Pagi.
Dara merasakan tidak nyaman dalam tidurnya. Perlahan dia membuka matanya. Asing. Ini bukan kamarnya. Dia menggeliat pelan. Aneh, tubuhnya terasa sakit dan pegal semua. Kepalanya pun sedikit pusing. Aroma maskulin tercium oleh cuping hidungnya."Sshhh... gue dimana sih?" keluhnya. Dara beringsut hendak turun. Matanya membulat begitu menyingkap selimut dan melihat kaos yang dia kenakan bukan miliknya."I-ini kan...""Sudah bangun?"Dara sontak menoleh. Dirga yang berdiri membelakanginya menghadap jendela."A-apa yang terjadi? Ki-kita gak...""Menurutmu?"Dara terdiam. Potongan demi potongan kejadian tadi malam terpendar. Seingatnya dia sedang makan di restoran bareng Dirga dan si uler buntung itu. Terus dia minum minuman Dirga. Setelah itu badannya terasa aneh dan panas. Lalu..."Gak! Gak mungkin. Gak mungkin kita melakukannya? Hiks..."Dirga membalikkan badannya. Tatapannya datar."Gak mungkin. Hiks... hiks... lo kudu tanggung jawab!Apel merah yang sudah terpotong ke beberapa bagian beserta pisau di sisinya menandakan ada sesuatu yang sedang dirasakan sang pelaku. Bisa jadi dia benar-benar kesal atau sekedar gabut. Yang pasti sekarang dia sedang terkapar di atas ranjang miliknya. Pandangannya mengarah ke jendela, tapi tak begitu yakin kalau jendela itu benar menjadi titik fokusnya. Beginilah yang dia lakukan sepanjang hari ini. Rasanya masih belum ikhlas dengan kejadian tadi malam. Ya, karena dia tidak ingat apa-apa, tapi tiba-tiba saja dia kehilangan sesuatu yang amat sangat berharga. Menyebalkan bukan?"Mau hibernasi sampai kapan?"Tak terdengar ketukan pintu ataupun pintu yang dibuka, tiba-tiba saja sosok itu nongol dan bersandar di sisi dinding dekat pintu. Ditangannya tercangking plastik entah apa isinya."Tidak perlu ditutupi. Lagipula aku sudah tahu wajah aslimu," sambar Dirga cepat saat Dara hendak menutupi wajahnya dengan bantal. Gadis itu mendesah kasar. Kembali meletakkan b
Astaga! Hanya begitu reaksi pria tersebut? Dara mendecak kesal. Menghentakkan kakinya ke lantai."Awas aja sampek ngikutin gue. Gue bakal bikin lo gak selamat," ancamnya meski terdengar konyol.Dara makin kesal karena tak ada reaksi dari pria itu. Bahkan sampai taksi online pesanannya datang, tak ada tanda-tanda Dirga akan menghentikan langkahnya. Sungguh menyebalkan sekaligus tidak peka. Terpaksa dia menyeret kopernya sendirian, karena ternyata pak sopir itu juga tidak peka dengan tidak membantunya. Jadilah sepanjang perjalanan Dara mengomel tak henti.---------Tok! Tok! Tok!Dara mengetuk keras pintu rumah orang tuanya. "Ih! Lama banget sih bukainnya. Mama sama papa kemana sih?" omelnya. Wanita memang seperti itu. Kesal dengan siapa, tapi semua objek jadi imbasnya.Dogh! Dogh! Dogh!Kali ini dengan tenaga ekstra yang dia keluarkan. Bodo amat dengan tangannya yang memerah, atau nanti mama keluar dan marah-marah. Salah
Semburat sinar mentari menelisik mengintip dari celah jendela yang tidak sempat Dara tutup sempurna tadi malam. Mengganggu tidur lelap yang entah sejak kapan menghampirinya. Begitu kelopak matanya terbuka, Dara mengucek matanya. Melihat sekeliling dan baru ingat kalau dia pulang ke rumah. Dan berada di kamarnya lebih tepatnya."Ah, gue bangun kesiangan. Nyenyak banget. Sampek gak sadar kalah sama matahari gue," gumamnya. Gadis itu beranjak dari ranjangnya dan segera ke kamar mandi. Niatnya yang semula hanya untuk cuci muka, berlanjut sekalian mandi. Mumpung tidak mager. Karena kalau di tunda biasanya setelah itu malas. Lagipula memang rencananya seharian ini rebahan saja di kamar. Kalau badan sudah bersih, maka tak ada tuntutan badan bau.Selesai mandi, Dara membuka kopernya, memilah baju yang akan dia pakai. Tapi selintas kemudian dia termenung sesaat. Ah, lagipula hanya di rumah. Tak ada Dirga juga disini. Jadilah dia tutup kembali kopernya dan beralih membuka lemari bajunya. Menga
"Jangan dekat-dekat," sentak Dara. Begitulah dia. Sensi sekali dengan suami sendiri. Setiap kali dia melihat Dirga berjalan menghampirinya, dia langsung mengusirnya. Padahal masih setengah hari loh. Tapi mereka sudah seperti Tom dan Jery. Bukan saling memangsa, melainkan saling bertengkar. Sejak kapan sih tikus dan kucing mainnya kejar-kejaran mulu? Si kucing gak ngiler kah melihat badan si tikus yang menggoda?Eits... ngapain bahas kucing sama tikus?"Sini, nak. Dekat mama saja." Mama menepuk kursi sebelahnya. Alias diseberang Dara. Mereka berseberangan.Mata Dara mendelik. Lah, kok?"Ma," rengeknya tak terima. Dirga tersenyum penuh kemenangan. Mengejek menyebalkan. Lalu meletakkan pantatnya di kursi. Dekat mama mertuanya."Kamu itu kenapa toh? Wong sama suami sendiri kok galak.""Dia nyebelin, Ma," ketusnya."Nyebelinnya kenapa, hm?"Dara kicep. Mana mungkin dia menjelaskan kejadian malam itu. Yang ada mama justru dukung Dirga. Orang yang godain duluan memang dia."Sudah... sudah. M
