‘Duh, gimana ini? Kalau aku jawab, terus Bian tau aku lagi makan sama cowok, marah gak, ya? Dia kan cemburuan,’ batin Ira. Bukan tidak enak hati pada Arga. Namun Ira memikirkan reaksi Bian jika tahu dirinya sedang bersama pria.“Kenapa? Kok gak dijawab?” tanya Arga. Ia heran melihat Ira kebingungan. Ia pun penasaran siapa yang menghubungi Ira.“Gak apa-apa,” sahut Ira. Ia memilih untuk tidak menjawab panggilan itu. Sebab ia tidak enak hati jika harus bermesraan di depan Arga.Bukan bermaksud selingkuh. Hanya saja kondisinya tidak nyaman. Sehingga Ira tidak berani menjawab panggilan Bian. Apalagi jika di telepon, mereka selalu bermesraan.Namun, Bian pantang menyerah. Ia yang tahu bahwa itu adalah jam istirahat Ira pun masih berusaha menghubunginya. Sehingga ponsel Ira terus berdering.“Dijawab aja! Siapa tau penting,” ucap Arga.“Hehehe, iya,” sahut Ira, kikuk. 'Hiih, dasar mister bucin. Gak bisa nunggu nanti dulu apa?' batin Ira, kesal.Akhirnya dengan terpaksa ia menjawab panggilan
Zein kesal karena Dimas malah membela tentara. “Udah lo gak usah sok tau!” ucap Zein, sambil berlalu.“Lha, aneh banget. Kenapa jadi dia yang sewot. Perasaan pertanyaan gue biasa aja,” gumam Dimas, bingung.Sementara itu, Ira sedang kesal pada Dimas. ‘Ini pasti ada hubungannya sama Bang Zein yang rese itu. Awas aja kalau bener!’ batin Ira.Selesai makan, Ira langsung pamit pada Arga. Sebab ia harus menghubungi Bian kembali. Ia tak ingin Bian salah paham karena tadi dirinya memutuskan sambungannya dengan Bian begitu saja.“Dok, saya duluan, ya. Ada perlu,” ucap Ira.“Oh iya, silakan!” sahut Arga.Ira pun meninggalkan tempat itu dan mencari tempat sepi. “Coba ke taman aja, deh,” gumam Ira. Ia menuju ke taman agar bisa berbincang dengan santai tanpa diganggu. Tak mungkin Ira berbincang di ruangan Muh atau Zein.Setibanya di taman, Ira langsung menghubungi Bian.Telepon terhubung.“Halo, Sayang. Udah selesai makannya?” tanya Bian. Ia sudah sejak tadi menanti telepon dari Ira.“Hai ... uda
Bian tersenyum mendengar pertanyaan Ira. Ia senang karena Ira cemburu. “Iyalah, emang mau lewat mana lagi?” sahut Bian.“Lagian ngapain sih tiap lari lewat situ terus? Emang gak ada rute lain, apa?” keluh Ira. Ia sebal karena mereka selalu melewati rumah dokter. Artinya mereka selalu bertemu dengan dokter yang tinggal di sana.“Ya terus mau lewat mana, Sayang? Lewat hutan? Jadi tracking dong bukan joging,” canda Bian. Ia sangat bangga dicemburui oleh Ira.“Kamu nih nyebelin banget. Bukan nenangin aku malah sengaja bikin aku kesel,” ucap Ira, ketus.“Hehehe, gimana? Padahal aku cuma lewat aja kamu udah kesel. Apalagi aku, kamu makan berdua dan teleponku diputus begitu aja,” skak Bian.Ira langsung terdiam. Ia jadi tidak enak hati karena apa yang ia lakukan lebih kejam dari pada Bian.“Hehehe, maaf. Ya udah satu sama. Tapi kamu jangan nakal, dong! Aku gak mau ya kalau kamu deket-deket sama dia!” pinta Ira. Ia khawatir Bian akan dekat dengan dokter itu.“Udah kamu tenang aja! Aku gak mun
Ting!Saat Ira sedang sibuk dengan pekerjaannya, ponselnya berbunyi. Ada notifikasi pesan singkat masuk.Ira pun mengecek notifikasi tersebut. ‘Mau ngapain, di?’ batin Ira, saat melihat pesan tersebut dari Bian. Lalu Ira pun membacanya.Ira pikir isi pesannya akan sama seperti sebelumnya. Sebab sebelumnya Bian telah mengirimkan banyak pesan karena Ira sedang merajuk.Namun ternyata Ira salah. Isi pesan kali ini berbeda. Bian mengabarkan bahwa markasnya diserang dan ia meminta doa dari Ira.Ira mengerutkan keningnya. “Apa iya? Atau dia cuma pura-pura biar aku balas pesannya?” gumam Ira.Akhirnya Ira mengabaikan pesan tersebut. Ia pikir Bian hanya sedang cari perhatian. “Dasar, kayak anak kecil aja, caper,” gumam Ira.Bian terlalu sering bercanda. Sehingga Ira pikir kali ini pun Bian sedang bercanda. Saat masih tinggal di Timur pun Bian sering mengerjai Ira.Ira melakukan aktifitasnya seperti biasa. Hingga sore hari Ira sudah selesai bekerja. Ia pun pamit pada Arga dan pergi ke ruangan
Beberapa jam sebelum Ira tiba di Surabaya. “Gimana?” tanya Bian yang ternyata berada di samping anak buahnya. “Katanya dokter Ira mau ke sini, Ndan,” sahut anak buah Bian, jujur. Bian pun langsung sumeringah. ‘Alhamdulillah ... lumayan bisa melepas rindu sebentar,’ batin Bian. “Ndan? Kok malah ngelamun?” tanya anak buah Bian. Ia heran karena Bian tak meresponnya. “Gak apa-apa. Terima kasih, ya!” sahut Bian. Sebenarnya kondisi Bian tidak terlalu parah. Hanya saja orang tua Bian yang memaksanya untuk tetap pergi ke Surabaya. Bahkan awalnya mereka meminta Bian untuk terbang ke Jakarta. Namun kemudian mereka meralatnya dan meminta Bian diperiksa di Surabaya saja. Sebab mereka kasihan jika Bian harus bolak balik ke Jakarta. Saat Ira menghubunginya tadi, Bian sengaja tidak menjawabnya. Ia ingin tahu seberapa khawatir Ira padanya. Hingga kemudian Bian memiliki ide untuk meminta tolong pada anak buahnya. Ia sengaja mendramatisir kondisinya agar Ira khawatir. “Kalau dia datang nanti.
Ira pikir perawat tidak memperhatikan Bian dengan baik. Sehingga Ira hendak protes kala melihat selang Bian terlepas.Ira menekan tombol darurat untuk memanggil perawat. Meski Ira merupakan seorang dokter, tetapi saat ini ia belum tahu diagnosa Bian. Sehingga ia pikir Bian memang membutuhkan oksigen.‘Duh, dia mau ngapain, ya?’ batin Bian.Tak lama kemudian seorang perawat datang ke ruangan tersebut. Ira pun langsung protes padanya.“Sus, ini kenapa selangnya bisa lepas gini? Emang gak dikontrol?” tanya Ira.Deg!Bian langsung terkejut kala mengetahui Ira memanggil suster. ‘Mati aku!’ batinnya. Ia yakin Ira akan segera mengetahui bahwa dirinya sedang berakting.Suster terlihat kebingungan. “Perasaan pasien ini emang gak butuh oksigen deh, Dok,” ucap suster itu. Ia memanggil Ira dokter karena ia masih mengenakan sneli.Ira mengerutkan keningnya. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. ‘Hem ... oke, lo jual gue beli,’ batin Ira.“Oya? Tapi suami saya ini punya penyakit asma, Sus.
“Kamu nih kalau aku ngomong selalu salah paham, deh!” ucap Bian, heran. Ia gemas karena Ira sering salah paham pada ucapannya. Hal itu pun membuat Bian bingung harus bicara seperti apa.“Ya kamu bilangnya begitu. Bener dong kalau aku anggap kamu ragu?” skak Ira.“Oke! Mungkin emang akunya yang gak pandai merangkai kata. Jadi ucapanku sering bikin kamu salah paham. Intinya aku bukan ragu sama kamu. Tapi aku bangga karena ternyata perasaanmu lebih dalam dari yang aku bayangkan,” jelas Bian.Ira yang hendak marah pun langsung terdiam. Namun hidungnya merekah karena menahan senyuman. Hal itu membuat Bian terkekeh.“Kenapa ketawa?” tanya Ira, sebal.“Kamu tuh, mau senyum aja pake ditahan! Sampe hidungnya kembang kempis begitu,” ledek Bian, sambil mencubit hidung Ira.Sontak saja wajah Ira langsung merona. Ia sangat malu karena ketahuan sedang menahan senyum.“Kayaknya kamu udah sehat. Aku mau pulang aja, deh. Nanti keburu malem,” ucap Ira sambil melihat jam. Ia ingin melarikan diri dari Bi
Ira menghela napasnya. Ia sudah bingung bagaimana cara melarang Bian lagi. Akhirnya ia pasrah meski Bian ingin mengantarnya ke Jakarta.“Dasar batu!” ucap Ira, kesal.“Kamu nih diperhatiin malah bilang begitu,” keluh Bian. Ia pun sebal karena Ira selalu melarangnya.“Kamu tuh diperhatiin malah keukeuh. Aku kan khawatir kamu kenapa-kenapa!” sahut Ira, ketus.“Gini aja, deh. Kamu kan dokter, kamu bisa cek kondisi aku dulu sebelum jalan! Kalau memang aku gak sehat, aku gak akan ikut kamu ke Jakarta,” tantang Bian, sambil tersenyum.“Gimana ngeceknya?” tanya Ira. Ia bingung karena dirinya tidak membawa alat medis.“Ya terserah. Disun, kek. Atau dipeluk, gitu!” canda Bian. Ia malah bercanda dan membuat Ira jadi tersenyum.“Kamu mah! Mana ada meriksa kayak gitu. Jangan mesum, kenapa!” keluh Ira.“Masa minta sun sama calon istri sendiri mesum?” tanya Bian.“Tapi kan gak boleh. Bukan mahrom!” ucap Ira, ketus.“Kemarin-kemarin waktu di perbatasan, boleh?” ledek Bian.“Itu kan khilaf!” jawab Ir
Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany
“Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di
“Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua
“Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel
“Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka
“Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan
Ira mendorong Bian secara perlahan. “Berarti nanti kamu bisa gak pilih aku, dong?” tanyanya, saat Bian melepaskan tautan bibir mereka.Bian menatap Ira. “Kamu kan tau kalau aku sudah bersumpah untuk menjadikan tugas negara sebagai prioritas?” Ia balik bertanya.Wajah Ira langsung murung. “Iya,” lirihnya. Ia tidak bisa protes untuk hal itu. Apalagi mereka sudah beberapa kali membahas hal itu.“Maaf ya, Sayang,” ucap Bian sambil menangkup pipi Ira. Ia pun bingung karena tidak bisa berbuat apa-apa. Mengatakan janji manis pun tidak mungkin jika tak sesuai kenyataan.“Yah, mau gimana lagi. Udah risiko aku,” ucap Ira, pasrah.Sebenarnya ia hanya ingin jawaban gombal. Namun nyatanya Bian tidak bisa seperti itu. Sehingga Ira kecewa.“Dari pada mikirin yang enggak-enggak. Mending kita kerjakan yang iya-iya,” ucap Bian, genit.Ira mengerutkan keningnya. “Apa?” tanyanya.Bian melirik ke arah tempat tidur.Ira langsung menyipitkan matanya. “Ya ampun, Bi. Ini masih siang, lho,” keluh Ira.“Masalah
“Siap aku salah!” ucap Bian. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan istrinya. Saat ini ia hanya bisa mengakui kesalahannya. Bian tidak mau sampai bulan madunya gagal karena hanya hal sepele.“Aku kecewa sama kamu,” ucap Ira sambil memalingkan wajah.Meski sedang kesal, melihat Bian mau mengakui kesalahannya membuat Ira senang. Baginya Bian mau mengaku saja sudah cukup, tetapi rasa kesalnya masih ada walaupun ia tidak marah lagi.“Yank, itu camilannya mau di makan, gak?” tanya Bian. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.“Gak!” jawab Ira, ketus.‘Haduh! Pake ketemu dia segala, sih. Jadi kacau gini kan bulan madunya. Gawat banget kalau sampe dia ngambek terus,’ batin Bian.‘Apa iya cewek tadi cuma temen lama dia? Tapi kenapa tatapannya ke aku sinis banget? Aku gak yakin,’ batin Ira. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. Ia ingin menelisik apakah Bian berbohong padanya atau tidak.‘Semoga dia gak nanya macem-macem lagi, deh,’ gumam Bian dalam hati.Ira yang sedang kesal itu akhirnya t
Bian terkekeh. “Ya udah jalan dulu ya, Bang. Dari pada bulan madunya gagal nanti. Bahaya,” ucap Bian.“Oke, hati-hati!” sahut Zein. Ia pun tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Zein merasa Ira tidak jauh berbeda dengan dirinya.Akhirnya mereka pun pergi.“Sayang, mau beli camilan dulu, gak?” tanya Bian. Ia khawatir istrinya akan bosan jika tidak ada makanan ringan.“Boleh, deh. Kalau gitu nanti mampir di minimarket aja dulu!” jawab ira.“Siap!” sahut Bian. Mereka pun menuju ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan.“Beli di situ aja ya, Yank?” tanya Bian saat melihat ada minimarket di depan.“Ya udah, ada parkirannya, kan?” sahut Ira.“Ada, tuh!” jawab Bian. Ia pun mengarahkan mobilnya ke minimarket tersebut. Kebetulan parkirannya sedang kosong, sehingga mobil Bian bisa masuk.“Kamu mau ikut turun atau nunggu di sini?” tanya Bian, saat hendak turun dari mobil.“Aku nunggu aja, deh,” sahut Ira. Ia malas jika harus turun. Sebab di luar, matahari cukup terik.“Ya udah, mau beli apa?