Ia terbaring di atas ranjang besar dengan tirai sutra yang menjuntai lembut di sekelilingnya. Cahaya temaram lilin berpendar samar, menciptakan bayangan-bayangan halus di dinding berukir indah. Udara di ruangan itu terasa hangat, dipenuhi aroma samar dupa yang membuai.
Namun yang paling mengejutkan bukanlah kemewahan ruangan itu.
Melainkan tubuh pria yang tengah mendekapnya erat.
Kaisar.
Arcelia menelan ludahnya, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari dirinya terjebak dalam pelukan pria itu—pria yang kini menjadi suaminya, Kaisar Azrael. ‘Oh tidak, begini rasanya dipeluk dengan penuh minat!’
Dada bidangnya yang telanjang terasa begitu hangat di kulitnya, keras dan kuat, seakan tubuh itu terbuat dari batu. Nafasnya yang dalam dan teratur terdengar di dekat telinganya, menghembuskan udara hangat ke lehernya, membuatnya menggigil tanpa sebab.
Jemari Arcelia tanpa sadar terangkat, menyentuh dada pria itu dengan hati-hati.
Keras.
Hangat.
Kuat.
Ia menelan ludah sekali lagi, lalu dengan berani menggerakkan jemarinya, mengikuti lekukan otot-ototnya yang begitu sempurna. Ia nyaris tak bisa mempercayai betapa sempurnanya sosok pria ini—seperti dewa perang yang turun dari langit, memiliki tubuh yang diciptakan untuk mendominasi dan melindungi.
Tanpa sadar, senyum kecil muncul di wajahnya.
Seumur hidupnya, ia tidak pernah berada sedekat ini dengan seorang pria. Ia bahkan tidak pernah membayangkan dirinya akan berada dalam situasi seperti ini—berbagi ranjang dengan seorang Kaisar, dalam kehangatan yang begitu nyata.
Namun, senyuman itu lenyap seketika ketika suara berat dan dalam terdengar di telinganya.
“Kau sedang apa?”
Arcelia membeku.
Dengan panik, ia mengangkat wajahnya dan mendapati sepasang mata merah pekat milik Kaisar menatapnya dengan sorot tajam.
Dingin. Dalam. Menghanyutkan.
Seperti bara api yang tersembunyi di balik lapisan es, penuh dengan sesuatu yang tidak bisa ia pahami.
“Uh… aku…” Suaranya tercekat, bibirnya sedikit gemetar.
Tatapan itu seolah menelanjangi pikirannya, membuatnya merasa seakan telah tertangkap basah melakukan sesuatu yang terlarang.
Namun alih-alih menjauh, Kaisar justru menariknya lebih dekat. Satu lengannya yang kuat melingkari pinggangnya dengan mudah, sementara tangannya yang besar menyentuh punggungnya, menahannya dalam genggaman yang tak mungkin ia hindari.
Arcelia terperangkap.
Dan yang lebih parah lagi… ia tidak tahu apakah ia ingin melarikan diri atau tetap di sana, dalam kehangatan pria ini. Dia ingin meraba jantungnya yang terasa ingin melompat dari rongga dadanya saat ini.
"Mm...Kaisar, aku sangat mengagumimu" sebenarnya itu yang terjadi ucap sang Ratu lembut, Arcelia melihat senyum tipis di wajah sang kaisar walau sebentar. Sangat jujur. Polos.
"begitu?" tanya kaisar pelan. "Tapi aku melihat seperti ada yang mengusik pikiranmu?" tanya Kaisar.
"Kamu benar kaisar, aku seperti bermimpi melihat pamanku yang lumpuh, dia sedang sedih tapi berdoa sambil menangis untukku" jawab sang Ratu.
Kaisar berusaha membaca hati Arcelia.. Ia mengangkat tangannya, jemarinya yang besar dan kuat menyentuh rambut Arcelia, membelainya dengan lembut seakan tengah menenangkan kegelisahan yang membebani sang Ratu.
“Kamu menyayanginya?” tanya Kaisar pelan, suaranya serak namun penuh pengertian.
Arcelia mengangguk perlahan. “Iya… sangat. Di dunia ini hanya dia yang peduli padaku.”
Kaisar terdiam sejenak, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia benar-benar mencoba memahami perempuan di hadapannya.
“Kamu bisa turun ke dunia manusia saat purnama api,” ujar Kaisar akhirnya, suaranya terdengar seperti titah yang tak bisa diganggu gugat. “Tapi tidak bisa lama. Saat ada lolongan serigala, itu pertanda bahwa gerbang antara dunia kita akan ditutup. Kamu harus kembali sebelum itu terjadi.”
Arcelia menatapnya, sedikit terkejut dengan kebijaksanaan yang baru ia dengar. “Kenapa?” tanyanya pelan.
Kaisar menghela napas ringan, satu tangannya masih bermain di helai rambutnya. “Karena kamu adalah Ratu di dunia kami,” jawabnya. “Jika kamu terlalu lama berada di dunia manusia, keseimbangan akan terganggu. Dunia mereka bisa hancur.”
Arcelia merasakan sesuatu mencengkeram hatinya—perasaan yang tidak ia pahami sepenuhnya. Ia ingin bertemu dengan pamannya, ingin meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi di saat yang sama, ia sadar bahwa dirinya bukan manusia biasa lagi. Ada beban besar yang kini berada di pundaknya.
“Jadi… aku tidak bisa kembali selamanya?” bisiknya lirih.
Kaisar menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, “Tidak, Arcelia. Takdirmu ada di sini, bersamaku. Setelah ritual di Purnama Api pertamamu, kamu akan mengerti keberadaanmu,”
Keheningan menyelimuti mereka. Dalam kehangatan pelukan Kaisar, Arcelia merasakan dua hal yang bertolak belakang—rasa kehilangan atas masa lalunya, dan rasa aman yang perlahan-lahan mulai tumbuh di dunia barunya.
“Dengan dirimu sekarang,” lanjut Kaisar, “kamu bisa mengobatinya.”
Arcelia membeku. Matanya membelalak sedikit, menatap kosong ke arah dadanya sendiri seolah baru saja mendengar sesuatu yang mustahil.
“Apa… maksudmu?” bisiknya.
Kaisar menurunkan kepalanya sedikit, sehingga bibirnya hampir menyentuh ubun-ubun Arcelia. “Kau bukan manusia biasa lagi, Arcelia. Kau adalah Ratu di dunia ini. Dan seorang Ratu iblis memiliki kekuatan yang bisa melampaui batas manusia. Jika kau menginginkannya, kau bisa menyembuhkan pamanmu.”
Jantung Arcelia berdegup lebih cepat. Seumur hidupnya, ia selalu merasa tak berdaya, selalu menjadi korban keadaan. Tapi sekarang… Kaisar mengatakan bahwa ia memiliki kekuatan? Bahwa ia bisa menyembuhkan satu-satunya orang yang peduli padanya?
Tangannya mengepal di dada Kaisar. Ini terlalu besar untuk dipahami dalam satu malam.
“Kaisar,” ucapnya pelan, “bolehkah aku bertanya sesuatu?
Kaisar menurunkan pandangannya, sorot merah matanya menatapnya dengan penuh perhatian. Jemari besarnya mulai bermain di bahu terbuka Arcelia, memberikan sensasi aneh yang membuat napasnya sedikit tersendat.
“Tentu, Ratuku,” jawabnya, suara beratnya terdengar menggema di udara yang hening.
Arcelia menatap mata Kaisar dalam-dalam. Ada satu pertanyaan yang sejak awal menghantuinya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
“Kenapa kalian memilih aku?”
Kaisar tersenyum tipis—senyum yang jarang sekali muncul di wajahnya. Jemarinya terus menelusuri kulit bahu Arcelia, menciptakan percikan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Karena itu yang tertulis di kitab kuno,” jawabnya akhirnya, suaranya terdengar seperti bisikan yang datang dari masa lalu. “Untuk kelangsungan kerajaan iblis. Keseimbangan dua dunia,”
Arcelia terdiam. Jawaban itu tidak terlalu jelas, tapi ia bisa merasakan bahwa ada banyak hal yang belum dikatakan Kaisar.
Namun, ia tidak ingin bertanya lebih jauh, tidak sekarang.
Untuk saat ini, informasi itu sudah cukup.
“Baiklah,” bisiknya, “aku mengerti.”
Dan di bawah cahaya temaram kamar pengantin, di dalam dekapan seorang Kaisar yang tidak pernah ia bayangkan akan menjadi suaminya, Arcelia menutup matanya—membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang mungkin perlahan mulai ia terima.
---
Arcelia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh bibirnya. Lembut, namun memiliki ketegasan yang tak terbantahkan. Sentuhan itu membangunkannya perlahan dari tidurnya yang lelap, membawa kembali ingatan samar tentang malam yang panjang—malam penuh bisikan, sentuhan, dan debaran yang masih ia rasakan di tubuhnya.
Matanya mengerjap perlahan, dan hal pertama yang ia lihat adalah wajah Kaisar Azrael yang begitu dekat, menatapnya dengan sorot mata merah yang dalam.
“Bangunlah, Ratuku,” bisiknya tepat di telinganya, suaranya begitu rendah dan dalam hingga mengirimkan getaran halus ke seluruh tubuh Arcelia.
Jantungnya langsung berpacu lebih cepat.
Seketika, kesadaran penuh menghantamnya. Ia ingat segalanya. Malam yang panas, keintiman yang membuatnya kewalahan, dan bagaimana tubuhnya seakan tenggelam dalam kekuatan pria ini.
Pipinya langsung memanas.
“Ka-Kaisar…” suaranya bergetar, hampir tidak berani menatap pria yang kini tengah menunggunya dengan ekspresi tenang namun berbahaya itu.
Kaisar tersenyum tipis melihat wajahnya yang merona. “Pelayan sudah menyiapkan air mandi,” ujarnya santai, tangannya mengelus rambut Arcelia yang masih kusut setelah malam panjang itu.
Arcelia mengangguk kecil, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum normal. Namun, sebelum ia sempat bergerak, Kaisar melanjutkan,
“Untuk kita berdua.”
Deg.
Arcelia membeku.
Jantungnya, yang tadi sudah berdetak cepat, kini seolah berhenti sejenak. “Kita… berdua?” ulangnya dengan suara hampir berbisik.
Kaisar mengangguk tanpa sedikit pun ragu. “Tentu saja. Kau adalah Ratu iblis, Arcelia. Ritual malam pengantin kita belum selesai.”
Arcelia menelan ludah. Belum selesai?
“Kita akan melakukannya selama tujuh malam berturut-turut.”
Tatapan Kaisar yang tajam membuatnya sulit untuk bernapas. Ia tidak bercanda.
Arcelia hampir tidak bisa memproses kata-kata itu saat Kaisar menariknya dengan mudah ke dalam pelukannya, mengangkatnya seolah tubuhnya tak memiliki berat sama sekali.
Sebelum ia sempat membantah, tubuhnya sudah berada dalam dekapan pria itu, menuju tempat yang ia tahu pasti akan membuat wajahnya semakin panas—pemandian kerajaan.
---
Kolam air itu memancarkan aura megah sekaligus misterius.
Arcelia berdiri kaku di tepi kolam, jari-jarinya saling mencengkeram erat.
Sementara itu, Kaisar sudah lebih dulu masuk ke dalam air, tubuhnya yang kuat dan berotot tampak semakin mengintimidasi di bawah cahaya lilin yang redup. Rambut peraknya yang sedikit basah membuatnya terlihat semakin tak nyata—bagaikan makhluk yang diciptakan hanya untuk menggoda dan menghancurkan ketahanan dirinya.
“Masuklah,” suara Kaisar terdengar santai, namun memiliki nada perintah yang tak bisa dibantah.
Arcelia menggigit bibirnya. “Aku… aku bisa sendiri…”
Kaisar menatapnya dengan satu alis terangkat. “Kau yakin?” tanyanya pelan, namun ada sesuatu di balik suaranya yang membuat Arcelia berpikir dua kali.
Tentu saja ia tidak yakin. Bahkan berdiri pun rasanya sulit setelah malam yang panjang itu.
Mata Kaisar menyipit sedikit, lalu tanpa peringatan, ia mengulurkan tangan dan menarik Arcelia ke dalam air.
“Ahh—!” Arcelia tersentak ketika tubuhnya jatuh ke dalam dekapan Kaisar, air hangat menyelimuti kulitnya, namun yang lebih ia rasakan adalah tubuh keras yang kini begitu dekat dengannya.
Kaisar menahannya erat, memastikan ia tidak bisa bergerak ke mana pun. “Kau terlalu kaku, Ratuku,” gumamnya, tangannya bergerak ke bahu Arcelia, mulai memijatnya dengan tekanan yang pas. “Tubuhmu harus rileks.”
Arcelia berusaha mengatur nafasnya, tapi sulit ketika ia bisa merasakan setiap inci tubuh pria ini begitu dekat dengannya.
Namun, sentuhan tangannya di kulitnya begitu nyaman, begitu… membuatnya kehilangan pertahanan.
“Kau harus mengembalikan elastisitas tubuhmu, khususnya bagian intimu itu dengan berendam semua akan kembali seperti semula,” ujar kaisar, suaranya sedikit lebih lembut, namun tetap memiliki nada yang membuat Arcelia tak bisa mengabaikan maknanya. “Karena malam-malam kita masih panjang.”
Arcelia hanya bisa memejamkan matanya. Ia tahu, bahwa dirinya tidak akan bisa memenangkan pertarungan ini melawan Kaisar. Karena Kaisar terlalu kuat dan perkasa dan sang Ratu mulai candu.
Malam pengantin mereka baru saja dimulai.
Aula perjamuan kerajaan iblis begitu megah, dengan langit-langit tinggi yang dihiasi ukiran kuno bercahaya merah samar. Cahaya dari ribuan lilin mengambang di udara memberikan sentuhan dramatis, sementara meja panjang di tengah ruangan dipenuhi hidangan mewah yang mengepulkan aroma menggoda. Para bangsawan dan anggota keluarga kerajaan telah duduk di tempat mereka masing-masing, mengenakan jubah hitam dan merah dengan sulaman emas yang melambangkan status mereka. Namun, tak satupun dari mereka lebih mencolok dibandingkan sembilan pangeran iblis yang duduk dengan anggun di tempat kehormatan mereka. Dan di antara mereka, sang Kaisar duduk di singgasana tertinggi, dengan tatapan tajam yang tak pernah lepas dari satu sosok—Arcelia.Arcelia sendiri masih menyesuaikan diri dengan segala perhatian yang tertuju padanya. Malam ini, ia mengenakan gaun hitam dengan aksen merah darah, membalut tubuhnya dengan sempurna tanpa kehilangan sentuhan anggun seorang ratu. Mahkota peraknya berkilauan di
Arcelia menyentuh kelopak bunga yang terasa lebih lembut dari sutra, matanya berkilat dengan rasa ingin tahu. Dunia ini begitu asing, begitu berbeda… tetapi juga begitu menarik. Pernikahannya dengan Kaisar masih terasa seperti mimpi. Ia menikmati kebersamaan mereka di malam hari—saat Kaisar membawanya ke dalam kehangatan yang penuh gairah, membuatnya lupa bahwa di siang hari, hubungan mereka tidak lebih dari sebuah ikatan yang diatur oleh takdir. Dan justru karena itu, ia tidak mengerti kenapa Kaisar melarangnya untuk terlalu dekat dengan para pangeran.Sembilan pangeran itu lahir dari ibu yang berbeda, tapi tetap saja itu anak-anak kaisar. "Apa dia cemburu?" gumamnya pelan. Namun, saat itu juga, sebuah suara lembut namun dalam menyapa telinganya. "Apakah Ratu sedang memikirkan seseorang?. Arcelia tersentak dan menoleh cepat. Di sana, berdiri Kael, Pangeran Serigala. Pangeran itu mengenakan pakaian kasual yang lebih ringan dibandingkan jubah kerajaan yang biasa ia lihat. Rambut
dan merah darah. Tubuhnya terasa berat, napasnya masih tersengal-sengal, dan pikirannya berputar seperti kabut yang belum menghilang sepenuhnya. Sisa-sisa kehangatan masih melekat di kulitnya, sensasi membara yang ditinggalkan Kaisar Azrael belum sepenuhnya pudar.Suara langkah Kaisar mendekat, mantap dan tanpa ragu. Arcelia merasakan sentuhan hangat dan kuat di pinggangnya sebelum tubuhnya terangkat dengan mudah ke dalam pelukan Kaisar. Ia terkejut, tapi tak memiliki tenaga untuk melawan. Dada telanjangnya yang keras terasa begitu dekat, memberikan kenyamanan sekaligus ketegangan dalam satu waktu.Arcelia hanya bisa menyandarkan kepalanya ke bahu Kaisar saat ia membawanya menuju ruangan lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Aroma lembut mawar dan rempah-rempah memenuhi udara, menenangkan saraf-saraf yang masih tegang.Di hadapannya terbentang sebuah kolam besar, berisi air berwarna keperakan yang berkilau di bawah cahaya redup. Kelopak mawar terapung di permukaannya, menciptaka
Arcelia menyusuri lembaran buku dengan hati-hati. Cahaya lilin yang temaram menciptakan bayangan di dinding, membentuk sosok-sosok misterius yang seakan mengawasinya. Setiap halaman yang ia baca semakin menariknya ke dalam misteri yang lebih dalam.Matanya membelalak ketika ia menemukan sebuah buku tua yang berbeda dari yang lain. Sampulnya terbuat dari kulit hitam yang telah menua, dengan ukiran emas yang hampir memudar. Jelas, ini adalah buku kuno, mungkin lebih tua dari banyak sejarah yang ia ketahui di dunia manusia. Dengan hati-hati, ia membuka halaman pertama dan mendapati huruf-huruf yang ditulis dengan tinta merah tua—seakan darah yang membeku di atas kertas.Semakin ia membaca, semakin jantungnya berdetak lebih cepat.‘Ramalan Sang Ratu: Penyelamat atau Pemusnah?’Tangan Arcelia sedikit bergetar saat ia melanjutkan membaca. Isinya bukan hanya tentang keberuntungan atau kejayaan, melainkan juga tentang kehancuran.‘Ia akan datang dari dunia manusia, dengan darah yang bercampur
Suasana di aula itu terasa lebih panas dari biasanya. Aula besar yang dipenuhi dengan ukiran hitam keperakan bersinar lembut dalam cahaya obor berwarna biru. Para pangeran duduk di sekeliling meja panjang dari batu obsidian, minuman berwarna merah gelap berputar dalam cawan mereka. Suasana tampak santai, namun ada ketegangan yang menggantung di udara.Pangeran Srigala, salah satu dari mereka yang paling liar dan berapi-api, bersandar dengan senyum penuh arti di wajahnya. Ia mengangkat cawannya, matanya berbinar dengan sesuatu yang berbahaya."Kalian semua sudah melihatnya, bukan? Ratu kita..." katanya dengan nada menggoda. "Cantik luar biasa. Wangi tubuhnya manis seperti bunga bulan, kulitnya sehalus sutra, dan tubuhnya... ah, sungguh sayang jika hanya satu pria yang bisa memilikinya."Beberapa pangeran tertawa pelan, saling bertukar pandang. Mereka tidak bisa menyangkal, Ratu yang baru memang memiliki daya tarik yang tidak bisa disangkal oleh siapa pun. Namun, mereka juga tahu siapa
Uap hangat dari pemandian masih menyelimuti permukaan air ketika Arcelia mengangkat wajahnya. Aroma bunga dan rempah khas istana iblis menguar, menciptakan suasana yang begitu tenang dan mendamaikan. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sesaat. Tatapan matanya menangkap sosok tegap yang melangkah mendekat dengan penuh wibawa.Kaisar.Arcelia sontak membatu, lalu dengan cepat naik ke permukaan, membuat air beriak mengikuti gerakannya yang tiba-tiba. Kulitnya yang bening berkilauan terkena cahaya lilin-lilin yang mengapung di permukaan air, menambah aura menakjubkan yang secara alami terpancar darinya. Napasnya sedikit memburu saat menatap Kaisar yang kini berdiri di tepi pemandian dengan sebuah jubah sutra hitam keperakan di tangannya.Tatapan matanya dalam dan penuh tuntutan, namun ada kehangatan yang tersembunyi di sana. Tanpa sepatah kata pun, ia mengulurkan jubah itu, seakan memberi perintah tanpa suara. Arcelia menggigit bibirnya, lalu meraih jubah itu dengan tangan yang masih b
Arcelia berjalan pelan di taman istana yang diterangi cahaya bulan pucat. Angin malam berembus lembut, membawa aroma bunga malam yang merekah di sekelilingnya. Langkahnya terhenti ketika ia merasakan sebuah kehadiran yang familiar, aura yang dingin namun menggoda."Ratu yang anggun, mengapa berjalan sendirian di malam seperti ini? Tidakkah kau takut ada makhluk yang ingin mencuri kecantikanmu?" Suara dalam itu menggema di telinganya, diiringi dengan desir angin yang seolah berbisik di antara dedaunan.Arcelia menoleh dan mendapati Pangeran Lucien berdiri di bawah bayangan pohon besar, sorot matanya tajam namun penuh ketertarikan. Wajahnya yang sempurna dalam cahaya bulan terlihat lebih memesona dari biasanya. Ada senyum tipis di bibirnya, senyum yang seakan menyimpan banyak rahasia."Aku tidak takut, Pangeran Lucien. Lagipula, siapa yang berani menyentuh Ratu Iblis?" balas Arcelia dengan nada menggoda, namun dalam hatinya, ada debaran halus yang mulai ia rasakan.Lucien melangkah mende
Suara itu sarat dengan wibawa dan kekuasaan, menggema di sepanjang koridor."Ratu."Arcelia bahkan tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pemilik suara itu. Suara bariton yang begitu berkarisma, membuat udara seolah berhenti bergetar. Hanya ada satu orang yang bisa memanggilnya dengan nada sekaku itu, penuh klaim dan kepemilikan. Kaisar.Lucien yang berada di sisinya menegang sejenak, lalu dengan gerakan santai yang disengaja, ia berbalik, menampilkan senyum tenangnya seperti biasanya. "Kaisar, betapa beruntungnya kita bisa bertemu di sini," ucapnya dengan nada manis yang terdengar menggoda.Arcelia, yang semula masih menikmati obrolannya dengan Lucien, tiba-tiba merasa tubuhnya menggigil sedikit. Bukan karena dingin, melainkan karena tatapan Kaisar yang kini tertuju padanya. Mata merah gelapnya bersinar tajam, menyorot dengan intensitas yang membuat Arcelia merasa seakan-akan ia sedang dipenjara oleh kehadiran Kaisar sendiri.Tanpa berkata apa pun, Kaisar melangkah maju, aura ibli
Lorong Rahasia di Istana Bayangan – Malam HariLorong itu dipenuhi dinding hitam berurat merah tua, seperti akar hidup yang berdenyut perlahan. Obor magis membakar biru redup, menciptakan bayangan panjang yang menari di batu-batu tua. Lucien melangkah pelan, mengikuti aroma samar lavender bercampur asap sihir.Di ujung lorong, sebuah ruangan terbuka, dipenuhi permadani tua dan rak-rak berisi gulungan sejarah yang tidak pernah dibaca lagi. Di tengah ruangan, seorang wanita duduk di singgasananya sendiri—bukan dari emas, tapi dari akar dan kristal yang hidup. Kulitnya pucat kehijauan, rambutnya keperakan dengan sulur hitam halus, dan matanya berkilau seperti mata elf kuno.“Lucien.”Suara wanita itu dalam, rendah, tapi menggoda. Bukan seperti ibu—lebih seperti seorang ratu yang bicara pada pion favoritnya.Lucien mengerutkan alis. “Kenapa kau memanggilku ke tempat ini, Duquesa?”Duquesa adalah pelindung Lucien, selama ini Lucien mengenalnya sebagai seseorang yang merawat dan menjaganya.
Seketika setelah tubuh Arcelia luruh dalam pelukan Lucien, udara di sekeliling pecah oleh cahaya merah keemasan. Waktu seperti membeku. Angin berhenti berhembus. Bunga-bunga ilusi terbakar dalam sekejap dan runtuh menjadi abu. Dalam satu kilatan cahaya, sosok Azrael muncul—mata menyala menyimpan badai, jubahnya mengepul seperti kabut neraka yang murka.Tanpa suara, tanpa ancaman. Tapi atmosfer hancur dalam kehadirannya.Lucien terlempar ke belakang sebelum sempat berkata apapun, dan tubuh Arcelia melayang ke dalam pelukan Azrael. Dengan satu tangan, ia menahan kepala Arcelia agar bersandar di dadanya, sementara tangan lainnya membungkus pinggangnya, menyalurkan sihir perlindungan yang nyaris menyerupai doa.“Arcelia... Ratuku...” bisiknya, lebih lirih dari biasanya. Suara itu pecah. Lain dari Azrael yang agung dan tak tergoyahkan.Arcelia bisa mendengarkan suara itu penuh sarat akan rasa khawatir dan ketakutan, seorang penguasa seperti Azrael yang tidak kenal rasa takut merasa ketaku
Cahaya lilin menggoyang di dinding, mengukir bayangan panjang di antara rak-rak buku tua. Arcelia duduk bersila di lantai, gulungan kitab terbuka di hadapannya, namun matanya tidak membaca. Tangan gemetar pelan, sementara pikirannya berputar di luar kendali.Bayangan wajah Lucien hadir kembali—tatapan matanya saat mengatakan, “Aku hanya ingin kau bebas memilih.”Kalimat itu menghantam lebih dalam dari yang ia sadari.Arcelia menarik napas, mengingat kejadian beberapa hari lalu, saat ia nyaris jatuh dari balkon istana akibat gangguan energi liar dari dalam dirinya sendiri. Semua iblis hanya menatap... kecuali Lucien.Lucien yang melesat lebih cepat dari penjaga mana pun, memeluknya erat dalam lompatan terbalik, dan jatuh bersamanya sambil memutar tubuh agar Arcelia mendarat di atas tubuhnya, bukan lantai batu.“Kalau kau mati, siapa yang akan memberiku alasan untuk tetap melawan Ayah?” katanya sambil menahan luka di punggungnya, masih sempat tersenyum kecil.Lucien yang selalu datang t
Malam kembali menyelimuti istana. Setelah kejadian pagi itu, Arcelia menarik diri. Ia tidak kembali ke kamarnya bersama Kaisar, melainkan berjalan sendirian menyusuri lorong-lorong sunyi menuju ruang bawah tanah istana—tempat yang jarang dikunjungi, bahkan oleh para iblis sendiri. Ada bisikan dalam dirinya yang membawanya ke sana. Bisikan yang tidak berasal dari luar... tapi dari dalam dirinya sendiri.Langkahnya berhenti di hadapan dinding batu yang terlihat biasa, namun entah bagaimana, Arcelia tahu ada sesuatu di baliknya. Ia menyentuh permukaan kasar itu, dan seketika, retakan cahaya keperakan muncul, membentuk pola rumit yang berputar dan menyala, seolah merespon sentuhan yang telah ditunggu selama berabad-abad.Dengan suara berat, dinding itu terbelah. Udara di baliknya terasa jauh lebih tua... lebih kuno. Di dalam ruangan yang tersembunyi itu, ada lingkaran sihir tak dikenal, berbeda dari semua yang pernah Arcelia lihat di dunia iblis. Dan di tengahnya—sebuah cermin besar, deng
Angin malam mengusap lembut tirai tipis yang menari di jendela terbuka kamar kerajaan. Sisa cahaya merah dari Purnama Api masih menggantung di langit, menciptakan semburat kemerahan yang samar di lantai batu hitam yang dingin. Udara masih mengandung sisa aroma wewangian ritual, campuran bunga dan sesuatu yang nyaris tak terjelaskan… seperti roh lama yang baru saja dilepaskan.Arcelia duduk di tepi ranjang besar yang berkanopi, rambutnya masih basah dan terurai, beberapa helai menempel di kulit lehernya yang pucat. Ia mengenakan jubah tipis yang diberikan pelayan, namun tubuhnya masih terasa hangat oleh air ritual. Bukan hanya tubuhnya—jiwanya juga. Ada semacam keheningan dalam dirinya, tetapi bukan yang kosong. Lebih seperti... keheningan setelah badai.Kaisar berdiri tak jauh darinya, diam dalam bayang-bayang ruangan, masih mengenakan jubah ritualnya yang kini sedikit basah oleh embun malam. Sorot matanya menatap Arcelia lama, seakan mempelajari sesuatu yang baru dalam diri perempuan
Langkah Arcelia melambat ketika suara para pelayan terdengar dari balik dinding aula utama. Mereka membicarakan tentang Purnama Api yang akan datang malam ini—perayaan sakral yang hanya terjadi sekali dalam seratus tahun. Arcelia memicingkan mata, mendengarkan dengan hati-hati, hingga namanya disebut.“…Ratu harus memimpin ritus pembersihan,” bisik salah satu pelayan perempuan.“Ya, dan katanya Purnama Api ini sangat penting bagi kekuatan kerajaan iblis. Kalau sampai gagal, bisa membawa petaka…” sahut pelayan lainnya, suaranya hampir gemetar.Arcelia langsung mengalihkan langkah, tidak jadi menuju taman seperti rencananya. Ia menuju ruang singgasana, tempat Kaisar biasanya menyendiri saat senja menjelang.Pintu berat berukir itu terbuka tanpa harus disentuh. Kaisar, duduk di atas singgasananya yang menjulang, memandang lurus ke arahnya begitu Arcelia masuk.Arcelia memasuki aula itu dengan langkah tergesa-gesa, mirip seorang anak kecil yang sedang menuntut janji dari Ayahnya.“Aku ing
Di bawah cahaya rembulan yang menerangi langit kerajaan iblis, Pangeran Kael berdiri tegap di hadapan Arcelia. Angin malam berhembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang keemasan, menciptakan kontras yang luar biasa dengan matanya yang berkilat penuh tekad.Arcelia menatapnya dengan kebingungan, merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini. Biasanya, Kael adalah sosok yang penuh canda, pria yang suka menggoda dengan senyum nakalnya. Namun kali ini, aura yang ia pancarkan begitu serius dan mendalam."Ratu Arcelia," suara baritonnya mengalun, menggetarkan hati Arcelia tanpa ia sadari."Ada apa, Kael?" Arcelia bertanya dengan suara pelan, matanya mencari jawaban dalam tatapan Pangeran Naga itu.Kael melangkah mendekat, mendekatkan tubuhnya yang tinggi dan kokoh. Kedua tangannya mengepal seolah ia sedang berusaha menahan sesuatu yang selama ini terpendam."Kau adalah pasangan takdirku," ucapnya, tanpa ragu sedikit pun.Jantung Arcelia seakan berhenti berdetak sejenak. Kata-kata itu t
Suara itu sarat dengan wibawa dan kekuasaan, menggema di sepanjang koridor."Ratu."Arcelia bahkan tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pemilik suara itu. Suara bariton yang begitu berkarisma, membuat udara seolah berhenti bergetar. Hanya ada satu orang yang bisa memanggilnya dengan nada sekaku itu, penuh klaim dan kepemilikan. Kaisar.Lucien yang berada di sisinya menegang sejenak, lalu dengan gerakan santai yang disengaja, ia berbalik, menampilkan senyum tenangnya seperti biasanya. "Kaisar, betapa beruntungnya kita bisa bertemu di sini," ucapnya dengan nada manis yang terdengar menggoda.Arcelia, yang semula masih menikmati obrolannya dengan Lucien, tiba-tiba merasa tubuhnya menggigil sedikit. Bukan karena dingin, melainkan karena tatapan Kaisar yang kini tertuju padanya. Mata merah gelapnya bersinar tajam, menyorot dengan intensitas yang membuat Arcelia merasa seakan-akan ia sedang dipenjara oleh kehadiran Kaisar sendiri.Tanpa berkata apa pun, Kaisar melangkah maju, aura ibli
Arcelia berjalan pelan di taman istana yang diterangi cahaya bulan pucat. Angin malam berembus lembut, membawa aroma bunga malam yang merekah di sekelilingnya. Langkahnya terhenti ketika ia merasakan sebuah kehadiran yang familiar, aura yang dingin namun menggoda."Ratu yang anggun, mengapa berjalan sendirian di malam seperti ini? Tidakkah kau takut ada makhluk yang ingin mencuri kecantikanmu?" Suara dalam itu menggema di telinganya, diiringi dengan desir angin yang seolah berbisik di antara dedaunan.Arcelia menoleh dan mendapati Pangeran Lucien berdiri di bawah bayangan pohon besar, sorot matanya tajam namun penuh ketertarikan. Wajahnya yang sempurna dalam cahaya bulan terlihat lebih memesona dari biasanya. Ada senyum tipis di bibirnya, senyum yang seakan menyimpan banyak rahasia."Aku tidak takut, Pangeran Lucien. Lagipula, siapa yang berani menyentuh Ratu Iblis?" balas Arcelia dengan nada menggoda, namun dalam hatinya, ada debaran halus yang mulai ia rasakan.Lucien melangkah mende