Dirga benar-benar tak pernah datang lagi. Bahkan, chat atau telepon pun tak pernah bertengger di ponsel Dara. Mama, juga sama sekali tak membahas tentang Dirga. Papa, apalagi, beliau sibuk bekerja. Hanya pulang sudah malam. Tak menyinggung sedikitpun tentang kepulangannya atau Dirga. Kembali seperti saat dirinya belum menikah. Tapi, Dara merasa sepi. Seakan mereka membiarkannya bertindak sesuka hati. Mama dan papa masih bersikap biasa saja dengannya. Sesekali mencandainya layaknya putrinya masih singgel. Justru dirinya yang merasa aneh. Sepi. Dan, perasaan lain yang dia tak tahu itu apa.Sudah dua mingguan Dara di rumah. Ke salon seperti dulu. Sesekali mengajak Nana hunting. Atau seharian rebahan di rumah.Pagi ini, hari minggu. Dia bangun agak siang. Kalau saja rasa mual di perutnya tak mengganggunya, dia tak akan bangun. Segera berlari ke kamar mandi. Memuntahkan isi perutnya. Tapi hanya cairan bening yang keluar.Mama yang mendengar suara muntahan dari kamar Dara bergegas menghamp
"B-bayi? Lo bilang tadi bayi?"Dirga tak menjawab. Dia masih kebingungan. Bagaimana bisa Dara tiba-tiba terbangun?"Lo gak bohong kan? Maksud lo gue hamil gitu? Gimana bisa?" Pekiknya tak percaya. Meraup wajahnya kasar."Sejak kapan kamu siuman?" Pertanyaan yang sama sekali gak nyambung. Dara mendengkus. Bisa-bisanya pria ini mengabaikan pertanyaan pentingnya demi tahu kapan dia siuman. Menyebalkan."Jawab dulu. Apa maksud perkataanmu tadi," sentaknya. Dirga menghela napas. Menyugar surainya yang mulai acak-acakan karena tertidur tadi. Dan baru sadar masih memakai jas rapinya."Iya. Kamu hamil. Tadi dokter yang memeriksamu mengatakan kamu hamil tiga minggu," jelasnya. Mulut Dara menganga. Otaknya seakan dipaksa berfikir."Gi-gimana bisa. A-aku--" tenggorokannya tercekat."Kita bahkan hanya melakukannya sekali.""Memang kenapa? Itu buktinya kualitasku premium. Makanya sekali tembak saja langsung jadi," oceh Dirga membanggakan dirinya. Wajah Dara sontak memerah."Cih! Enak sekali lo. G
Pagi harinya.Dirga terbangun lebih dulu. Merasakan tangan kecil yang mengerat ke pinggangnya. Juga kepala yang mendusel di dadanya mencari kenyamanan dan kehangatan. Dahi pria itu mengerut. Membuka matanya dengan kesadaran yang belum pulih sempurna. Terkekeh kecil begitu mendapati gadis itu mendusel padanya seolah mencari kehangatan. Selimut yang semula membungkus tubuhnya sudah tergeletak di bawah. Apalagi guling? Menggelinding di lantai tak dianggap."Sudah kuduga, kau akan melakukannya," desis Dirga terkekeh pelan. Mengusap lembut surai gadis itu. Sedikit membungkukkan kepalanya demi mencium puncak kepala gadis itu. Mencoba mengintip wajah sang gadis, sayangnya tertutupi karena gadis itu sembunyikan di dadanya."Aah... kau membuatku kehilangan kesempatan memandangimu," keluhnya tipis. Tapi tak apa, justru dia memikirkan hal lain."Aku ingin tahu, apa reaksimu saat tahu memelukku lebih dulu." Dirga terkekeh. Lalu dia memejamkan matanya lagi. Be
Caffe Me Time.Terlihat dua sosok di bangku pojok belakang sendiri. Siapa lagi kalau bukan Dara dan Raka. Dara sudah berganti penampilannya seperti biasa dia bertemu Raka. Untung saja dia selalu membawa make up di tasnya. Tak sesempurna biasanya sih, karena tak semua make up kebawa. Tapi cukup untuk membuatnya beralih penyamaran."Apa kabar, Pret."Ya, namanya kalau bersama Raka adalah Preta. Tapi harusnya Raka tak sesialan ini untuk memanggil namanya dengan memotongnya di tengah. Bisa saja, Ta bukan?Dara tersenyum tipis. Raka terlihat lebih berantakan dari sejak terakhir mereka bertemu. Maksudnya bukan di penampilan, melainkan raut wajah pria itu. Atau mungkin dia sedang ada masalah dengan istrinya? Entahlah. "Aku, baik. Kamu sendiri? Sepertinya sedang ada masalah?"Raka tersenyum tipis. "Aku pikir kamu sakit. Proyek kerjasama kita, Dirga sendiri yang menangani," ujar Raka mengalihkan pertanyaan Dara."Hem. Aku sudah