Hai-Hai....pelan-pelan ya biar ga kelewat!
“Menculik ratu Arcelia malam ini? Bodoh! Setelah yang kamu lakukan beberapa pekan lalu, apa kamu pikir mudah mendekatinya?” Gertak Marovielle. “Sudah! Kamu memang terlalu dini untuk diberikan kepercayaan, membuat strategy begini saja tidak mampu! Kamu mirip Ayahmu!” umpat Marovielle kesal.“Ayahku? Kaisar?” Sylas menatap Marovielle ragu.“Bodoh! Kamu pikir kamu anak Azrael, ayahmu juga dari kaum Elf! Azrael yang membunuh Ayahmu!” Jelas Marovielle membuat Sylas tertegun dan mematung sesaat. “Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku bukan anak Kaisar?”“Dulu…aku masuk ke istana ini bukan karena suka rela, aku datang karena aku mencari Ayahmu.” Marovielle menjedah ceritanya, “Ayahmu adalah sepupu dari Azrael, seharusnya dia yang berada di singgasana namun, karena sebuah kesalahan kecil dia diasingkan. Tapi, itu tak membuatku menyerah. Saat itu karena keistimewaanku aku diangkat menjadi selir kehormatan, tapi tidak lama karena sebelum kaisar menyentuhku aku sudah ketahuan hamil” Marovielle meny
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah kejadian ledakan sihir di kamar Kaisar, Arcelia masih duduk di sisi tempat tidur, menatap Azrael yang kini tertidur dengan napas berat. Tubuh Suaminya yang perkasa itu tampak melemah, meski hanya sesaat.Tapi bukan itu yang membuat Arcelia gelisah.Ia menatap tangannya sendiri—tangan yang digenggam erat oleh Azrael sebelum tertidur. Sejak kejadian itu, kulitnya terasa seperti berdenyut. Hangat, seolah ada sesuatu yang beresonansi dari dalam dirinya.Arcelia menggenggam kain gaunnya. “Azrael tak pernah gagal mengendalikan sihirnya…” bisiknya pada diri sendiri. “Tapi tadi… saat aku khawatir… saat aku takut kehilangannya…”Matanya menatap kosong ke arah perapian. Api menari pelan, tapi di balik nyalanya ada sesuatu yang berubah. Perasaan asing. Seolah alam pun bereaksi pada emosinya.‘Apa mungkin... ini ada hubungannya denganku?’Langkahnya pelan mendekati kaca jendela. Dari bayangan kaca, ia melihat dirinya sendiri—dan pantulan itu tid
Di tempat tersembunyi di taman malam istana, Sylas duduk sendiri, memandangi langit neraka yang berwarna kelam. Satu lengkungan angin meniup rambut peraknya. Mata hijaunya memandangi langit yang kosong, tapi pikirannya penuh. Nyalinya tiba-tiba menciut, dia masih optimis sudah berhasil mengadu domba saudara-saudaranya tapi dia cemas….Semua pangeran mulai menghindarinya. Tidak ada lagi undangan makan malam. Tidak ada lagi kabar strategi. Bahkan, Lucien—yang biasanya ramah kepada semua—tidak lagi tersenyum padanya.“Aku membuat mereka saling curiga. Tapi aku lupa... bahwa aku akan jadi pusat kecurigaan itu juga,” pikirnya.Tangannya menggenggam kalung kecil—liontin pemberian ibunya, Marovielle yang dulu diberikan diam-diam. Dalam diam, wajah Arcelia terlintas di pikirannya.“Kalau saja… kau tahu apa yang aku lakukan demi memutuskanmu dari Azrael...”Tapi batinnya juga mulai meragukan langkah-langkahnya.Apakah ini benar-benar strategi… atau hanya rasa sakit hati yang dibungkus ambisi?
“Perang?” Suara Arcelia nyaris tak terdengar, seperti embusan napas yang tercampur antara ketakutan dan kebingungan.Lucien menatapnya—sorot matanya serius, tanpa bayangan canda yang biasa ia sembunyikan di balik sarkasme atau sindiran tajamnya. “Bukan perang yang diumumkan dengan genderang atau sihir. Tapi perang diam-diam... yang dimulai dari dalam. Dimulai dari kepercayaan yang dihancurkan. Dari hasrat tersembunyi dan ambisi yang ditanam dalam diam.”Arcelia menunduk, tatapannya jatuh ke tangan sendiri yang masih gemetar. “Dan aku adalah... alasan perang itu?”Lucien merendah, berlutut agar sejajar dengan wajahnya. “Kamu adalah pusat dari badai, Arcelia. Tapi bukan karena kamu lemah atau berbahaya. Tapi karena kau satu-satunya hal yang tidak bisa mereka kendalikan. Kamu istimewa!”Arcelia mengerjapkan mata, menahan emosi yang mulai membasahi sudut pelupuknya. “Aku hanya ingin memahami dunia ini, dunia kalian para iblis yang kami kenal sangat mengerikan... Aku tidak pernah ingin jad
Istana tampak jauh lebih hangat dalam beberapa hari terakhir. Bukan karena musim semi yang mulai menyentuh taman-taman, melainkan karena kehadiran seorang tamu yang tak biasa—Aeralis, sang “Peri Penjaga Batas” yang kini menjadi pusat perhatian banyak mata, termasuk sang Ratu dan Kaisar.Aeralis dirawat di salah satu paviliun khusus, sayap barat istana, tempat para tamu agung biasanya menginap. Tabib istana menyebut lukanya parah, namun bukan sesuatu yang tak bisa disembuhkan. Hanya saja, energi magis dalam tubuhnya terguncang hebat akibat konfrontasi dengan makhluk bayangan malam itu.Padahal dengan sengaja juga dia meracuni dirinya agar tampak lemah dan tidak berdaya.Pagi itu, Arcelia datang sendiri ke paviliun tempat Aeralis dirawat. Ia membawa bunga malam yang baru dipetik dari taman, disusun dalam vas kristal kecil.“Untukmu,” ucap Arcelia sambil tersenyum lembut, meletakkan vas itu di samping tempat tidur Aeralis.Aeralis yang duduk di ranjang, mengenakan gaun lembut warna biru l
Aula kristal hitam tempat Dewan Penasehat berkumpul dipenuhi keheningan penuh tekanan. Pilar-pilar tinggi menjulang, dihiasi ukiran iblis purba yang seolah mengawasi setiap gerak mereka. Di hadapan tujuh kursi utama, Kaisar Azrael duduk anggun dengan jubah gelapnya, Arcelia di sisi kirinya, dan Aeralis berdiri anggun di belakang mereka—masih tampak lemah namun tak kehilangan aura indahnya.Salah satu penasihat utama, Tuan Garthom, seorang iblis tua bermata satu dan bertanduk ganda, mengangguk ringan saat semua telah duduk.“Tuanku Kaisar, perihal permintaan wanita bernama Aeralis untuk menjadi selir…” suaranya dalam dan berat, “…kami telah meninjau permintaan tersebut dan mempertimbangkan banyak hal.”Seorang penasihat lain menyambung, “Saat ini istana kekaisaran dalam keadaan labil karena potensi ancaman internal. Menambahkan seorang selir, apalagi bukan dari kalangan bangsawan iblis, akan menimbulkan kecemburuan dan kegelisahan dari faksi lain.”Mendengar penjelasan gamblang dewan p
Aula Singgasana diterangi oleh cahaya kristal darah yang bergelayut di langit-langit, seperti bintang yang membeku. Suara dentang lonceng keempat menandai berkumpulnya seluruh anggota Dewan Penasehat, bangsawan istana, dan makhluk-makhluk penting kerajaan iblis. Di singgasana hitam megah bertatahkan oniks dan batu obsidian, Azrael duduk dengan Arcelia di sisi kirinya—anggun, lembut, dan tampak tenang meski jiwanya berkecamuk.Dua pengawal membimbing Aeralis memasuki aula. Ia tampak mengenakan gaun tipis berwarna ungu gelap dengan belahan rendah di punggung, menandakan posisi barunya sebagai calon selir. Langkahnya lembut, nyaris seperti melayang, namun gerakannya tetap membawa kesan lemah yang menyentuh—seolah tubuhnya benar-benar masih dalam proses pemulihan.Azrael bangkit, suara beratnya mengisi seluruh ruangan.“Dengan restu Ratu Iblis, dan pertimbangan dari Dewan Penasehat, serta keadaan yang luar biasa… kami, Kaisar Dunia Kegelapan, menyetujui permintaan Aeralis, peri malam yang
Ruangan pribadi Ratu Arcelia dibalut tenang. Lampu-lampu kristal sihir menyala lembut, dan tirai-tirai merah tua melambai pelan tertiup angin malam. Namun, di balik ketenangan itu, satu sosok duduk gelisah di atas tempat tidur berkanopi hitam—Arcelia.Dengan rambut dikuncir separuh dan mengenakan jubah tidur berbahan halus warna pirus, ia tampak seperti gadis muda yang seharusnya memikirkan pesta dansa… bukan selir baru suaminya.“Dia... dia pasti sekarang sedang... ya ampun.” Arcelia memeluk bantal, wajahnya setengah terkubur dalam bulu halus.“Apa, Yang Mulia?” tanya Lira, dayang pribadi Arcelia yang paling setia—dan juga paling banyak komentar.Arcelia menoleh cepat. “Jangan sok polos. Kamu tahu yang kumaksud.” pipi Arcelia mengembung.Lira pura-pura tidak mengerti. “Oh, maksud Paduka adalah—”“—jangan lanjutkan!” sergah Arcelia, melempar bantal ke arahnya. Dia menutup kedua telinganya sendiri “Ugh! Aku nggak tahu kenapa ini menggangguku banget. Aku yang menyetujuinya, aku yang mem
Ruangan pribadi Ratu Arcelia dibalut tenang. Lampu-lampu kristal sihir menyala lembut, dan tirai-tirai merah tua melambai pelan tertiup angin malam. Namun, di balik ketenangan itu, satu sosok duduk gelisah di atas tempat tidur berkanopi hitam—Arcelia.Dengan rambut dikuncir separuh dan mengenakan jubah tidur berbahan halus warna pirus, ia tampak seperti gadis muda yang seharusnya memikirkan pesta dansa… bukan selir baru suaminya.“Dia... dia pasti sekarang sedang... ya ampun.” Arcelia memeluk bantal, wajahnya setengah terkubur dalam bulu halus.“Apa, Yang Mulia?” tanya Lira, dayang pribadi Arcelia yang paling setia—dan juga paling banyak komentar.Arcelia menoleh cepat. “Jangan sok polos. Kamu tahu yang kumaksud.” pipi Arcelia mengembung.Lira pura-pura tidak mengerti. “Oh, maksud Paduka adalah—”“—jangan lanjutkan!” sergah Arcelia, melempar bantal ke arahnya. Dia menutup kedua telinganya sendiri “Ugh! Aku nggak tahu kenapa ini menggangguku banget. Aku yang menyetujuinya, aku yang mem
Aula Singgasana diterangi oleh cahaya kristal darah yang bergelayut di langit-langit, seperti bintang yang membeku. Suara dentang lonceng keempat menandai berkumpulnya seluruh anggota Dewan Penasehat, bangsawan istana, dan makhluk-makhluk penting kerajaan iblis. Di singgasana hitam megah bertatahkan oniks dan batu obsidian, Azrael duduk dengan Arcelia di sisi kirinya—anggun, lembut, dan tampak tenang meski jiwanya berkecamuk.Dua pengawal membimbing Aeralis memasuki aula. Ia tampak mengenakan gaun tipis berwarna ungu gelap dengan belahan rendah di punggung, menandakan posisi barunya sebagai calon selir. Langkahnya lembut, nyaris seperti melayang, namun gerakannya tetap membawa kesan lemah yang menyentuh—seolah tubuhnya benar-benar masih dalam proses pemulihan.Azrael bangkit, suara beratnya mengisi seluruh ruangan.“Dengan restu Ratu Iblis, dan pertimbangan dari Dewan Penasehat, serta keadaan yang luar biasa… kami, Kaisar Dunia Kegelapan, menyetujui permintaan Aeralis, peri malam yang
Aula kristal hitam tempat Dewan Penasehat berkumpul dipenuhi keheningan penuh tekanan. Pilar-pilar tinggi menjulang, dihiasi ukiran iblis purba yang seolah mengawasi setiap gerak mereka. Di hadapan tujuh kursi utama, Kaisar Azrael duduk anggun dengan jubah gelapnya, Arcelia di sisi kirinya, dan Aeralis berdiri anggun di belakang mereka—masih tampak lemah namun tak kehilangan aura indahnya.Salah satu penasihat utama, Tuan Garthom, seorang iblis tua bermata satu dan bertanduk ganda, mengangguk ringan saat semua telah duduk.“Tuanku Kaisar, perihal permintaan wanita bernama Aeralis untuk menjadi selir…” suaranya dalam dan berat, “…kami telah meninjau permintaan tersebut dan mempertimbangkan banyak hal.”Seorang penasihat lain menyambung, “Saat ini istana kekaisaran dalam keadaan labil karena potensi ancaman internal. Menambahkan seorang selir, apalagi bukan dari kalangan bangsawan iblis, akan menimbulkan kecemburuan dan kegelisahan dari faksi lain.”Mendengar penjelasan gamblang dewan p
Istana tampak jauh lebih hangat dalam beberapa hari terakhir. Bukan karena musim semi yang mulai menyentuh taman-taman, melainkan karena kehadiran seorang tamu yang tak biasa—Aeralis, sang “Peri Penjaga Batas” yang kini menjadi pusat perhatian banyak mata, termasuk sang Ratu dan Kaisar.Aeralis dirawat di salah satu paviliun khusus, sayap barat istana, tempat para tamu agung biasanya menginap. Tabib istana menyebut lukanya parah, namun bukan sesuatu yang tak bisa disembuhkan. Hanya saja, energi magis dalam tubuhnya terguncang hebat akibat konfrontasi dengan makhluk bayangan malam itu.Padahal dengan sengaja juga dia meracuni dirinya agar tampak lemah dan tidak berdaya.Pagi itu, Arcelia datang sendiri ke paviliun tempat Aeralis dirawat. Ia membawa bunga malam yang baru dipetik dari taman, disusun dalam vas kristal kecil.“Untukmu,” ucap Arcelia sambil tersenyum lembut, meletakkan vas itu di samping tempat tidur Aeralis.Aeralis yang duduk di ranjang, mengenakan gaun lembut warna biru l
“Perang?” Suara Arcelia nyaris tak terdengar, seperti embusan napas yang tercampur antara ketakutan dan kebingungan.Lucien menatapnya—sorot matanya serius, tanpa bayangan canda yang biasa ia sembunyikan di balik sarkasme atau sindiran tajamnya. “Bukan perang yang diumumkan dengan genderang atau sihir. Tapi perang diam-diam... yang dimulai dari dalam. Dimulai dari kepercayaan yang dihancurkan. Dari hasrat tersembunyi dan ambisi yang ditanam dalam diam.”Arcelia menunduk, tatapannya jatuh ke tangan sendiri yang masih gemetar. “Dan aku adalah... alasan perang itu?”Lucien merendah, berlutut agar sejajar dengan wajahnya. “Kamu adalah pusat dari badai, Arcelia. Tapi bukan karena kamu lemah atau berbahaya. Tapi karena kau satu-satunya hal yang tidak bisa mereka kendalikan. Kamu istimewa!”Arcelia mengerjapkan mata, menahan emosi yang mulai membasahi sudut pelupuknya. “Aku hanya ingin memahami dunia ini, dunia kalian para iblis yang kami kenal sangat mengerikan... Aku tidak pernah ingin jad
Di tempat tersembunyi di taman malam istana, Sylas duduk sendiri, memandangi langit neraka yang berwarna kelam. Satu lengkungan angin meniup rambut peraknya. Mata hijaunya memandangi langit yang kosong, tapi pikirannya penuh. Nyalinya tiba-tiba menciut, dia masih optimis sudah berhasil mengadu domba saudara-saudaranya tapi dia cemas….Semua pangeran mulai menghindarinya. Tidak ada lagi undangan makan malam. Tidak ada lagi kabar strategi. Bahkan, Lucien—yang biasanya ramah kepada semua—tidak lagi tersenyum padanya.“Aku membuat mereka saling curiga. Tapi aku lupa... bahwa aku akan jadi pusat kecurigaan itu juga,” pikirnya.Tangannya menggenggam kalung kecil—liontin pemberian ibunya, Marovielle yang dulu diberikan diam-diam. Dalam diam, wajah Arcelia terlintas di pikirannya.“Kalau saja… kau tahu apa yang aku lakukan demi memutuskanmu dari Azrael...”Tapi batinnya juga mulai meragukan langkah-langkahnya.Apakah ini benar-benar strategi… atau hanya rasa sakit hati yang dibungkus ambisi?
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah kejadian ledakan sihir di kamar Kaisar, Arcelia masih duduk di sisi tempat tidur, menatap Azrael yang kini tertidur dengan napas berat. Tubuh Suaminya yang perkasa itu tampak melemah, meski hanya sesaat.Tapi bukan itu yang membuat Arcelia gelisah.Ia menatap tangannya sendiri—tangan yang digenggam erat oleh Azrael sebelum tertidur. Sejak kejadian itu, kulitnya terasa seperti berdenyut. Hangat, seolah ada sesuatu yang beresonansi dari dalam dirinya.Arcelia menggenggam kain gaunnya. “Azrael tak pernah gagal mengendalikan sihirnya…” bisiknya pada diri sendiri. “Tapi tadi… saat aku khawatir… saat aku takut kehilangannya…”Matanya menatap kosong ke arah perapian. Api menari pelan, tapi di balik nyalanya ada sesuatu yang berubah. Perasaan asing. Seolah alam pun bereaksi pada emosinya.‘Apa mungkin... ini ada hubungannya denganku?’Langkahnya pelan mendekati kaca jendela. Dari bayangan kaca, ia melihat dirinya sendiri—dan pantulan itu tid
“Menculik ratu Arcelia malam ini? Bodoh! Setelah yang kamu lakukan beberapa pekan lalu, apa kamu pikir mudah mendekatinya?” Gertak Marovielle. “Sudah! Kamu memang terlalu dini untuk diberikan kepercayaan, membuat strategy begini saja tidak mampu! Kamu mirip Ayahmu!” umpat Marovielle kesal.“Ayahku? Kaisar?” Sylas menatap Marovielle ragu.“Bodoh! Kamu pikir kamu anak Azrael, ayahmu juga dari kaum Elf! Azrael yang membunuh Ayahmu!” Jelas Marovielle membuat Sylas tertegun dan mematung sesaat. “Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku bukan anak Kaisar?”“Dulu…aku masuk ke istana ini bukan karena suka rela, aku datang karena aku mencari Ayahmu.” Marovielle menjedah ceritanya, “Ayahmu adalah sepupu dari Azrael, seharusnya dia yang berada di singgasana namun, karena sebuah kesalahan kecil dia diasingkan. Tapi, itu tak membuatku menyerah. Saat itu karena keistimewaanku aku diangkat menjadi selir kehormatan, tapi tidak lama karena sebelum kaisar menyentuhku aku sudah ketahuan hamil” Marovielle meny
Kediaman Jenderal Kaelthor berdiri megah di sisi timur istana, terpisah dari kediaman para pangeran lain. Dinding-dinding batu dihiasi ukiran naga dan lambang kekuatan. Suara dentang besi, senjata yang diasah, dan teriakan prajurit dalam latihan terdengar bahkan dari jauh.Sylas berdiri di depan gerbang, diam memperhatikan. Ia tahu, Kaelthor bukan sekadar pangeran. Ia adalah naga dalam wujud manusia—berdarah panas, cerdas, dan tak pernah menyembunyikan ambisinya. Tapi justru itu yang membuatnya menjadi target Sylas.Karena orang seperti Kaelthor, jika bisa dijadikan sekutu, bisa menjadi tombak pemecah singgasana Kaisar.Ia melangkah masuk, disambut prajurit bertubuh besar yang langsung mengenalinya.“Pangeran Sylas,” kata mereka, setengah bingung, setengah waspada. Tapi tidak berani menolak. Mereka tahu siapa Sylas—meski sering diremehkan, ia tetaplah mereka kenal sebagai pangeran, putra Kaisar Azrael.Sylas dibawa ke aula latihan pribadi. Di tengah ruangan yang luas, Kaelthor berdiri