Berdebatan antara Vena dan Tante Ruth tak kunjung berhenti. Vena tetap teguh dengan pendiriannya yang tak mau dimadu. Sementara itu, Tante Ruth merasa percuma saja bicara dengannya."Bicara sama kamu ini memang nggak ada ujungnya, buang-buang waktu," ucap wanita paruh baya itu sembari berdiri dari sofa. Tanpa mengatakan apapun, dia berjalan masuk ke dalam— menuju ke arah dapur.Vena ikut berdiri, melihat wanita itu pergi. "Tante mau apa?""Mau minum." Tante Ruth menoleh. Pandangannya masih dingin. "Saya nggak mau pergi sebelum kita sepakat tentang obrolan kita tadi.""Tapi Tante...“Tante Ruth tak peduli, tetap berjalan dan menghilang saat melewati tembok. Dia benar-benar tak mau tahu.Vena terpaksa mengikutinya menuju ke dapur. Dia hanya berharap kalau para asisten rumah tangga tak menaruh perhatian lebih ke perdebatan mereka.Seusai sampai di dapur, terlihat kalau Tante Ruth duduk di salah satu kursi, menunggu salah sa
Begitu nama Sarah keluar dari mulut Tante Ruth, Vena langsung tak bersemangat. Dia sudah menduga ini, tapi tak mengira benar-benar terjadi.Terjadi keheningan di antara dirinya dan Tante Ruth untuk sesaat. Keduanya tak saling bicara, hanya berpandangan mata.Vena menyindir, "Tante, bisa-bisanya Tante serius mau menjodohkan Mas Mario lagi sama wanita itu? Tante sendiri saja pernah dikhianati—dia mengambil uang Tante, lalu pergi.“"Nggak usah ngomong itu lagi, itu lagi. Seenggaknya Sarah sudah mengembalikan uangnya, sementara kamu ... Memangnya kamu bisa mengembalikan semua uang yang sudah dihabiskan Mario buat mengurus permasalahan kamu dengan keluarga mantan suami kamu itu? Enggak 'kan?""Tapi—”"Selain itu,“ Tante Ruth menyela cepat. Dia menambahkan, "Sarah berasal dari keluarga baik-baik, saya kenal sama keluarganya. Terus, dia juga sehat, dia belum pernah menikah.”Vena merasa terhina dengan perkataan itu. Tetapi, dia tetap mempertahankan diri. "Tante, tolong bilang kalau ini cuma
Keesokan harinya...Mario bangun lebih awal. Dia menguap beberapa kali, sebelum akhirnya turun dari ranjang, dan membuka tirai jendela— membiarkan sinar mentari masuk ke dalam.Dia menoleh ke ranjang, tersenyum melihat istrinya yang sudah menggeliat. "Pagi, Sayang, sudah bangun?“"Mm..." Vena hanya bergumam. Kedua mata masih menutup.Mario mendekat, lalu menjatuhkan diri di atas ranjang sampai Vena hampir terpental. Dia menciumi wajah wanita itu, lalu berbisik mesra, "ayo bangun, Sayang, sudah pagi."Vena membuka mata, masih agak malas, tapi terpaksa menuruti permintaan sang suami. Dia menatap pria itu, lalu bertanya, "masih jam berapa?”"Enam.""Tumben banget bangun jam segini, kamu ada pekerjaan hari ini?""Enggak ada." Mario menindih dada Vena, mendekatkan wajah mereka. Dia terus tersenyum dengan manis. "Aku bakalan di rumah terus sama kamu."Vena teringat kejadian kemarin yang belum sempat dibicarakan dengan Mario. Dia merasa tak enak, tapi kalau tak dibicarakan nanti malah jadi b
Mario mengambil salah satu kunci mobil di kotak khusus penyimpanan semua kendaraan. Dia memiliki beberapa kendaraan pribadi di garasi, yang jelas jarang dipakai, dan kali ini dia mengambil salah satunya.Dia dan istrinya kemudian berjalan keluar kamar tidur, menuju ke garasi di smaping rumah yang luasnya tidak main-main. Terkadang Vena baru sadar kalau menikahi seorang pria yang kekayaannya benar-benar melimpah."Aku hampir lupa koleksi kendaraan kamu segini banyaknya, saking nggak pernah main ke garasi ..." kata Vena begitu memasuki garasi. Daripada di sebut garasi, memang lebih pantas disebut showroom. Ada enam mobil, semuanya adalah model sport terbaru, lima motor untuk keperluan para pelayan.Mario berjalan melihat-lihat. "Aku juga jarang banget masuk ke sini, Sayang.""Jadi, kita serius jalan-jalan ke pinggiran kota pakai mobil sport? Kenapa nggak pakai yang biasa kamu yang disopiri itu?""Ya jangan dong, masa iya jalan-jalan pakai mobil begituan— sesekali mobil sport," kata Mari
Mario dan Vena pergi jalan-jalan ke daerah pinggiran kota. Mario sengaja memilih area yang dekat dengan jalur hutan agar tidak menarik terlalu banyak perhatian dari orang. Iya, mengingat dia membawa mobil sport.Vena melihat ke sekeliling. Dia menatap sang suami, lalu bertanya, "kamu kok lewat jalanan sepi begini?""Kenapa? Namanya juga jalan-jalan, seru 'kan lewat jalan hutan begini, asri banget." Mario sesekali melihat keluar jendela. Ia tampak tersenyum menikmati pemandangan indah pepohonan yang menjulang tinggi."Mmm .." Vena berpikir sebentar. "Kamu nggak takut ada begal? atau psikopat?"Mario tertawa, tapi masih fokus menyertir. Dia mengejek istrinya dengan berkata, "astaga, Sayang, kamu kebanyakan nonton film.""Nggak begitu juga, kamu itu yang jarang melihat berita. Justru kita ini tinggal di negara yang banyak begal, harus waspada— apalagi kamu pakai mobil beginian.""Justru kalau aku pakai mobil beginian, mana mungkin dimaling. Yakin bisa mengendari mobil ini?"Vena merasa i
Aroma itu familiar...Vena masih memikirkan orang yang barusaja melintasinya. Namun, dia mengabaikan itu setelah orangnya sudah jauh, menghilang di balik pepohonan.Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka sampai di Lokasi air terjun kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Ada beberapa orang yang menikmati keindahan tempat ini, sebagian lain terlihat memotret beberapa area.Mario tersenyum senang. Tak biasanya dia melihat pemandangan. "Indah banget ya, Sayang? Saking capeknya melihat laptop sama orang-orang tua bangka di ruang rapat, melihat semua ini jadi terasa di surga."Vena tertawa kecil. "Kamu kurang ajar banget. Orang-orang yang kamu hina itu 'kan pasti investor dan rekan-rekan bisnis.""Termasuk om ..." tambah Mario sama sekali tidak tertawa, malah terlihat kepikiran.Senyum Vena pun luntur. Dia kembali teringat akan ancaman sang bibi pada mereka. Tetapi, dia tidak mau merusak suasana dengan membahas itu.Dia mengusap hidung, mencium aroma-aroma lain lagi. Entah
Vena dan Mario duduk di bangku kosong, di sekeliling mereka tumbuh pepohonan rimbun. Keduanya bisa merasakan hawa sejuk di sekitar situ meski matahari sudah hampir sejajar di atas kepala.Mario mendongak, tersenyum melihat dedaunan pohon yang menangungi bangku ini. Dia merasa damai berada di situ.Vena menatapnya. "Kenapa senyum begitu?""Nggak apa-apa, Sayang. Aku merasa tenang berada di sini. Itu saja.""Padahal barusan kita melihat orang mencurigakan?""Kalau itu—“ Mario sempat menoleh ke berbagai arah, memastikan tidak ada pria asing itu lagi. Baru setelahnya, dia berkata, ”nggak ada siapapun. Aku memang curiga, tapi selama dia nggak ganggu kita, nggak usah dipikirkan."Vena menepis perasaan tak enaknya dia mengangguk paham. "Iya." "Semoga saja itu bukan mantan suami kamu yang gila itu lagi. Jujur, aku lelah diganggu terus. Ia pintar sekali masuk ke keluargaku.“"Maaf ya, Mas.""Nggak usah selalu minta maaf, Sayang. Dia memang brengsek. Ya sudahlah.”Vena tidak berkata apapun, m
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,