"Kamu lihat kan, sejak si Zara itu datang, semua guru dan teman sekelas jadi suka padanya. Mereka nggak seantusias dulu sama kamu," keluh Julie sambil memberikan tisu pada Tiffany untuk mengelap keringat. "Benar-benar licik. Bahkan dosen kalkulus kita saja bisa dia buat terpana."Tiffany mengernyit, tidak terlalu paham maksud ucapan Julie. Saat dia menoleh dan hendak bertanya, pandangannya tertuju pada seorang gadis yang duduk di barisan paling depan. Gadis itu menoleh dan menatapnya balik.Tatapan mereka saling bertemu. Zara tersenyum ramah ke arah Tiffany, lalu kembali memusatkan perhatian ke dosen. Mata Tiffany membelalak kaget. "Dia ... kenapa dia ada di sini?""Beberapa hari lalu dia pindah ke sini, katanya sih sebagai siswa pertukaran," jawab Julie dengan nada jengkel. "Kamu tahu nggak? Waktunya cuma setengah tahun di sini, tapi dia bilang apa ke guru dan teman sekelas?""Dia bilang, dia merasa semua orang di sini sangat ramah dan baik. Bahkan kalau masa pertukaran selesai, dia
Setelah mendengar ucapan Julie, Tiffany baru menyadari ada bekas luka samar di wajah Julie, seperti goresan kuku. Tiffany mengerutkan kening dalam-dalam, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Julie. "Ini ... kenapa?""Cuma bertengkar kecil sama mereka." Julie menghindari tangannya. "Zara sudah pindah seminggu, tapi karena aku takut kamu yang lagi istirahat malah jadi kepikiran, aku nggak bilang apa-apa."Melihat semakin banyak teman yang mengerumuni Zara di depan, Julie mendengus kesal. "Apa-apaan sih ini! Kamu sudah izin selama setengah bulan, tapi tetap saja cuma salah dua soal di ujian. Itu sudah hebat banget. Lagian, mereka setiap hari ikut kelas, apa yang mau dibanggakan!"Tiffany mengepalkan bibirnya dan mengusap kepala Julie dengan lembut, menirukan kebiasaan Sean saat menenangkannya. "Kamu ini ... Kenapa harus dipikirkan sampai segitunya?""Tapi posisi ketua belajar itu kan memang tugasmu dan dulunya yang dipuja-puja di kelas ini juga kamu. Mereka benar-benar nggak tahu
Karen mengiakan dan lanjut menulis di papan tulis dengan sikap patuh. Julie mengepalkan tinju dan mengumpat, "Dasar berengsek!"Karen jelas sengaja! Karen mengatakan ada dua metode penyelesaian dan menyuruh murid lain untuk mengerjakannya di depan kelas. Karen jelas tahu guru Fisika paling mengapresiasi Tiffany! Karen sengaja ingin mempermalukan Tiffany di depan guru Fisika!"Duduk kamu!" perintah guru Fisika. Guru Fisika dengan puas melihat Karen menuliskan jawaban yang benar, lalu menoleh pada Tiffany dan memelototinya. Guru Fisika menegur Tiffany, "Kamu makin sembrono! Bisa nggak kamu belajar dengan yang lain?"Tiffany mengangguk dan tersenyum. "Baik, aku akan belajar dengan Karen."Tidak ada kemarahan maupun keirian di mata Tiffany, melainkan tulus, serius, dan sungguh-sungguh. Tatapan mata Tiffany membuat jantung Guru Fisika berdebar-debar. Guru Fisika pun menghibur Tiffany, "Kesehatan memang penting, tapi nggak boleh lalai juga dalam belajar. Berusahalah lebih keras.""Aku paha
Berlina mengangguk. Dia berujar, "Tiff, kamu nggak tahu, 'kan? Saat kamu izin nggak masuk sekolah, suamimu sangat dekat dengan Karen."Dikarenakan masalah Garry yang sebelumnya terlalu menghebohkan, semua teman sekelas pun tahu. Mereka iri dengan keberuntungan Tiffany, juga memandang rendah Tiffany karena menikah dengan Sean demi uang.Orang cenderung lebih ingin memercayai fakta yang ingin mereka percaya. Meskipun Garry bersikap agresif di konferensi pers, meskipun Farris memberi kesaksian, Berlina dan teman-temannya tetap percaya bahwa ada hubungan tak jelas antara Tiffany dan Mark. Oleh karena itu, ketika Karen berbicara tentang hubungannya dengan Sean, mereka semua percaya."Tiff, kamu jangan marah dengan Karen. Nggak ada wanita normal yang akan menolak ungkapan cinta dari pria unggul," ujar Berlina. Dia berkata lagi dengan tegas, "Apalagi, bukannya kamu dan Sean bebas main masing-masing? Kamu punya Mark, Sean juga bisa punya Karen.""Gimana cara Karen hipnotis kalian?" tukas Julie
Tiffany menatap Berlina dengan serius dan bertanya, "Memangnya ayahmu lapor pada ibumu kalau pinjamkan mobilnya ke orang lain?"Ekspresi sombong di wajah Berlina membeku. Setiap orang di kelas mereka tahu bahwa keluarga Berlina miskin sampai tidak punya mobil! Ayah Berlina selalu mengendarai motor listrik saat menghadiri rapat orang tua di sekolah!Itu adalah penghinaan, penghinaan yang jelas! Wajah Berlina memucat. Suasana pun menjadi hening untuk waktu yang lama.Julie bereaksi lebih dulu. Dia tertawa terbahak-bahak dan mengejek, "Tiff, Berlina nggak bisa jawab pertanyaanmu. Keluarganya nggak punya mobil!"Tiffany termangu sejenak, lalu berkata, "Oh, begitu."Tiffany menatap Berlina seraya tersenyum. Dia berujar, "Kalau orang tuamu nggak kasih contoh, gimana kamu tahu masalah ini akan merusak hubungan suami istri?"Wajah Berlina memucat lagi. Dia tergagap, "Aku ....""Berlina, omonganmu sudah keterlaluan," seru Karen. Karen menepuk bahu Berlina dan berkata, "Gimana hubungan suami ist
Sean mengirim pesan untuk memberitahukan dirinya akan sampai dalam waktu sepuluh menit. Saat Tiffany sampai di depan gerbang sekolah, hanya tersisa enam menit lebih dari waktu yang dijanjikan oleh Sean.Julie menoleh ke belakang dan mengernyit ketika melihat Karen diikuti oleh banyak orang di belakang. Julie menggerutu, "Dasar menyebalkan, buat apa mereka ikut ke sini?"Tiffany sangat tenang dan berujar, "Ini gerbang sekolah. Sehabis pulang sekolah, semua murid akan dijemput di sini. Itu wajar."Julie mengerenyotkan bibir. Dia benar-benar tidak berdaya terhadap wanita tidak peka ini! Julie menggertakkan gigi, lalu meraih tangan Tiffany dan bertanya, "Tadi kamu bilang mau sekalian antar aku pulang. Jangan-jangan kamu bohongi mereka?"Sebelumnya, Tiffany selalu diantar dan dijemput oleh Genta menggunakan mobil Maserati hitam yang sekarang sudah dipinjamkan kepada Karen. Oleh karena itu, Julie berpikir sekarang Tiffany pasti naik bus untuk datang ke dan pulang dari sekolah! Tiffany hanya
Bos yang sedang jatuh cinta tidak dapat disinggungi! Tiffany tersenyum seraya menatap Genta. Tiffany berujar, "Kamu tetap tampan."Tiffany beristirahat di rumah dalam beberapa waktu terakhir sehingga tidak tahu Genta berdinas ke luar. Jika dihitung-hitung, sudah lama Tiffany tidak bertemu dengan Genta.Genta berdeham dan ingin berbicara, tetapi Berlina yang berdiri di belakang sudah tidak tahan lagi. Berlina mengangkat alis seraya menegur, "Sopir, cepat bukakan pintu untuk Karen. Kenapa malah ngobrol dengan Tiffany?"Sebelum Berlina selesai berbicara, Genta langsung menjentikkan sebutir kacang ke wajah Berlina. Genta menghardik, "Aku sedang bicara dengan Bu Tiffany. Siapa kamu?"Mata Berlina membelalak. Berlina hendak menghampiri Genta. Dia membentak, "Kamu ... sekarang kamu hanya sopir Karen, tapi aku teman Karen!""Berlina," panggil Karen. Karen sekali lagi menghentikan Berlina. Sebenarnya, Karen tidak sudi untuk berteman dengan orang seperti Berlina. Akan tetapi ....Sifat Berlina y
Karen memicingkan mata saat melihat mobil Maybach abu-perak edisi terbatas sedunia itu. Berlina pun sangat iri. Mobil siapa yang bisa lebih berkelas dibanding Sean? Apakah Mark?Pintu mobil dibuka. Sepasang sepatu kustom buatan tangan berpijak di permukaan tanah depan gerbang sekolah. Semua orang memusatkan perhatian pada pria itu.Sean masih mengenakan jas biru tua yang formal setelah baru selesai melakukan pertemuan bisnis. Kaki Sean ramping dan panjang. Tubuh Sean jangkung dan besar, serta memancarkan aura angkuh dan mulia. Wajah Sean tampak tegas dan sangat tampan. Mata Sean yang kelam tertuju pada wajah Tiffany. "Maaf, aku telat," kata Sean. Sean menutup pintu mobil, lalu tersenyum pada Tiffany dengan penuh kasih sayang sembari mengulurkan dua tangan."Nggak telat!" Seperti biasa, Tiffany langsung maju dan memeluk pinggang Sean yang kekar. Tiffany berkomentar, "Waktunya pas, tapi kamu jarang telat."Tiffany mendongakkan matanya yang hitam dan murni. Tiffany bertanya, "Kamu sibuk,
Sean menggenggam setir mobilnya, tangannya sedikit membeku.Dia menatap kaca spion tengah dengan ekspresi geli, melihat wanita yang tampak terkejut sekaligus tersentuh itu. "Aku cuma nyatakan perasaan ke kamu, perlu mikir sejauh itu?"Wajah Tiffany memerah. Dia mengintip ke arah Sean dengan hati-hati melalui kaca spion. "Aku cuma merasa aneh saja ...."Suara wanita itu lembut dan agak manja. "Ngapain kamu tiba-tiba ngomong kayak gitu? Nggak ada angin, nggak ada hujan."Genggaman Sean di setir semakin kencang. Dia mengatakan itu bukan tanpa alasan! Semuanya ada alasannya!Sean menatap wanita yang duduk di kursi belakang, hatinya penuh dengan emosi. Selama 5 tahun, dia terus mencari Tiffany.Bahkan saat Sean belum menemukannya, Tiffany tetap nekat menyelamatkannya dalam kebakaran besar yang terjadi 3 tahun lalu.Setelah menyelamatkannya, Tiffany malah tidak mengatakan sepatah kata pun. Kalau dibandingkan dengan Vivi yang selama 3 tahun ini terus mengklaim dirinya sebagai penyelamat dan m
Awalnya, Sean masih begitu yakin orang yang menyelamatkannya di tengah kebakaran saat itu adalah Tiffany. Namun, Mark dan Charles terus menjelaskan padanya bahwa orang yang berada di ambang kematian pasti akan berhalusinasi. Lama-kelamaan, dia juga merasa semua itu hanya halusinasi. Setelah kemunculan Vivi, dia benar-benar percaya Tiffany tidak pernah menyelamatkannya.Namun kini, perasaan Sean benar-benar bergejolak saat teringat kembali dengan perkataan Zion dan melihat buku kenangan di tangannya. Yang berarti orang yang menyelamatkannya saat kebakaran tiga tahun yang lalu adalah Tiffany.Satu menit kemudian.Rika yang baru saja turun tangga dan hendak mulai membersihkan rumah pun mengambil pel lantai. Saat Sean tiba-tiba turun dari lantai atas sambil memegang buku kenangan dan melangkah menuju pintu keluar, dia kebingungan. Tadi Sean berkata ingin mengantar jaket untuk anak-anak, sekarang malah hanya membawa sebuah buku.Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, Jason berhenti s
Sean mengantar kedua anaknya ke TK."Kamu ayahnya Arlo dan Arlene?" tanya bibi di TK itu dengan ramah.Sean menggandeng tangan kedua anaknya, lalu menganggukkan kepalanya dan menjawab dengan tenang, "Ya.""Serahkan saja anak-anak padaku."Bibi itu menarik tangan Arlo dan Arlene sambil tersenyum, lalu mengingatkan Sean, "Belakangan ini cuacanya mulai dingin dan ramalan cuaca juga bilang hari ini akan turun hujan. Sepertinya pakaian Arlo dan Arlene terlalu tipis. Bisakah kamu pulang dan mengambil jaket untuk mereka? Sistem imun anak kecil masih lemah. Kalau nggak menjaga mereka tetap hangat, mereka akan mudah masuk angin."Setelah ragu sejenak, Sean menganggukkan kepala. "Baik."Sean langsung mencari jaket di dalam lemari setelah kembali ke rumah, tetapi tidak menemukan yang cocok. Saat hendak menelepon Tiffany, pandangannya tiba-tiba tertuju pada koper yang terletak di bawah tempat tidur Arlo.Dia pun menepuk keningnya. Saat Tiffany ikut dengannya ke Kota Aven, Tiffany pasti sudah menyi
Vivi berkata dengan tatapan penuh dengan tekad dan nafsu, "Bagaimana kalau kita berdamai saja? Aku janji mulai sekarang aku nggak akan berpikiran yang macam-macam terhadap Sean, asalkan kamu nggak memberitahunya kebenarannya dan mengusirku."Setelah mengatakan itu, Vivi mengangkat empat jarinya dan melanjutkan, "Tenang saja, aku bersumpah kelak aku benar-benar nggak akan mengganggu Sean lagi. Aku sebenarnya nggak begitu mencintainya juga, aku hanya tertarik pada status dan kedudukannya saja. Masih ada banyak pria baik di dunia ini, aku bukannya nggak bisa hidup tanpa dia. Jadi ...."Tiffany menguap, lalu menatap Vivi dengan tatapan meremehkan. "Vivi, kamu nggak merasa sekarang kamu ini benar-benar lucu? Aku dan Sean adalah pasangan yang akan bersama-sama seumur hidup, jadi aku pasti akan memberitahunya hal ini. Aku sudah membuat masalah yang begitu besar karena sebelumnya aku menyembunyikan hal ini, jadi aku nggak akan menyembunyikan apa pun lagi dari dia.""Soal kamu .... Aku nggak pu
Melihat Vivi yang begitu ahli melempar semua tanggung jawab pada Lena, Tiffany tertawa. Dia menatap Vivi dengan ekspresi cuek dan berkata, "Bagaimanapun juga, Lena sudah menjadi adikmu selama puluhan tahun ini, tapi kamu malah memanfaatkannya seperti ini. Apa kamu nggak merasa bersalah sedikit pun?"Vivi mendengus. "Kenapa aku harus merasa bersalah? Sejak kecil, dia selalu merebut barangku di rumah. Orang tuaku juga bilang nilainya lebih bagus, jadi mereka nggak mengizinkanku untuk terus bersekolah lagi. Malah dia yang boleh bersekolah. Kalau bukan karena orang tua kami meninggal dalam kecelakaan saat dia SMP, aku pasti harus bekerja untuk membiayai sekolahnya ke SMA.""Apa haknya? Aku ini anak kandung orang tuaku, semua ini seharusnya milikku."Seolah-olah teringat dengan berbagai kejadian masa lalu, tatapan Vivi menjadi ganas dan nada bicaranya terdengar liar. "Lena itu bukan adikku dan aku juga nggak pernah menganggapnya sebagai adikku. Kalau bukan karena dia masih berguna, aku suda
Saat ini, Vivi sedang bersandar di tempat tidur sambil menonton drama dan matanya sudah berkaca-kaca karena terbawa suasana. Dia mengira itu adalah perawat yang mengantar sarapannya saat mendengar ada yang mengetuk pintu, sehingga dia merespons dengan santai. "Masuk saja."Setelah mengatakan itu, Vivi bahkan sempat mengomel, "Bukankah aku sudah bilang jangan begitu pagi antar sarapannya? Kalau terlalu pagi sarapan, nanti aku sudah lapar lagi sebelum waktunya makan siang."Tiffany yang mendengar perkataan Vivi begitu masuk ke dalam kamar pun tersenyum dan berkata dengan tenang, "Sepertinya aku memang nggak sopan ya. Apa aku seharusnya datang menjenguk sambil membawa sarapan?"Vivi terkejut sejenak saat mendengar suara wanita dengan nada dingin dan menyindir, lalu mengangkat kepalanya dan melihat Tiffany yang sudah berpakaian rapi sedang berdiri di depan pintu. Dia mengernyitkan alis, lalu mengambil remot dan mematikan dramanya. "Nona Tiffany, kenapa kamu bisa datang ke sini?"Tiffany me
Saat Tiffany tersadar kembali, itu sudah keesokan paginya dan Julie menjaganya di samping dengan mata yang masih merah.Melihat Tiffany yang sudah bangun, Julie segera membantu Tiffany untuk duduk. "Bagaimana? Apa ada yang sakit?"Tiffany memijat pelipisnya yang sakit. "Kenapa aku di sini?"Julie menuangkan segelas air dan menyerahkannya pada Tiffany, lalu menghela napas. "Kamu sudah sibuk menyelesaikan tugas akhir selama beberapa hari ini, jadi nggak istirahat dengan baik. Kejadian di pintu lembaga riset kemarin membuatmu terlalu kaget dan kamu juga terlalu sedih saat dengar kondisi Xavier, jadi kamu pingsan. Tapi, sekarang kamu sudah baik-baik saja.""Hanya saja, tunangan dari Xavier sudah semalaman nggak tidur. Dia terus duduk di samping tempat tidur dan memegang tangan Xavier. Dia bilang dia yakin satu jam lagi Xavier pasti akan bangun. Tapi, waktu terus berlalu, Xavier masih tetap begitu. Dia masih terus yakin Xavier pasti akan sadar, jadi dia mau tunggu sampai Xavier bangun."Set
Lena merangkak mendekat dan menggenggam ujung celana Tiffany, lalu berkata, "Aku bersedia mengakui kesalahanku dan dihukum sesuai hukum, tapi tolong jangan sakiti kakakku. Jangan melibatkan dia dalam masalah ini. Aku mohon padamu."Tiffany mendengus, lalu langsung mengangkat kakinya dan menyingkirkan tangan Lena. "Karena kamu memohonku, jadi aku harus menurut padamu? Kalau tahu hari ini akan begini, kenapa kamu harus melakukannya? Kamu pikir kamu bisa lolos dari hukum setelah melakukan semua ini?"Wajah Lena langsung menjadi pucat. Sebenarnya, dia sudah memperkirakan semua yang terjadi sekarang, tetapi kakaknya terus murung selama beberapa hari ini. Kakaknya bilang Tiffany sudah kembali, berarti dia harus meninggalkan Sean dan Kota Aven.Selama tiga tahun ini, Lena melihat dengan jelas betapa baiknya kehidupan kakaknya di sisi Sean. Jika meninggalkan Sean, kakaknya akan kehilangan pengobatan yang terbaik dan standar hidup kakaknya juga akan memburuk. Dia mengakui dirinya bukan orang ya
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi