Mario?
Itu membuat Mario bingung. Dia sama sekali tidak mengenali pria asing yang barusan menyebut namanya.Untuk beberapa saat, dia hanya diam sambil memperhatikan wajah dari pria itu. Namun, tetap saja tak ada ingatan yang terputar."Maaf, siapa kamu?" Dia akhirnya bertanya.Pria misterius itu mendekat dengan kening yang semakin mengucurkan darah. "Aku Rey ... SMA? Masa nggak ingat?""Rey?" Ulang Mario berusaha mengingat. Tetapi, dia lebih khawatir dengan kondisi pria itu. Biasanya dia tak ingin berurusan dengan orang asing, hanya saja situasinya sangat buruk sekarang. "Mungkin sebaiknya aku telpon dokter saja— itu lukamu parah.""Nggak parah, cuma jatuh.""Sudah, sudah, sini ayo ke villa-ku aku panggilkan dokter.“ Mario menunjukkan jalan agar masuk ke halaman belakang villa-nya.Di situ, dia melihat Vena yang masih berdiri di tempat.Vena kaget melihat ada orang asing terluka yang diajak masuk. BiasMario kembali masuk ke dalam villa setelah mengantarkan keluar. Sebenarnya, dia sedikit kesal, dan tidak terima. Tapi, dia tak punya waktu untuk itu.Meski demikian, dia menelpon sang sekretaris, niatnya ingin marah-marah.Sembari berjalan ke arah belakang villa dia mengomel di telepon, "... saya mau bicara itu, bisa-bisanya kamu memberitahu kalau saya dan istri saya ada di sini? Lagian, kok kamu bisa menebak kami di sini?"Erika, di balik telepon, membantah, "loh, Pak, beneran, saya nggak tahu. Saya nggak memberitahu pria itu. Memang, tadi pagi saya ketemu sama dia, dia tanya tentang bapak, jadi saya bilang jadwal bapak penuh, kalau mau ketemu itu harus janjian dulu.""Jadi ...""Saya nggak ngomong bapak sama istri bapak ada di villa, bahkan saya juga nggak tahu bapak ke sana, yang pasti tahu kegiatan bapak 'kan Daffa."Masuk akal memang. Tetapi, Rey tadi bilang kalau ini informasi dari sekretarisnya. Mario jadi bingung sendiri. "Jadi, serius bukan kamu yang memberitahu dia saya ada
Sarah sakit kepala.Dia sudah berdiri di hadapan meja sekretaris Mario alias Erika hampir setengah jam. Selama itu pula, dia mengomel ke sana ke mari.Erika sebenarnya muak, padahal posisi mereka sama-sama sekretaris tapi dia diperlakukan layaknya bawahan. Dia sudah tahu kalau Sarah ingin bersama Mario, dan tingkahnya sudah seperti nyonya besar."Kamu jangan malah melamun! Coba telpon Mario! Saya sudah menunggu setengah jam di sini!" tegur Sarah sembari menggerak meja. Dia menunjukkan dominasinya, kesombongan terlihat menguar dari raut wajah.Erika masih betah menahan diri. Dia menjelaskan, "kan tadi saya sudah bilang, Pak Mario baru akan datang jam sepuluh nanti, sekarang masih jam sembilan. Lagipula, saya nggak mau mengganggu waktu Pak Mario. Kalau misalkan nanti jam sepuluh beliau belum hadir, baru saya akan telpon.""Kamu 'kan tahu siapa saya? Saya ini Sarah, saya ini sudah seperti keluarganya Mario, saya ada kepentingan sama dia. Jadi, nggak usah menunggu sampai jam sepuluh, kamu
Mario meninggalkan Vena sendirian di villa karena harus menghadiri rapat untuk sementara. Dia memberikan perintah ke beberapa orang untuk menjadi satpam dadakan, bahkan Johan alias salah satu sopir pribadi juga diminta untuk berada di villa itu, jaga-jaga jika Vena ingin pergi. Sebelum menuju ke kantor, Mario sengaja mendatangi kafe tempat di mana paman minta. Dia agak merasa aneh karena tempat ketemuannya di kafe begini, bukan di tempat privat seperti biasa. Dia sempat melihat keluar jendela— yang langsung dihadapkan dengan parkiran depan. Tak banyak kendaraan yang ada di situ, wajar saja karena kafe masih baru dibuka. Tetapi, tak diduga yang masuk ke dalam kafe tersebut adalah Sarah. Ini membuatnya kaget— langsung bisa menerka kalau kemungkinan sang paman sengaja mempertemukan mereka. Sarah masih bernampilan sopan layaknya sekretaris pada umumnya, dia juga membawa berkas di tas kantor. Lalu, dia duduk di kursi yang berhadapan dengan Mario. Dengan senyum menggoda, dia menyapa,
Beberapa hari kemudian ...Vena bersantai lagi di rumah, tepatnya duduk di sofa ruang tengah sembari berkas tentang bisnisnya bulan ini. Semua ternyata berlangsung cukup memuaskan, keuntungan yang didapat sudah cukup untuk mencicil hutangnya kepada Mario.Selain itu, ia menyisihkan sebagian keuntungan untuk persiapan membeli kado. Iya, semua itu untuk sang tante.Saking senangnya membaca semua berkas itu, dia sampai tidak peduli dengan berita yang ada di televisi.Tetapi, tak berlangsung lama, datanglah salah satu asisten rumah tangga yang mengabarkan kalau Tante Ruth datang berkunjung.Vena terkejut. Dia segera merapikan semua berkas bisnisnya, lalu berdiri— hendak menyambut wanita itu di luar.Hanya saja, Tante Ruth sudah keburu datang dengan raut wajah sinis seperti biasa."Di rumah juga kamu? Kirain lagi liburan ke Bali lagi," ucapnya."Tante ..." Vena memaksakan sebuah senyuman di bibir. "Tante datang kok nggak ngabari dulu.""Nggak usah basa-basi. Ini sudah sebulan sejak kita me
