"Tolong!"Isadora berteriak sekuat tenaga saat Rico berusaha melepas pakaiannya. Ia memeluk tubuh erat dan menepis tangan pria itu berkali-kali."Diamlah, Sayang! Bukankah sebentar lagi kita akan menikah? Tidak akan jadi masalah jika sampai kau mengandung anakku setelah ini." Senyuman Rico benar-benar terlihat menyeramkan di mata Isadora. Ini bukan Rico yang ia kenal."Aku tidak akan tertipu lagi olehmu, Rico! Dan setelah ini, aku akan katakan pada orang tuaku tentang kebejatanmu agar mereka membatalkan pernikahan kita!" Isadora menatap nyalang meski hatinya ketakutan. Ia tak boleh terlihat lemah di depan pria brengsek seperti Rico.Pria itu bangkit dari atas tubuh Isadora. Tangannya membelai lembut pipi sang kekasih. "Oh, begitu rencanamu, Sayang? Tenang saja, aku tak akan membiarkan bibir cantik ini berkata seperti itu nanti." Ia mendekatkan bibir ke telinga Isadora, lalu berbisik, "Aku pastikan kau tak akan pernah lepas dariku. Isadora hanya milikku," bisiknya yang membuat Isadora
"Aku pastikan kau akan selamanya mendekam dalam jeruji besi ini, Rico!" Isadora menatap nyalang pria yang hampir saja menjadi suaminya. Beruntung Tuhan masih memberi jalan agar ia bisa melihat wajah asli pria brengsek itu."Dan akan kupastikan, kau akan menyesal, Isa!" Rico membalas tak kalah tajam dari balik jeruji.Isadora hanya menarik tipis kedua sudut bibirnya, kemudian berlalu dari sana. Selesai sudah urusan ia dengan Rico, begitu pun keluarganya. Pesta pernikahan yang sudah siap 50% terpaksa harus batal.Ah, tidak terpaksa. Sebenarnya sejak awal, Isadora tak pernah sedikitpun mengharapkan pernikahan ini. Senyum wanita cantik dengan tubuh yang dibalut dress merah elegan itu terus terpatri selama menuju pintu keluar dari kantor polisi. Tetapi, senyum indahnya seketika pudar kala melihat sesosok pria tampan berdiri di samping mobil miliknya."Untuk apa dia di sana?!" geramnya.Alaric menunggu dengan sabar. Punggungnya ia sandarkan ke mobil milik Isadora. Sudah dibilang, jika haru
Alaric ingat jelas saat ia membubuhkan tanda tangan di atas kertas pemberian Julian. Pria itu sama sekali tak menyesal meski beberapa poinnya cukup memberatkan. Salah satu di antaranya adalah poin yang menuliskan bahwa Alaric harus menyerahkan semua hartanya jika sampai melukai Isadora. Sementara poin lainnya hanya bersifat mengingkat pria tampan itu agar tak berkhianat kembali seperti dulu."Padahal aku tidak pernah berkhianat!" geramnya pelan. Mata hitam legam itu menatap tajam pada bayangan wajahnya di cermin."Tapi, tak apa. Demi bisa memilikimu, aku rela memakai gelar pengkhianat itu, Isadora."Senyum Alaric mengembang sempurna. Di balik jas putih yang ia kenakan, tersimpan rapi kebahagiaan di dalam sana. Kebahagiaan yang sejak dulu ia impikan. "Hari ini kau akan menjadi milikku."Ya, hari ini. Lebih tepatnya beberapa puluh menit lagi. Setelah merasa penampilannya sempurna, gegas Alaric melangkah untuk keluar dari kamar. Langkah pria tampan itu tetap sama, tegap dan berkharisma
"Mau apa kau datang ke sini?" Alaric menatap tajam wanita di depannya yang tak lain adalah Grace—mantan istrinya."Apa salahku datang? Aku hanya ingin menghadiri acara pernikahan mantan suamiku. Kau tak perlu khawatir berlebihan, Alaric!"Jika saja bukan seorang wanita, maka sudah ia pastikan tangannya mendarat di wajah Grace. Pria itu tak suka kesenangannya diganggu, dan dengan kehadiran Grace, bisa saja membuat Isadora salah paham dan menjadikan pesta mereka acak-acakan."Terserah! Yang jelas, aku mau sekarang kau pergi dari tempat ini!" usir Alaric tanpa belas kasih.Tatapan Grace seketika menyala. "Apa begini caramu memperlakukan seorang tamu?""Aku tak pernah mengundangmu!" tukas Alaric dengan rahang yang mengeras."Tapi aku adalah ibu dari darah dagingmu, Alaric! Kau tak bisa menghapus fakta itu!" Tatapan Alaric makin menajam. Ia hendak membalas ucapan Grace, tetapi lidahnya mendadak kelu saat melihat siapa yang ada di belakang wanita itu."D-Dora ...," gumamnya sangat pelan.S
Tumpukan kertas yang begitu menggunung di atas meja, membuat Alaric sakit kepala. Harusnya hari ini ia berbulan madu bersama Isadora, bukan bekerja. "Sial! Ini semua gara-gara tamu tak diundang itu!" gerutu pria itu sembari memijat pelipis.Jika saja Isadora sedang tidak datang bulan saat ini, sudah pasti langsung ia bawa pergi ke luar kota, atau bahkan ke luar negeri. Tak peduli sekalipun pekerjaannya di kantor menumpuk begini."Permisi, Tuan!" Seruan itu terdengar setelah pintu diketuk dari luar. "Masuk!" perintah Alaric. Ia sudah tahu yang datang pasti sang sekretaris."Apa?" ketusnya saat sang sekretaris sudah berdiri di depan meja."Saya mau mengambil laporan tadi. Apakah sudah Tuan tandatangani?" tanya Mona hati-hati. Alaric melirik sinis pada sang sekretaris, kemudian menjawab dengan nada yang tak kalah ketus dari tadi. "Belum.""M-maaf, Tuan. Tapi ... laporan itu—""Harus segera ditandatangani!" potong Alaric cepat. Tatapannya menajam pada Mona. "Iya, kan?""I-iya."Wanita
"Kenapa dia bisa berada di sini?" Alaric menatap tajam Isadora yang malah terlihat santai. Wanita itu bangkit dari duduknya dan berdiri tepat di depan Alaric."Jangan terlalu keras. Dia adalah putramu, Al. Sudah seharusnya dia berada di sini, kan?" Isadora berkata lembut dengan tangan yang membuka lilitan dasi di leher sang suami.Diperlakukan lembut oleh sang istri, tak membuat Alaric luluh kali ini. Matanya masih mengamati wajah Isadora. Ia yakin, ada sesuatu yang baru saja terjadi saat ia tak ada."Grace menemuimu?""Tepat sekali." Isadora mengangguk. Ia telah selesai melepas dasi dan menjauhkan dari leher sang suami. Tangannya menepuk pundak pria itu pelan. "Sudahlah, kita bahas ini nanti. Sekarang kau harus menemaniku membeli semua kebutuhan Rayden."Alaric mengernyit. Ia mencengkram lengan Isadora yang masih berada di pundaknya. Sedang tatapannya tertuju pada Rayden yang tampak duduk santai di atas sofa. "Kenapa kau harus membeli kebutuhannya? Seluruh biaya hidupnya sudah kuberi
Isadora menatap Alaric tajam sembari melipat kedua tangan di depan dada. Rayden sampai harus dititipkan karena ia perlu waktu berdua dengan suaminya. Maka, di sinilah Isadora sekarang, duduk berhadapan dengan Alaric yang menatapnya tak kalah tajam."Kau tahu kesalahanmu, Al?" sergah Isadora.Alaric berdecih sinis, lalu membuang muka ke sembarang arah. "Kesalahan? Memangnya kesalahan apa yang sudah kulakukan?"Isadora makin geram. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan Alaric agar tak perlu mengeluarkan suara terlalu keras. "Kau sudah membuat wajah Frans babak belur! Apa menurutmu itu bukan kesalahan?!" Mendengar nama pria itu disebut, segera Alaric menatap wanita cantik di depannya, lantas berkata, "Itu merupakan sebuah perlindungan, bukan kesalahan! Aku harus melindungi Dora-ku dari buaya seperti Frans!""Astaga ...." Isadora sudah kehabiskan kata-kata. Ia hanya mampu menggelengkan kepala sembari memijat pelipis perlahan. Membuat Alaric sadar, sama sulitnya dengan ia membuat seorang bay
"Penggila Isadora" sepertinya layak disematkan pada diri seorang Alaric Sebastian. Bagaimana tidak, hanya karena bujukan Isadora malam itu, ia langsung setuju untuk mempekerjakan seorang pengasuh yang akan mengurus semua kebutuhan Rayden."Sungguh, tak ada yang bisa meluluhkanku selain kau, Sayang," gumamnya sembari menatap penuh cinta pada sang istri yang terpejam di pundaknya.Hari ini, keinginan Alaric untuk berbulan madu pun akhirnya terwujud. Meski bukan bulan madu di luar negeri seperti yang ia inginkan, tak apa. Karena baginya yang terpenting adalah bisa menaklukkan kembali seorang Isadora. "Di manapun tempatnya, asal itu denganmu, aku tak akan berhenti bahagia," bisik pria itu dengan seutas senyum manis.Ah, Alaric yakin jika Isadora tak akan bisa berpaling dari pesonanya nanti malam. Mobil hitam yang dikemudikan oleh sopir pribadi keluarga Sebastian pun terus melaju menuju suatu tempat yang sudah Alaric persiapkan. Hanya hotel bintang 5 dengan pemandangan yang langsung meng
Isadora termenung seorang diri di dalam kamar. Pandangannya jatuh pada bingkai foto Rayden yang terpajang indah di atas nakas. Sudah satu bulan sejak Grace datang, dan Rayden masih saja bersikap dingin padanya. Anehnya, bocah itu sama sekali tak mau mengatakan apa salah Isadora.Jika ditanya oleh Alaric, Rayden pasti akan menjawab, "Mommy tidak salah apa-apa, Daddy. Aku hanya sedang malas saja."Dan ya, baik Alaric maupun Isadora tak ingin memperpanjang topik itu. Mereka biarkan saja Rayden bersikap senyamannya. Barangkali bocah itu memang tengah tak mau dengan Isadora.Meski begitu, sudah banyak malam-malam yang Isadora lewati dengan tangis pedih. Ia merasa ada ruang kosong di hatinya saat sang putra bersikap tak acuh padanya."Honey ...."Panggilan itu membuat Isadora menoleh ke arah pintu. Tampaklah Alaric yang sudah berpakaian rapi, berjalan menghampiri. "Kau mau ke mana, Al?" Wanita itu melirik pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. "Kau memiliki acara malam ini?"
"G-Grace?" Isadora membelalakan mata. Sementara wanita di depannya malah tersenyum santai sembari mendekat."Maaf karena aku tidak memberitahumu sebelumnya. Aku hanya ingin bertemu dengan Rayden, Isa. Dan ... Alaric sudah mengizinkannya." Grace sengaja melirik Alaric agar pria itu juga ikut berbicara."Emh ... Honey ...." Alaric lebih dulu merangkul pinggang sang istri agar lebih rapat dengannya. "Tolong kau jangan salah paham," katanya. Ia pun segera menatap tajam Grace agar pergi dari hadapannya dan Isadora. "Kau bisa meninggalkan kami berdua saja, kan?"Dengan senang hati Grace mengangguk. Ia meninggalkan Alaric dan Isadora, lalu kembali duduk bersama Monica."Tadi Grace datang ke kantor dan mengatakan jika ...." Alaric segera menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, sebelum Isadora bertanya dan curiga. Ia memaparkan semua tanpa ada yang ditutupi sediktipun dari Isadora."Lalu kau akan membiarkan Grace membawa Rayden jalan-jalan? Aku tidak setuju, Al!" tukas Isadora dengan raut kes
Isadora termenung seorang diri. Tatapannya tertuju pada langit pagi yang tengah hangat-hangatnya. Namun, sedikitpun ia tak menikmati kehangatan itu. Ya, memang harusnya ia merasa senang sekarang, karena semalam Alaric bilang jika Rayden tidak marah padanya. Tetapi, entah kenapa Rayden masih saja bersikap tak acuh padanya. Bahkan ketika tadi sarapan sebelum sekolah pun, bocah itu masih sama seperti semalam.Rasanya Isadora hampir putus asa. Ia dipaksa mengingat kesalahan yang entah apa, sebab Rayden tak mau memberitahu. "Kau tidak perlu terlalu memikirkannya, Sayang. Biarkan saja," pesan Alaric semalam. Tetapi, hal itu tak bisa Isadora lakukan.Sebagai seseorang yang sangat dekat dengan Rayden, jelas ia merasa tak nyaman kala bocah itu selalu menghindar."Sepertinya aku harus mengajak dia jalan-jalan berdua."Ya, mungkin itu akan menjadikan Rayden kembali terbuka dan mau berbicara dengannya.Tak ingin membuang waktu, gegas Isadora bersiap. Ia memasuki kamar mandi sebentar untuk mencu
Isadora tak ingin menyerah untuk membuat Rayden mau bicara. Kala bocah itu kembali dari sekolah, ia langsung mengajaknya memasuki kamar dan membongkar semua hadiah. Mobil dan robot mainan tampak mendominasi di lantai kamar itu."Bagaimana? Kau suka, kan, Ray? Mommy yang memilih semua ini untukmu," seru Isadora penuh antusias. Tetapi, bocah di depannya masih saja menampilkan wajah datar."Lihat! Mommy juga membeli banyak buku tulis yang sampulnya lucu. Ada pensil juga. Kau suka, kan?"Lagi, Rayden masih diam.Isadora menghela napas lelah. Ia sungguh bingung dengan sikap Rayden yang tiba-tiba berubah."Ray ... sebenarnya kau kenapa, Sayang? Apa Mommy memiliki kesalahan? Jika benar, Mommy minta maaf padamu."Rayden masih tak merespon. Kepala bocah itu kini sedikit tertunduk seperti ada yang tengah ditahan. Tetapi, tak bisa ia ungkapkan."Ray ...." Isadora hendak menyentuh bahu Rayden, tetapi bocah itu malah menghindar dengan menggeser duduknya. Sesaat kemudian, Rayden berdiri dan berteri
Waktu berlibur satu minggu itu terasa singkat dan masih tak cukup bagi Alaric. Rasanya ia masih ingin tinggal di Tokyo untuk menghabiskan waktu berdua dengan Isadora. Sayangnya, ia harus ditampar kenyataan bahwa ada segudang pekerjaan yang menunggunya pulang.Alaric dan Isadora tiba di rumah tepat pukul 10 malam, dan belum sempat bertemu Rayden, sebab bocah itu sudah tertidur. Mereka tidak tega jika harus mengganggu.Kini sebagai penebusan karena sudah meninggalkan Rayden selama 1 minggu, Isadora membawakan bocah itu banyak mainan yang sengaja ia beli di Tokyo. Ia yakin Rayden pasti suka.Setelah selesai mandi dan merapikan diri, gegas Isadora turun ke lantai dasar sembari menenteng dua plastik berukuran besar. Sementara Alaric yang tengah bersiap untuk ke kantor, ia tinggalkan di dalam kamar sendirian.Isadora ingin segera bertemu Rayden. Ia ingin memberikan semua hadiah yang dibawa pada bocah itu."Suprise!" seru Isadora begitu tiba di kamar sang putra. Terlihat Rayden tengah dibant
Entah kenapa sore itu terasa begitu syahdu bagi Isadora. Entah karena ia berada di tempat yang sangat indah, atau karena ada Alaric di sampingnya. Atau mungkin ... bisa jadi karena keduanya. Yang jelas, Isadora benar-benar bersyukur dengan apa yang ia dapat."Kau ingin makan apa?" tanya Alaric yang membuayarkan lamunan istrinya. Beberapa saat lalu mereka baru tiba di sebuah restoran yang terkenal di sana.Isadora segera membawa pandangannya pada buku menu di tangan Alaric. "Aku ingin makan ... Yakizakana. Lengkap dengan teman-temannya."Alaric terkekeh pelan. Ia tahu yang Isadora maksud teman-temannya adalah nasi, sup miso, juga acar. Tetapi, wanita itu malas menyebutkan.Baiklah, Alaric segera menyebutkan pesanan ia dan Isadora satu per satu. Setelah itu, harus menunggu beberapa saat hingga pesanan mereka terhidang."Kapan kita akan pulang, Al?"Pertanyaan Isadora membuat alis Alaric sedikit terangkat. Sejujurnya ia tak suka wanita itu membahas mengenai kepulangan mereka. Ia ingin me
Bulan berlalu, kehidupan rumah tangga Alaric dan Isadora nyaris sempurna. Mereka sudah jarang sekali bertengkar selain beradu argumen kecil yang sebenarnya tak perlu diperdebatkan. Hanya saja, mereka menganggap hal itu sebagai hiburan."Rasanya hidup ini terlalu datar jika aku tidak menggodamu," kata Alaric kala itu. Dan, Isadora tak memungkiri jika ia pun setuju.Terkadang, dalam rumah tangga memang perlu sedikit perdebatan untuk menjadi bumbu. Dengan begitu, setiap pasangan akan belajar untuk menyelesaikan masalah bersama, berdiskusi, dan saling menurunkan ego agar suasana kembali damai.Seperti saat Alaric memutuskan untuk kembali menyewa jasa pengasuh untuk Rayden. Ia dan Isadora berdebat hebat karena perbedaan pendapat. Alaric yang memang tak ingin Isadora harus repot mengantar dan menunggu Rayden, meskipun sebenarnya wanita itu tidak merasa keberatan. Sementara, Isadora sendiri masih trauma dengan kejadian tempo lalu."Aku takut mendapat pengasuh seperti Monica, Al. Aku takut ki
"Mommy ... terlihat an—"Alaric segera membekap mulut Rayden sebelum bocah itu melanjutkan ucapannya. "Ah, tentu. Kau sangat manis, Honey. Aku hampir saja tidak mengenalimu," ucap Alaric. Ya, meski tidak sepenuhnya benar. Pakaian terusan berwarna biru dengan model nyentrik, sangat jauh dari kebiasaan Isadora. Rambut panjang yang selalu anggun, kini hanya tersisa sebatas bahu. Memang masih terlihat cantik. Tetapi, ini seperti bukan Isadora. Alaric malah merasa melihat seorang gadis berusia 15 tahun yang baru merasakan cinta."Benarkah?" Mata Isadora berbinar seketika. Ia melakukan gerakan memutar dengan senyum yang mengembang."Menurutmu bagaimana, Ray? Mommy cantik, kan?"Rayden tak langsung menjawab, sebab mulutnya masih dibungkam. Ia menatap kesal pada sang ayah, baru tangan besar pria itu lepas dari mulutnya."Kau sangat cantik, Sayang. Lagipula Rayden masih terlalu kecil. Dia belum paham tentang penampilan.""Tapi ... bukankah anak kecil itu justru selalu berkata jujur, ya?" kat
Hari minggu ini, Alaric berjanji untuk mengabdikan diri pada keluarga, terutama Isadora. Menjelang siang, ia bersama anak dan istrinya menikmati waktu bersama dengan jalan-jalan, berbelanja, juga menemani Rayden bermain di sebuah wahana. "Kau masih ingat permintaanku kemarin, kan, Al?" tanya Isadora di sela menyantap makan siangnya. Kondisi kafe yang ramai cukup membuat ia ingin segera keluar. Hanya saja, ia tak tega sebab Alaric dan Rayden tampak menikmati makanan yang terhidang. "Emh ...." Alaric tampak berpikir keras. Sejujurnya, ia lupa apa yang diminta Isadora. "Ya ... aku ingat." Ia terpaksa beralibi agar tidak merusak suasana hati sang istri. Sontak saja senyum di wajah Isadora mengembang sempurna. "Baiklah. Kalau begitu, setelah ini aku akan kembali ke mall. Kau dan Rayden boleh menunggu di mana pun yang kalian mau." "Hm? Tentu aku akan ikut denganmu, Sayang." Bahaya jika Alaric membiarkan Isadora sendirian. Bukannya tak percaya jika sang istri bisa menjaga diri, tetapi ia