Setelah tidak mendengar suara-suara lagi, aku membuka mata, menghirup nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Membangkitkan badanku, lalu melakukan peregangan."Untunglah," gumamku merasa terbebas dari situasi yang akan membuat aku dan Pak Alvin canggung.Setelah menunaikan kewajiban salat, aku langsung pergi ke dapur. Seperti biasa, Bu Iffah terlihat kerepotan habis dari pasar subuh. Wanita setengah baya itu membawa banyak kantong kresek."Wah, Bu Iffah mau masak menu apa pagi ini?" tanyaku antusias, sambil mengambil alih beberapa kantongan plastik lalu menaruhnya di meja."Ikan nila goreng, capcay, sama sambal ijo, untuk pagi ini Neng," balas Bu Iffah."Wah, aku bantu ya."Bu Iffah menatapku sungkan. "Jangan Neng, nanti kayak kemarin."Aku menggeleng, "nggak papa. Aku jamin Mama nggak bakal potong gaji Bu Iffah.""Kemana aja kemarin?" suara seseorang membuat aku dan Bu Iffah menengok."Mama, aku kemarin menginap dirumah Bapak sama Mas Alvin," balasku dengan senyuman. Mencoba ramah.
Aku hendak berdiri, tapi tangan Pak Alvin menahanku. Dia menatapku sembari menggelengkan kepala. "Jangan pergi Mel, kamu nggak pengen 'kan orang salah paham?" tanyanya.Aku menghirup nafas dalam-dalam, merasa sangat sebal, jika dia tidak ingin orang lain menuduh yang tidak-tidak, lalu kenapa harus selalu bertemu Wati secara terang-terangan begini? Terus, kini minta bantuanku untuk menutupi hubungan mereka.Aku kembali duduk dengan wajah bete. Wati datang dengan senyuman, namun wajahnya berubah masam ketika tatapannya bersirobok denganku."Kenapa ada Amel disini?" tanyanya tak suka. Pak Alvin tersenyum."Tadi kami belum sarapan di rumah, jadi sekalian aja aku ajak istriku," ucap Pak Alvin tenang."Istriku, Kak!" katanya Wati merajuk, ia menepuk-nepuk lengan Pak Alvin. Ya Allah ganjen betul."Wati, coba jaga sikap kamu, jangan main pegang aja," kataku memperingatkan.Dia menatapku sinis, "kamu cemburu ya? Kak, dia kenapa sih? Kok jadi protek sama kamu?""Iya, dia bener Iin. Diluar, kita
Aku dan Tiara saling berpandangan. Tentu saja kaget Pak Alvin tiba-tiba duduk di kursi yang sebelumnya di tempati Kak Ramdan."Kenalkan, saya suaminya dari Amelia. Alvin Mahendra," Pak Alvin menyodorkan telapak tangannya kepada Bang Ridho, yang tentunya di sambut hangat oleh pria itu."Saya kira Amel masih single Bang," komentarnya. Pak Alvin hanya tersenyum menanggapi. "Saya Ridho Bang," ucapnya."Jadi kita mulai aja?" tanya Bang Ridho. Kami semua mengangguk. Tiara aku lihat sesekali melirik Bang Ridho yang tengah menjelaskan bangunan demi bangunan yang ia tawarkan kepadaku."Kalau lokasinya yang dibelakang kampus, potensinya berapa persen?" tanyaku."Saya bisa menjamin 80 persen, makanya saya berani menaruh harga segitu," jelas Bang Ridho.Aku kembali memikirkan lagi, masih bingung memilih antara di dekat kampus atau dekat dengan lingkungan taman. Jika aku memilih di belakang kampus, sebenarnya memang peluangnya besar, karena aku melihat mahasiswa yang membuka bisnis print-an laku k
"Rambutmu ada yang keluar," katanya sambil menarik satu helai rambutku. "Aww! jangan ditarik!" sentakku. Reflek memukul tangannya. Wajahku yang sepertinya tadi memerah, langsung mendadak buram."Hahaha, lagian, salah siapa, pakai kerudung, tapi rambutnya kemana-mana. Bentar, saya ambil kotak p3knya dulu." Dia beranjak, berjalan beberapa langkah, di dekat pintu memang ada lemari. Ku lihat pergerakannya hingga mengambilkan kotak berisi peralatan untuk obat mengobati itu."Saya mau oles sendiri," kataku sambil merebut kotak p3k dari tangannya. Aku tidak ingin berada pada jarak dekat. Setidaknya harus radius berpuluh meter. "Ya udah nih," katanya. Lalu hanya berdiri menatapku yang membubuhkan betadine ke luka yang menganga itu. Aku meringis, hampir menangis karena perih.Setelahnya, aku membuka hansaplas, lalu menaruhnya di jariku. Tiba-tiba tanganku sudah di raih oleh Pak Alvin. "Sini saya aja, nanti nggak rapi."Aku hanya diam, lagi-lagi merasa tersentuh dengan perhatian kecilnya. Seb
Benar saja, setelah pulang ke rumah Mama Mertua dalam keadaan lumayan basah, aku berkali-kali bersin. Tubuhku memang tidak tahan menghadapi perubahan cuaca yang tiba-tiba. Walau begitu, aku tetap menghabiskan ice cream dan tahu bulat yang aku beli, sayang nanti mubazir kalau tidak dimakan.Setelah solat Zuhur, aku merebahkan diri di kasur, ingin mengambil istirahat. Setidaknya mempersiapkan diri baik fisik dan mental untuk malam ini. Sedangkan Pak Alvin, aku lihat dia sibuk membaca di sofa.Ponselku berdering, pukul lima sore aku terbangun dengan kepala yang berat. Aku melakukan streching sebentar, dengan membuat tanganku ke atas sambil dilipat, terus aku bunyikan kepalaku dengan menekannya ke kanan dan ke kiri."Wa'alaikumussalam," balasku, yang menelpon adalah Rafa, adikku."Ada apa? tumben? kangen ya?" tanyaku menggodanya.Terdengar endusan nafas dari sana. "Kapan ke sini lagi?" tanyanya."Baru kemarin aku ke sana, bilang aja kangen.""Udah jadi belum hero nya?" tanyanya."Hero?" u
"Amel!" samar-samar, telingaku mendengar suara Pak Alvin. Ia menahan bahuku agar tidak jatuh. Kepalaku memang sudah sangat sakit sedari sore tadi, namun aku tahan."Ayo kita ke kamar," ajaknya. "Maaf, saya mau urus istri saya dulu."Aku langsung di bantu untuk berjalan, dalam keadaan pusing luar biasa. Namun, tiba-tiba, langkah Pak Alvin berhenti, saat suara seseorang menahannya."Kak, jangan lama-lama." Itu suara Wati, aku tidak menggubrisnya, karena mataku rasanya sudah ingin memejam saja.Pak Alvin tidak menjawab, ia begitu saja memapahku. Sesampainya di kamar, aku langsung dibantu untuk rebahan.Telapak tangan Pak Alvin menyentuh dahiku. "Kamu demam, kenapa malah ikut acara kalau nggak kuat?" tanyanya dengan nada datar."Aku bukan kamu, yang suka menghindar Mas," balasku. Hatiku sudah dongkol beberapa jam lalu, karena sadar jika keluargaku tak diundang acara makan. Belum lagi ditambah Bibi Wati yang merendahkanku sebagai istrinya dan dia sama sekali tidak ada pembelaan. Kini, diri
Oke, pertama-tama, otor beritahu dulu kalau mulai dari part ini sampai 3-5 part bakal di kasih candya ya, dalam rangka memenuhi tugas komunitas🙏"Kamu ada matkul pagi?" tanya Pak Alvin sembari menikmati koran harian. Dia sedang duduk di sofa, sambil sesekali menyeruput kopinya."Nggak. Aku hari ini, mau ke toko kain langgananku," balasku. Komunikasi kami lumayan lancar, semenjak malam itu memutuskan untuk menjadi teman."Jam berapa ke sana?" tanyanya."Sekarang, setelah aku bersiap-siap," balasku, lalu berjalan ke meja belajarku. Mengambil buku catatanku. "Saya antar kamu," ucapnya, membuatku mengernyitkan alis."Emang kamu nggak ada ngajar hari ini?" tanyaku."Ada, siang. Masih sempat, kalau cuma ngantar kamu ke sana."Aku tersenyum tipis, tiba-tiba merasa senang, jika dia mau mengantarku. "Ya udah kamu siap-siap," kataku. Dia langsung beranjak, mengambil jaket ke lemarinya. "Sudah siap?" tanyanya kepadaku. Aku mengangguk saja.Saat aku dan Pak Alvin sudah berada di lantai bawah.
Hanya di pipi, tidak lebih dan tidak kurang. Namun, mampu membuat tubuhku menegang. Pulpen yang aku genggam, langsung terjatuh ke lantai dan Pak Alvin dengan sigap mengambilnya."Ck, nyesel nggak tuh?" Pak Alvin terkekeh begitu mengatakannya. Membuat aku sadar, bahwa aku seperti orang bego saat ini."Mas, kamu beraninya!" pekikku langsung mengejar dan memukul-mukul punggungnya."Aw! Amel, sakit," rintihnya berusaha menghindar."Awas, kamu kalau lakuin kayak tadi, perjanjian kita batal!" ancamku, sambil terus menarget punggungnya untuk aku jotos. Dia berlarian, kesana kemari."Iya iya, makanya jangan bikin aku kesel," katanya, sambil berjalan ke arah sofa.Aku hanya bisa mendengus, perbuatannya tadi benar-benar kurang ngajar. Sudah kedua kalinya dia melakukan itu. Walau kali ini hanya di pipi, tapi hal itu tetap sangat-sangat tidak wajar dilakukan. Coba saja dia tidak kembali berkutat pada buku-bukunya, ingin rasanya aku menghajar wajahnya itu. Sudahlah, aku lebih baik memilih untuk t