Pov Amel"Baru rencana Kak, aku pengen aja gitu punya toko, jadi bisa punya karyawan," jelasku yang sudah menceritakan panjang lebar mengenai rencanaku untuk menyewa ruko atau bangunan yang bisa aku gunakan untuk toko hijabku."Bagus menurutku Mel. Jadi, barang-barang ready nggak numpuk di simpan di rumah. Lagi pula, biar konsumen yang memang deket dengan lokasi, bisa langsung kesana," jelas Kak Ramdan. Aku mengangguk, setuju."Iya itu Kak, maksudku biar konsumen lebih enak. Kalau aku sibuk, bisa rekrut karyawan. Untuk dana, udah aku pastikan cukup. Kira-kira Kakak ada saran untuk pemilihan tempat strategis usahaku?" tanyaku meminta pendapat Kak Ramdan, barangkali dia tahu mengenai informasi bangunan yang disewakan dengan harga yang nyaman, dan posisi strategis."Emm aku sebenarnya punya teman, dia memang pengusaha property gitu, coba nanti aku tanyakan ke dia ya. Dia juga termasuk newbie, jadi setidaknya juga saling membantu dengan sesama pengusaha baru," ucap Kak Ramdan."Wah, bener
"Oh Mas Alvin, lagi masa-masa sibuk Pak. Dia lagi banyak ngoreksi middle test, kaya kalau sekolah tuh ulangan tengah semesternya gitu," jelasku mencoba mencari alasan. Aku enggak bohong, dia memang cukup sibuk. Tapi, bukan alasan itu yang membuatnya tidak bisa ikut kesini."Bapak padahal kangen, pengen ketemu. Semenjak nikah, jarang liat Alvin di sekitar tempat jualan," ucap Bapak. Terlihat wajahnya begitu sendu. Apa sih yang di kangenin dari pria menyebalkan itu?"Iya Pak, dia itu sehari-harinya, ngajar ke kampus, terus pulang sore, habis itu istirahat di rumah, itu aja masih belajar terus," jelasku. Bapak manggut-manggut."Oh iya aku baru ingat, bentar dulu Pak." Aku berbalik, segera berlari dan mengambil tote bag, pemberian dari Kak Ramdan."Apa ini?" tanya Bapak, setelah mengambilnya."Ini hadiah permintaan maaf, dari Kak Ramdan," ucapku sembari tersenyum."Ramdan?" ulang Bapak, sembari mengernyitkan alis."Nanti aku ceritakan dia itu siapa," ucapku dan menyuruh Bapak duduk manis
"Katakan, biar saya tahu Mel. Biar saya bisa intropeksi," katanya memelas. Apaan sih dia, kemarin aja kasar banget sama aku, kini malah meminta belas kasihan."Coba Bapak ingat-ingat," kataku cuek."Kamu marah karena kata-kata saya waktu itu?" tebaknya. Aku hanya terdiam."Maafkan saya waktu itu. Saya lagi nggak stabil, jadi marah-marah sama kamu Mel," katanya dengan nada memohon."Kamu mau saya belikan apa, biar nggak marah lagi?" tanyanya mencoba merayu."Maaf saya nggak sebanding dengan apapun yang Bapak berikan. Bapak sadar nggak sih, udah nginjak-nginjak harga diri saya? Mentang-mentang Bapak udah ngasih saya duit, terus bisa bebas melecehkan dan menghina?" kataku pedas sambil menatap wajahnya yang terlihat dari samping.Ia meminggirkan mobil. Kami terdiam, lalu ia menoleh ke arahku menatapku dengan tatapan yang entah."Saya benar-benar minta maaf. Kamu jangan salah paham dulu, saya nggak pernah anggap kamu murahan atau apapun itu. Justru, saya berterimakasih sama kamu Mel. Kita
"Kamu mau saya antar ke kampus atau ke rumah Mama?" tanya Pak Alvin, dia melirikku sebentar. Lalu kembali fokus ke jalan."Ke rumah Mama aja dulu," balasku. Aku harus mengobatinya.Sesampainya di rumah mertuaku, kondisi sepi. Sepertinya tidak ada orang di rumah ini, selain Bu Iffah."Emang selalu sepi gini ya rumah?" gumamku, ternyata masih bisa terdengar olehnya."Iya. Ayah sama Mama bekerja," balas Pak Alvin."Mama kerja apa?" tanyaku."Mama sekrretaris Ayah," balas Pak Alvin. Aku manggut-manggut saja. Tak ingin bertanya lebih.Aku langsung ke dapur, sedangkan dia langsung naik ke lantai dua. Merebus air hanya membutuhkan waktu lima menit, setelahnya aku mengambil handuk kecil di lemari yang berada di dapur, dan bergegas ke kamar.Ku lihat dia tengah main ponsel di sofa, belum melepas kemejanya, masih dalam kondisi wajah yang lumayan buruk, tapi masih ganteng kok."Biar saya kompres Pak," kataku dan ikut duduk di sofa. Menaruh baskom kecil di meja. Lalu, melihat wajahnya."Nggak usa
Setelah tidak mendengar suara-suara lagi, aku membuka mata, menghirup nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Membangkitkan badanku, lalu melakukan peregangan."Untunglah," gumamku merasa terbebas dari situasi yang akan membuat aku dan Pak Alvin canggung.Setelah menunaikan kewajiban salat, aku langsung pergi ke dapur. Seperti biasa, Bu Iffah terlihat kerepotan habis dari pasar subuh. Wanita setengah baya itu membawa banyak kantong kresek."Wah, Bu Iffah mau masak menu apa pagi ini?" tanyaku antusias, sambil mengambil alih beberapa kantongan plastik lalu menaruhnya di meja."Ikan nila goreng, capcay, sama sambal ijo, untuk pagi ini Neng," balas Bu Iffah."Wah, aku bantu ya."Bu Iffah menatapku sungkan. "Jangan Neng, nanti kayak kemarin."Aku menggeleng, "nggak papa. Aku jamin Mama nggak bakal potong gaji Bu Iffah.""Kemana aja kemarin?" suara seseorang membuat aku dan Bu Iffah menengok."Mama, aku kemarin menginap dirumah Bapak sama Mas Alvin," balasku dengan senyuman. Mencoba ramah.
Aku hendak berdiri, tapi tangan Pak Alvin menahanku. Dia menatapku sembari menggelengkan kepala. "Jangan pergi Mel, kamu nggak pengen 'kan orang salah paham?" tanyanya.Aku menghirup nafas dalam-dalam, merasa sangat sebal, jika dia tidak ingin orang lain menuduh yang tidak-tidak, lalu kenapa harus selalu bertemu Wati secara terang-terangan begini? Terus, kini minta bantuanku untuk menutupi hubungan mereka.Aku kembali duduk dengan wajah bete. Wati datang dengan senyuman, namun wajahnya berubah masam ketika tatapannya bersirobok denganku."Kenapa ada Amel disini?" tanyanya tak suka. Pak Alvin tersenyum."Tadi kami belum sarapan di rumah, jadi sekalian aja aku ajak istriku," ucap Pak Alvin tenang."Istriku, Kak!" katanya Wati merajuk, ia menepuk-nepuk lengan Pak Alvin. Ya Allah ganjen betul."Wati, coba jaga sikap kamu, jangan main pegang aja," kataku memperingatkan.Dia menatapku sinis, "kamu cemburu ya? Kak, dia kenapa sih? Kok jadi protek sama kamu?""Iya, dia bener Iin. Diluar, kita
Aku dan Tiara saling berpandangan. Tentu saja kaget Pak Alvin tiba-tiba duduk di kursi yang sebelumnya di tempati Kak Ramdan."Kenalkan, saya suaminya dari Amelia. Alvin Mahendra," Pak Alvin menyodorkan telapak tangannya kepada Bang Ridho, yang tentunya di sambut hangat oleh pria itu."Saya kira Amel masih single Bang," komentarnya. Pak Alvin hanya tersenyum menanggapi. "Saya Ridho Bang," ucapnya."Jadi kita mulai aja?" tanya Bang Ridho. Kami semua mengangguk. Tiara aku lihat sesekali melirik Bang Ridho yang tengah menjelaskan bangunan demi bangunan yang ia tawarkan kepadaku."Kalau lokasinya yang dibelakang kampus, potensinya berapa persen?" tanyaku."Saya bisa menjamin 80 persen, makanya saya berani menaruh harga segitu," jelas Bang Ridho.Aku kembali memikirkan lagi, masih bingung memilih antara di dekat kampus atau dekat dengan lingkungan taman. Jika aku memilih di belakang kampus, sebenarnya memang peluangnya besar, karena aku melihat mahasiswa yang membuka bisnis print-an laku k
"Rambutmu ada yang keluar," katanya sambil menarik satu helai rambutku. "Aww! jangan ditarik!" sentakku. Reflek memukul tangannya. Wajahku yang sepertinya tadi memerah, langsung mendadak buram."Hahaha, lagian, salah siapa, pakai kerudung, tapi rambutnya kemana-mana. Bentar, saya ambil kotak p3knya dulu." Dia beranjak, berjalan beberapa langkah, di dekat pintu memang ada lemari. Ku lihat pergerakannya hingga mengambilkan kotak berisi peralatan untuk obat mengobati itu."Saya mau oles sendiri," kataku sambil merebut kotak p3k dari tangannya. Aku tidak ingin berada pada jarak dekat. Setidaknya harus radius berpuluh meter. "Ya udah nih," katanya. Lalu hanya berdiri menatapku yang membubuhkan betadine ke luka yang menganga itu. Aku meringis, hampir menangis karena perih.Setelahnya, aku membuka hansaplas, lalu menaruhnya di jariku. Tiba-tiba tanganku sudah di raih oleh Pak Alvin. "Sini saya aja, nanti nggak rapi."Aku hanya diam, lagi-lagi merasa tersentuh dengan perhatian kecilnya. Seb