Pagi harinya.Dirga terbangun lebih dulu. Merasakan tangan kecil yang mengerat ke pinggangnya. Juga kepala yang mendusel di dadanya mencari kenyamanan dan kehangatan. Dahi pria itu mengerut. Membuka matanya dengan kesadaran yang belum pulih sempurna. Terkekeh kecil begitu mendapati gadis itu mendusel padanya seolah mencari kehangatan. Selimut yang semula membungkus tubuhnya sudah tergeletak di bawah. Apalagi guling? Menggelinding di lantai tak dianggap."Sudah kuduga, kau akan melakukannya," desis Dirga terkekeh pelan. Mengusap lembut surai gadis itu. Sedikit membungkukkan kepalanya demi mencium puncak kepala gadis itu. Mencoba mengintip wajah sang gadis, sayangnya tertutupi karena gadis itu sembunyikan di dadanya."Aah... kau membuatku kehilangan kesempatan memandangimu," keluhnya tipis. Tapi tak apa, justru dia memikirkan hal lain."Aku ingin tahu, apa reaksimu saat tahu memelukku lebih dulu." Dirga terkekeh. Lalu dia memejamkan matanya lagi. Be
Caffe Me Time.Terlihat dua sosok di bangku pojok belakang sendiri. Siapa lagi kalau bukan Dara dan Raka. Dara sudah berganti penampilannya seperti biasa dia bertemu Raka. Untung saja dia selalu membawa make up di tasnya. Tak sesempurna biasanya sih, karena tak semua make up kebawa. Tapi cukup untuk membuatnya beralih penyamaran."Apa kabar, Pret."Ya, namanya kalau bersama Raka adalah Preta. Tapi harusnya Raka tak sesialan ini untuk memanggil namanya dengan memotongnya di tengah. Bisa saja, Ta bukan?Dara tersenyum tipis. Raka terlihat lebih berantakan dari sejak terakhir mereka bertemu. Maksudnya bukan di penampilan, melainkan raut wajah pria itu. Atau mungkin dia sedang ada masalah dengan istrinya? Entahlah. "Aku, baik. Kamu sendiri? Sepertinya sedang ada masalah?"Raka tersenyum tipis. "Aku pikir kamu sakit. Proyek kerjasama kita, Dirga sendiri yang menangani," ujar Raka mengalihkan pertanyaan Dara."Hem. Aku sudah
"G-gue--"Dia kembali menggantungkan ucapannya. Membuat Dirga tak sabar penasaran."Kamu mau sesuatu? Biar aku belikan?" ucapnya. Dara menggeleng. Kini dia menampakkan seluruh badannya. Memilin jemarinya dengan kepala tertunduk."I-itu---" kedua jari telunjuknya saling menunjuk.Dirga mengangkat sebelah alisnya. Sungguh, dia tak sabar."D-dia... dia pengen di elus," ucapnya dengan mengarah pandangan ke perutnya yang rata. Sejenak Dirga mengerutkan dahinya, mencerna ucapan gadisnya. Lalu kekehan kecil lolos dari bibirnya."Aih, rupanya baby ingin dimanja. Kesinilah," panggilnya. Ragu, Dara melangkah. Wajahnya memerah. Sebenarnya dia malu. Tapi dia tak bisa menahannya lama. Keinginannya begitu tiba-tiba dan tak bisa dia tahan lagi."Sini, duduk sini." Dirga menepuk pahanya. Dara tak beranjak. Rasa malu benar-benar menguasai dirinya."Ayolah. Aku tidak ingin babyku nanti ngencesan hanya karena mamanya suka menahan gengsinya," uja
Diluar suara isakan Dita tak terdengar lagi. Tapi demi apa, Raka tadi sempat mendengar Dita menyebut nama Dirga dan Dara. Dara, Dara siapa yang dimaksud Dita. Istri Dirga, dia hanya pernah dengar kabar, istri Dirga itu sangat jelek. Mungkinkah Dita merasa kesal karena kalah dengan gadis jelek itu?Perlahan Raka membuka pintu kamarnya. Kosong. Dita mungkin sudah ada di kamarnya. Ruangan berantakan. Guci pecah. Vas bunga cantik berceceran di lantai. Akibat dari pertengkaran mereka tadi. Kalau sudah begini, dialah yang harus memberesinya. Ya, dia tahu, rumah ini dari uang Dita. Jadi bagaimanapun juga, dialah yang harus memberesinya.Raka berjongkok dan memunguti pecahan yang berukuran besar dari vas dan guci itu. Lalu menyapu sisanya yang kecil-kecil. Menyeroknya dengan serokan sampah dan membuangnya.Petang datang. Dia sampai belum mandi gara-gara pertengkarannya dengan Dita tadi. Badannya terasa lengket. Segera dia bergegas masuk. Namun baru beber
"Apa?" Dara mendongak. Menatap obsidian jelaga yang menatapnya lembut itu. Menikmati wajah dari jarak yang hanya beberapa senti darinya. Pahatan yang sempurna. Mampu membuat detakan tak biasa pada jantungnya."Kita. Emm, maksudku, kamu sudah bisa menerimaku?"Dara tercekat. Semburat merah yang terasa panas menyembur di kulit wajahnya."Aa... a-aku... eh, gue mau balik dulu. Ngantuk," ujarnya seraya bangkit tergesa dari pangkuan Dirga. Tapi dengan sigap Dirga menahan tangannya."Disini saja. Biar disana jadi kamarnya kecoa."Dara tergagap. Mau melepas paksa tangannya, tapi sendirinya saja tak rela."P-ponselku. Masih disana. Aku ambil dulu," tukasnya. Dan pegangan Dirga merenggang. Segera Dara berlari tergesa keluar dari kamar Dirga. Sampai pinggangnya menabrak pinggiran pintu. Mengaduh tapi mencoba tak memperdulikannya. Menghiraukan pekik khawatir Dirga.*******"Aargh! Gue kenapa sih!"Segera setelah sampai di kamar Dara mengunci pintun
"Kau istirahatlah. Biar aku saja."Dara tak menjawab. Tetap ikut memberesi belanjaan mereka tadi. Dirga menghela napas. Baiklah, kalau memang itu maunya.Tadi mereka sepulang belanja mampir ke rumah sakit dulu untuk memeriksakan kandungan Dara. Dan kandungannya sehat. Bidan Nia menyarankan untuk sering diajak gerak. Tapi juga tak boleh kelelahan. Maklum saja, usia janin masih muda. Rentan sekali. Dan anggap saja, menata belanjaan bagian dari gerakan kecil itu. Semoga tak membuatnya kelelahan.Dirga meletakkan susu hamil Dara di lemari. Bersama dengan lainnya."Nanti, aku yang akan membuatkannya untuk. Jangan membuatnya sendiri. Oke?" peringatnya. Dara hanya mengangkat kedua alisnya."Gadis pintar," tukas Dirga, tersenyum simpul."Sekarang istirahat. Ingat kata bidan tadi, jangan sampai kelelahan," ucap Dirga mengusap lembut surai Dara. Gadis itu tanpa banyak kata beranjak dari duduknya dan melangkah keluar dapur. Kembali ke kamarnya. Dirga memberesk
Atmosfir yang tidak menyenangkan terasa. Dara terdiam di tempatnya membiarkan Dita menghampiri ke arah mereka. Tatap gadis itu menunjukkan ketidak sukaan yang teramat jelas. Dia marah."Oh, jadi sekarang kamu mentingin dia, Ga?" ucapnya menatap sendu penuh ketidak terimaan pada Dirga. Sementara pria itu mengerutkan alisnya. "Maksud kamu apa, Ta?" tanyanya bingung. Tentu, Dara ini istrinya. Memberikan perhatian lebih pada Dara memang suatu keharusan bukan? Tapi kenapa Dita marah padanya."Kamu berubah, Ga. Kamu lebih milih dia dibanding aku! Hiks... aku masih sayang sama kamu, Ga. Aku bahkan rela ninggalin Raka demi kamu!" isaknya. Tak peduli karyawan Adam tengah memperhatikan adegan tak pantas tersebut. Membuka aib sendiri. Dara bingung. Kenapa bawa-bawa Raka, apa jangan-jangan---"Apa sih istimewanya dia dibanding aku, Ga? Aku cantik, dia jelek! Aku kaya, dia miskin! Aku kurang apa, Ga? Aku relain semuanya demi dapatin kamu lagi! Argh!"
Itu yang sedari tadi mengganjal di pikirannya. Dirga menghentikan gerak jemarinya. Lalu mengangguk."Dia, Raka-- bukan Raka itu kan?" Kalau benar, wah! sungguh, kejutan apalagi ini. Dirga tersenyum tipis. Melanjutkan mengirim pesannya pada karyawan di bagian bawah. Supaya menghubungi suami Dita itu."Kalau benar?"Beberapa saat Dara mengerjapkan matanya. Namun tak lama dia memekik."Apa? Jadi---"Dirga mengangguk. Duduk kembali di posisinya. Meletakkan ponsel di sampingnya."Benar. Dialah wanita yang dinikahi oleh mantanmu itu. Dita. Sekaligus, emm... mantanku juga."Hening. Dara masih syok dengan pernyataan Dirga barusan."Berarti, dulu, maksudmu membuatku dekat dengan Raka karena---"Ah! Rasanya dia tak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri. Ada yang nyeri di ulu hatinya."Tidak. Dari awal pun aku gak ada niatan untuk bercerai. Aku hanya ingin membantu Dita. Karena menurutnya Raka telah menghianatinya, dan juga