"Jadi, Dara ini..."
"Saudara kamu? Masak sih? Gak percaya deh. Secara kamu tampan, Arini juga cantik. Masak yang ini kayak..." matanya menyipit julid."Gue istri Dirga, bego!" sambar Dara. Lama-lama kesel juga dia sama wanita satu ini."Hah? I-istri?" Dita menoleh ke Dirga. Tapi pria itu diam saja."Gak! Gak mungkin. Dirga gak sebodoh itu nikah sama kamu. Pasti kamu jebak dia kan? Apa? Kamu kasih obat apa sama Dirga? Sialan!"Dara merotasikan bola matanya malas."Eist.. kalau ngomong dijaga dong. Enak aja jebak. Gak jaman banget. Basi tahu.""Halah! Gak mungkin tiba-tiba Dirga nikah sama kamu yang mukanya aja mirip pantat panci."Dara menghentikan kunyahannya. Sialan. Wajah cantik dia disamakan dengan pantat panci. Gak ada akhlak memang."Ga, baku hantam boleh kan?" tolehnya pada Dirga. Emosi dia.Dirga menghela napas. Sedari tadi dia tak bersuara. Masih bingung untuk menjelaskan pada Dita. Karena dia tahu, Dita tak semudah itu percayaHari-hari seterusnya, sepertinya Dara harus menahan emosinya lebih kuat. Bukannya berhenti, justru itensitas kedatangan Dita di kantor Dirga makin sering. Mana manja banget lagi. Dirga juga, santai saja dengan mantannya itu. Padahal kalau ditilik dari kisahnya, Dara geregetan sendiri. Wanita itu yang ninggalin lebih dulu, dia juga tak tahu malu kembali mendekati Dirga. Cuih! Sama menyebalkannya dengan Raka.Seperti hari ini, lagi-lagi Dita ke ruangan Dirga, menganggu kenyamanannya yang sedang rebahan di ruang istirahat Dirga. Rupanya wanita itu membawakan bekal untuk Dirga. Dari dalam, dia dengar gadis itu dengan sok imutnya mengatakan membuatkan makanan khusus favorit Dirga waktu mereka masih pacaran. Emang apaan sih makanan favorit Dirga? Kan dia jadi penasaran kalau begini.Sebisa mungkin kembali tertidur, tapi suara cempreng wanita itu membuat kantuknya lenyap tak berbekas. Berganti rasa jengkel yang amat sangat. Karena kesal, akhirnya Dara memutuskan untuk keluar s
Begitu melihat Dirga, tangis Dara malah pecah."Hhuu... huwaaa..."Nah, kan... Dirga jadi tambah bingung. Demi melihat tangan Dara yang kena pisau, dengan sigap Dirga mengemut jari mungil itu."Hiks... hiks... perih," rintih Dara."Cup... cup... ini juga lagi berhentiin darahnya," tukas Dirga mengemut jari Dara lagi."Hiks... hiks... emang gak jijik?" Air matanya mengalir terus. Selain perih, pedas juga mata. Dirga tak menjawab. Menyesap jari Dara dan meludah di wastafel. Begitu terus sampai tangis Dara henti dengan sendirinya. Hanya menyisakan isakan kecil."Tunggu," ujar Dirga dan setengah berlari keluar. Tak lama dia kembali lagi dengan membawa handsaplas. Sisa untuk benjol di dahi Dara waktu itu. Dengan hati-hati dia tempelkan di jari telunjuk Dara yang terluka."Kok bisa terkena pisau, bagaimana ceritanya?"Dengan sesegukan, Dara menjawab."Ya kan aku ngirisnya sambil merem."Gubrak. Dirga menghela napas tak perca
"Siapa kamu?" tatapannya galak."Tante...""Tonta tante... tonta tante... aku bukan tantemu. Siapa kamu? Selingkuhan Dirga? Ah, gak mungkin selera Dirga serendah ini. Kamu pasti godaain anak saya kan? Kamu mau hancurin rumah tangga anak saya, hah!"Dara kebingungan. Galak banget mamanya Dirga ternyata. Matanya melotot seperti hampir keluar. Tak lupa tangan berkacak pinggang. Serem juga yak."Tante, saya bisa jelasin...""Jelasin apa. Ini lagi, Dirga mana. Dirgaaa!"Duh, gawat. Kalau sampai mamanya Dirga ngomel-ngomel dan tak mengenali dirinya, bisa ketahuan dong penyamarannya."Tante... ini Dara, Tan," ucapnya panik. Sesekali menoleh ke arah kamar Dirga. Semoga pria itu gak denger."Hah? Jangan bohong kamu. Dara itu cantik. Gak kayak kamu. Ngarang. Anak itu mana lagi. Dirga... Ga! Keluar kamu!"Mama Dirga melenggang masuk. Duh, gawat."Tante! Ini bener Dara. Dara mohon,percaya dong sama Dara," ucapnya duduk b
Dirga menyerahkan plastik berisi resep obat yang dia beli banyak. Karena kan gak tahu yang mana yang harus dia beli."Kamu jagain Dara bentar. Mama mau hangatin bubur jamur tadi."Dirga mengangguk. Memang mama Windi tadi membawa bubur jamur kesukaan Dirga. Berhubung kaget melihat rupa Dara, sampai lupa sup itu masih di ruang tamu.Dirga beranjak duduk di tepi ranjang. Dara buru-buru merebahkan dirinya. Memasang wajah lesunya. Duh, bisa gawat kan kalau sampai Dirga tahu, dia cuma pura-pura tadi."Harusnya kamu tadi gak usah masak."Tangan Dirga terulur hendak mengusap rambut Dara, tapi terhenti. Dan dia urungkan kembali."G-gue yang pengen. Lagian cuma pusing bentar kok," jawabnya lirih. Sesekali batuk-batuk biar kelihatan lagi sakit."Iya, tapi kan kamu jadi sakit gini.""Gak papa."Dirga menghela napas pelan."Terus Raka bagaimana?""Astaga!" pekiknya reflek terbangun dari baringnya membuat Dirga terjengkit kaget.
Sepanjang hari ini Dara uring-uringan. Apalagi masalahnya kalau bukan karena tadi malam. Lebih memalukan lagi dia bangunnya kesiangan. Alias lebih dulu Dirga yang bangun. Dara membuka mata dan mendapati Dirga sedang bersiap di depan cermin sedang memakai dasinya. Senyum miring pria itu menandakan mengejek dirinya. "Nenek gayung sudah bangun rupanya..."Duh! Kalau tak ingat ada mama disini sudah dipastikan habislah Dirga dia hajar. Bersungut-sungut dia keluar dari kamar. Sialnya malah papasan sama mama yang sedang menata makanan di meja."Oh, sudah bangun sayang?"Dara tersenyum tipis, sekaligus malu."Bagaimana tadi malam? Nyenyak kan tidurmu?"Benar, kok bisa ya dia senyenyak itu. Rasanya hangat aja gitu. Nyaman."Eee....mmm...""Ya sudah, mandilah. Lihat tuh tompelmu hampir jatuh."Reflek Dara memegang tompel di pipinya. Astaga, bagaimana kalau sampai Dirga mengetahuinya? Dara langsung ngacir ke kamar.
Dirga menatap mereka bergantian. Menghela napas panjang. Kepalanya pening. Sebelumnya dia tidak pusing masalah wanita, tapi semenjak ada Dara, semua berubah, rusuh.Dara membelai tompelnya, takut terjatuh. Tak tahulah penampilannya sekarang seperti apa. Dia melirik si ular buntung menyebalkan itu. Menangis-nangis sembali melihat wajahnya di cermin kecil miliknya."Huwaa... wajahku, rambutku, berantakan. Semua gara-gara pantat panci! Huwaa!"Dara mencibir. Padahal yang mulai ngajak gelud siapa. Kepalanya juga perih dan panas. Berdenyut-denyut rasanya. Iyalah, bayangin habis jambak-jambakan. Mana cewek uler itu menjambaknya sekuat tenaga lagi."Kalian kenapa sih? Tidak bisa ya sebentar saja akur?""Gak bisa!" Dara dan Dita saling pandang. Mendecih dan membuang pandangan lagi.Dirga menghela napas. Pusing."Baru juga disuruh baikan sudah adu mata lagi," keluh Dirga. Dita dan Dara melirik tanda permusuhan."Jadi kalian m
"Dara---""Iih, kamu kan tahu, aku gak suka duduk di pojok. Kalau dia mau ya biar dia pindah. Kalau gak ya serah," liriknya pada Dara yang tak acuh. Terdengar desah pelan Dirga."Ra, pindah," tukasnya."Gue pengennya disini. Kalau kalian mau berduaan disitu ya bodo amat," jawabnya cuek. "Baiklah."Dirga duduk di tempat yang dipilih Dita. Melihatnya Dara mencibir dalam hati."Bilang aja belum move on dari mantan. Dasar lemah."Dirga tak mendengarnya apalagi memperhatikannya. Pemuda itu duduk membelakangi dirinya. Tentu saja itu ulah Dita yang sengaja mengambil tempat duduk berhadapan dengan Dara. Jadi mau tak mau posisi Dirga sekarang membelakangi wanita yang seharusnya lebih berhak untuk dia temani, karna Dara adalah istrinya. Dara memainkan ponselnya, membalas pesan dari teman-teman sejawatnya. Menanyakan ketidak hadirannya selama ini. Yups. Benar saja, Dara bagai menghilang di belahan bumi lain semenjak menikah. Tak mungkin kan dia pamerkan w
Langkah gontai membawa Dirga kembali ke apartemennya. Wajah kusut, penampilan berantakan dengan kemeja terbuka dua kancing atasnya. Tak lupa dasi miring ke kanan. Sementara jasnya tersampir di pundak kirinya. Menghela napas pelan sebelum menekan tombol password apartemennya.Gelap. Lampu belum dinyalakan. Berarti gadis itu belum kembali juga. Dirga menekan saklar lampu dan bergegas memeriksa kamar Dara. Gadis itu benar tak ada."Haish! Menyusahkan saja. Pergi tidak pamit dulu. Dia pikir aku ini apa?" gerutunya. Setengah harian tadi moodnya berubah kesal. Tentu saja itu diakibatkan karena Dara tak memberinya kabar sama sekali. Alias mengabaikannya. Padahal dirinya sudah mutar muter mencari keberadaan gadis itu. Khawatir. Bukan karena sayang loh ya, tapi lebih ke ...Nanti kalau hilang gimana coba? Yang disalahin mamanya dan mama mertua kan pasti dirinya."Awas saja kalau nanti pulang, huh. Gadis nakal."-----------Semen