"Ingat, kita belum malam pertama sayang," bisiknya intens di telinga Dara, menyeringai kecil. Jantung Dara berdegup kencang. Matilah dia. Salah sendiri membangkitkan singa yang tertidur.Tatapan intimidasi Dirga membuat nyalinya mendadak menciut. Pria ini lebih menyeramkan dari yang dia bayangkan. Mulut kecilnya yang biasanya mengomel, kini hanya bisa menelan salivanya kasar."A-apa maksud lo? Jangan macam-macam deh." Pembelaan yang mirip cicitan kecil. Netra gadis itu melirik tangan Dirga yang membelai lembut pipinya. Memainkan jemari panjang itu di pipinya. Sialan. Jantungnya berdegup kencang."Haha. Kenapa wajahmu pucat sayang. Tenang saja, tak ada yang akan mengganggu kita. Kita hanya BERDUA disini.""Yah! Hentikan beruang kutub!"Entah keberanian darimana, Dara berteriak keras. Telinga Dirga berdengung. Suara gadis itu sangat melengking, seperti speaker rusak."Minggir! Enak saja. Lo pikir gue sudi apa nikah sama lo." Omelannya kembali keluar. Mendorong dada Dirga menjauh darinya
"Gimana kabarmu?""Yah, beginilah. Bisa lihat sendiri." Hey! Lagi-lagi beruang kutub itu tertawa. "Ayo, silakan duduk." Dirga mempersilakan. Mereka terlihat akrab. Ada hubungan apa mereka sebenarnya?"Oh? Ini siapa?" Raka baru menyadari keberadaan Dara. Kaget dengan tampilan aneh gadis di ruangan Dirga.Dirga tak menjawab. Justru mengerutkan dahi melihat perubahan dadakan Dara. Yang tadinya seperti gadis tak punya sopan santun, tiba-tiba saja mematung."Saya Raka, rekan kerja Dirga." Dara melirik uluran tangan Raka dan menghentakkan kakinya kesal. Moodnya yang sudah buruk bertambah buruk. Dia keluar dari ruangan Dirga dan membanting kasar pintu ruangan Dirga.Brak!"Ada apa dia?" tanya Raka heran. Gadis yang aneh, pikirnya. Dirga menatap tajam kepergian gadis itu."Biarkan saja," ucapnya datar."Kau minum apa?" tawarnya kemudian. Raka menggeser duduknya. Belum pulih keterkejutannya dari sikap gadis jelek barusan.
"Lo gila! Bukannya kalian terlihat akrab tadi?" Dara menggelengkan kepala mendengar ide Dirga."Apa kau percaya dengan yang terlihat?""Bukannya gitu, tapi gue rasa lo keterlaluan deh."Dirga mendengkus. Membuang pandangan."Jadi kamu pikir disini saya yang jahat bukan?" Rautnya kecewa. Aneh, tapi memang menurut Dara ide Dirga keterlaluan. Apa gak menusuk teman dari belakang namanya."Sepertinya kamu masih menyukai mantanmu itu," celetuk Dirga lagi."Heh! Ngaco. Mana mungkin gue suka sama penghianat itu," gerutunya. Masih teringat sakit hatinya saat tak ada angin tak ada hujan cowok itu mengirim undangan pernikahan. Padahal sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja. "Lalu, kenapa kamu membelanya?""Hish! Gue gak belain. Cuma ngerasa aneh aja. Bisa ya di depan sok akrab tapi di belakang nusuk. Gak habis thinking deh.""Namanya juga dunia bisnis. Sebelum ditusuk, lebih baik menusuk duluan. Lagian apa kamu percaya dia baik seperti yan
"Kau, pelajari berkas ini." Dirga menyerahkan setumpuk kertas diatas ranjang Dara. "Buat apa?" tanya Dara mendongak heran. Lalu beralih ke tumpukan kertas itu. Melihatnya saja kepalanya sudah puyeng. Selama ini basicnya kan dunia make over, kenapa malah dikasih tumpukan kertas."Kau yang akan menjadi wakilku untuk kerjasama dengan perusahaan Raka.""What! L-lo gak salah? G-gue?" telunjuknya menunjuk dirinya sendiri. Dirga mengangguk."Kau tak lupa kan dengan kesepakatan kita tadi siang?"Wajah Dara memerah. Ya, dia ingat. Upaya balas dendamnya dengan Raka kan? Membuat pria itu luluh padanya, menghancurkannya, lalu meninggalkannya. Dara mendengkus pelan."Aku sengaja, supaya kamu lebih mudah mendekati Raka. Dan mulai besok, dandananmu juga rubah. Aku sudah menghubungi Beauty and Care salon supaya merubah tampilanmu." Mata Dara makin melotot. Beauty and Care, lah itu mah salonnya sendiri. Aneh sih."L-lo... arh! Kenapa lo mutusin sendir
mengacungkan jempolnya pada Nana. Kembali mematut wajah barunya di cermin. Dalam satu kehidupan saja, dia punya tiga wajah coba."Makasih, Mbak. Huft, deg-degan saya." Dia mengurut dadanya pelan."Gak usah khawatir. Lo pura-pura aja gak kenal gue. Lagian gue gak yakin kalau dia ingat lo yang make up in gue di nikahan itu. Dan bilang aja, namanya juga ekperimen wajah baru, harus cari model yang sesuai. Ntar kalau beruang itu marah-marah, biar gue yang tanganin."Nana mengangguk."Iya, Mbak. Makasih."Dara tersenyum tipis. "Sudah, keluar saja. Gue mau ganti baju." Nana mengangguk. Beranjak keluar. Dara mengambil dress peach yang terlihat lembut di kulitnya. Menarik napas panjang. Apa benar dia kuat menghadapi Raka nanti. Hah! Sudahlah, tinggal jalanin saja. Lagian dia juga ingin membuat pria itu merasakan sakit hatinya dulu. Enak aja ninggalin gitu aja. Dia juga bisa kali.Tak lama, Dara selesai dengan acara dandannya. Sempurna. Dia rasa Raka tak
"Cepet banget ya, akrabnya," tukas Dirga. Rautnya kesal. Gimana enggak, di restoran tadi dia benar-benar didiamkan seolah-olah tak dianggap kehadirannya. Ya benar sih tujuannya mendekatkan Dara dengan Raka, tapi gak harus dengan mengabaikannya gitu aja. Mana mata Raka tadi menyorotkan hal lain. Menatapi tubuh Dara dengan seringai nakalnya. Entah gadis itu sebenarnya menyadari atau tidak. Tapi ekspresinya santai sekali.Lihatlah, dia yang kembali berpenampilan jelek itu kini dengan santainya melahap buah anggur. "Ya iyalah. Namanya juga aslinya dah kenal. Mantan lagi," sahutnya cuek. Buah anggur ini lebih membuatnya tertarik daripada sindiran Dirga."Kamu masih cinta kan sama dia?" selidiknya. Dara merotasikan bola matanya malas. "Lo kenapa sih? Gue cinta atau gak kan bukan urusan lo. Aneh," decisnya sebal. Mengambil buah anggur lagi. Ayolah, ini lebih enak daripada ocehan unfaedah cowok itu."Ku harap kamu tidak lupa dengan tujuan awal kita. Aku tidak ingin bekerja sama dengan pengh
"Eh, awas!""Awww!" pekiknya reflek memegang dahinya. Nyeri dan sakit jadi satu. "Hikks... huwaaa... dahiku!" tangisnya terduduk sembari memegangi dahinya yang rasanya nyut-nyutan. Dengan sigap Dirga menghampirinya, berjongkok. Rautnya khawatir."Sakit ya?""Iyalah bego! Huwaa... benjol ini pasti..."Dirga kebingungan. Tangannya terulur ingin menyentuhnya, tapi ditepis Dara."Sakit. Hiks... hiks.. jangan dipegang.""Terus gimana?" Dirga berucap frustasi. Tangis Dara malah semakin kencang. "Heh! Gimana? Gue harus gimana?" "Tahulah, gak peka. Sakit ini. Huwaa... huwaa..."Dirga berlari keluar."Suruh Joko beli salep atau handsaplast. Cepetan!"Karyawan yang diluar kebingungan. Dirga kembali lagi ke dalam."Dah, jangan nangis. Udah gue pesenin."Tangis Dara bukannya reda tapi tetap saja kencang. Dahinya yang memerah perlahan terlihat benjol. Dirga meringis, rasa paniknya berubah jadi ingin ketawa.Tak lama Joko datang tergesa. Bingung melihat Dara yang berjongkok menangis."Ini pak,"
Nyeri di dahinya tak lagi terasa, cuma kadang-kadang nyut-nyutan sih. Apalagi kalau dipencet. Tapi mendingan lah daripada tadi siang. Meski resikonya dahinya benjol."Ra! Cepetan!" Terdengar teriakan dari luar. Siapa lagi kalau bukan Dirga. Tadi cowok itu memesan makanan dari luar. Lagi malas masak katanya."Iya! Sabar kenapa sih!" gerutu Dara. Merapikan make upnya, terutama bagian dahi dengan hati-hati. Setelah yakin dengan penampilan wajahnya, barulah dia beranjak keluar. Tak perlu memeriksa penampilan bajunya. Pakai baju asal juga tak masalah.Dirga menatapinya kesal. Di meja sudah terhidang dua kotak makanan. Entah apa isinya."Lama sekali sih," tukasnya. Dara tak menyahut. Duduk di sofa dengan kaki bersila. Menarik satu kotak makanan."Apaan nih?" ucapnya, mengabaikan pernyataan Dirga."Bisa lihat kan? Tinggal dibuka, dan see... mata masih normal?" tunjuk Dirga pada kotak makanan miliknya yang dia buka. Dara mendengkus. Ya tahu, tapi dia kan cuma basa basi. Perutnya lapar. Jadi
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik