"Waduh, gimana ini?" tanya Ira. Ini kali pertama Ira menghadapi situasi seperti itu. Sehingga ia cukup panik dan ketakutan."Ayo kabur!" ajak Lica. Ia langsung menarik tangan Ira dan Bian.Akhirnya Ira dan Bian refleks mengikuti Lica. Mereka sadar tidak mungkin menghadapi orang yang membawa parang hanya dengan tangan kosong. Apalagi orang tersebut sedang marah."Ke sini!" ajak Lica. Ia ingin membawa Bian ke markasnya melalui jalan pintas. Sebagai pribumi, Lica sudah hafal betul wilayah tersebut.Bian menoleh ke belakang. Orang itu pun semakin dekat."Ikuti aku!" ajak Bian.Bukan pengecut. Jika hanya sendiri, mungkin bisa saja Bian nekat. Namun saat ini ada Ira. Ia khawatir Ira akan terluka oleh orang tersebut.Ia mengajak Ira dan Lica untuk bersembunyi ke tempat rahasianya. Tempat itu tertutupi oleh rumput. Sehingga orang awam tidak akan mengetahuinya."Ssstt! Kita sembunyi di sini," ucap Bian. Ia tahu Ira tidak biasa berlari. Sehingga ia khawatir Ira akan kelelahan jika harus berlari
Ditanya seperti itu oleh Ira, Bian pun salah tingkah. “Lho, maksud aku bukan begitu. Maksudnya aku tuh ... ah, iya. Salut sama dia. Aku bangga ada pribumi yang masih semangat belajar,” jelas Bian, gugup. “Oooh, kirain kamu naksir sama anak kecil,” ledek Ira. Entah mengapa hatinya merasa lega. Namun ia pun merasa konyol karena mencurigai anak kecil. “Ya gak mungkinlah. Aku masih normal. Masa naksir sama anak kecil. Kalau sama kamu mungkin,” jawab Bian, kelepasan. Ira terkesiap mendengarnya. Bian pun terkejut saat menyadari ada yang salah dengan ucapannya. “Aku masuk dulu, ya. Kamu mau nunggu di mana?” tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia berharap Ira tidak mendengar ucapannya barusan. “Aku tunggu di dekat pos aja,” jawab Ira. Ia pun tidak ingin membahas hal itu lagi. Meski sebenarnya ia sempat ge'er saat Bian mengatakan kemungkinan naksir dirinya. “Ya sudah, ayo!” ajak Bian. Mereka berjalan ke pintu masuk markas tersebut. “Sore, Ndan!” sapa anak buah Bian yang sedang be
“Nanti juga kamu tau sendiri,” jawab Bian. Ia malah seolah sengaja ingin membuat Ira penasaran. “Iiih, kamu nih sengaja banget, deh! Ngapain ngomong kalau gak mau ngasih tau aku? Bikin penasarana aj!” ucap Ira, sebal. Namun ia senang karena Bian bisa bercanda. “Penasarana aja apa penasaran banget?” ledek Bian. Ira malah terkekeh jadinya. Ia semakin gemas karena Bian malah menggodanya yang sedang kesal itu. Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di rumah Ira. “Aku mandi dulu, ya. Abis itu baru makan,” ucap Ira. “Oke,” sahut Bian. Ia pun menunggu Ira di tenda. Sementara Ira masuk ke rumah untuk mandi. Saat Ira selesai mandi, hari sudah maghrib. Sehingga ia melaksanakan shalat lebih dulu. Pun dengan Bian. Pria itu melaksanakan shalat di tenda. Selesai shalat maghrib, barulah Ira menyiapkan makanan untuk mereka nikmati bersama. Ceklek! Ira keluar dari rumahnya. “Mau makan sekarang?” tanya Ira, pada Bian yang sedang duduk di depan tendanya. “Boleh,” jawab Bian. Kebetulan ia pun
Ira memalingkan wajah. Ia tak berani menatap punggung Bian terus karena khawatir khilaf.‘Sadar, Ira! Jangan sampe khilaf. Jangan malu-maluin,’ batin Ira sambil komat-kamit.Saat seperti itu, ternyata Bian sudah selesai mencuci piring. Bahkan ia berdiri tepat di samping Ira.“Kenapa?” tanyanya tanpa dosa.Deg!Ira refleks menoleh dan ternyata Bian sudah ada di hadapannya. “Astaghfirullah!” pekik Ira. Ia sangat terkejut karena Ira pikir Bian masih berada di tempat cuci piring.Ira yang terkejut pun langsung mundur, hingga ia hampir terjatuh. Beruntung Bian yang merupakan seorang tentara itu sigap menangkap Ira dan menariknya.Set!Buk!Ira pun langsung mendarat di dada Bian yang sedang berdiri tegak itu. Tanpa sengaja posisi mereka saat ini sedang berpelukan.“Hati-hati!” ucap Bian. Ia dapat merasakan d
“Kamu ini mau nanya apa ngagetin?” tegur Bian. Ia kesal karena anak buahnya itu sangat mengejutkan. Padahal biasanya jika anak buahnya bicara pelan, Bian pun menegurnya karena tidak bersemangat.“Hehehe, Komandan udah kayak orang lagi mojok di semak-semak aja. Pake kaget segala,” ledek anak buah Bian. Ia jadi merasa serba salah karena sikap Bian.“Ck! Sembarangan. Mau aku tembak kamu, hah?” ancam Bian sambil mengambil senjata yang ada di balik jaketnya. Bian tersinggung karena ucapan anak buahnya memang benar. Meski ia tidak sedang mojok di semak-semak, tetapi Bian sedang perang batin agar bisa berbincang dengan Ira.“Hehehe, jangan dong, ndan! Maaf, Ndan. Ini kan masih pagi, jadi harus semangat. Kalau gak semangat nanti disuruh lari di lapangan 7 putaran,” jawab anak buah Bian. Ia menyindir Bian karena biasanya Bian menghukum mereka seperti itu.“Oke, kalau be
Mereka pun melanjutkan jalannya menuju ke atas bukit. “Hati-hati!” ucap Bian sambil bersiaga, barang kali Ira akan terpeleset lagi.“Iyah. Masih jauh gak?” tanya Ira.“Enggak, kok. Nanti di ujung sana, kita tinggal jalan lurus, udah gak perlu nanjak lagi. Gubuknya juga pasti kelihatan,” jawab Bian.“Ooh.”Setelah itu mereka pun hening kembali. Hanya terdengar suara napas yang ngos-ngosan karena kelelahan menanjak.“Cakep, ya?” tanya Bian.“Hah?” Ira pikir ia salah paham karena memang sedang canggung.“Capek. Kamu capek, gak?” Bian langsung meralatnya.“Oh, iya lumayanlah. Namanya juga manjat bukit,” jawab Ira. 'Masa iya aku salah denger?' batinnya.Namun kemudian mereka merasa ada yang aneh. Kata ‘memanjat bukit’ memiliki konotasi yang lain jika diucapka
Saat Bian dan Ira sedang melamun, ternyata anak-anak membuat kesepakatan. “Oke, setuju, ya!” ucap mereka sambil berbisik.Mereka pun selama memperlama lagunya. Hingga membuat Ira semakin salah tingkah. Setelah itu, saat lagunya selesai, Ira dan Bian hendak menangkap salah satu dari anak tersebut.Namun, saat Ira dan Bian hendak memeluknya, anak itu malah berjongkok kemudian berlari. Sehingga Ira dan Bian berpelukan dan bibir mereka tak sengaja bertabrakan.Deg!Sontak saja bola mata mereka hampir melompat. Mereka yang sejak tadi memang sudah salah tingkah itu seperti kehilangan akal. Jika tidak ada anak-anak, mungkin Bian akan melanjutkan yang lebih dari itu.“Ciee! Cieee!” ledek anak-anak.Bian dan Ira pun langsung memisahkan diri dengan cepat. Ira melipat bibirnya, sebab ia seolah masih merasakan bagaimana bibirnya bersentuhan dengan bibir Bian.Sementara
Saat Ira menoleh, Bian terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, tetapi ia yang hendak mengatakan sesuatu itu begitu sulit mengucapkannya.‘Astaga, kenapa sulit sekali? Lidahku terasa kelu,’ batin Bian. Ia merasa seperti orang bodoh. Sebab dirinya tak mampu mengatakan cinta pada Ira. Mulutnya hanya bergerak-gerak tanpa bisa mengeluarkan suara.Ira mengangkat kedua alisnya. “Apa?” tanyanya lagi. Ia bingung karena Bian seperti orang gagap. Hal itu pun membuat Ira takut. Ia khawtair Bian diganggu oleh makhluk halus yang ada di sana.Ira menoleh ke sekitar, khawatir Bian melihat sesuatu. Namun ia tak melihat apa pun yang menakutkan di sana. "Kenapa sih, Bi?" tanya Ira, panik.Bian sudah tidak sanggup menahannya lagi. Jantungnya terasa hampir meledak karena debarannya begitu kencang. Mengatakannya pun tak bisa. Sehingga Bian langsung megungkapkannya dengan sebuah tindakan yang cukup ekstrem.