"Katakan, biar saya tahu Mel. Biar saya bisa intropeksi," katanya memelas. Apaan sih dia, kemarin aja kasar banget sama aku, kini malah meminta belas kasihan."Coba Bapak ingat-ingat," kataku cuek."Kamu marah karena kata-kata saya waktu itu?" tebaknya. Aku hanya terdiam."Maafkan saya waktu itu. Saya lagi nggak stabil, jadi marah-marah sama kamu Mel," katanya dengan nada memohon."Kamu mau saya belikan apa, biar nggak marah lagi?" tanyanya mencoba merayu."Maaf saya nggak sebanding dengan apapun yang Bapak berikan. Bapak sadar nggak sih, udah nginjak-nginjak harga diri saya? Mentang-mentang Bapak udah ngasih saya duit, terus bisa bebas melecehkan dan menghina?" kataku pedas sambil menatap wajahnya yang terlihat dari samping.Ia meminggirkan mobil. Kami terdiam, lalu ia menoleh ke arahku menatapku dengan tatapan yang entah."Saya benar-benar minta maaf. Kamu jangan salah paham dulu, saya nggak pernah anggap kamu murahan atau apapun itu. Justru, saya berterimakasih sama kamu Mel. Kita
"Kamu mau saya antar ke kampus atau ke rumah Mama?" tanya Pak Alvin, dia melirikku sebentar. Lalu kembali fokus ke jalan."Ke rumah Mama aja dulu," balasku. Aku harus mengobatinya.Sesampainya di rumah mertuaku, kondisi sepi. Sepertinya tidak ada orang di rumah ini, selain Bu Iffah."Emang selalu sepi gini ya rumah?" gumamku, ternyata masih bisa terdengar olehnya."Iya. Ayah sama Mama bekerja," balas Pak Alvin."Mama kerja apa?" tanyaku."Mama sekrretaris Ayah," balas Pak Alvin. Aku manggut-manggut saja. Tak ingin bertanya lebih.Aku langsung ke dapur, sedangkan dia langsung naik ke lantai dua. Merebus air hanya membutuhkan waktu lima menit, setelahnya aku mengambil handuk kecil di lemari yang berada di dapur, dan bergegas ke kamar.Ku lihat dia tengah main ponsel di sofa, belum melepas kemejanya, masih dalam kondisi wajah yang lumayan buruk, tapi masih ganteng kok."Biar saya kompres Pak," kataku dan ikut duduk di sofa. Menaruh baskom kecil di meja. Lalu, melihat wajahnya."Nggak usa
Setelah tidak mendengar suara-suara lagi, aku membuka mata, menghirup nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Membangkitkan badanku, lalu melakukan peregangan."Untunglah," gumamku merasa terbebas dari situasi yang akan membuat aku dan Pak Alvin canggung.Setelah menunaikan kewajiban salat, aku langsung pergi ke dapur. Seperti biasa, Bu Iffah terlihat kerepotan habis dari pasar subuh. Wanita setengah baya itu membawa banyak kantong kresek."Wah, Bu Iffah mau masak menu apa pagi ini?" tanyaku antusias, sambil mengambil alih beberapa kantongan plastik lalu menaruhnya di meja."Ikan nila goreng, capcay, sama sambal ijo, untuk pagi ini Neng," balas Bu Iffah."Wah, aku bantu ya."Bu Iffah menatapku sungkan. "Jangan Neng, nanti kayak kemarin."Aku menggeleng, "nggak papa. Aku jamin Mama nggak bakal potong gaji Bu Iffah.""Kemana aja kemarin?" suara seseorang membuat aku dan Bu Iffah menengok."Mama, aku kemarin menginap dirumah Bapak sama Mas Alvin," balasku dengan senyuman. Mencoba ramah.
Aku hendak berdiri, tapi tangan Pak Alvin menahanku. Dia menatapku sembari menggelengkan kepala. "Jangan pergi Mel, kamu nggak pengen 'kan orang salah paham?" tanyanya.Aku menghirup nafas dalam-dalam, merasa sangat sebal, jika dia tidak ingin orang lain menuduh yang tidak-tidak, lalu kenapa harus selalu bertemu Wati secara terang-terangan begini? Terus, kini minta bantuanku untuk menutupi hubungan mereka.Aku kembali duduk dengan wajah bete. Wati datang dengan senyuman, namun wajahnya berubah masam ketika tatapannya bersirobok denganku."Kenapa ada Amel disini?" tanyanya tak suka. Pak Alvin tersenyum."Tadi kami belum sarapan di rumah, jadi sekalian aja aku ajak istriku," ucap Pak Alvin tenang."Istriku, Kak!" katanya Wati merajuk, ia menepuk-nepuk lengan Pak Alvin. Ya Allah ganjen betul."Wati, coba jaga sikap kamu, jangan main pegang aja," kataku memperingatkan.Dia menatapku sinis, "kamu cemburu ya? Kak, dia kenapa sih? Kok jadi protek sama kamu?""Iya, dia bener Iin. Diluar, kita
Aku dan Tiara saling berpandangan. Tentu saja kaget Pak Alvin tiba-tiba duduk di kursi yang sebelumnya di tempati Kak Ramdan."Kenalkan, saya suaminya dari Amelia. Alvin Mahendra," Pak Alvin menyodorkan telapak tangannya kepada Bang Ridho, yang tentunya di sambut hangat oleh pria itu."Saya kira Amel masih single Bang," komentarnya. Pak Alvin hanya tersenyum menanggapi. "Saya Ridho Bang," ucapnya."Jadi kita mulai aja?" tanya Bang Ridho. Kami semua mengangguk. Tiara aku lihat sesekali melirik Bang Ridho yang tengah menjelaskan bangunan demi bangunan yang ia tawarkan kepadaku."Kalau lokasinya yang dibelakang kampus, potensinya berapa persen?" tanyaku."Saya bisa menjamin 80 persen, makanya saya berani menaruh harga segitu," jelas Bang Ridho.Aku kembali memikirkan lagi, masih bingung memilih antara di dekat kampus atau dekat dengan lingkungan taman. Jika aku memilih di belakang kampus, sebenarnya memang peluangnya besar, karena aku melihat mahasiswa yang membuka bisnis print-an laku k
"Rambutmu ada yang keluar," katanya sambil menarik satu helai rambutku. "Aww! jangan ditarik!" sentakku. Reflek memukul tangannya. Wajahku yang sepertinya tadi memerah, langsung mendadak buram."Hahaha, lagian, salah siapa, pakai kerudung, tapi rambutnya kemana-mana. Bentar, saya ambil kotak p3knya dulu." Dia beranjak, berjalan beberapa langkah, di dekat pintu memang ada lemari. Ku lihat pergerakannya hingga mengambilkan kotak berisi peralatan untuk obat mengobati itu."Saya mau oles sendiri," kataku sambil merebut kotak p3k dari tangannya. Aku tidak ingin berada pada jarak dekat. Setidaknya harus radius berpuluh meter. "Ya udah nih," katanya. Lalu hanya berdiri menatapku yang membubuhkan betadine ke luka yang menganga itu. Aku meringis, hampir menangis karena perih.Setelahnya, aku membuka hansaplas, lalu menaruhnya di jariku. Tiba-tiba tanganku sudah di raih oleh Pak Alvin. "Sini saya aja, nanti nggak rapi."Aku hanya diam, lagi-lagi merasa tersentuh dengan perhatian kecilnya. Seb
Benar saja, setelah pulang ke rumah Mama Mertua dalam keadaan lumayan basah, aku berkali-kali bersin. Tubuhku memang tidak tahan menghadapi perubahan cuaca yang tiba-tiba. Walau begitu, aku tetap menghabiskan ice cream dan tahu bulat yang aku beli, sayang nanti mubazir kalau tidak dimakan.Setelah solat Zuhur, aku merebahkan diri di kasur, ingin mengambil istirahat. Setidaknya mempersiapkan diri baik fisik dan mental untuk malam ini. Sedangkan Pak Alvin, aku lihat dia sibuk membaca di sofa.Ponselku berdering, pukul lima sore aku terbangun dengan kepala yang berat. Aku melakukan streching sebentar, dengan membuat tanganku ke atas sambil dilipat, terus aku bunyikan kepalaku dengan menekannya ke kanan dan ke kiri."Wa'alaikumussalam," balasku, yang menelpon adalah Rafa, adikku."Ada apa? tumben? kangen ya?" tanyaku menggodanya.Terdengar endusan nafas dari sana. "Kapan ke sini lagi?" tanyanya."Baru kemarin aku ke sana, bilang aja kangen.""Udah jadi belum hero nya?" tanyanya."Hero?" u
"Amel!" samar-samar, telingaku mendengar suara Pak Alvin. Ia menahan bahuku agar tidak jatuh. Kepalaku memang sudah sangat sakit sedari sore tadi, namun aku tahan."Ayo kita ke kamar," ajaknya. "Maaf, saya mau urus istri saya dulu."Aku langsung di bantu untuk berjalan, dalam keadaan pusing luar biasa. Namun, tiba-tiba, langkah Pak Alvin berhenti, saat suara seseorang menahannya."Kak, jangan lama-lama." Itu suara Wati, aku tidak menggubrisnya, karena mataku rasanya sudah ingin memejam saja.Pak Alvin tidak menjawab, ia begitu saja memapahku. Sesampainya di kamar, aku langsung dibantu untuk rebahan.Telapak tangan Pak Alvin menyentuh dahiku. "Kamu demam, kenapa malah ikut acara kalau nggak kuat?" tanyanya dengan nada datar."Aku bukan kamu, yang suka menghindar Mas," balasku. Hatiku sudah dongkol beberapa jam lalu, karena sadar jika keluargaku tak diundang acara makan. Belum lagi ditambah Bibi Wati yang merendahkanku sebagai istrinya dan dia sama sekali tidak ada pembelaan. Kini, diri
Bagi Amel, peristiwa yang ia alami mendadak ini terasa seperti mimpi di sore hari. Setelah hatinya memantapkan untuk kembali melabuhkan hati pada seseorang, akhirnya kini tubuhnya merela untuk duduk sembari mendengar seorang pria mengucap janji suci.Ketika Amel mengatakan pada sang Ayah bahwa ia telah siap kembali menikah dengan Alvin, sepertinya Haris tidak ingin membuang banyak waktu, selain segera menghubungi pihak KUA untuk menikahkan putrinya yang sudah dua kali gagal menikah. Kini, ia percaya dan penuh harap semoga rumah tangga yang akan dibina oleh dua orang yang ia sayangi itu, akan menemukan bahagia.Sedangkan Alvin, ia juga tidak kalah syok karena setelah Haris kembali ke ruangannya tanpa Amel, pria paruh baya itu mengatakan dengan tegas bahwa akad mendadak akan dilaksanakan sore hari, menjelang Maghrib. Tanpa bisa membantah, Alvin hanya mengiyakan walau dadanya berdebar tidak karuan."Secepat itu," batin Alvin. Ia menatap tubuhnya sendiri yang masih dalam keadaan belum pul
"Kamu belum bisa melupakan Ramdan?” lirih Haris, wajahnya terlihat sedih. Amel menghela nafas, ia tahu, Ayahnya sedang berusaha membujuknya.“Bukan begitu Pak."“Terus apa alasan kamu? Karena dia kekurangan fisik?” tanya Haris memastikan. Ia tahu, pasti berat bagi putrinya yang tiba-tiba ditawarkan seorang pria yang kekurangan secara fisik.“Bukan itu juga. Begini Pak, walau Pak Haikal itu kekurangan fisik, apa dia mau sama aku? Janda dua kali ini? Ck, aku rasa perjaka semacam dia, enggan. Pasti mencari perawan,” jelas Amel sembari menggelengkan kepalanya. Ia sadar diri, sebagai seorang janda, tentu tidak percaya diri menikahi seorang pria yang benar-benar baru, belum pernah menikah sama sekali. Apalagi, Haikal cukup tampan dan cerdas. Ah, Amel tidak bisa membayangkan bisa bersanding dengan pria itu.“Anak Bapak juga masih perawan. Apa lagi yang diragukan?” tanya Haris yang memang tahu, putrinya masih perawan. Bukankah Amel tempo hari menceritakan jika Ramdan tidak pernah menyentuhnya
Awalnya Amel hendak melipir dan bersembunyi, walau matanya sudah terlanjur bertemu dengan Wati. Pertemuan ini pasti akan terasa aneh. Amel menghirup nafas dalam-dalam, ia tidak boleh terlihat lemah dihadapan dua orang itu.“Untuk apa aku takut bertemu mereka?” batin Amel. Akhirnya ia memberanikan diri untuk tetap tegap dan berjalan lurus ke depan.“Kamu dari tempat Alvin?” tanya Wati langsung setelah ia berhenti di depan Amel.“Iya. Kalian mau berkujung juga?” tanya Amel dengan wajah ramah, melirik sekilas kepada Ramdan yang tampak canggung. Sedangkan Wati, tersenyum sumir, ketika melihat mantan madunya nampak baik-baik saja.“Mereka memang tampak serasi sebagai suami istri,” batin Amel.Wati menganggukkan kepala, “Apa tidak ada yang aneh? Mantan istri mengunjungi mantan suami. Padahal sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Apalagi, kamu baru saja cerai dari Ramdan, kenapa seolah tidak terjadi apa-apa?” sindir Wati tajam. “Pasti ada sesuatu Jangan bilang, setelah ini kamu akan balikka
Mengingat sang Ayah tersenyum penuh arti. Amel menjadi kepikiran jika pria paruh baya itu benar-benar akan menjodohkannya dengan Bos Konveksi itu. Haikal.Selama packing hijab pesanan pelanggannya pun, Amel masih tidak bisa tenang. Jangan sampai Ayahnya menawarkannya pada Haikal. Mau ditaruh dimana muka ini? batin Amel.Akhirnya, karena kegalauannya, ia memutuskan untuk sekedar refreshing ke cafe. Bersama siapa lagi, jika bukan Tiara. "Gimana kabarmu? aku liat, pipimu baik-baik aja?" tanya Tiara sembari menyeruput Americanonya.Amel tersenyum masam. "Haruskah aku kurus gara-gara cerai?"Tiara tertawa. "Ya nggak lah. Tapi, mengingat dia pria yang sangat kamu kagumi. Apa nggak susah lupainnya?" tanya Tiara. Ia turut bersedih ketika Amel bercerita padanya via telpon bahwa rumah tangga wanita itu dengan Ramdan telah kandas gara-gara ada orang ketiga. Dan parahnya, orang ketiganya telah hamil."Susah. Cuma, kalau ingat dia telah menghamili wanita lain, aku menjadi sedikit, gimana gitu. Ent
Bagi seorang Ayah, akan sangat tidak tega membiarkan putrinya menyimpan luka sendirian. Haris, terus memantau keadaan Amel yang ia tahu, putrinya berusaha terlihat baik-baik saja. Dan Amel, berusaha keras agar Ayahnya percaya.Hari demi hari terlewati, Amel terlihat semakin ceria. Banyak senyum dan tertawa. Tidak ada rona kecewa dan kesedihan di sana. Dan hal itu, membuat Haris justru makin khawatir, takut anaknya menyembunyikan rasa stress yang dialaminya seorang diri.“Rafa! Sarapan!” teriak Amel sambil menggedor-gedor kamar sang adik.Haris yang melihatnya, hanya menatap nanar putrinya. Tidak mungkin, bagi wanita bercerai akan bangkit secepat itu.“Eh Bapak! Ayo makan, kita tinggalin Rafa!” ucap Amel saat ia menolah mendapati sang Ayah yang tengah berdiri dan menatapnya.Haris tersenyum. “Ayo!”Keluarga kecil itu kembali pada rutinitas seperti biasanya. Seperti sebelum Amel di boyong oleh suami ke rumah mertuanya. Pagi-pagi, Amel yang menyajikan berbagai menu makanan. Haris yang me
“Mau kemana kalian?” tanya Melani yang sedang berbincang dengan suaminya. Amel yang masih menitikkan air mata, menyekanya, mengulas senyum namun tidak kuat untuk mengatakan bahwa dia dan Ramdan telah bercerai.“Nak, kenapa kamu membawa koper?” tanya Melani lagi, kini wanita paruh baya itu menghampiri Amel dan Ramdan yang berdiri. “Ramdan, kenapa Amel menangis?” Melani masih terus bertanya. Ramdan menghela nafas.“Kami sudah bercerai Bu,” lirih Ramdan. Amel tersenyum paksa, ia menggenggam tangan Ibu mertuanya yang dingin. Terlihat raut wajah wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu begitu terkejut.“Maafkan Amel Bu,” ujar Amel. “Maaf, karena Amel tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.”“Ramdan, apa yang kamu lakukan pada Amel?” tanya pria paruh baya. Ayahnya Ramdan.Ramdan yang mendapat pertanyaan penuh intimidasi itu menundukkan kepala, tidak berani menatap sang ayah. “Ada apa sebenarnya ini? Kenapa kalian bercerai?” tanya Ayah Ramdan.“Nanti. Aku akan jelaskan. Ayo.” Ramdan mem
Amel tidak kuasa menahan tangis. Ia berteriak dengan cairan bening yang terus menetes."Sama. Laki-laki semuanya sama ketika berbohong," batin Amel walau tidak ia suarakan di hadapan Ramdan. Saat di perjalanan menuju rumah Ramdan. Pria itu tiba-tiba mendapat telpon entah dari siapa."Kenapa nggak diangkat Kak? siapa tau penting," ujar Amel yang penasaran mengapa Ramdan tidak mengangkat."Aku lagi mengemudi, takut nggak fokus, apalagi lagi bawa kamu." Ramdan beralasan.Amel mengangguk saja, ia lebih memilih memejamkan mata. Hingga setelah cukup lama ia di posisi begitu, suara dering telpon, kembali terdengar. Namun, ia tetap berpura-pura tidur."Nanti, aku telpon lagi." Sepertinya Ramdan mengangkat telpon, hanya itu yang terdengar oleh Amel.Sesampainya di rumah. Ramdan menyuruh Amel ke kamar lebih dulu, karena pria itu beralasan akan mengecek sesuatu dulu di mobil. Ada yang tidak beres dalam mesinnya. Amel hanya mengiyakan, walau ia tidak benar-benar pergi dari sana."Kenapa menelpon?
Amel kembali ke kamarnya, menyisir rambutnya dengan tenang. Ketukan pintu membuatnya segera memakai kerudung lagi. Ia tahu, yang akan datang pasti suaminya.“Gimana keadaan kamu?” tanya Ramdan yang langsung berjalan mendekat, lalu memeluk Amel dengan erat dan mengelus punggung wanita itu.“Aku sudah baikkan Kak. Tadi habis di lap sama Ibu. Oh ya, Bapakku katanya udah siuman. Yuk, jenguk ke sana dulu,” ajak Amel dengan senyum mengembang, seolah tidak ada apapun yang terjadi. Ia memang pengecut, coba saja tadi langsung melabrak Wati dan Ramdan, namun, itu hanya khayalan di kepalanya. Menegur mereka, bukanlah pilihan yang tepat sementara ini.Ramdan mengangguk, ia lalu menggandeng tangan Amel. “Rafa sekolah ‘kan?” tanya Amel saat mereka berjalan beriringan di lorong rumah sakit. Ramdan mengangguk.“Awalnya dia mau aku boongin kamu, minta izin nggak sekolah. Tapi karena kamu, aku nggak biarin dia,” ucap Ramdan terkekeh mengingat rayuan Rafa padanya, untuk izin tidak masuk sekolah, namun i
"Sedari kami SMA. Aku mengenal dia dengan sangat baik. Entah mengapa dia tidak mengenalkan aku padamu. Kalau saja kita tidak bertemu secara tidak sengaja di tempat konveksi, mungkin kamu tidak bakal tau tentang hubunganku dengan Alvin," jelas Haikal, lalu menatap ke arah Alvin lagi, ia mengerti wanita disampingnya tidak nyaman ditatap olehnya seperti tadi.Bukan tanpa alasan, hanya saja seorang Haikal merasa heran apa sebenarnya keistimewaan seorang Amelia hingga Alvin mau berkorban untuk wanita yang telah bersuami itu."Kamu mungkin dulu bukan orang yang pantas tahu cerita hidupnya. Tapi, melihat fakta perasaannya padamu saat ini, rasanya kamu harus tahu. Dia anak broken home. Bapaknya menikahi wanita lain, saat Ibunya sakit. Dia menjadi anak yang memberontak, sering kena SP sewaktu SMA. Kamu sudah tau cerita ini?" tanya Haikal. Memastikan, jika Amel belum pernah mendengar cerita tentang Alvin.Amel hanya mengangguk. "Dia akan bercerita pada orang yang ia anggap dekat. Berarti, kamu