"Gimana kabarmu?""Yah, beginilah. Bisa lihat sendiri." Hey! Lagi-lagi beruang kutub itu tertawa. "Ayo, silakan duduk." Dirga mempersilakan. Mereka terlihat akrab. Ada hubungan apa mereka sebenarnya?"Oh? Ini siapa?" Raka baru menyadari keberadaan Dara. Kaget dengan tampilan aneh gadis di ruangan Dirga.Dirga tak menjawab. Justru mengerutkan dahi melihat perubahan dadakan Dara. Yang tadinya seperti gadis tak punya sopan santun, tiba-tiba saja mematung."Saya Raka, rekan kerja Dirga." Dara melirik uluran tangan Raka dan menghentakkan kakinya kesal. Moodnya yang sudah buruk bertambah buruk. Dia keluar dari ruangan Dirga dan membanting kasar pintu ruangan Dirga.Brak!"Ada apa dia?" tanya Raka heran. Gadis yang aneh, pikirnya. Dirga menatap tajam kepergian gadis itu."Biarkan saja," ucapnya datar."Kau minum apa?" tawarnya kemudian. Raka menggeser duduknya. Belum pulih keterkejutannya dari sikap gadis jelek barusan.
"Lo gila! Bukannya kalian terlihat akrab tadi?" Dara menggelengkan kepala mendengar ide Dirga."Apa kau percaya dengan yang terlihat?""Bukannya gitu, tapi gue rasa lo keterlaluan deh."Dirga mendengkus. Membuang pandangan."Jadi kamu pikir disini saya yang jahat bukan?" Rautnya kecewa. Aneh, tapi memang menurut Dara ide Dirga keterlaluan. Apa gak menusuk teman dari belakang namanya."Sepertinya kamu masih menyukai mantanmu itu," celetuk Dirga lagi."Heh! Ngaco. Mana mungkin gue suka sama penghianat itu," gerutunya. Masih teringat sakit hatinya saat tak ada angin tak ada hujan cowok itu mengirim undangan pernikahan. Padahal sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja. "Lalu, kenapa kamu membelanya?""Hish! Gue gak belain. Cuma ngerasa aneh aja. Bisa ya di depan sok akrab tapi di belakang nusuk. Gak habis thinking deh.""Namanya juga dunia bisnis. Sebelum ditusuk, lebih baik menusuk duluan. Lagian apa kamu percaya dia baik seperti yan
"Kau, pelajari berkas ini." Dirga menyerahkan setumpuk kertas diatas ranjang Dara. "Buat apa?" tanya Dara mendongak heran. Lalu beralih ke tumpukan kertas itu. Melihatnya saja kepalanya sudah puyeng. Selama ini basicnya kan dunia make over, kenapa malah dikasih tumpukan kertas."Kau yang akan menjadi wakilku untuk kerjasama dengan perusahaan Raka.""What! L-lo gak salah? G-gue?" telunjuknya menunjuk dirinya sendiri. Dirga mengangguk."Kau tak lupa kan dengan kesepakatan kita tadi siang?"Wajah Dara memerah. Ya, dia ingat. Upaya balas dendamnya dengan Raka kan? Membuat pria itu luluh padanya, menghancurkannya, lalu meninggalkannya. Dara mendengkus pelan."Aku sengaja, supaya kamu lebih mudah mendekati Raka. Dan mulai besok, dandananmu juga rubah. Aku sudah menghubungi Beauty and Care salon supaya merubah tampilanmu." Mata Dara makin melotot. Beauty and Care, lah itu mah salonnya sendiri. Aneh sih."L-lo... arh! Kenapa lo mutusin sendir
mengacungkan jempolnya pada Nana. Kembali mematut wajah barunya di cermin. Dalam satu kehidupan saja, dia punya tiga wajah coba."Makasih, Mbak. Huft, deg-degan saya." Dia mengurut dadanya pelan."Gak usah khawatir. Lo pura-pura aja gak kenal gue. Lagian gue gak yakin kalau dia ingat lo yang make up in gue di nikahan itu. Dan bilang aja, namanya juga ekperimen wajah baru, harus cari model yang sesuai. Ntar kalau beruang itu marah-marah, biar gue yang tanganin."Nana mengangguk."Iya, Mbak. Makasih."Dara tersenyum tipis. "Sudah, keluar saja. Gue mau ganti baju." Nana mengangguk. Beranjak keluar. Dara mengambil dress peach yang terlihat lembut di kulitnya. Menarik napas panjang. Apa benar dia kuat menghadapi Raka nanti. Hah! Sudahlah, tinggal jalanin saja. Lagian dia juga ingin membuat pria itu merasakan sakit hatinya dulu. Enak aja ninggalin gitu aja. Dia juga bisa kali.Tak lama, Dara selesai dengan acara dandannya. Sempurna. Dia rasa Raka tak
"Cepet banget ya, akrabnya," tukas Dirga. Rautnya kesal. Gimana enggak, di restoran tadi dia benar-benar didiamkan seolah-olah tak dianggap kehadirannya. Ya benar sih tujuannya mendekatkan Dara dengan Raka, tapi gak harus dengan mengabaikannya gitu aja. Mana mata Raka tadi menyorotkan hal lain. Menatapi tubuh Dara dengan seringai nakalnya. Entah gadis itu sebenarnya menyadari atau tidak. Tapi ekspresinya santai sekali.Lihatlah, dia yang kembali berpenampilan jelek itu kini dengan santainya melahap buah anggur. "Ya iyalah. Namanya juga aslinya dah kenal. Mantan lagi," sahutnya cuek. Buah anggur ini lebih membuatnya tertarik daripada sindiran Dirga."Kamu masih cinta kan sama dia?" selidiknya. Dara merotasikan bola matanya malas. "Lo kenapa sih? Gue cinta atau gak kan bukan urusan lo. Aneh," decisnya sebal. Mengambil buah anggur lagi. Ayolah, ini lebih enak daripada ocehan unfaedah cowok itu."Ku harap kamu tidak lupa dengan tujuan awal kita. Aku tidak ingin bekerja sama dengan pengh
"Eh, awas!""Awww!" pekiknya reflek memegang dahinya. Nyeri dan sakit jadi satu. "Hikks... huwaaa... dahiku!" tangisnya terduduk sembari memegangi dahinya yang rasanya nyut-nyutan. Dengan sigap Dirga menghampirinya, berjongkok. Rautnya khawatir."Sakit ya?""Iyalah bego! Huwaa... benjol ini pasti..."Dirga kebingungan. Tangannya terulur ingin menyentuhnya, tapi ditepis Dara."Sakit. Hiks... hiks.. jangan dipegang.""Terus gimana?" Dirga berucap frustasi. Tangis Dara malah semakin kencang. "Heh! Gimana? Gue harus gimana?" "Tahulah, gak peka. Sakit ini. Huwaa... huwaa..."Dirga berlari keluar."Suruh Joko beli salep atau handsaplast. Cepetan!"Karyawan yang diluar kebingungan. Dirga kembali lagi ke dalam."Dah, jangan nangis. Udah gue pesenin."Tangis Dara bukannya reda tapi tetap saja kencang. Dahinya yang memerah perlahan terlihat benjol. Dirga meringis, rasa paniknya berubah jadi ingin ketawa.Tak lama Joko datang tergesa. Bingung melihat Dara yang berjongkok menangis."Ini pak,"
Nyeri di dahinya tak lagi terasa, cuma kadang-kadang nyut-nyutan sih. Apalagi kalau dipencet. Tapi mendingan lah daripada tadi siang. Meski resikonya dahinya benjol."Ra! Cepetan!" Terdengar teriakan dari luar. Siapa lagi kalau bukan Dirga. Tadi cowok itu memesan makanan dari luar. Lagi malas masak katanya."Iya! Sabar kenapa sih!" gerutu Dara. Merapikan make upnya, terutama bagian dahi dengan hati-hati. Setelah yakin dengan penampilan wajahnya, barulah dia beranjak keluar. Tak perlu memeriksa penampilan bajunya. Pakai baju asal juga tak masalah.Dirga menatapinya kesal. Di meja sudah terhidang dua kotak makanan. Entah apa isinya."Lama sekali sih," tukasnya. Dara tak menyahut. Duduk di sofa dengan kaki bersila. Menarik satu kotak makanan."Apaan nih?" ucapnya, mengabaikan pernyataan Dirga."Bisa lihat kan? Tinggal dibuka, dan see... mata masih normal?" tunjuk Dirga pada kotak makanan miliknya yang dia buka. Dara mendengkus. Ya tahu, tapi dia kan cuma basa basi. Perutnya lapar. Jadi
Chup.Benda kenyal nan lembut mendarat sukses di dahinya. Cukup lama dan itu membuat Dara terkejut. Sejenak dia terpaku dan bungkam."Nah, sudah. Sana pergi istirahat.""L-lo?"Dirga tersenyum, bukan senyum datar atau sinis seperti biasa. Tapi senyum itu sangat manis. Membelai lembut rambut panjang Dara yang dibiarkan tergerai."Aku memang tak bisa mengobati sakitnya. Aku minta maaf."Dara masih mengerjap-ngerjapkan matanya. Astaga, kesambet apa cowok ini? Tiba-tiba bahu Dara bergidik ngeri."Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Dirga mengernyit."Lo aneh. Jangan-jangan kesambet ya?"Yah! Apa yang dipikirkan gadis itu? Raut Dirga berubah lagi. Mendengkus kesal."Sudah sana. Ke kamar!" Suaranya meninggi, membuang pandangan sebal. Tanpa diaba pun Dara ngacir ke kamar. Dirga menyandarkan badannya di sandaran sofa. Meraup wajahnya kasar. "Padahal aku cuma ingin mengurangi sakit di dahinya. Tapi dia malah mengataiku kesambet. Memangnya salah? Dasar gadis tak tahu terimakasih," gerutunya.