Sepanjang hari ini Dara uring-uringan. Apalagi masalahnya kalau bukan karena tadi malam. Lebih memalukan lagi dia bangunnya kesiangan. Alias lebih dulu Dirga yang bangun. Dara membuka mata dan mendapati Dirga sedang bersiap di depan cermin sedang memakai dasinya. Senyum miring pria itu menandakan mengejek dirinya.
"Nenek gayung sudah bangun rupanya..."Duh! Kalau tak ingat ada mama disini sudah dipastikan habislah Dirga dia hajar.Bersungut-sungut dia keluar dari kamar. Sialnya malah papasan sama mama yang sedang menata makanan di meja."Oh, sudah bangun sayang?"Dara tersenyum tipis, sekaligus malu."Bagaimana tadi malam? Nyenyak kan tidurmu?"Benar, kok bisa ya dia senyenyak itu. Rasanya hangat aja gitu. Nyaman."Eee....mmm...""Ya sudah, mandilah. Lihat tuh tompelmu hampir jatuh."Reflek Dara memegang tompel di pipinya. Astaga, bagaimana kalau sampai Dirga mengetahuinya? Dara langsung ngacir ke kamar.Dirga menatap mereka bergantian. Menghela napas panjang. Kepalanya pening. Sebelumnya dia tidak pusing masalah wanita, tapi semenjak ada Dara, semua berubah, rusuh.Dara membelai tompelnya, takut terjatuh. Tak tahulah penampilannya sekarang seperti apa. Dia melirik si ular buntung menyebalkan itu. Menangis-nangis sembali melihat wajahnya di cermin kecil miliknya."Huwaa... wajahku, rambutku, berantakan. Semua gara-gara pantat panci! Huwaa!"Dara mencibir. Padahal yang mulai ngajak gelud siapa. Kepalanya juga perih dan panas. Berdenyut-denyut rasanya. Iyalah, bayangin habis jambak-jambakan. Mana cewek uler itu menjambaknya sekuat tenaga lagi."Kalian kenapa sih? Tidak bisa ya sebentar saja akur?""Gak bisa!" Dara dan Dita saling pandang. Mendecih dan membuang pandangan lagi.Dirga menghela napas. Pusing."Baru juga disuruh baikan sudah adu mata lagi," keluh Dirga. Dita dan Dara melirik tanda permusuhan."Jadi kalian m
"Dara---""Iih, kamu kan tahu, aku gak suka duduk di pojok. Kalau dia mau ya biar dia pindah. Kalau gak ya serah," liriknya pada Dara yang tak acuh. Terdengar desah pelan Dirga."Ra, pindah," tukasnya."Gue pengennya disini. Kalau kalian mau berduaan disitu ya bodo amat," jawabnya cuek. "Baiklah."Dirga duduk di tempat yang dipilih Dita. Melihatnya Dara mencibir dalam hati."Bilang aja belum move on dari mantan. Dasar lemah."Dirga tak mendengarnya apalagi memperhatikannya. Pemuda itu duduk membelakangi dirinya. Tentu saja itu ulah Dita yang sengaja mengambil tempat duduk berhadapan dengan Dara. Jadi mau tak mau posisi Dirga sekarang membelakangi wanita yang seharusnya lebih berhak untuk dia temani, karna Dara adalah istrinya. Dara memainkan ponselnya, membalas pesan dari teman-teman sejawatnya. Menanyakan ketidak hadirannya selama ini. Yups. Benar saja, Dara bagai menghilang di belahan bumi lain semenjak menikah. Tak mungkin kan dia pamerkan w
Langkah gontai membawa Dirga kembali ke apartemennya. Wajah kusut, penampilan berantakan dengan kemeja terbuka dua kancing atasnya. Tak lupa dasi miring ke kanan. Sementara jasnya tersampir di pundak kirinya. Menghela napas pelan sebelum menekan tombol password apartemennya.Gelap. Lampu belum dinyalakan. Berarti gadis itu belum kembali juga. Dirga menekan saklar lampu dan bergegas memeriksa kamar Dara. Gadis itu benar tak ada."Haish! Menyusahkan saja. Pergi tidak pamit dulu. Dia pikir aku ini apa?" gerutunya. Setengah harian tadi moodnya berubah kesal. Tentu saja itu diakibatkan karena Dara tak memberinya kabar sama sekali. Alias mengabaikannya. Padahal dirinya sudah mutar muter mencari keberadaan gadis itu. Khawatir. Bukan karena sayang loh ya, tapi lebih ke ...Nanti kalau hilang gimana coba? Yang disalahin mamanya dan mama mertua kan pasti dirinya."Awas saja kalau nanti pulang, huh. Gadis nakal."-----------Semen
"Kenapa? Apa kamu cemburu?"Wait! Cemburu? Dara sontak menoleh. Menatap wajah yang kini menampilkan evil smirknya."Haish! Yang benar saja. Ngapain juga gue cemburu sama kalian. Gak jelas banget," rutuknya. Dirga terkekeh. Mencolek pucuk hidung Dara yang langsung ditepis gadis itu."Sudahlah, mengaku saja. Aku tahu, kalian tadi bertengkar karena memperebutkan aku kan?" ucapnya sembari menaik turunkan alisnya.Sial! Bagaimana dia tahu? Wajah Dara memerah."Pede. I-itu cuma buat nangkis si uler biar sadar diri kali. Terpaksa gue ngakuin lo suami gue. Mana mungkin. Lo bukan standar gue kali."Dirga malah tertawa. Mundur dua langkah dan berbalik, lalu duduk di atas ranjang seperti posisi awal tadi."Ternyata rasa percaya dirimu besar juga ya?" ucapnya menyeringai. Menelisik wajah di depannya. Terkekeh pelan yang malah mirip mengejek."Gak pede gak hidup. Sana minggir. Balik ke kamar lo. Capek-capek malah dibikin jan
Dirga menghentakkan tangannya, maksudnya supaya Dara mengambilnya. Ragu-ragu Dara meraihnya. Menggigit bibir bawahnya. Ayolah, dia bingung untuk memulainya. Tahu diri, Dirga agak membungkukkan wajahnya. Hingga kini wajahnya tepat berada di depan Dara. Menatapi gadis itu tepat di irisnya. Dengan gugup, Dara mengalungkan dasi itu ke kerah kemeja Dirga. Deru napas Dirga yang terasa menerpa wajahnya membuatnya semakin gugup. Kenapa lagi-lagi mereka tak berjarak seperti ini. Memalingkan wajah, itu tak mungkin. Bisa-bisa dia salah mengikat dan berakibat mencekik Dirga. Eh, sejak kapan dia peduli?Seharusnya tak perlu selama ini hanya untuk mengikatkan dasi. Tapi berhubung jantung dan tangannya tak bisa diajak kompromi jadinya lebih lama. Mana tangannya sedikit bergetar. Aneh."S-selesai. Sudah, sana."Dara mendorong dada Dirga supaya menjauh. Pria itu terkekeh pelan, menahannya sehingga sedikitpun posisinya tak tergeser. Dara makin kesal dibuatnya."Apalagi sih. Sudah bere
Tenang saja. Pekikan itu hanya terlontar dalam hati Dara saja. Pada kenyataannya gadis itu memang kaget. Tapi menetralkannya dan terlihat biasa saja. Berbanding terbalik dengan Dita yang malah menatapinya kagum."Wow! Anda Dara Prasdita Hanindya bukan?"Dara tersenyum. Rupanya wanita ular itu mengenalinya. "Benar, saya Dara. Dan ini salon saya."Hilangkan sementara tingkah bar-barmu, Ra. Sedikit bermain-main dengan wanita ular itu dirasa cukup seru juga. Nana melongo, dia mulai menebak-nebak apa yang telah terjadi. Dara memberinya isyarat lewat kerdipan mata."Wah, saya tidak menyangka kalau ini adalah salon anda. Pantas saja pelayanannya bagus, hasilnya juga memuaskan," puji Dita."Ya, memang benar. Kualitas dan pelayanan adalah nomor satu di salon saya. Kepuasan pelanggan adalah prioritas." Tangan Dara bersidekap dengan senyum tersungging. Bukan angkuh, tapi lebih condong ke anggun. Bayangkan saja, seorang Dara terdeteksi tak lagi bar-bar. Hmm, m
Tak butuh waktu lama, Dara selesai mandi. Memoles wajah yang padahal tadi baru saja mendapat perawatan. Tak apa, yang penting perut kenyang. Diraihnya ponselnya. Ada tujuh panggilan dari Dirga. Dara menekan panggil ulang."Kemana saja? Taksinya sudah datang.""Heee. Baru mandi gue.""Apa?""Eiits... maksudnya tadi masih mandi. Sekarang sudah siap kok.""Ya sudah. Cepat turun. Kasihan taksinya nunggu kamu.""Hmm."Tanpa basa basi, Dirga mematikan panggilan. Dara tak protes, cepat-cepat dia berlari keluar. Benar saja, ada taksi yang berhenti di depan."Mbak Dara kan?"Dara mengangguk. Langsung masuk taksi."Let's go, Pak."Supir itu tertawa kecil. Mengacungkan jempolnya dan melajukan mobilnya.-------"Meja nomor tujuh. Dekat tiang di tengah."Dara mengedarkan pandangannya mencari tempat yang dimaksud. Meja nomor tujuh, bagian tengah. Matanya menangkap Dita yang sedang tertawa-tawa pada pemuda yang memunggungi Dara
Pagi.Dara merasakan tidak nyaman dalam tidurnya. Perlahan dia membuka matanya. Asing. Ini bukan kamarnya. Dia menggeliat pelan. Aneh, tubuhnya terasa sakit dan pegal semua. Kepalanya pun sedikit pusing. Aroma maskulin tercium oleh cuping hidungnya."Sshhh... gue dimana sih?" keluhnya. Dara beringsut hendak turun. Matanya membulat begitu menyingkap selimut dan melihat kaos yang dia kenakan bukan miliknya."I-ini kan...""Sudah bangun?"Dara sontak menoleh. Dirga yang berdiri membelakanginya menghadap jendela."A-apa yang terjadi? Ki-kita gak...""Menurutmu?"Dara terdiam. Potongan demi potongan kejadian tadi malam terpendar. Seingatnya dia sedang makan di restoran bareng Dirga dan si uler buntung itu. Terus dia minum minuman Dirga. Setelah itu badannya terasa aneh dan panas. Lalu..."Gak! Gak mungkin. Gak mungkin kita melakukannya? Hiks..."Dirga membalikkan badannya. Tatapannya datar."Gak mungkin. Hiks... hiks... lo kudu tanggung jawab!
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik