"Apa!" Dara terjingkat. Reflek bangun dari posisinya."Kenapa? Kau istriku kan? Sudah seharusnya mendampingi suami.""Ta-tapi...""Gak ada tapi-tapian. Mulai besok dan seterusnya ikut aku ke kantor," ucapnya tanpa penolakan. Langsung keluar dari kamar Dara.Apa ini? Gila! Sehari saja di kantor dia sudah muak dengan hinaan, eh ini malah setiap hari.Argh! Nyesel. Niat mempermalukan, malah sial sendiri."Nyebelin! Nyebelin!" Umpatnya. Memukuli ranjang tak bersalahnya."Dasar arogan. Pemaksa."Dara berguling-guling di ranjang miliknya. Lama-lama dia capek sendiri. Dan malah kebablasan tidur.-----------Bau harum masakan membuat Dara terbangun. Bersandar di headbordnya. Matanya mengerjap pelan sembari mengumpulkan nyawanya. Sedikit pusing akibat tidur sore."Emm, siapa yang masak?" gumamnya. Perutnya keroncongan. Ia baru ingat, dia hanya makan sarapan tadi pagi yang dia beli di restoran. Sekalian bawain bekal untuk Dirga. Alasannya, karena dia tidak bisa masak.Aroma harum makin menguar.
Dirga bersidekap memandangi gadis itu dari atas sampai bawah. Satu jam dia menunggui gadis itu dandan, sampai jadwal keberangkatannya mundur tak seperti biasa. Tapi lihatlah, tak ada perubahan yang berarti. Alis tebal, kulit wajah yang tak mulus dengan blush on ketebalan, tompel besar di pipinya, juga jangan lupakan lipstik merah menyala. Sungguh, tampilan yang tidak sesuai dengan sifat galak gadis ini. Ah, menurutnya, lebih baik gadis ini tak usah berdandan saja. Lebih mengerikan seperti ini. Tapi anehnya, dia nyaman dengan gadis ini daripada gadis-gadis relasinya yang kadang bersikap centil dan genit."Kenapa lihat-lihat? Mau gue colok mata lo," gertak Dara melotot."Segitu lamanya dandan cuma begini hasilnya?" ucapnya lirih tapi cukup membuat darah Dara mendidih."Apa kata lo?" umpatnya, matanya makin membulat lebar. "Dasar ya, cowok gak ada hati. Hargai dong usaha cewek yang udah dandan cantik gini. Dasar semua cowok sama aja. Cuma fisik yang dilihat."Sebelah sudut bibir Dirga
"Ingat, kita belum malam pertama sayang," bisiknya intens di telinga Dara, menyeringai kecil. Jantung Dara berdegup kencang. Matilah dia. Salah sendiri membangkitkan singa yang tertidur.Tatapan intimidasi Dirga membuat nyalinya mendadak menciut. Pria ini lebih menyeramkan dari yang dia bayangkan. Mulut kecilnya yang biasanya mengomel, kini hanya bisa menelan salivanya kasar."A-apa maksud lo? Jangan macam-macam deh." Pembelaan yang mirip cicitan kecil. Netra gadis itu melirik tangan Dirga yang membelai lembut pipinya. Memainkan jemari panjang itu di pipinya. Sialan. Jantungnya berdegup kencang."Haha. Kenapa wajahmu pucat sayang. Tenang saja, tak ada yang akan mengganggu kita. Kita hanya BERDUA disini.""Yah! Hentikan beruang kutub!"Entah keberanian darimana, Dara berteriak keras. Telinga Dirga berdengung. Suara gadis itu sangat melengking, seperti speaker rusak."Minggir! Enak saja. Lo pikir gue sudi apa nikah sama lo." Omelannya kembali keluar. Mendorong dada Dirga menjauh darinya
"Gimana kabarmu?""Yah, beginilah. Bisa lihat sendiri." Hey! Lagi-lagi beruang kutub itu tertawa. "Ayo, silakan duduk." Dirga mempersilakan. Mereka terlihat akrab. Ada hubungan apa mereka sebenarnya?"Oh? Ini siapa?" Raka baru menyadari keberadaan Dara. Kaget dengan tampilan aneh gadis di ruangan Dirga.Dirga tak menjawab. Justru mengerutkan dahi melihat perubahan dadakan Dara. Yang tadinya seperti gadis tak punya sopan santun, tiba-tiba saja mematung."Saya Raka, rekan kerja Dirga." Dara melirik uluran tangan Raka dan menghentakkan kakinya kesal. Moodnya yang sudah buruk bertambah buruk. Dia keluar dari ruangan Dirga dan membanting kasar pintu ruangan Dirga.Brak!"Ada apa dia?" tanya Raka heran. Gadis yang aneh, pikirnya. Dirga menatap tajam kepergian gadis itu."Biarkan saja," ucapnya datar."Kau minum apa?" tawarnya kemudian. Raka menggeser duduknya. Belum pulih keterkejutannya dari sikap gadis jelek barusan.
"Lo gila! Bukannya kalian terlihat akrab tadi?" Dara menggelengkan kepala mendengar ide Dirga."Apa kau percaya dengan yang terlihat?""Bukannya gitu, tapi gue rasa lo keterlaluan deh."Dirga mendengkus. Membuang pandangan."Jadi kamu pikir disini saya yang jahat bukan?" Rautnya kecewa. Aneh, tapi memang menurut Dara ide Dirga keterlaluan. Apa gak menusuk teman dari belakang namanya."Sepertinya kamu masih menyukai mantanmu itu," celetuk Dirga lagi."Heh! Ngaco. Mana mungkin gue suka sama penghianat itu," gerutunya. Masih teringat sakit hatinya saat tak ada angin tak ada hujan cowok itu mengirim undangan pernikahan. Padahal sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja. "Lalu, kenapa kamu membelanya?""Hish! Gue gak belain. Cuma ngerasa aneh aja. Bisa ya di depan sok akrab tapi di belakang nusuk. Gak habis thinking deh.""Namanya juga dunia bisnis. Sebelum ditusuk, lebih baik menusuk duluan. Lagian apa kamu percaya dia baik seperti yan
"Kau, pelajari berkas ini." Dirga menyerahkan setumpuk kertas diatas ranjang Dara. "Buat apa?" tanya Dara mendongak heran. Lalu beralih ke tumpukan kertas itu. Melihatnya saja kepalanya sudah puyeng. Selama ini basicnya kan dunia make over, kenapa malah dikasih tumpukan kertas."Kau yang akan menjadi wakilku untuk kerjasama dengan perusahaan Raka.""What! L-lo gak salah? G-gue?" telunjuknya menunjuk dirinya sendiri. Dirga mengangguk."Kau tak lupa kan dengan kesepakatan kita tadi siang?"Wajah Dara memerah. Ya, dia ingat. Upaya balas dendamnya dengan Raka kan? Membuat pria itu luluh padanya, menghancurkannya, lalu meninggalkannya. Dara mendengkus pelan."Aku sengaja, supaya kamu lebih mudah mendekati Raka. Dan mulai besok, dandananmu juga rubah. Aku sudah menghubungi Beauty and Care salon supaya merubah tampilanmu." Mata Dara makin melotot. Beauty and Care, lah itu mah salonnya sendiri. Aneh sih."L-lo... arh! Kenapa lo mutusin sendir
mengacungkan jempolnya pada Nana. Kembali mematut wajah barunya di cermin. Dalam satu kehidupan saja, dia punya tiga wajah coba."Makasih, Mbak. Huft, deg-degan saya." Dia mengurut dadanya pelan."Gak usah khawatir. Lo pura-pura aja gak kenal gue. Lagian gue gak yakin kalau dia ingat lo yang make up in gue di nikahan itu. Dan bilang aja, namanya juga ekperimen wajah baru, harus cari model yang sesuai. Ntar kalau beruang itu marah-marah, biar gue yang tanganin."Nana mengangguk."Iya, Mbak. Makasih."Dara tersenyum tipis. "Sudah, keluar saja. Gue mau ganti baju." Nana mengangguk. Beranjak keluar. Dara mengambil dress peach yang terlihat lembut di kulitnya. Menarik napas panjang. Apa benar dia kuat menghadapi Raka nanti. Hah! Sudahlah, tinggal jalanin saja. Lagian dia juga ingin membuat pria itu merasakan sakit hatinya dulu. Enak aja ninggalin gitu aja. Dia juga bisa kali.Tak lama, Dara selesai dengan acara dandannya. Sempurna. Dia rasa Raka tak
"Cepet banget ya, akrabnya," tukas Dirga. Rautnya kesal. Gimana enggak, di restoran tadi dia benar-benar didiamkan seolah-olah tak dianggap kehadirannya. Ya benar sih tujuannya mendekatkan Dara dengan Raka, tapi gak harus dengan mengabaikannya gitu aja. Mana mata Raka tadi menyorotkan hal lain. Menatapi tubuh Dara dengan seringai nakalnya. Entah gadis itu sebenarnya menyadari atau tidak. Tapi ekspresinya santai sekali.Lihatlah, dia yang kembali berpenampilan jelek itu kini dengan santainya melahap buah anggur. "Ya iyalah. Namanya juga aslinya dah kenal. Mantan lagi," sahutnya cuek. Buah anggur ini lebih membuatnya tertarik daripada sindiran Dirga."Kamu masih cinta kan sama dia?" selidiknya. Dara merotasikan bola matanya malas. "Lo kenapa sih? Gue cinta atau gak kan bukan urusan lo. Aneh," decisnya sebal. Mengambil buah anggur lagi. Ayolah, ini lebih enak daripada ocehan unfaedah cowok itu."Ku harap kamu tidak lupa dengan tujuan awal kita. Aku tidak ingin bekerja sama dengan pengh