"Mau apa kau datang ke sini?" Alaric menatap tajam wanita di depannya yang tak lain adalah Grace—mantan istrinya.
"Apa salahku datang? Aku hanya ingin menghadiri acara pernikahan mantan suamiku. Kau tak perlu khawatir berlebihan, Alaric!"
Jika saja bukan seorang wanita, maka sudah ia pastikan tangannya mendarat di wajah Grace. Pria itu tak suka kesenangannya diganggu, dan dengan kehadiran Grace, bisa saja membuat Isadora salah paham dan menjadikan pesta mereka acak-acakan.
"Terserah! Yang jelas, aku mau sekarang kau pergi dari tempat ini!" usir Alaric tanpa belas kasih.
Tatapan Grace seketika menyala. "Apa begini caramu memperlakukan seorang tamu?"
"Aku tak pernah mengundangmu!" tukas Alaric dengan rahang yang mengeras.
"Tapi aku adalah ibu dari darah dagingmu, Alaric! Kau tak bisa menghapus fakta itu!"
Tatapan Alaric makin menajam. Ia hendak membalas ucapan Grace, tetapi lidahnya mendadak kelu saat melihat siapa yang ada di belakang wanita itu.
"D-Dora ...," gumamnya sangat pelan.
Sementara itu, Isadora menatap keduanya santai. Memang hatinya sedikit tersentil saat tak sengaja mendengar pengakuan Grace. Ia bahkan tak pernah memikirkan wanita itu akan datang di pesta pernikahannya.
"Honey ...." Alaric segera merangkul pinggang Isadora posesif, kala wanita itu tiba di sampingnya.
Isadora hanya melirik sang suami sekilas, lalu perhatiannya jatuh pada wanita di depan. "Kau—"
"Mantan istri suamimu," potong wanita itu cepat. Ia mengulurkan tangan sembari tersenyum ramah. "Grace."
"Isadora." Isadora membalas uluran tangan itu sembari tersenyum tak kalah ramah.
"Alaric sering bercerita banyak tentangmu. Selamat, sekarang kalian benar-benar sudah bersatu."
Spontan Isadora melirik pada sang suami. Apa yang pria itu ceritakan pada Grace tentangnya?
"Ah, iya, maaf jika kedatanganku mengganggu pesta kalian. Aku hanya ingin turut menjadi saksi di hari bahagia ini."
Isadora kembali membawa tatapannya ke depan. Sejenak melupakan tentang apa yang sudah suaminya bocorkan pada Grace. "Oh, tidak. Sama sekali tidak mengganggu," tukasnya.
"Emh ... apa kau tidak mau membawa Grace ke tempat yang lebih layak, Al? Ini terlalu dekat dengan lorong menuju toilet," kata Isadora yang membuat suaminya tersadar seketika.
Sejenak Alaric mengusap tengkuknya yang tak gatal. Sebenarnya ia memang sengaja menarik Grace ke tempat ini karena cukup sepi. Tetapi, siapa sangka Isadora malah datang ke sini.
"Oh, dia bilang tidak akan lama-lama berada di sini, Sayang. Kau lihat, kan, Grace hanya sendirian. Dia meninggalkan putraku entah di mana. Pasti dia sedang mencari ibunya sekarang," alibinya.
Mata Grace seketika membola. Satu tangannya terkepal di bawah sana. "Alaric, sialan! Bisa-bisanya kau mengusirku tanpa memberi minum sedikitpun!" geram wanita itu dalam hati.
***
Malam telah larut saat pesta berakhir. Tepat pukul 12 malam, Alaric dan Isadora baru memasuki kamar pengantin. Keduanya gegas membersihkan tubuh secara bergantian, dengan Isadora yang lebih dulu.
Kini wanita dengan rambut panjang yang tergerai setengah basah itu tengah duduk di depan meja rias. Tatapannya lurus pada pantulan wajah di cermin, tetapi pikirannya tengah terbang entah ke mana.
Semua ini masih terasa seperti mimpi bagi Isadora. Menjadi istri seorang Alaric Sebastian memang pernah menjadi impiannya. Tetapi itu dulu, sebelum pria itu berkhianat dan akhirnya menikah dengan Grace.
Jujur saja, jika mengingat itu, hati Isadora bak disayat sebilah pisau tajam. Tetapi, ia selalu berusaha terlihat baik-baik saja di depan semua orang agar tak dianggap lemah.
Ya, untuk apa ia lemah hanya karena seorang Alaric Sebastian?
Isadora tersadar kala sebuah kecupan lembut mendarat di puncak kepalanya. Tampak Alaric yang tengah tersenyum manis dengan bagian atas tubuh yang polos. Sontak saja hal itu membuat Isadora memalingkan wajahnya ke samping.
"Lekas kenakan pakaianmu, Al!" decaknya kesal.
"Kenapa? Aku lebih suka seperti ini."
"Tapi aku tidak menyukainya!" ketus Isadora. Ia bangkit dari duduknya dan beralih mengambil posisi berbaring di atas ranjang.
Ah, Isadora yang malang. Posisi itu justru akan sangat memudahkan Alaric untuk melancarkan aksi yang ia tunggu sejak tadi. Tanpa berkata, pria itu melempar handuk yang semula menyampir di bahu ke sembarang arah. Setelahnya, melangkah dan membaringkan diri di samping tubuh sang istri.
Isadora yang menyadari kehadiran suaminya pun berusaha menahan diri untuk tidak bergerak. Mata wanita itu tertutup rapat.
"Apakah kau sudah benar-benar tidur, Sayang? Secepat itu?" bisik Alaric yang sialnya mampu membuat tubuh Isadora merinding.
Tak mendapat respon, Alaric melingkarkan sebelah tangannya ke perut Isadora. Ia menggeser tubuh hingga sangat rapat dengan tubuh yang telah lama di rindunya.
"Aku tahu kau belum tidur, Honey."
Hampir saja Isadora menghela napas lelah mendengar panggilan suaminya yang terus berganti. Benar-benar tak beraturan!
Meski masih tak mendapat respon, Alaric sama sekali tak mau menyerah. Ia mendaratkan banyak kecupan di pipi Isadora. Ia yakin, sang istri tidak akan tahan jika diperlakukan seperti ini.
Benar saja, setelah banyak kecupan menyerang, Isadora langsung beringsut duduk dengan bibir yang mengerucut. "Kau benar-benar seperti anak kecil, Al!" geramnya sembari mengusap kasar bekas kecupan sang suami.
Alaric lebih dulu ikut mengubah posisi duduk di samping sang istri. "Bukannya yang seperti anak kecil itu kau, Sayang? Kau pura-pura tidur agar lepas dariku, bukan?"
"Aarrgh ... sial!" jerit Isadora dalam hati. Ia memalingkan wajahnya ke samping, enggan menatap sang suami.
"Kenapa? Apa ada yang tak kau suka dariku? Dari tubuhku? Katakanlah!" perintah Alaric dengan lembut.
Isadora masih belum mau menoleh. Ia tengah sibuk mengondisikan debaran jantung yang tak karuan.
"Katakan, Sayang ...." Kali ini Alaric berkata sembari menarik lembut dagu Isadora, hingga wanita itu menatapnya.
Isadora menatap mata hitam di depannya cukup lama. Kemudian, ia berkata, "A-aku tak bisa melakukannya, Al."
"Kenapa?"
"A-aku ... sedang datang bulan."
"Kau tidak sedang berbohong, kan?" serang Alaric dengan tatapan yang menajam.
"Untuk apa aku berbohong?"
Pria itu terdiam sejenak sembari membuang muka demi menghalau rasa kecewa. Setelah itu, ia kembali menatap pada Isadora. "Baiklah. Kalau begitu, mari kita lakukan yang lain."
"Hah? Yang lain apa? Tolong jangan macam-macam, Al. Aku tahu kau tak akan bisa menahan diri setelahnya."
Alaric makin memajukan wajahnya hingga embusan napas pria itu menerpa wajah cantik Isadora. Sejenak ia menikmati ketampanan yang terpampang di depan mata.
Cup!
Kedua mata Isadora terpejam kala Alaric mengecup lembut sudut bibirnya, hanya sebentar.
"Baiklah, aku tidak akan memaksa. Tapi, aku pastikan tak akan bisa menahannya lagi di malam-malam lain. Jadi, kau harus bersiap dengan apa yang akan kulakukan nanti, Honey."
Tumpukan kertas yang begitu menggunung di atas meja, membuat Alaric sakit kepala. Harusnya hari ini ia berbulan madu bersama Isadora, bukan bekerja. "Sial! Ini semua gara-gara tamu tak diundang itu!" gerutu pria itu sembari memijat pelipis.Jika saja Isadora sedang tidak datang bulan saat ini, sudah pasti langsung ia bawa pergi ke luar kota, atau bahkan ke luar negeri. Tak peduli sekalipun pekerjaannya di kantor menumpuk begini."Permisi, Tuan!" Seruan itu terdengar setelah pintu diketuk dari luar. "Masuk!" perintah Alaric. Ia sudah tahu yang datang pasti sang sekretaris."Apa?" ketusnya saat sang sekretaris sudah berdiri di depan meja."Saya mau mengambil laporan tadi. Apakah sudah Tuan tandatangani?" tanya Mona hati-hati. Alaric melirik sinis pada sang sekretaris, kemudian menjawab dengan nada yang tak kalah ketus dari tadi. "Belum.""M-maaf, Tuan. Tapi ... laporan itu—""Harus segera ditandatangani!" potong Alaric cepat. Tatapannya menajam pada Mona. "Iya, kan?""I-iya."Wanita
"Kenapa dia bisa berada di sini?" Alaric menatap tajam Isadora yang malah terlihat santai. Wanita itu bangkit dari duduknya dan berdiri tepat di depan Alaric."Jangan terlalu keras. Dia adalah putramu, Al. Sudah seharusnya dia berada di sini, kan?" Isadora berkata lembut dengan tangan yang membuka lilitan dasi di leher sang suami.Diperlakukan lembut oleh sang istri, tak membuat Alaric luluh kali ini. Matanya masih mengamati wajah Isadora. Ia yakin, ada sesuatu yang baru saja terjadi saat ia tak ada."Grace menemuimu?""Tepat sekali." Isadora mengangguk. Ia telah selesai melepas dasi dan menjauhkan dari leher sang suami. Tangannya menepuk pundak pria itu pelan. "Sudahlah, kita bahas ini nanti. Sekarang kau harus menemaniku membeli semua kebutuhan Rayden."Alaric mengernyit. Ia mencengkram lengan Isadora yang masih berada di pundaknya. Sedang tatapannya tertuju pada Rayden yang tampak duduk santai di atas sofa. "Kenapa kau harus membeli kebutuhannya? Seluruh biaya hidupnya sudah kuberi
Isadora menatap Alaric tajam sembari melipat kedua tangan di depan dada. Rayden sampai harus dititipkan karena ia perlu waktu berdua dengan suaminya. Maka, di sinilah Isadora sekarang, duduk berhadapan dengan Alaric yang menatapnya tak kalah tajam."Kau tahu kesalahanmu, Al?" sergah Isadora.Alaric berdecih sinis, lalu membuang muka ke sembarang arah. "Kesalahan? Memangnya kesalahan apa yang sudah kulakukan?"Isadora makin geram. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan Alaric agar tak perlu mengeluarkan suara terlalu keras. "Kau sudah membuat wajah Frans babak belur! Apa menurutmu itu bukan kesalahan?!" Mendengar nama pria itu disebut, segera Alaric menatap wanita cantik di depannya, lantas berkata, "Itu merupakan sebuah perlindungan, bukan kesalahan! Aku harus melindungi Dora-ku dari buaya seperti Frans!""Astaga ...." Isadora sudah kehabiskan kata-kata. Ia hanya mampu menggelengkan kepala sembari memijat pelipis perlahan. Membuat Alaric sadar, sama sulitnya dengan ia membuat seorang bay
"Penggila Isadora" sepertinya layak disematkan pada diri seorang Alaric Sebastian. Bagaimana tidak, hanya karena bujukan Isadora malam itu, ia langsung setuju untuk mempekerjakan seorang pengasuh yang akan mengurus semua kebutuhan Rayden."Sungguh, tak ada yang bisa meluluhkanku selain kau, Sayang," gumamnya sembari menatap penuh cinta pada sang istri yang terpejam di pundaknya.Hari ini, keinginan Alaric untuk berbulan madu pun akhirnya terwujud. Meski bukan bulan madu di luar negeri seperti yang ia inginkan, tak apa. Karena baginya yang terpenting adalah bisa menaklukkan kembali seorang Isadora. "Di manapun tempatnya, asal itu denganmu, aku tak akan berhenti bahagia," bisik pria itu dengan seutas senyum manis.Ah, Alaric yakin jika Isadora tak akan bisa berpaling dari pesonanya nanti malam. Mobil hitam yang dikemudikan oleh sopir pribadi keluarga Sebastian pun terus melaju menuju suatu tempat yang sudah Alaric persiapkan. Hanya hotel bintang 5 dengan pemandangan yang langsung meng
"Agar kau ingat bahwa kala itu sudah membuatku hancur, Al? Sangat ... hancur."Alaric meremas pinggang Isadora cukup kencang, tetapi wanita itu tetap bertahan dengan seutas senyuman. Ia ingin Alaric mengerti jika semua tak akan pernah semanis dulu lagi. Hatinya telah hancur oleh pria yang ia cintai sepenuh hati."Kau sungguh egois, Dora," pungkas Alaric. Ia menatap dalam pada Isadora. "Apa kau pikir, hanya kau yang sakit? Kau seorang diri yang hancur?" Pria itu terkekeh getir, lalu menarik napas sejenak. Ia palingkan wajahnya ke samping, menatap birunya air. "Bahkan tanpa semua orang tahu, akulah yang paling hancur saat itu, Dora. Kau bisa bayangkan, bertahun-tahun aku tetap menyematkan namamu, sementara aku harus hidup dengan seseorang yang tak kucinta selama itu."Alaric menghirup oksigen cukup banyak demi mengurangi sesak. Kemudian, ia bawa pandangannya pada Isadora. "Selama tahun-tahun itu, aku seperti mayat hidup. Ragaku masih bernyawa, tapi hatiku tertinggal di sini, Isadora. Ma
Bulan madu, bulan pertama, hanya tinggal nama. Pada kenyataannya, Alaric dan Isadora tak melakukan apa-apa. Setelah kembali dari makan malam yang terasa hambar, keduanya langsung tertidur saling memunggungi. Kini saat cahaya mentari mulai masuk lewat jendela, Isadora baru mengerjapkan mata. Kala sepasang mata indah itu terbuka, ia terkejut melihat kekosongan di sampingnya.Isadora beringsut duduk bersandar di kepala ranjang. "Ke mana dia?" gumamnya heran. Tidak biasanya Alaric meninggalkan ia di ranjang sendiri. Meski sudah bangun lebih dulu, pria itu akan tetap memeluk tubuh Isadora hingga membuka mata. Merasa penasaran, gegas Isadora turun dari ranjang. Kaki jenjangnya berjalan menuju kamar mandi, tetapi tak ia dapati keberadaan sang suami. "Dia benar-benar pergi."Huft!"Sudahlah. Lebih baik aku mandi daripada memikirkan pria gila itu!"Memikirkan Alaric terus-menerus hanyalah sebuah kebodohan bagi Isadora. Maka dari itu, ia tak akan pernah melakukannya. Hanya perlu waktu 30 men
"Oh, shit!" Alaric mengumpat keras kala melihat sang istri tengah membolakan mata. Gegas ia mengenakan pakaian atasnya dan turun dari ranjang dengan langkah yang sempoyongan.Sementara Isadora masih terpaku di tempatnya. Ia tak percaya sang suami yang diyakini adalah pria sejati ternyata malah berada dalam satu kamar bersama pria lain.Oh, Tuhan ... Isadora benar-benar terkejut setengah mati!"Emh ... N-Nona, ini tidak seperti yang kau pikirkan," jelas Dave, tak mau wanita yang berdiri di ambang pintu sana salah paham. "Aku ... a-aku hanya membantu suami tercintamu."Akan tetapi, penjelasan Dave tak membuat Isadora percaya. Wanita itu menggelengkan kepala sembari mengusap kasar air mata yang mengalir di wajah. "Membantu apa, hah? Aku bukan anak kecil yang bisa kalian tipu!"Sungguh, Alaric ingin berlari untuk menenangkan wanita itu. Namun, ia sadar jika tenaganya tengah hilang sekarang. Maka dari itu, Alaric hanya bisa terduduk lemas di lantai sembari bersandar ke ranjang."Nona, kami
"Frans?!" Mata Isadora seketika membola saat mengetahui bahwa orang yang baru saja tertabrak adalah Frans. Dengan cepat ia berjongkok di depan pria yang tengah terkapar itu."Frans, kau baik-baik saja?" tanya Isadora cemas. Lalu, kecemasannya kian bertambah kala Frans mengerang kesakitan sembari memegang kaki. Dengan cepat ia menoleh pada Alaric yang hanya berdiri santai. "Cepat bawa dia ke rumah sakit, Al! Kenapa kau hanya diam?!"Pria tampan dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya itu berdecak pelan. Bukannya merasa kasihan, ia malah kesal sekaligus curiga pada Frans. Lebih dulu Alaric meminta beberapa orang yang berkerumun untuk bubar dan berkata akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Frans."Bawa di ke rumah sakit!" suruhnya pada sopir. Ia kemudian menarik tangan Isadora untuk berdiri, lalu berbisik, "Kau tak perlu berlebihan seperti ini."Isadora mengerling malas. N
Isadora termenung seorang diri. Tatapannya tertuju pada langit pagi yang tengah hangat-hangatnya. Namun, sedikitpun ia tak menikmati kehangatan itu. Ya, memang harusnya ia merasa senang sekarang, karena semalam Alaric bilang jika Rayden tidak marah padanya. Tetapi, entah kenapa Rayden masih saja bersikap tak acuh padanya. Bahkan ketika tadi sarapan sebelum sekolah pun, bocah itu masih sama seperti semalam.Rasanya Isadora hampir putus asa. Ia dipaksa mengingat kesalahan yang entah apa, sebab Rayden tak mau memberitahu. "Kau tidak perlu terlalu memikirkannya, Sayang. Biarkan saja," pesan Alaric semalam. Tetapi, hal itu tak bisa Isadora lakukan.Sebagai seseorang yang sangat dekat dengan Rayden, jelas ia merasa tak nyaman kala bocah itu selalu menghindar."Sepertinya aku harus mengajak dia jalan-jalan berdua."Ya, mungkin itu akan menjadikan Rayden kembali terbuka dan mau berbicara dengannya.Tak ingin membuang waktu, gegas Isadora bersiap. Ia memasuki kamar mandi sebentar untuk mencu
Isadora tak ingin menyerah untuk membuat Rayden mau bicara. Kala bocah itu kembali dari sekolah, ia langsung mengajaknya memasuki kamar dan membongkar semua hadiah. Mobil dan robot mainan tampak mendominasi di lantai kamar itu."Bagaimana? Kau suka, kan, Ray? Mommy yang memilih semua ini untukmu," seru Isadora penuh antusias. Tetapi, bocah di depannya masih saja menampilkan wajah datar."Lihat! Mommy juga membeli banyak buku tulis yang sampulnya lucu. Ada pensil juga. Kau suka, kan?"Lagi, Rayden masih diam.Isadora menghela napas lelah. Ia sungguh bingung dengan sikap Rayden yang tiba-tiba berubah."Ray ... sebenarnya kau kenapa, Sayang? Apa Mommy memiliki kesalahan? Jika benar, Mommy minta maaf padamu."Rayden masih tak merespon. Kepala bocah itu kini sedikit tertunduk seperti ada yang tengah ditahan. Tetapi, tak bisa ia ungkapkan."Ray ...." Isadora hendak menyentuh bahu Rayden, tetapi bocah itu malah menghindar dengan menggeser duduknya. Sesaat kemudian, Rayden berdiri dan berteri
Waktu berlibur satu minggu itu terasa singkat dan masih tak cukup bagi Alaric. Rasanya ia masih ingin tinggal di Tokyo untuk menghabiskan waktu berdua dengan Isadora. Sayangnya, ia harus ditampar kenyataan bahwa ada segudang pekerjaan yang menunggunya pulang.Alaric dan Isadora tiba di rumah tepat pukul 10 malam, dan belum sempat bertemu Rayden, sebab bocah itu sudah tertidur. Mereka tidak tega jika harus mengganggu.Kini sebagai penebusan karena sudah meninggalkan Rayden selama 1 minggu, Isadora membawakan bocah itu banyak mainan yang sengaja ia beli di Tokyo. Ia yakin Rayden pasti suka.Setelah selesai mandi dan merapikan diri, gegas Isadora turun ke lantai dasar sembari menenteng dua plastik berukuran besar. Sementara Alaric yang tengah bersiap untuk ke kantor, ia tinggalkan di dalam kamar sendirian.Isadora ingin segera bertemu Rayden. Ia ingin memberikan semua hadiah yang dibawa pada bocah itu."Suprise!" seru Isadora begitu tiba di kamar sang putra. Terlihat Rayden tengah dibant
Entah kenapa sore itu terasa begitu syahdu bagi Isadora. Entah karena ia berada di tempat yang sangat indah, atau karena ada Alaric di sampingnya. Atau mungkin ... bisa jadi karena keduanya. Yang jelas, Isadora benar-benar bersyukur dengan apa yang ia dapat."Kau ingin makan apa?" tanya Alaric yang membuayarkan lamunan istrinya. Beberapa saat lalu mereka baru tiba di sebuah restoran yang terkenal di sana.Isadora segera membawa pandangannya pada buku menu di tangan Alaric. "Aku ingin makan ... Yakizakana. Lengkap dengan teman-temannya."Alaric terkekeh pelan. Ia tahu yang Isadora maksud teman-temannya adalah nasi, sup miso, juga acar. Tetapi, wanita itu malas menyebutkan.Baiklah, Alaric segera menyebutkan pesanan ia dan Isadora satu per satu. Setelah itu, harus menunggu beberapa saat hingga pesanan mereka terhidang."Kapan kita akan pulang, Al?"Pertanyaan Isadora membuat alis Alaric sedikit terangkat. Sejujurnya ia tak suka wanita itu membahas mengenai kepulangan mereka. Ia ingin me
Bulan berlalu, kehidupan rumah tangga Alaric dan Isadora nyaris sempurna. Mereka sudah jarang sekali bertengkar selain beradu argumen kecil yang sebenarnya tak perlu diperdebatkan. Hanya saja, mereka menganggap hal itu sebagai hiburan."Rasanya hidup ini terlalu datar jika aku tidak menggodamu," kata Alaric kala itu. Dan, Isadora tak memungkiri jika ia pun setuju.Terkadang, dalam rumah tangga memang perlu sedikit perdebatan untuk menjadi bumbu. Dengan begitu, setiap pasangan akan belajar untuk menyelesaikan masalah bersama, berdiskusi, dan saling menurunkan ego agar suasana kembali damai.Seperti saat Alaric memutuskan untuk kembali menyewa jasa pengasuh untuk Rayden. Ia dan Isadora berdebat hebat karena perbedaan pendapat. Alaric yang memang tak ingin Isadora harus repot mengantar dan menunggu Rayden, meskipun sebenarnya wanita itu tidak merasa keberatan. Sementara, Isadora sendiri masih trauma dengan kejadian tempo lalu."Aku takut mendapat pengasuh seperti Monica, Al. Aku takut ki
"Mommy ... terlihat an—"Alaric segera membekap mulut Rayden sebelum bocah itu melanjutkan ucapannya. "Ah, tentu. Kau sangat manis, Honey. Aku hampir saja tidak mengenalimu," ucap Alaric. Ya, meski tidak sepenuhnya benar. Pakaian terusan berwarna biru dengan model nyentrik, sangat jauh dari kebiasaan Isadora. Rambut panjang yang selalu anggun, kini hanya tersisa sebatas bahu. Memang masih terlihat cantik. Tetapi, ini seperti bukan Isadora. Alaric malah merasa melihat seorang gadis berusia 15 tahun yang baru merasakan cinta."Benarkah?" Mata Isadora berbinar seketika. Ia melakukan gerakan memutar dengan senyum yang mengembang."Menurutmu bagaimana, Ray? Mommy cantik, kan?"Rayden tak langsung menjawab, sebab mulutnya masih dibungkam. Ia menatap kesal pada sang ayah, baru tangan besar pria itu lepas dari mulutnya."Kau sangat cantik, Sayang. Lagipula Rayden masih terlalu kecil. Dia belum paham tentang penampilan.""Tapi ... bukankah anak kecil itu justru selalu berkata jujur, ya?" kat
Hari minggu ini, Alaric berjanji untuk mengabdikan diri pada keluarga, terutama Isadora. Menjelang siang, ia bersama anak dan istrinya menikmati waktu bersama dengan jalan-jalan, berbelanja, juga menemani Rayden bermain di sebuah wahana. "Kau masih ingat permintaanku kemarin, kan, Al?" tanya Isadora di sela menyantap makan siangnya. Kondisi kafe yang ramai cukup membuat ia ingin segera keluar. Hanya saja, ia tak tega sebab Alaric dan Rayden tampak menikmati makanan yang terhidang. "Emh ...." Alaric tampak berpikir keras. Sejujurnya, ia lupa apa yang diminta Isadora. "Ya ... aku ingat." Ia terpaksa beralibi agar tidak merusak suasana hati sang istri. Sontak saja senyum di wajah Isadora mengembang sempurna. "Baiklah. Kalau begitu, setelah ini aku akan kembali ke mall. Kau dan Rayden boleh menunggu di mana pun yang kalian mau." "Hm? Tentu aku akan ikut denganmu, Sayang." Bahaya jika Alaric membiarkan Isadora sendirian. Bukannya tak percaya jika sang istri bisa menjaga diri, tetapi ia
Isadora menutup mulut tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sungguh, ia lupa jika hari ini adalah kelahirannya. "I-ini ...." Wanita cantik itu tak bisa berkata apa-apa. Ia bergegas memeluk kedua orang tuanya erat, lalu beralih memeluk Alaric meski sedikit sulit. Ya, sebab pria itu tengah memegang sebuah kue ulang tahun dengan lilin yang menyala di atasnya."Selamat bertambah usia, Honey. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," ucap Alaric manis. "Terima kasih, Al ...." "Selamat ulang tahun putri Mommy," ujar Celine. Ia menatap dalam sang putri yang begitu ceria hari ini. "Doa terbaik untukmu, Nak." Julian ikut menimpali.Hah, sungguh Isadora terharu rasanya. Ia benar-benar tak menyangka diam-diam diberi kejutan."Thank you, semuanya. I'am so surprise!"Kebahagiaan tampak menyelimuti mereka yang ada di sana. Hingga seorang bocah berlari mendekat dengan wajah keheranan."Daddy! Kue siapa itu?" Semua orang mengalihkan perhatian mereka pada Ryden. Lalu, dengan jahil Isadora mencol
Hari-hari selanjutnya, kehidupan Alaric dan Isadora berjalan lebih normal, tanpa ada pertengkaran. Keduanya sudah bisa mengatur ego masing-masing. Tak jarang saling mengalah demi terciptanya sebuah kedamaian dalam rumah tangga. Meski begitu, tetap belum ada kata cinta yang terucap dari bibir Isadora.Hem, tak apa. Sebab tanpa diungkapkan pun, Alaric sudah yakin 1000% jika Isadora memang mencintainya.Tak hanya hubungan mereka yang membaik. Kondisi Aldora pun sudah tidak seterpuruk kemarin. Perlahan tapi pasti, Alaric berhasil kembali menarik kepercayaan publik. Klien baru dari luar kota dan luar negeri pun berdatangan untuk mengajukan sebuah kerjasama. Semua itu berkat usaha dan kerja keras semua tim Aldora, juga dukungan penuh dari Isadora.Entahlah harus berapa banyak lagi kata syukur yang Alaric ucap karena memiliki istri yang selalu mendukungnya.Kini, Alaric sudah membawa Rayden dan Isadora kembali ke rumah mereka. Ia juga mempekerjakan dua orang pelayan baru untuk mengurus rumah