Dirga menyerahkan plastik berisi resep obat yang dia beli banyak. Karena kan gak tahu yang mana yang harus dia beli.
"Kamu jagain Dara bentar. Mama mau hangatin bubur jamur tadi."Dirga mengangguk. Memang mama Windi tadi membawa bubur jamur kesukaan Dirga. Berhubung kaget melihat rupa Dara, sampai lupa sup itu masih di ruang tamu.Dirga beranjak duduk di tepi ranjang. Dara buru-buru merebahkan dirinya. Memasang wajah lesunya. Duh, bisa gawat kan kalau sampai Dirga tahu, dia cuma pura-pura tadi."Harusnya kamu tadi gak usah masak."Tangan Dirga terulur hendak mengusap rambut Dara, tapi terhenti. Dan dia urungkan kembali."G-gue yang pengen. Lagian cuma pusing bentar kok," jawabnya lirih. Sesekali batuk-batuk biar kelihatan lagi sakit."Iya, tapi kan kamu jadi sakit gini.""Gak papa."Dirga menghela napas pelan."Terus Raka bagaimana?""Astaga!" pekiknya reflek terbangun dari baringnya membuat Dirga terjengkit kaget.Sepanjang hari ini Dara uring-uringan. Apalagi masalahnya kalau bukan karena tadi malam. Lebih memalukan lagi dia bangunnya kesiangan. Alias lebih dulu Dirga yang bangun. Dara membuka mata dan mendapati Dirga sedang bersiap di depan cermin sedang memakai dasinya. Senyum miring pria itu menandakan mengejek dirinya. "Nenek gayung sudah bangun rupanya..."Duh! Kalau tak ingat ada mama disini sudah dipastikan habislah Dirga dia hajar. Bersungut-sungut dia keluar dari kamar. Sialnya malah papasan sama mama yang sedang menata makanan di meja."Oh, sudah bangun sayang?"Dara tersenyum tipis, sekaligus malu."Bagaimana tadi malam? Nyenyak kan tidurmu?"Benar, kok bisa ya dia senyenyak itu. Rasanya hangat aja gitu. Nyaman."Eee....mmm...""Ya sudah, mandilah. Lihat tuh tompelmu hampir jatuh."Reflek Dara memegang tompel di pipinya. Astaga, bagaimana kalau sampai Dirga mengetahuinya? Dara langsung ngacir ke kamar.
Dirga menatap mereka bergantian. Menghela napas panjang. Kepalanya pening. Sebelumnya dia tidak pusing masalah wanita, tapi semenjak ada Dara, semua berubah, rusuh.Dara membelai tompelnya, takut terjatuh. Tak tahulah penampilannya sekarang seperti apa. Dia melirik si ular buntung menyebalkan itu. Menangis-nangis sembali melihat wajahnya di cermin kecil miliknya."Huwaa... wajahku, rambutku, berantakan. Semua gara-gara pantat panci! Huwaa!"Dara mencibir. Padahal yang mulai ngajak gelud siapa. Kepalanya juga perih dan panas. Berdenyut-denyut rasanya. Iyalah, bayangin habis jambak-jambakan. Mana cewek uler itu menjambaknya sekuat tenaga lagi."Kalian kenapa sih? Tidak bisa ya sebentar saja akur?""Gak bisa!" Dara dan Dita saling pandang. Mendecih dan membuang pandangan lagi.Dirga menghela napas. Pusing."Baru juga disuruh baikan sudah adu mata lagi," keluh Dirga. Dita dan Dara melirik tanda permusuhan."Jadi kalian m
"Dara---""Iih, kamu kan tahu, aku gak suka duduk di pojok. Kalau dia mau ya biar dia pindah. Kalau gak ya serah," liriknya pada Dara yang tak acuh. Terdengar desah pelan Dirga."Ra, pindah," tukasnya."Gue pengennya disini. Kalau kalian mau berduaan disitu ya bodo amat," jawabnya cuek. "Baiklah."Dirga duduk di tempat yang dipilih Dita. Melihatnya Dara mencibir dalam hati."Bilang aja belum move on dari mantan. Dasar lemah."Dirga tak mendengarnya apalagi memperhatikannya. Pemuda itu duduk membelakangi dirinya. Tentu saja itu ulah Dita yang sengaja mengambil tempat duduk berhadapan dengan Dara. Jadi mau tak mau posisi Dirga sekarang membelakangi wanita yang seharusnya lebih berhak untuk dia temani, karna Dara adalah istrinya. Dara memainkan ponselnya, membalas pesan dari teman-teman sejawatnya. Menanyakan ketidak hadirannya selama ini. Yups. Benar saja, Dara bagai menghilang di belahan bumi lain semenjak menikah. Tak mungkin kan dia pamerkan w
Langkah gontai membawa Dirga kembali ke apartemennya. Wajah kusut, penampilan berantakan dengan kemeja terbuka dua kancing atasnya. Tak lupa dasi miring ke kanan. Sementara jasnya tersampir di pundak kirinya. Menghela napas pelan sebelum menekan tombol password apartemennya.Gelap. Lampu belum dinyalakan. Berarti gadis itu belum kembali juga. Dirga menekan saklar lampu dan bergegas memeriksa kamar Dara. Gadis itu benar tak ada."Haish! Menyusahkan saja. Pergi tidak pamit dulu. Dia pikir aku ini apa?" gerutunya. Setengah harian tadi moodnya berubah kesal. Tentu saja itu diakibatkan karena Dara tak memberinya kabar sama sekali. Alias mengabaikannya. Padahal dirinya sudah mutar muter mencari keberadaan gadis itu. Khawatir. Bukan karena sayang loh ya, tapi lebih ke ...Nanti kalau hilang gimana coba? Yang disalahin mamanya dan mama mertua kan pasti dirinya."Awas saja kalau nanti pulang, huh. Gadis nakal."-----------Semen
"Kenapa? Apa kamu cemburu?"Wait! Cemburu? Dara sontak menoleh. Menatap wajah yang kini menampilkan evil smirknya."Haish! Yang benar saja. Ngapain juga gue cemburu sama kalian. Gak jelas banget," rutuknya. Dirga terkekeh. Mencolek pucuk hidung Dara yang langsung ditepis gadis itu."Sudahlah, mengaku saja. Aku tahu, kalian tadi bertengkar karena memperebutkan aku kan?" ucapnya sembari menaik turunkan alisnya.Sial! Bagaimana dia tahu? Wajah Dara memerah."Pede. I-itu cuma buat nangkis si uler biar sadar diri kali. Terpaksa gue ngakuin lo suami gue. Mana mungkin. Lo bukan standar gue kali."Dirga malah tertawa. Mundur dua langkah dan berbalik, lalu duduk di atas ranjang seperti posisi awal tadi."Ternyata rasa percaya dirimu besar juga ya?" ucapnya menyeringai. Menelisik wajah di depannya. Terkekeh pelan yang malah mirip mengejek."Gak pede gak hidup. Sana minggir. Balik ke kamar lo. Capek-capek malah dibikin jan
Dirga menghentakkan tangannya, maksudnya supaya Dara mengambilnya. Ragu-ragu Dara meraihnya. Menggigit bibir bawahnya. Ayolah, dia bingung untuk memulainya. Tahu diri, Dirga agak membungkukkan wajahnya. Hingga kini wajahnya tepat berada di depan Dara. Menatapi gadis itu tepat di irisnya. Dengan gugup, Dara mengalungkan dasi itu ke kerah kemeja Dirga. Deru napas Dirga yang terasa menerpa wajahnya membuatnya semakin gugup. Kenapa lagi-lagi mereka tak berjarak seperti ini. Memalingkan wajah, itu tak mungkin. Bisa-bisa dia salah mengikat dan berakibat mencekik Dirga. Eh, sejak kapan dia peduli?Seharusnya tak perlu selama ini hanya untuk mengikatkan dasi. Tapi berhubung jantung dan tangannya tak bisa diajak kompromi jadinya lebih lama. Mana tangannya sedikit bergetar. Aneh."S-selesai. Sudah, sana."Dara mendorong dada Dirga supaya menjauh. Pria itu terkekeh pelan, menahannya sehingga sedikitpun posisinya tak tergeser. Dara makin kesal dibuatnya."Apalagi sih. Sudah bere
Tenang saja. Pekikan itu hanya terlontar dalam hati Dara saja. Pada kenyataannya gadis itu memang kaget. Tapi menetralkannya dan terlihat biasa saja. Berbanding terbalik dengan Dita yang malah menatapinya kagum."Wow! Anda Dara Prasdita Hanindya bukan?"Dara tersenyum. Rupanya wanita ular itu mengenalinya. "Benar, saya Dara. Dan ini salon saya."Hilangkan sementara tingkah bar-barmu, Ra. Sedikit bermain-main dengan wanita ular itu dirasa cukup seru juga. Nana melongo, dia mulai menebak-nebak apa yang telah terjadi. Dara memberinya isyarat lewat kerdipan mata."Wah, saya tidak menyangka kalau ini adalah salon anda. Pantas saja pelayanannya bagus, hasilnya juga memuaskan," puji Dita."Ya, memang benar. Kualitas dan pelayanan adalah nomor satu di salon saya. Kepuasan pelanggan adalah prioritas." Tangan Dara bersidekap dengan senyum tersungging. Bukan angkuh, tapi lebih condong ke anggun. Bayangkan saja, seorang Dara terdeteksi tak lagi bar-bar. Hmm, m
Tak butuh waktu lama, Dara selesai mandi. Memoles wajah yang padahal tadi baru saja mendapat perawatan. Tak apa, yang penting perut kenyang. Diraihnya ponselnya. Ada tujuh panggilan dari Dirga. Dara menekan panggil ulang."Kemana saja? Taksinya sudah datang.""Heee. Baru mandi gue.""Apa?""Eiits... maksudnya tadi masih mandi. Sekarang sudah siap kok.""Ya sudah. Cepat turun. Kasihan taksinya nunggu kamu.""Hmm."Tanpa basa basi, Dirga mematikan panggilan. Dara tak protes, cepat-cepat dia berlari keluar. Benar saja, ada taksi yang berhenti di depan."Mbak Dara kan?"Dara mengangguk. Langsung masuk taksi."Let's go, Pak."Supir itu tertawa kecil. Mengacungkan jempolnya dan melajukan mobilnya.-------"Meja nomor tujuh. Dekat tiang di tengah."Dara mengedarkan pandangannya mencari tempat yang dimaksud. Meja nomor tujuh, bagian tengah. Matanya menangkap Dita yang sedang tertawa-tawa pada pemuda yang memunggungi Dara