Mario duduk bersandar di kursi kantornya. Dia merasa pusing dengan tekanan yang didapat dari sang paman. Selain itu, satu per satu pemegang saham mulai berpihak ke pria itu.Di sebelahnya sudah berdiri sang asisten alias Daffa. Pemuda itu terlihat meluhat-lihat berkas yang ada di atas meja.Dia berkata, "pak, selain masalah ini, orang gila itu juga ganggu lagi. Dia menagih janji pelunasan pembayaran untuk pembangunan villa yang dijanjikan.""Bangunannya saja belum jadi sudah minta pelunasan, kan sudah tercatat di perjanjian, dia itu bodoh atau bagaimana?" Nada bicara Mario sedikit tidak enak karena kesal dengan segala masalah yang meliputinya.Daffa paham dengan kondisi mental bosnya itu. Dia mengangguk. "Saya juga heran, Pak, tapi saya sudah bilang agar sesuai perjanjian. Pelunasan baru akan dilakukan setelah bangunan berdiri.""Terus dia bilang apa?""Katanya dia nggak mau tahu soalnya sudah setuju menjalin hubungan bisnis.""Lah, dikira ini perusahaan nenek moyangnya? Minta uang s
Berdebatan antara Vena dan Tante Ruth tak kunjung berhenti. Vena tetap teguh dengan pendiriannya yang tak mau dimadu. Sementara itu, Tante Ruth merasa percuma saja bicara dengannya."Bicara sama kamu ini memang nggak ada ujungnya, buang-buang waktu," ucap wanita paruh baya itu sembari berdiri dari sofa. Tanpa mengatakan apapun, dia berjalan masuk ke dalam— menuju ke arah dapur.Vena ikut berdiri, melihat wanita itu pergi. "Tante mau apa?""Mau minum." Tante Ruth menoleh. Pandangannya masih dingin. "Saya nggak mau pergi sebelum kita sepakat tentang obrolan kita tadi.""Tapi Tante...“Tante Ruth tak peduli, tetap berjalan dan menghilang saat melewati tembok. Dia benar-benar tak mau tahu.Vena terpaksa mengikutinya menuju ke dapur. Dia hanya berharap kalau para asisten rumah tangga tak menaruh perhatian lebih ke perdebatan mereka.Seusai sampai di dapur, terlihat kalau Tante Ruth duduk di salah satu kursi, menunggu salah sa
Begitu nama Sarah keluar dari mulut Tante Ruth, Vena langsung tak bersemangat. Dia sudah menduga ini, tapi tak mengira benar-benar terjadi.Terjadi keheningan di antara dirinya dan Tante Ruth untuk sesaat. Keduanya tak saling bicara, hanya berpandangan mata.Vena menyindir, "Tante, bisa-bisanya Tante serius mau menjodohkan Mas Mario lagi sama wanita itu? Tante sendiri saja pernah dikhianati—dia mengambil uang Tante, lalu pergi.“"Nggak usah ngomong itu lagi, itu lagi. Seenggaknya Sarah sudah mengembalikan uangnya, sementara kamu ... Memangnya kamu bisa mengembalikan semua uang yang sudah dihabiskan Mario buat mengurus permasalahan kamu dengan keluarga mantan suami kamu itu? Enggak 'kan?""Tapi—”"Selain itu,“ Tante Ruth menyela cepat. Dia menambahkan, "Sarah berasal dari keluarga baik-baik, saya kenal sama keluarganya. Terus, dia juga sehat, dia belum pernah menikah.”Vena merasa terhina dengan perkataan itu. Tetapi, dia tetap mempertahankan diri. "Tante, tolong bilang kalau ini cuma
Keesokan harinya...Mario bangun lebih awal. Dia menguap beberapa kali, sebelum akhirnya turun dari ranjang, dan membuka tirai jendela— membiarkan sinar mentari masuk ke dalam.Dia menoleh ke ranjang, tersenyum melihat istrinya yang sudah menggeliat. "Pagi, Sayang, sudah bangun?“"Mm..." Vena hanya bergumam. Kedua mata masih menutup.Mario mendekat, lalu menjatuhkan diri di atas ranjang sampai Vena hampir terpental. Dia menciumi wajah wanita itu, lalu berbisik mesra, "ayo bangun, Sayang, sudah pagi."Vena membuka mata, masih agak malas, tapi terpaksa menuruti permintaan sang suami. Dia menatap pria itu, lalu bertanya, "masih jam berapa?”"Enam.""Tumben banget bangun jam segini, kamu ada pekerjaan hari ini?""Enggak ada." Mario menindih dada Vena, mendekatkan wajah mereka. Dia terus tersenyum dengan manis. "Aku bakalan di rumah terus sama kamu."Vena teringat kejadian kemarin yang belum sempat dibicarakan dengan Mario. Dia merasa tak enak, tapi kalau tak dibicarakan nanti malah jadi b