"Aku tidak sengaja melakukannya, Bi... tolong maafkan aku..." suara Arcelia parau, hampir tak terdengar di tengah udara musim gugur yang menggigit.Tangannya mengepal erat, kuku-kuku tumpulnya menekan telapak sampai hampir berdarah.Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena luka cambuk pada punggungnya terasa membakar.“Diam! Kau pikir dengan meminta maaf, semua masalah akan beres?! Putriku kehilangan calon suami yang baik karena kelalaianmu! Dasar pembawa sial!” Suara Marla, bibi kandung Arcelia, membelah udara senja yang kelabu. Tidak sedikit pun dia berhenti mencambuki Arcelia.Semua ini bermula dari siang tadi, saat tamu kehormatan dari keluarga Jefferson, datang untuk membicarakan mengenai perjodohan putra sulung mereka dengan Nora, putri bungsu Marla.Karena kurangnya pelayan, Arcelia yang menumpang hidup dengan Marla semenjak kematian orang tuanya, dipaksa ikut melayani jamuan hari itu. Namun, saat Arcelia ingin menyajikan hidangan sup, seseorang menyenggolnya dan
Arcelia membuka mata.Pemandangan di hadapannya membuat pikirannya kacau. Langit di atasnya berwarna ungu tua dengan kilatan cahaya keemasan yang bergerak seperti gelombang di lautan. Udara di sekitarnya hangat, berbeda jauh dari dingin yang menusuk tulang yang baru saja ia rasakan. Dan di sekelilingnya…Perempuan-perempuan itu.Mereka berdiri dengan anggun, kulit mereka berkilau seperti terbuat dari mutiara hidup. Mata mereka bercahaya samar, seakan menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar manusia biasa. Pakaian mereka begitu minim, hanya menutupi bagian dada dengan kain tipis yang bahkan tak sepenuhnya menutupi tubuh mereka. Bagian bawahnya berupa celana dengan juntaian kain transparan yang melambai seperti ekor, bergerak lembut seiring angin yang berbisik.Arcelia menelan ludah, pikirannya berusaha mencerna situasi ini.Siapa mereka?Di mana ini?Ingatan terakhirnya adalah sosok merah yang mengatakan satu kalimat yang menjadi teka-teki baginya, “Beraninya kalian memperlakuka
Perayaan pernikahan berlangsung dengan meriah.Langit di atas mereka dipenuhi cahaya merah dan emas, seakan bintang-bintang pun ikut berpesta. Di sekeliling altar pernikahan, para bangsawan dunia iblis berkumpul, berpakaian indah dan penuh kemewahan, menonton dengan penuh takjub.Arcelia berdiri di samping Kaisar Azrael, tangannya masih terasa lemas, jantungnya berdetak cepat saat upacara sakral dimulai.Sumpah suci diucapkan.Gema mantra kuno memenuhi udara.Kain merah panjang membelit pergelangan tangan mereka berdua, mengikat takdir mereka dalam satu janji abadi.Dan akhirnya, tibalah saatnya penutup pernikahan.Ciuman Kaisar.Arcelia bahkan belum sempat menarik napas ketika pria itu membungkuk, satu tangannya mencengkeram pinggangnya dengan lebih kuat, dan bibir panasnya menekan bibirnya dengan penuh kepemilikan.Arcelia membelalakkan mata.Dia… tidak pernah dicium sebelumnya.Tidak tahu bagaimana caranya.Sensasi panas langsung menjalar dari bibir ke seluruh tubuhnya. Napasnya ter
Ruang megah itu masih dipenuhi keheningan. Arcelia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, begitu keras hingga dia hampir yakin semua orang di ruangan ini bisa mendengarnya.Satu per satu, sembilan pangeran yang berdiri di hadapannya bergerak maju.Langkah mereka tenang, penuh percaya diri, seolah sudah terbiasa mengendalikan segalanya. Ada aura mengintimidasi yang begitu alami terpancar dari mereka, mengingatkan Arcelia bahwa meskipun mereka kini dalam wujud pria rupawan, mereka tetaplah monster. Mereka tidak sepenuhnya manusia.Dan sekarang mereka adalah suaminya. Tunggu, apa tidak salah? Tidak adakah yang bisa menjelaskan semua ini apa maksud dari ‘suami’ di sini? Arcelia menguatkan dirinya saat pangeran pertama mendekat. Dia adalah pria dengan mata keemasan dan rambut sehitam malam—dialah naga hitam tadi. Dengan gerakan anggun, dia meraih tangan Arcelia, membungkuk sedikit, dan menekan bibirnya pada punggung tangannya. Sentuhannya panas, membuat Arcelia nyaris tersentak.
Kamar pengantin itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lilin yang terpasang di sekeliling ruangan. Di luar, malam di kerajaan iblis sangat sunyi, hanya terdengar desiran angin yang menerobos celah-celah istana batu tua yang sudah berusia ratusan ribuan tahun. Ruangan itu terasa berat, penuh dengan aura yang tak terjelaskan, seolah seluruh dunia luar tidak ada, hanya ada mereka berdua. Kaisar Azrael berdiri tegap di sisi ranjang besar, mengenakan jubah hitam yang berkilau di bawah cahaya lilin. Wajahnya, dingin dan tak terjamah, memandang Arcelia dengan tatapan yang penuh makna. Namun, di balik ekspresi itu, ada sesuatu yang tak terungkapkan, semacam keinginan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang benar-benar memahami dunia iblis. Arcelia, dengan pakaian pengantin yang sederhana namun elegan, merasa seluruh tubuhnya tegang. Semua yang terjadi begitu cepat, terlalu cepat. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membawanya untuk tetap bertahan. Naluri alaminya, yang selama i
Malam sudah lewat tengah, tapi rumah tua itu masih dihantui oleh bayangan gelap. Cahaya lampu minyak yang redup berkelip di sudut ruangan, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding yang penuh retakan. Udara dingin merayap masuk melalui celah-celah kayu yang rapuh, menguarkan aroma lembab dan apak yang sudah menjadi bagian dari tempat itu.Bibi Marla berjalan cepat di sepanjang lorong sempit yang dipenuhi debu. Wajahnya yang dipenuhi keriput terlihat semakin menegang saat matanya memandang pintu gudang yang setengah terbuka namun berantakan seperti habis ada badai besar yang menghantam.Dadanya naik-turun dalam kegelisahan, dan tangannya yang kasar menarik pintu dengan kasar, hingga engsel tua itu mengeluarkan bunyi derit yang menusuk telinga.Kosong. Melihat itu kebenciannya kepada Arcelia semakin menggunung, gara-gara Arcelia dia harus kehilangan dua anak gadisnya.Marla mengedarkan pandangan, seolah berharap bahwa keponakannya yang malang itu sedang bersembunyi di balik peti-p
Kelopak mata Arcelia terbuka sepenuhnya, dan nafasnya sedikit tertahan saat ia menyadari dimana dirinya berada.Ia terbaring di atas ranjang besar dengan tirai sutra yang menjuntai lembut di sekelilingnya. Cahaya temaram lilin berpendar samar, menciptakan bayangan-bayangan halus di dinding berukir indah. Udara di ruangan itu terasa hangat, dipenuhi aroma samar dupa yang membuai.Namun yang paling mengejutkan bukanlah kemewahan ruangan itu.Melainkan tubuh pria yang tengah mendekapnya erat.Kaisar.Arcelia menelan ludahnya, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari dirinya terjebak dalam pelukan pria itu—pria yang kini menjadi suaminya, Kaisar Azrael. ‘Oh tidak, begini rasanya dipeluk dengan penuh minat!’Dada bidangnya yang telanjang terasa begitu hangat di kulitnya, keras dan kuat, seakan tubuh itu terbuat dari batu. Nafasnya yang dalam dan teratur terdengar di dekat telinganya, menghembuskan udara hangat ke lehernya, membuatnya menggigil tanpa sebab.Jemari Arcelia tanpa sadar t
Aula perjamuan kerajaan iblis begitu megah, dengan langit-langit tinggi yang dihiasi ukiran kuno bercahaya merah samar. Cahaya dari ribuan lilin mengambang di udara memberikan sentuhan dramatis, sementara meja panjang di tengah ruangan dipenuhi hidangan mewah yang mengepulkan aroma menggoda. Para bangsawan dan anggota keluarga kerajaan telah duduk di tempat mereka masing-masing, mengenakan jubah hitam dan merah dengan sulaman emas yang melambangkan status mereka. Namun, tak satupun dari mereka lebih mencolok dibandingkan sembilan pangeran iblis yang duduk dengan anggun di tempat kehormatan mereka. Dan di antara mereka, sang Kaisar duduk di singgasana tertinggi, dengan tatapan tajam yang tak pernah lepas dari satu sosok—Arcelia.Arcelia sendiri masih menyesuaikan diri dengan segala perhatian yang tertuju padanya. Malam ini, ia mengenakan gaun hitam dengan aksen merah darah, membalut tubuhnya dengan sempurna tanpa kehilangan sentuhan anggun seorang ratu. Mahkota peraknya berkilauan di
Ruangan pribadi Ratu Arcelia dibalut tenang. Lampu-lampu kristal sihir menyala lembut, dan tirai-tirai merah tua melambai pelan tertiup angin malam. Namun, di balik ketenangan itu, satu sosok duduk gelisah di atas tempat tidur berkanopi hitam—Arcelia.Dengan rambut dikuncir separuh dan mengenakan jubah tidur berbahan halus warna pirus, ia tampak seperti gadis muda yang seharusnya memikirkan pesta dansa… bukan selir baru suaminya.“Dia... dia pasti sekarang sedang... ya ampun.” Arcelia memeluk bantal, wajahnya setengah terkubur dalam bulu halus.“Apa, Yang Mulia?” tanya Lira, dayang pribadi Arcelia yang paling setia—dan juga paling banyak komentar.Arcelia menoleh cepat. “Jangan sok polos. Kamu tahu yang kumaksud.” pipi Arcelia mengembung.Lira pura-pura tidak mengerti. “Oh, maksud Paduka adalah—”“—jangan lanjutkan!” sergah Arcelia, melempar bantal ke arahnya. Dia menutup kedua telinganya sendiri “Ugh! Aku nggak tahu kenapa ini menggangguku banget. Aku yang menyetujuinya, aku yang mem
Aula Singgasana diterangi oleh cahaya kristal darah yang bergelayut di langit-langit, seperti bintang yang membeku. Suara dentang lonceng keempat menandai berkumpulnya seluruh anggota Dewan Penasehat, bangsawan istana, dan makhluk-makhluk penting kerajaan iblis. Di singgasana hitam megah bertatahkan oniks dan batu obsidian, Azrael duduk dengan Arcelia di sisi kirinya—anggun, lembut, dan tampak tenang meski jiwanya berkecamuk.Dua pengawal membimbing Aeralis memasuki aula. Ia tampak mengenakan gaun tipis berwarna ungu gelap dengan belahan rendah di punggung, menandakan posisi barunya sebagai calon selir. Langkahnya lembut, nyaris seperti melayang, namun gerakannya tetap membawa kesan lemah yang menyentuh—seolah tubuhnya benar-benar masih dalam proses pemulihan.Azrael bangkit, suara beratnya mengisi seluruh ruangan.“Dengan restu Ratu Iblis, dan pertimbangan dari Dewan Penasehat, serta keadaan yang luar biasa… kami, Kaisar Dunia Kegelapan, menyetujui permintaan Aeralis, peri malam yang
Aula kristal hitam tempat Dewan Penasehat berkumpul dipenuhi keheningan penuh tekanan. Pilar-pilar tinggi menjulang, dihiasi ukiran iblis purba yang seolah mengawasi setiap gerak mereka. Di hadapan tujuh kursi utama, Kaisar Azrael duduk anggun dengan jubah gelapnya, Arcelia di sisi kirinya, dan Aeralis berdiri anggun di belakang mereka—masih tampak lemah namun tak kehilangan aura indahnya.Salah satu penasihat utama, Tuan Garthom, seorang iblis tua bermata satu dan bertanduk ganda, mengangguk ringan saat semua telah duduk.“Tuanku Kaisar, perihal permintaan wanita bernama Aeralis untuk menjadi selir…” suaranya dalam dan berat, “…kami telah meninjau permintaan tersebut dan mempertimbangkan banyak hal.”Seorang penasihat lain menyambung, “Saat ini istana kekaisaran dalam keadaan labil karena potensi ancaman internal. Menambahkan seorang selir, apalagi bukan dari kalangan bangsawan iblis, akan menimbulkan kecemburuan dan kegelisahan dari faksi lain.”Mendengar penjelasan gamblang dewan p
Istana tampak jauh lebih hangat dalam beberapa hari terakhir. Bukan karena musim semi yang mulai menyentuh taman-taman, melainkan karena kehadiran seorang tamu yang tak biasa—Aeralis, sang “Peri Penjaga Batas” yang kini menjadi pusat perhatian banyak mata, termasuk sang Ratu dan Kaisar.Aeralis dirawat di salah satu paviliun khusus, sayap barat istana, tempat para tamu agung biasanya menginap. Tabib istana menyebut lukanya parah, namun bukan sesuatu yang tak bisa disembuhkan. Hanya saja, energi magis dalam tubuhnya terguncang hebat akibat konfrontasi dengan makhluk bayangan malam itu.Padahal dengan sengaja juga dia meracuni dirinya agar tampak lemah dan tidak berdaya.Pagi itu, Arcelia datang sendiri ke paviliun tempat Aeralis dirawat. Ia membawa bunga malam yang baru dipetik dari taman, disusun dalam vas kristal kecil.“Untukmu,” ucap Arcelia sambil tersenyum lembut, meletakkan vas itu di samping tempat tidur Aeralis.Aeralis yang duduk di ranjang, mengenakan gaun lembut warna biru l
“Perang?” Suara Arcelia nyaris tak terdengar, seperti embusan napas yang tercampur antara ketakutan dan kebingungan.Lucien menatapnya—sorot matanya serius, tanpa bayangan canda yang biasa ia sembunyikan di balik sarkasme atau sindiran tajamnya. “Bukan perang yang diumumkan dengan genderang atau sihir. Tapi perang diam-diam... yang dimulai dari dalam. Dimulai dari kepercayaan yang dihancurkan. Dari hasrat tersembunyi dan ambisi yang ditanam dalam diam.”Arcelia menunduk, tatapannya jatuh ke tangan sendiri yang masih gemetar. “Dan aku adalah... alasan perang itu?”Lucien merendah, berlutut agar sejajar dengan wajahnya. “Kamu adalah pusat dari badai, Arcelia. Tapi bukan karena kamu lemah atau berbahaya. Tapi karena kau satu-satunya hal yang tidak bisa mereka kendalikan. Kamu istimewa!”Arcelia mengerjapkan mata, menahan emosi yang mulai membasahi sudut pelupuknya. “Aku hanya ingin memahami dunia ini, dunia kalian para iblis yang kami kenal sangat mengerikan... Aku tidak pernah ingin jad
Di tempat tersembunyi di taman malam istana, Sylas duduk sendiri, memandangi langit neraka yang berwarna kelam. Satu lengkungan angin meniup rambut peraknya. Mata hijaunya memandangi langit yang kosong, tapi pikirannya penuh. Nyalinya tiba-tiba menciut, dia masih optimis sudah berhasil mengadu domba saudara-saudaranya tapi dia cemas….Semua pangeran mulai menghindarinya. Tidak ada lagi undangan makan malam. Tidak ada lagi kabar strategi. Bahkan, Lucien—yang biasanya ramah kepada semua—tidak lagi tersenyum padanya.“Aku membuat mereka saling curiga. Tapi aku lupa... bahwa aku akan jadi pusat kecurigaan itu juga,” pikirnya.Tangannya menggenggam kalung kecil—liontin pemberian ibunya, Marovielle yang dulu diberikan diam-diam. Dalam diam, wajah Arcelia terlintas di pikirannya.“Kalau saja… kau tahu apa yang aku lakukan demi memutuskanmu dari Azrael...”Tapi batinnya juga mulai meragukan langkah-langkahnya.Apakah ini benar-benar strategi… atau hanya rasa sakit hati yang dibungkus ambisi?
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah kejadian ledakan sihir di kamar Kaisar, Arcelia masih duduk di sisi tempat tidur, menatap Azrael yang kini tertidur dengan napas berat. Tubuh Suaminya yang perkasa itu tampak melemah, meski hanya sesaat.Tapi bukan itu yang membuat Arcelia gelisah.Ia menatap tangannya sendiri—tangan yang digenggam erat oleh Azrael sebelum tertidur. Sejak kejadian itu, kulitnya terasa seperti berdenyut. Hangat, seolah ada sesuatu yang beresonansi dari dalam dirinya.Arcelia menggenggam kain gaunnya. “Azrael tak pernah gagal mengendalikan sihirnya…” bisiknya pada diri sendiri. “Tapi tadi… saat aku khawatir… saat aku takut kehilangannya…”Matanya menatap kosong ke arah perapian. Api menari pelan, tapi di balik nyalanya ada sesuatu yang berubah. Perasaan asing. Seolah alam pun bereaksi pada emosinya.‘Apa mungkin... ini ada hubungannya denganku?’Langkahnya pelan mendekati kaca jendela. Dari bayangan kaca, ia melihat dirinya sendiri—dan pantulan itu tid
“Menculik ratu Arcelia malam ini? Bodoh! Setelah yang kamu lakukan beberapa pekan lalu, apa kamu pikir mudah mendekatinya?” Gertak Marovielle. “Sudah! Kamu memang terlalu dini untuk diberikan kepercayaan, membuat strategy begini saja tidak mampu! Kamu mirip Ayahmu!” umpat Marovielle kesal.“Ayahku? Kaisar?” Sylas menatap Marovielle ragu.“Bodoh! Kamu pikir kamu anak Azrael, ayahmu juga dari kaum Elf! Azrael yang membunuh Ayahmu!” Jelas Marovielle membuat Sylas tertegun dan mematung sesaat. “Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku bukan anak Kaisar?”“Dulu…aku masuk ke istana ini bukan karena suka rela, aku datang karena aku mencari Ayahmu.” Marovielle menjedah ceritanya, “Ayahmu adalah sepupu dari Azrael, seharusnya dia yang berada di singgasana namun, karena sebuah kesalahan kecil dia diasingkan. Tapi, itu tak membuatku menyerah. Saat itu karena keistimewaanku aku diangkat menjadi selir kehormatan, tapi tidak lama karena sebelum kaisar menyentuhku aku sudah ketahuan hamil” Marovielle meny
Kediaman Jenderal Kaelthor berdiri megah di sisi timur istana, terpisah dari kediaman para pangeran lain. Dinding-dinding batu dihiasi ukiran naga dan lambang kekuatan. Suara dentang besi, senjata yang diasah, dan teriakan prajurit dalam latihan terdengar bahkan dari jauh.Sylas berdiri di depan gerbang, diam memperhatikan. Ia tahu, Kaelthor bukan sekadar pangeran. Ia adalah naga dalam wujud manusia—berdarah panas, cerdas, dan tak pernah menyembunyikan ambisinya. Tapi justru itu yang membuatnya menjadi target Sylas.Karena orang seperti Kaelthor, jika bisa dijadikan sekutu, bisa menjadi tombak pemecah singgasana Kaisar.Ia melangkah masuk, disambut prajurit bertubuh besar yang langsung mengenalinya.“Pangeran Sylas,” kata mereka, setengah bingung, setengah waspada. Tapi tidak berani menolak. Mereka tahu siapa Sylas—meski sering diremehkan, ia tetaplah mereka kenal sebagai pangeran, putra Kaisar Azrael.Sylas dibawa ke aula latihan pribadi. Di tengah ruangan yang luas, Kaelthor berdiri