Ini pasti ada hubungannya sama Bang Zein yang rese itu. Awas aja kalau bener!’ batin Ira.Selesai makan, Ira langsung pamit pada Arga. Sebab ia harus menghubungi Bian kembali. Ia tak ingin Bian salah paham karena tadi dirinya memutuskan sambungannya dengan Bian begitu saja.“Dok, saya duluan, ya. Ada perlu,” ucap Ira.“Oh iya, silakan!” sahut Arga.Ira pun meninggalkan tempat itu dan mencari tempat sepi. “Coba ke taman aja, deh,” gumam Ira. Ia menuju ke taman agar bisa berbincang dengan santai tanpa diganggu. Tak mungkin Ira berbincang di ruangan Muh atau Zein.Setibanya di taman, Ira langsung menghubungi Bian.Telepon terhubung.“Halo, Sayang. Udah selesai makannya?” tanya Bian. Ia sudah sejak tadi menanti telepon dari Ira.“Hai ... uda
Bian tersenyum mendengar pertanyaan Ira. Ia senang karena Ira cemburu. “Iyalah, emang mau lewat mana lagi?” sahut Bian.“Lagian ngapain sih tiap lari lewat situ terus? Emang gak ada rute lain, apa?” keluh Ira. Ia sebal karena mereka selalu melewati rumah dokter. Artinya mereka selalu bertemu dengan dokter yang tinggal di sana.“Ya terus mau lewat mana, Sayang? Lewat hutan? Jadi tracking dong bukan joging,” canda Bian. Ia sangat bangga dicemburui oleh Ira.“Kamu nih nyebelin banget. Bukan nenangin aku malah sengaja bikin aku kesel,” ucap Ira, ketus.“Hehehe, gimana? Padahal aku cuma lewat aja kamu udah kesel. Apalagi aku, kamu makan berdua dan teleponku diputus begitu aja,” skak Bian.Ira langsung terdiam. Ia jadi tidak enak hati karena apa yang ia lakukan lebih kejam dari pada Bian.“Hehehe, maaf. Ya udah satu sama. Tapi kamu jangan nakal, dong! Aku gak mau ya kalau kamu deket-deket sama dia!” pinta Ira. Ia khawatir Bian akan dekat dengan dokter itu.“Udah kamu tenang aja! Aku gak mun
Ting!Saat Ira sedang sibuk dengan pekerjaannya, ponselnya berbunyi. Ada notifikasi pesan singkat masuk.Ira pun mengecek notifikasi tersebut. ‘Mau ngapain, di?’ batin Ira, saat melihat pesan tersebut dari Bian. Lalu Ira pun membacanya.Ira pikir isi pesannya akan sama seperti sebelumnya. Sebab sebelumnya Bian telah mengirimkan banyak pesan karena Ira sedang merajuk.Namun ternyata Ira salah. Isi pesan kali ini berbeda. Bian mengabarkan bahwa markasnya diserang dan ia meminta doa dari Ira.Ira mengerutkan keningnya. “Apa iya? Atau dia cuma pura-pura biar aku balas pesannya?” gumam Ira.Akhirnya Ira mengabaikan pesan tersebut. Ia pikir Bian hanya sedang cari perhatian. “Dasar, kayak anak kecil aja, caper,” gumam Ira.Bian terlalu sering bercanda. Sehingga Ira pikir kali ini pun Bian sedang bercanda. Saat masih tinggal di Timur pun Bian sering mengerjai Ira.Ira melakukan aktifitasnya seperti biasa. Hingga sore hari Ira sudah selesai bekerja. Ia pun pamit pada Arga dan pergi ke ruangan
Beberapa jam sebelum Ira tiba di Surabaya. “Gimana?” tanya Bian yang ternyata berada di samping anak buahnya. “Katanya dokter Ira mau ke sini, Ndan,” sahut anak buah Bian, jujur. Bian pun langsung sumeringah. ‘Alhamdulillah ... lumayan bisa melepas rindu sebentar,’ batin Bian. “Ndan? Kok malah ngelamun?” tanya anak buah Bian. Ia heran karena Bian tak meresponnya. “Gak apa-apa. Terima kasih, ya!” sahut Bian. Sebenarnya kondisi Bian tidak terlalu parah. Hanya saja orang tua Bian yang memaksanya untuk tetap pergi ke Surabaya. Bahkan awalnya mereka meminta Bian untuk terbang ke Jakarta. Namun kemudian mereka meralatnya dan meminta Bian diperiksa di Surabaya saja. Sebab mereka kasihan jika Bian harus bolak balik ke Jakarta. Saat Ira menghubunginya tadi, Bian sengaja tidak menjawabnya. Ia ingin tahu seberapa khawatir Ira padanya. Hingga kemudian Bian memiliki ide untuk meminta tolong pada anak buahnya. Ia sengaja mendramatisir kondisinya agar Ira khawatir. “Kalau dia datang nanti.
Ira pikir perawat tidak memperhatikan Bian dengan baik. Sehingga Ira hendak protes kala melihat selang Bian terlepas.Ira menekan tombol darurat untuk memanggil perawat. Meski Ira merupakan seorang dokter, tetapi saat ini ia belum tahu diagnosa Bian. Sehingga ia pikir Bian memang membutuhkan oksigen.‘Duh, dia mau ngapain, ya?’ batin Bian.Tak lama kemudian seorang perawat datang ke ruangan tersebut. Ira pun langsung protes padanya.“Sus, ini kenapa selangnya bisa lepas gini? Emang gak dikontrol?” tanya Ira.Deg!Bian langsung terkejut kala mengetahui Ira memanggil suster. ‘Mati aku!’ batinnya. Ia yakin Ira akan segera mengetahui bahwa dirinya sedang berakting.Suster terlihat kebingungan. “Perasaan pasien ini emang gak butuh oksigen deh, Dok,” ucap suster itu. Ia memanggil Ira dokter karena ia masih mengenakan sneli.Ira mengerutkan keningnya. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. ‘Hem ... oke, lo jual gue beli,’ batin Ira.“Oya? Tapi suami saya ini punya penyakit asma, Sus.
“Kamu nih kalau aku ngomong selalu salah paham, deh!” ucap Bian, heran. Ia gemas karena Ira sering salah paham pada ucapannya. Hal itu pun membuat Bian bingung harus bicara seperti apa.“Ya kamu bilangnya begitu. Bener dong kalau aku anggap kamu ragu?” skak Ira.“Oke! Mungkin emang akunya yang gak pandai merangkai kata. Jadi ucapanku sering bikin kamu salah paham. Intinya aku bukan ragu sama kamu. Tapi aku bangga karena ternyata perasaanmu lebih dalam dari yang aku bayangkan,” jelas Bian.Ira yang hendak marah pun langsung terdiam. Namun hidungnya merekah karena menahan senyuman. Hal itu membuat Bian terkekeh.“Kenapa ketawa?” tanya Ira, sebal.“Kamu tuh, mau senyum aja pake ditahan! Sampe hidungnya kembang kempis begitu,” ledek Bian, sambil mencubit hidung Ira.Sontak saja wajah Ira langsung merona. Ia sangat malu karena ketahuan sedang menahan senyum.“Kayaknya kamu udah sehat. Aku mau pulang aja, deh. Nanti keburu malem,” ucap Ira sambil melihat jam. Ia ingin melarikan diri dari Bi