"Dirga!"Tawa Dara terhenti. Pandangannya langsung tertuju pada perempuan yang baru saja masuk. Bola matanya hampir keluar saking lebarnya mata itu membulat. Bukannya dia... Dara melihat Dirga, reaksi cowok itu juga sama terkejutnya. Namun tak berselang lama, biasalah. Jiwa-jiwa kulkasnya keluar.Kini pandangannya beralih lagi ke wanita itu. "Ada apa, Ta?"Dita, wanita itu tersenyum tipis, dahinya berkerut dengan tatapan selidik pada Dara. Tentu saja dia sudah pernah melihat wanita jelek ini."Ngapain kamu sama cewek jelek ini?" tukas Dita. Dikata jelek, Dara tak terima dong. Mendidih telinganya mendengar wanita yang menabraknya waktu itu mengatainya jelek."Eh, sembarangan kalau ngomong. Lo itu yang jelek," sambarnya kesal. Dita mendecih, tersenyum sinis. Menatapi Dara dari atas sampai bawah. Tersenyum mengejek."Tidak sadar dirikah? Butuh cermin?" ujarnya menyilangkan tangannya di depan dada."Lo itu yang butuh cermin.
"Jadi, Dara ini...""Saudara kamu? Masak sih? Gak percaya deh. Secara kamu tampan, Arini juga cantik. Masak yang ini kayak..." matanya menyipit julid. "Gue istri Dirga, bego!" sambar Dara. Lama-lama kesel juga dia sama wanita satu ini."Hah? I-istri?" Dita menoleh ke Dirga. Tapi pria itu diam saja."Gak! Gak mungkin. Dirga gak sebodoh itu nikah sama kamu. Pasti kamu jebak dia kan? Apa? Kamu kasih obat apa sama Dirga? Sialan!"Dara merotasikan bola matanya malas."Eist.. kalau ngomong dijaga dong. Enak aja jebak. Gak jaman banget. Basi tahu.""Halah! Gak mungkin tiba-tiba Dirga nikah sama kamu yang mukanya aja mirip pantat panci."Dara menghentikan kunyahannya. Sialan. Wajah cantik dia disamakan dengan pantat panci. Gak ada akhlak memang. "Ga, baku hantam boleh kan?" tolehnya pada Dirga. Emosi dia. Dirga menghela napas. Sedari tadi dia tak bersuara. Masih bingung untuk menjelaskan pada Dita. Karena dia tahu, Dita tak semudah itu percaya
Hari-hari seterusnya, sepertinya Dara harus menahan emosinya lebih kuat. Bukannya berhenti, justru itensitas kedatangan Dita di kantor Dirga makin sering. Mana manja banget lagi. Dirga juga, santai saja dengan mantannya itu. Padahal kalau ditilik dari kisahnya, Dara geregetan sendiri. Wanita itu yang ninggalin lebih dulu, dia juga tak tahu malu kembali mendekati Dirga. Cuih! Sama menyebalkannya dengan Raka.Seperti hari ini, lagi-lagi Dita ke ruangan Dirga, menganggu kenyamanannya yang sedang rebahan di ruang istirahat Dirga. Rupanya wanita itu membawakan bekal untuk Dirga. Dari dalam, dia dengar gadis itu dengan sok imutnya mengatakan membuatkan makanan khusus favorit Dirga waktu mereka masih pacaran. Emang apaan sih makanan favorit Dirga? Kan dia jadi penasaran kalau begini.Sebisa mungkin kembali tertidur, tapi suara cempreng wanita itu membuat kantuknya lenyap tak berbekas. Berganti rasa jengkel yang amat sangat. Karena kesal, akhirnya Dara memutuskan untuk keluar s
Begitu melihat Dirga, tangis Dara malah pecah."Hhuu... huwaaa..."Nah, kan... Dirga jadi tambah bingung. Demi melihat tangan Dara yang kena pisau, dengan sigap Dirga mengemut jari mungil itu."Hiks... hiks... perih," rintih Dara."Cup... cup... ini juga lagi berhentiin darahnya," tukas Dirga mengemut jari Dara lagi."Hiks... hiks... emang gak jijik?" Air matanya mengalir terus. Selain perih, pedas juga mata. Dirga tak menjawab. Menyesap jari Dara dan meludah di wastafel. Begitu terus sampai tangis Dara henti dengan sendirinya. Hanya menyisakan isakan kecil."Tunggu," ujar Dirga dan setengah berlari keluar. Tak lama dia kembali lagi dengan membawa handsaplas. Sisa untuk benjol di dahi Dara waktu itu. Dengan hati-hati dia tempelkan di jari telunjuk Dara yang terluka."Kok bisa terkena pisau, bagaimana ceritanya?"Dengan sesegukan, Dara menjawab."Ya kan aku ngirisnya sambil merem."Gubrak. Dirga menghela napas tak perca
"Siapa kamu?" tatapannya galak."Tante...""Tonta tante... tonta tante... aku bukan tantemu. Siapa kamu? Selingkuhan Dirga? Ah, gak mungkin selera Dirga serendah ini. Kamu pasti godaain anak saya kan? Kamu mau hancurin rumah tangga anak saya, hah!"Dara kebingungan. Galak banget mamanya Dirga ternyata. Matanya melotot seperti hampir keluar. Tak lupa tangan berkacak pinggang. Serem juga yak."Tante, saya bisa jelasin...""Jelasin apa. Ini lagi, Dirga mana. Dirgaaa!"Duh, gawat. Kalau sampai mamanya Dirga ngomel-ngomel dan tak mengenali dirinya, bisa ketahuan dong penyamarannya."Tante... ini Dara, Tan," ucapnya panik. Sesekali menoleh ke arah kamar Dirga. Semoga pria itu gak denger."Hah? Jangan bohong kamu. Dara itu cantik. Gak kayak kamu. Ngarang. Anak itu mana lagi. Dirga... Ga! Keluar kamu!"Mama Dirga melenggang masuk. Duh, gawat."Tante! Ini bener Dara. Dara mohon,percaya dong sama Dara," ucapnya duduk b
Dirga menyerahkan plastik berisi resep obat yang dia beli banyak. Karena kan gak tahu yang mana yang harus dia beli."Kamu jagain Dara bentar. Mama mau hangatin bubur jamur tadi."Dirga mengangguk. Memang mama Windi tadi membawa bubur jamur kesukaan Dirga. Berhubung kaget melihat rupa Dara, sampai lupa sup itu masih di ruang tamu.Dirga beranjak duduk di tepi ranjang. Dara buru-buru merebahkan dirinya. Memasang wajah lesunya. Duh, bisa gawat kan kalau sampai Dirga tahu, dia cuma pura-pura tadi."Harusnya kamu tadi gak usah masak."Tangan Dirga terulur hendak mengusap rambut Dara, tapi terhenti. Dan dia urungkan kembali."G-gue yang pengen. Lagian cuma pusing bentar kok," jawabnya lirih. Sesekali batuk-batuk biar kelihatan lagi sakit."Iya, tapi kan kamu jadi sakit gini.""Gak papa."Dirga menghela napas pelan."Terus Raka bagaimana?""Astaga!" pekiknya reflek terbangun dari baringnya membuat Dirga terjengkit kaget.
Sepanjang hari ini Dara uring-uringan. Apalagi masalahnya kalau bukan karena tadi malam. Lebih memalukan lagi dia bangunnya kesiangan. Alias lebih dulu Dirga yang bangun. Dara membuka mata dan mendapati Dirga sedang bersiap di depan cermin sedang memakai dasinya. Senyum miring pria itu menandakan mengejek dirinya. "Nenek gayung sudah bangun rupanya..."Duh! Kalau tak ingat ada mama disini sudah dipastikan habislah Dirga dia hajar. Bersungut-sungut dia keluar dari kamar. Sialnya malah papasan sama mama yang sedang menata makanan di meja."Oh, sudah bangun sayang?"Dara tersenyum tipis, sekaligus malu."Bagaimana tadi malam? Nyenyak kan tidurmu?"Benar, kok bisa ya dia senyenyak itu. Rasanya hangat aja gitu. Nyaman."Eee....mmm...""Ya sudah, mandilah. Lihat tuh tompelmu hampir jatuh."Reflek Dara memegang tompel di pipinya. Astaga, bagaimana kalau sampai Dirga mengetahuinya? Dara langsung ngacir ke kamar.
Dirga menatap mereka bergantian. Menghela napas panjang. Kepalanya pening. Sebelumnya dia tidak pusing masalah wanita, tapi semenjak ada Dara, semua berubah, rusuh.Dara membelai tompelnya, takut terjatuh. Tak tahulah penampilannya sekarang seperti apa. Dia melirik si ular buntung menyebalkan itu. Menangis-nangis sembali melihat wajahnya di cermin kecil miliknya."Huwaa... wajahku, rambutku, berantakan. Semua gara-gara pantat panci! Huwaa!"Dara mencibir. Padahal yang mulai ngajak gelud siapa. Kepalanya juga perih dan panas. Berdenyut-denyut rasanya. Iyalah, bayangin habis jambak-jambakan. Mana cewek uler itu menjambaknya sekuat tenaga lagi."Kalian kenapa sih? Tidak bisa ya sebentar saja akur?""Gak bisa!" Dara dan Dita saling pandang. Mendecih dan membuang pandangan lagi.Dirga menghela napas. Pusing."Baru juga disuruh baikan sudah adu mata lagi," keluh Dirga. Dita dan Dara melirik tanda permusuhan."Jadi kalian m
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik