"Cepet banget ya, akrabnya," tukas Dirga. Rautnya kesal. Gimana enggak, di restoran tadi dia benar-benar didiamkan seolah-olah tak dianggap kehadirannya. Ya benar sih tujuannya mendekatkan Dara dengan Raka, tapi gak harus dengan mengabaikannya gitu aja. Mana mata Raka tadi menyorotkan hal lain. Menatapi tubuh Dara dengan seringai nakalnya. Entah gadis itu sebenarnya menyadari atau tidak. Tapi ekspresinya santai sekali.Lihatlah, dia yang kembali berpenampilan jelek itu kini dengan santainya melahap buah anggur. "Ya iyalah. Namanya juga aslinya dah kenal. Mantan lagi," sahutnya cuek. Buah anggur ini lebih membuatnya tertarik daripada sindiran Dirga."Kamu masih cinta kan sama dia?" selidiknya. Dara merotasikan bola matanya malas. "Lo kenapa sih? Gue cinta atau gak kan bukan urusan lo. Aneh," decisnya sebal. Mengambil buah anggur lagi. Ayolah, ini lebih enak daripada ocehan unfaedah cowok itu."Ku harap kamu tidak lupa dengan tujuan awal kita. Aku tidak ingin bekerja sama dengan pengh
"Eh, awas!""Awww!" pekiknya reflek memegang dahinya. Nyeri dan sakit jadi satu. "Hikks... huwaaa... dahiku!" tangisnya terduduk sembari memegangi dahinya yang rasanya nyut-nyutan. Dengan sigap Dirga menghampirinya, berjongkok. Rautnya khawatir."Sakit ya?""Iyalah bego! Huwaa... benjol ini pasti..."Dirga kebingungan. Tangannya terulur ingin menyentuhnya, tapi ditepis Dara."Sakit. Hiks... hiks.. jangan dipegang.""Terus gimana?" Dirga berucap frustasi. Tangis Dara malah semakin kencang. "Heh! Gimana? Gue harus gimana?" "Tahulah, gak peka. Sakit ini. Huwaa... huwaa..."Dirga berlari keluar."Suruh Joko beli salep atau handsaplast. Cepetan!"Karyawan yang diluar kebingungan. Dirga kembali lagi ke dalam."Dah, jangan nangis. Udah gue pesenin."Tangis Dara bukannya reda tapi tetap saja kencang. Dahinya yang memerah perlahan terlihat benjol. Dirga meringis, rasa paniknya berubah jadi ingin ketawa.Tak lama Joko datang tergesa. Bingung melihat Dara yang berjongkok menangis."Ini pak,"
Nyeri di dahinya tak lagi terasa, cuma kadang-kadang nyut-nyutan sih. Apalagi kalau dipencet. Tapi mendingan lah daripada tadi siang. Meski resikonya dahinya benjol."Ra! Cepetan!" Terdengar teriakan dari luar. Siapa lagi kalau bukan Dirga. Tadi cowok itu memesan makanan dari luar. Lagi malas masak katanya."Iya! Sabar kenapa sih!" gerutu Dara. Merapikan make upnya, terutama bagian dahi dengan hati-hati. Setelah yakin dengan penampilan wajahnya, barulah dia beranjak keluar. Tak perlu memeriksa penampilan bajunya. Pakai baju asal juga tak masalah.Dirga menatapinya kesal. Di meja sudah terhidang dua kotak makanan. Entah apa isinya."Lama sekali sih," tukasnya. Dara tak menyahut. Duduk di sofa dengan kaki bersila. Menarik satu kotak makanan."Apaan nih?" ucapnya, mengabaikan pernyataan Dirga."Bisa lihat kan? Tinggal dibuka, dan see... mata masih normal?" tunjuk Dirga pada kotak makanan miliknya yang dia buka. Dara mendengkus. Ya tahu, tapi dia kan cuma basa basi. Perutnya lapar. Jadi
Chup.Benda kenyal nan lembut mendarat sukses di dahinya. Cukup lama dan itu membuat Dara terkejut. Sejenak dia terpaku dan bungkam."Nah, sudah. Sana pergi istirahat.""L-lo?"Dirga tersenyum, bukan senyum datar atau sinis seperti biasa. Tapi senyum itu sangat manis. Membelai lembut rambut panjang Dara yang dibiarkan tergerai."Aku memang tak bisa mengobati sakitnya. Aku minta maaf."Dara masih mengerjap-ngerjapkan matanya. Astaga, kesambet apa cowok ini? Tiba-tiba bahu Dara bergidik ngeri."Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Dirga mengernyit."Lo aneh. Jangan-jangan kesambet ya?"Yah! Apa yang dipikirkan gadis itu? Raut Dirga berubah lagi. Mendengkus kesal."Sudah sana. Ke kamar!" Suaranya meninggi, membuang pandangan sebal. Tanpa diaba pun Dara ngacir ke kamar. Dirga menyandarkan badannya di sandaran sofa. Meraup wajahnya kasar. "Padahal aku cuma ingin mengurangi sakit di dahinya. Tapi dia malah mengataiku kesambet. Memangnya salah? Dasar gadis tak tahu terimakasih," gerutunya.
"Dirga!"Tawa Dara terhenti. Pandangannya langsung tertuju pada perempuan yang baru saja masuk. Bola matanya hampir keluar saking lebarnya mata itu membulat. Bukannya dia... Dara melihat Dirga, reaksi cowok itu juga sama terkejutnya. Namun tak berselang lama, biasalah. Jiwa-jiwa kulkasnya keluar.Kini pandangannya beralih lagi ke wanita itu. "Ada apa, Ta?"Dita, wanita itu tersenyum tipis, dahinya berkerut dengan tatapan selidik pada Dara. Tentu saja dia sudah pernah melihat wanita jelek ini."Ngapain kamu sama cewek jelek ini?" tukas Dita. Dikata jelek, Dara tak terima dong. Mendidih telinganya mendengar wanita yang menabraknya waktu itu mengatainya jelek."Eh, sembarangan kalau ngomong. Lo itu yang jelek," sambarnya kesal. Dita mendecih, tersenyum sinis. Menatapi Dara dari atas sampai bawah. Tersenyum mengejek."Tidak sadar dirikah? Butuh cermin?" ujarnya menyilangkan tangannya di depan dada."Lo itu yang butuh cermin.
"Jadi, Dara ini...""Saudara kamu? Masak sih? Gak percaya deh. Secara kamu tampan, Arini juga cantik. Masak yang ini kayak..." matanya menyipit julid. "Gue istri Dirga, bego!" sambar Dara. Lama-lama kesel juga dia sama wanita satu ini."Hah? I-istri?" Dita menoleh ke Dirga. Tapi pria itu diam saja."Gak! Gak mungkin. Dirga gak sebodoh itu nikah sama kamu. Pasti kamu jebak dia kan? Apa? Kamu kasih obat apa sama Dirga? Sialan!"Dara merotasikan bola matanya malas."Eist.. kalau ngomong dijaga dong. Enak aja jebak. Gak jaman banget. Basi tahu.""Halah! Gak mungkin tiba-tiba Dirga nikah sama kamu yang mukanya aja mirip pantat panci."Dara menghentikan kunyahannya. Sialan. Wajah cantik dia disamakan dengan pantat panci. Gak ada akhlak memang. "Ga, baku hantam boleh kan?" tolehnya pada Dirga. Emosi dia. Dirga menghela napas. Sedari tadi dia tak bersuara. Masih bingung untuk menjelaskan pada Dita. Karena dia tahu, Dita tak semudah itu percaya
Hari-hari seterusnya, sepertinya Dara harus menahan emosinya lebih kuat. Bukannya berhenti, justru itensitas kedatangan Dita di kantor Dirga makin sering. Mana manja banget lagi. Dirga juga, santai saja dengan mantannya itu. Padahal kalau ditilik dari kisahnya, Dara geregetan sendiri. Wanita itu yang ninggalin lebih dulu, dia juga tak tahu malu kembali mendekati Dirga. Cuih! Sama menyebalkannya dengan Raka.Seperti hari ini, lagi-lagi Dita ke ruangan Dirga, menganggu kenyamanannya yang sedang rebahan di ruang istirahat Dirga. Rupanya wanita itu membawakan bekal untuk Dirga. Dari dalam, dia dengar gadis itu dengan sok imutnya mengatakan membuatkan makanan khusus favorit Dirga waktu mereka masih pacaran. Emang apaan sih makanan favorit Dirga? Kan dia jadi penasaran kalau begini.Sebisa mungkin kembali tertidur, tapi suara cempreng wanita itu membuat kantuknya lenyap tak berbekas. Berganti rasa jengkel yang amat sangat. Karena kesal, akhirnya Dara memutuskan untuk keluar s
Begitu melihat Dirga, tangis Dara malah pecah."Hhuu... huwaaa..."Nah, kan... Dirga jadi tambah bingung. Demi melihat tangan Dara yang kena pisau, dengan sigap Dirga mengemut jari mungil itu."Hiks... hiks... perih," rintih Dara."Cup... cup... ini juga lagi berhentiin darahnya," tukas Dirga mengemut jari Dara lagi."Hiks... hiks... emang gak jijik?" Air matanya mengalir terus. Selain perih, pedas juga mata. Dirga tak menjawab. Menyesap jari Dara dan meludah di wastafel. Begitu terus sampai tangis Dara henti dengan sendirinya. Hanya menyisakan isakan kecil."Tunggu," ujar Dirga dan setengah berlari keluar. Tak lama dia kembali lagi dengan membawa handsaplas. Sisa untuk benjol di dahi Dara waktu itu. Dengan hati-hati dia tempelkan di jari telunjuk Dara yang terluka."Kok bisa terkena pisau, bagaimana ceritanya?"Dengan sesegukan, Dara menjawab."Ya kan aku ngirisnya sambil merem."Gubrak. Dirga menghela napas tak perca