Tiffany menggeleng dengan sungguh-sungguh. "Aku nggak tahu.""Kalau begitu, kamu percaya padaku nggak?""Percaya dong." Tiffany merangkul leher Sean dan menatapnya dengan tatapan tulus. "Kamu suamiku. Masa aku nggak percaya padamu?""Tapi, kamu tetap harus memberiku penjelasan."Tiffany memang memercayai Sean. Namun, Sean tidak seharusnya merahasiakan pertemuannya dengan wanita lain, 'kan? Hari ini Zara, bagaimana dengan hari-hari berikutnya?Sean sendiri yang bilang di antara suami istri harus jujur dan terbuka. Sean menyuruh Tiffany memberitahunya jika Tiffany bertemu pria lain. Aturan ini tidak mungkin hanya berlaku untuk Tiffany, 'kan?Sean memeluk Tiffany, lalu mengembuskan napas. "Aku menemuinya bukan karena dia cantik, juga bukan karena alasan lain."Sean menarik napas dalam-dalam, lalu menunjukkan sebuah foto dari ponselnya. "Lihat ini."Tiffany mengambil ponsel Sean. Begitu melihat foto tersebut, matanya sontak terbelalak. Itu adalah foto Zara dengan seorang pemuda.Hanya saja
Ucapan Sean membuat Tiffany merasa agak bingung. Dia mengatupkan bibir dan menatap Sean sambil berkata, "Maksudmu, ada kemungkinan ... Zara bukan hanya mirip sama kakakmu, tapi ... seseorang telah memasukkan pikiran kakakmu ke dalam dirinya?"Sean terdiam, tidak berkata apa pun. Namun, keheningannya itu sudah cukup untuk membuktikan sikapnya.Tiffany menggelengkan kepalanya. "Itu nggak mungkin ...."Tiffany adalah seorang mahasiswa kedokteran. Dia tahu bahwa dengan kemajuan dunia medis saat ini, tidak mungkin mentransfer ingatan seseorang yang sudah meninggal ke dalam otak orang lain.Bahkan dengan hipnosis pun tidak bisa.Saat SMA dulu, gurunya pernah mengajarkan bahwa jika semua kemungkinan telah disingkirkan, maka jawaban yang tersisa adalah jawaban yang benar meski kedengarannya aneh. Oleh karena itu, Tiffany berkata, "Suamiku, menurutku mungkin saja ... kakakmu masih hidup."Itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal. Sean tidak mungkin memberi tahu Zara tentang rahasia antara di
Tiffany memutuskan untuk tetap berpikiran positif. Memikirkan hal itu, Tiffany langsung bangkit dari tempat tidur dan melompat di hadapan Chaplin. "Ayo, Kakak bawa kamu main air!"Di luar, matahari siang bersinar terik dan menyengat. Tiffany dan Chaplin memegang selang di taman sambil menyiram bunga-bunga dan bermain air dengan riang.Sementara itu, Sean berdiri di jendela ruang kerja di lantai dua, diam-diam memperhatikan mereka.Pemandangan itu membawa pikirannya kembali ke masa 13 tahun yang lalu. Waktu itu ....Kakaknya juga seperti ini. Dia menemani Sean bermain dari lantai atas hingga ke bawah rumah dan berlarian di taman. Setelah orang tuanya meninggal, kakaknya melindunginya dengan sangat baik. Sampai di usia 13-14 tahun, dia masih bisa tetap polos, ceria, dan bersikap positif terhadap kehidupan.Namun kemudian ....Sean memejamkan matanya. Kalau bukan karena Tiffany, dia tidak akan pernah merasakan kehangatan dunia ini lagi. Dia menghela napas dan mengambil sebuah foto dari la
Tiffany tinggal di kediaman Tanuwijaya selama setengah bulan untuk beristirahat. Setengah bulan kemudian, setelah mendapatkan izin dari Charles, dia langsung mengurus izin cutinya di kampus.Pagi itu, dia bangun lebih awal dengan penuh semangat, mengenakan tas punggung dan turun ke lantai bawah."Nyonya, pagi sekali." Rika tersenyum ramah sambil meletakkan sarapan di meja. "Hari ini sudah mulai masuk kuliah lagi?"Tiffany duduk di kursi meja makan, bahkan tasnya pun tak rela dilepas. "Iya, hari ini mulai masuk! Kelamaan diam di rumah, rasanya aku jadi berjamur!""Begitu ya?"Sean yang sudah rapi dengan setelan jas, turun dari tangga spiral sambil merapikan kancing mansetnya. "Sini, biar kucium dulu, benaran berjamur atau nggak."Tiffany memutar matanya kesal, lalu kembali menunduk dan melanjutkan sarapannya.Sean tersenyum dan berjalan ke arahnya. Dia duduk di seberang Tiffany, tatapannya tertuju pada tas yang masih melekat di punggungnya. "Semangat sekali mau ke kampus?""Ya!" Tiffany
"Kamu lihat kan, sejak si Zara itu datang, semua guru dan teman sekelas jadi suka padanya. Mereka nggak seantusias dulu sama kamu," keluh Julie sambil memberikan tisu pada Tiffany untuk mengelap keringat. "Benar-benar licik. Bahkan dosen kalkulus kita saja bisa dia buat terpana."Tiffany mengernyit, tidak terlalu paham maksud ucapan Julie. Saat dia menoleh dan hendak bertanya, pandangannya tertuju pada seorang gadis yang duduk di barisan paling depan. Gadis itu menoleh dan menatapnya balik.Tatapan mereka saling bertemu. Zara tersenyum ramah ke arah Tiffany, lalu kembali memusatkan perhatian ke dosen. Mata Tiffany membelalak kaget. "Dia ... kenapa dia ada di sini?""Beberapa hari lalu dia pindah ke sini, katanya sih sebagai siswa pertukaran," jawab Julie dengan nada jengkel. "Kamu tahu nggak? Waktunya cuma setengah tahun di sini, tapi dia bilang apa ke guru dan teman sekelas?""Dia bilang, dia merasa semua orang di sini sangat ramah dan baik. Bahkan kalau masa pertukaran selesai, dia
Setelah mendengar ucapan Julie, Tiffany baru menyadari ada bekas luka samar di wajah Julie, seperti goresan kuku. Tiffany mengerutkan kening dalam-dalam, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Julie. "Ini ... kenapa?""Cuma bertengkar kecil sama mereka." Julie menghindari tangannya. "Zara sudah pindah seminggu, tapi karena aku takut kamu yang lagi istirahat malah jadi kepikiran, aku nggak bilang apa-apa."Melihat semakin banyak teman yang mengerumuni Zara di depan, Julie mendengus kesal. "Apa-apaan sih ini! Kamu sudah izin selama setengah bulan, tapi tetap saja cuma salah dua soal di ujian. Itu sudah hebat banget. Lagian, mereka setiap hari ikut kelas, apa yang mau dibanggakan!"Tiffany mengepalkan bibirnya dan mengusap kepala Julie dengan lembut, menirukan kebiasaan Sean saat menenangkannya. "Kamu ini ... Kenapa harus dipikirkan sampai segitunya?""Tapi posisi ketua belajar itu kan memang tugasmu dan dulunya yang dipuja-puja di kelas ini juga kamu. Mereka benar-benar nggak tahu
Karen mengiakan dan lanjut menulis di papan tulis dengan sikap patuh. Julie mengepalkan tinju dan mengumpat, "Dasar berengsek!"Karen jelas sengaja! Karen mengatakan ada dua metode penyelesaian dan menyuruh murid lain untuk mengerjakannya di depan kelas. Karen jelas tahu guru Fisika paling mengapresiasi Tiffany! Karen sengaja ingin mempermalukan Tiffany di depan guru Fisika!"Duduk kamu!" perintah guru Fisika. Guru Fisika dengan puas melihat Karen menuliskan jawaban yang benar, lalu menoleh pada Tiffany dan memelototinya. Guru Fisika menegur Tiffany, "Kamu makin sembrono! Bisa nggak kamu belajar dengan yang lain?"Tiffany mengangguk dan tersenyum. "Baik, aku akan belajar dengan Karen."Tidak ada kemarahan maupun keirian di mata Tiffany, melainkan tulus, serius, dan sungguh-sungguh. Tatapan mata Tiffany membuat jantung Guru Fisika berdebar-debar. Guru Fisika pun menghibur Tiffany, "Kesehatan memang penting, tapi nggak boleh lalai juga dalam belajar. Berusahalah lebih keras.""Aku paha
Berlina mengangguk. Dia berujar, "Tiff, kamu nggak tahu, 'kan? Saat kamu izin nggak masuk sekolah, suamimu sangat dekat dengan Karen."Dikarenakan masalah Garry yang sebelumnya terlalu menghebohkan, semua teman sekelas pun tahu. Mereka iri dengan keberuntungan Tiffany, juga memandang rendah Tiffany karena menikah dengan Sean demi uang.Orang cenderung lebih ingin memercayai fakta yang ingin mereka percaya. Meskipun Garry bersikap agresif di konferensi pers, meskipun Farris memberi kesaksian, Berlina dan teman-temannya tetap percaya bahwa ada hubungan tak jelas antara Tiffany dan Mark. Oleh karena itu, ketika Karen berbicara tentang hubungannya dengan Sean, mereka semua percaya."Tiff, kamu jangan marah dengan Karen. Nggak ada wanita normal yang akan menolak ungkapan cinta dari pria unggul," ujar Berlina. Dia berkata lagi dengan tegas, "Apalagi, bukannya kamu dan Sean bebas main masing-masing? Kamu punya Mark, Sean juga bisa punya Karen.""Gimana cara Karen hipnotis kalian?" tukas Julie
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli