Dibanding dengan teman-teman sekelas yang tercengang, Karen yang sudah menduga hal itu tampak jauh lebih kalem. Karen tersenyum sopan pada Sean dan berujar, "Iya, aku dan Tiff sekolah bareng, pulang sekolah bareng, dan sama-sama tunggu mobil di sini.""Kalau begitu, Nona Karen pulanglah," kata Sean. Lalu, Sean menoleh pada Berlina dan berkata dengan suara rendah yang penuh aura berbahaya, "Tadi kamu bilang kamu ... menertawakan istriku?"Berlina terdiam. Dia merapatkan bibir, lalu berucap, "Aku ... aku hanya bercanda dengan Tiff."Sean menundukkan pandangan pada gadis polos di dalam pelukannya. Sean tahu dia tidak bisa mendapatkan jawaban dari mulut Tiffany. Tiffany terlalu baik dan tidak menyimpan dendam.Oleh karena itu, Sean menoleh pada Julie dan bertanya, "Apa yang terjadi barusan?"Julie memicingkan mata dengan jengkel saat menceritakan apa yang terjadi barusan kepada Sean."Begitu, ya," kata Sean dengan suara rendah yang dipanjangkan. Berlina takut sehingga bersembunyi di balik
Karen pulang ke rumah Keluarga Winata dengan penuh emosi. Karen melempar tasnya ke sofa dan berseru, "Aku nggak mau lagi!"Slamet Winata duduk di sofa sambil minum teh. Slamet menatap Karen dan bertanya, "Kenapa lagi?""Sean benar-benar seperti batu!" keluh Karen. Karen mengambil cangkir teh dan minum, lalu berujar dengan jengkel, "Hari ini, Tiffany sudah masuk sekolah lagi. Selama seminggu ini, aku sudah berusaha memenangkan hati yang lain dan menyusun siasat agar Tiffany trauma dan salah paham." Karen melanjutkan, "Aku mau Tiffany salah kira aku jauh lebih unggul darinya dan Sean lebih menyukaiku! Tapi? Sore ini, Sean secara pribadi datang untuk jemput Tiffany! Semua usahaku sia-sia!"Karen menaruh cangkirnya ke meja dengan kuat. Terdengar dentingan nyaring karena gesekan antara cangkir kaca dan meja kaca!Slamet mengernyit dan menegur Karen, "Jangan keras-keras! S sedang tidur di atas! Awas kalau kamu bangunkan dia!"Karen berseru dengan jengkel, "Ayah! Aku nggak paham apa yang ha
Sudah ada yang traktir, sayang jika tidak pergi. Tak lama setelah Julie mengirim pesan, orang itu membalas pesan. [ Kalian benaran sudah pergi ke Restoran Imperial? Berlina nggak kasih tahu kalian? Berlina masuk rumah sakit hari ini dan Karen merawatnya. Jadi, acara makan dibatalkan! ]Tiffany berkomentar dengan murung, "Oh, begitu. Aku pikir acara makan tetap jadi.""Aku pikir bisa ambil untung dan bikin mereka jengkel," kata Julie dengan murung juga. Alhasil, lawan menyerah terlebih dahulu."Begini saja," usulkan Tiffany seraya mengeluarkan ponselnya. "Suruh Mark ke sini dan traktir kita makan."Tiffany bepergian dengan tergesa-gesa sehingga tidak membawa kartu hitam yang telah diberikan oleh Sean. Uang yang Tiffany punya saat ini jelas tidak mencukupi. Apabila karyawan hari ini tidak mengenalnya saat melakukan pembayaran nanti, bukankah itu akan sangat merepotkan?Oleh karena itu, biarlah Mark datang dan mentraktir mereka. Sean pun mengatakan Mark sangat santai belakangan ini.Juli
Mark tersenyum kepada Tiffany, lalu duduk di sebelahnya. Mark bertanya, "Makan gratis ke sini lagi?"Wajah Tiffany merah tersipu. Dia menyangkal, "Mana ada aku makan gratis? Aku ... aku hanya mau makan dengan Julie."Lalu, Tiffany menoleh pada Julie, berharap bisa mendapat bantuannya. Bagaimanapun, Julie pandai bersilat lidah dan tidak ada yang bisa mengalahkan Julie. Alhasil, wajah Julie ... jauh lebih merah dibanding Tiffany!"Nona Julie sakit?" tanya Mark sambil mengernyit. Mark mengulurkan tangan untuk meraba dahi Julie. "Sepertinya demam tinggi."Mark menjentikkan jari dengan elegan. Staf resepsionis di samping segera datang dan menyapa, "Bos.""Ambilkan obat pereda demam," perintah Mark. Mark mengernyit ketika melihat anggur merah di atas meja di depan Tiffany. Mark menambahkan, "Sekalian ambilkan obat pereda mabuk."Staf resepsionis bergegas pergi dan segera kembali. Dengan jari yang ramping, Mark mengambil obat pereda demam dari tangan staf resepsionis dan secara elegan menyodo
"Kamu dan para wanita murahan itu nggak ada bedanya."Saat itu, Julie meraih lengan baju Mark dan membantah, "Bukan begitu, aku ...."Julie hanya yakin bahwa ginjal ibunya ada di dalam tubuh Mark. Namun, Mark malah menepis tangannya dan pergi dengan ekspresi datar.Ketika teringat pada sikap dingin Mark, Julie membuka sekaleng bir lagi.Tiffany berkata, "Julie, jangan putus asa begini. Sebenarnya Mark juga nggak termasuk hebat. Selain itu ...."Tiffany menggigit bibirnya sebelum meneruskan, "Kamu dan Mark baru bertemu dua kali. Kamu benaran ... begitu menyukainya?"Julie sampai merendahkan harga dirinya untuk mengungkapkan perasaan kepada Mark? Asal tahu saja, Julie termasuk salah satu dari wanita tercantik di kampus. Kalau bukan karena dia galak, pasti ada banyak pria yang mengejarnya.Selain itu, Julie orang yang sangat serius pada suatu hubungan. Dia tidak pernah menerima orang sembarangan.Di kelas sebelah mereka, ada seorang pria yang mengejar Julie selama setahun. Pada akhirnya,
Keesokan hari, Tiffany baru bangun. Dia bangun karena dering ponselnya. Dengan mata yang masih mengantuk, Tiffany menjawab telepon. "Siapa ....""Tiff, ini aku, Samuel." Terdengar suara cemas seorang pria dari ujung telepon. "Kamu tahu di mana Julie?"Tiffany yang baru bangun dari tidurnya masih linglung. Dia bertanya balik, "Samuel? Siapa?""Aku dari kelas sebelah." Samuel menjelaskan dengan sabar, "Aku yang mengajak Julie nonton hari itu, tapi terus ditolak."Tiffany memejamkan matanya dan merenung beberapa saat. Sepertinya, memang ada orang seperti itu. Namun ...."Kok kamu punya nomorku? Ngapain kamu cari Julie?""Begini." Samuel menarik napas dalam-dalam. "Selama kamu cuti, sekitar tiga atau empat hari lalu, Julie mencariku dan memintaku menjadi pacarnya. Makanya, sekarang kami pacaran. Hari ini kami janjian ke perpustakaan. Aku menunggunya setengah jam, tapi dia nggak datang-datang."Terdengar kecemasan dari suara Samuel. "Tadi aku sudah telepon dia, tapi yang terdengar malah sua
Tiffany menunduk dan melihat piama yang dipakainya. Seharusnya Sean yang mengantarnya pulang semalam. Di dunia ini, hanya Sean yang bisa membatunya mengganti piama dengan sabar.Hati Tiffany sontak menghangat. Dia bangkit, lalu pergi ke ruang kerja.Cahaya matahari pagi menyinari punggung Sean. Sean sedang duduk di ruang kerjanya sambil membaca dokumen. Ketika mendengar suara, dia pun mendongak. Tatapannya yang awalnya terlihat suram seketika dipenuhi senyuman saat melihat Tiffany."Sudah bangun?" Suara Sean membuat jantung Tiffany berdebar-debar.Tiffany menggigit bibirnya dan mengangguk. "Sudah. Semalam kamu yang membawaku pulang ya?"Sean mengangguk, lalu melambaikan tangannya kepada Tiffany. "Kemari."Tiffany pun menghampiri, lalu duduk di pangkuan Sean. Sean memeluknya dan mengecup pipinya dua kali. "Memangnya siapa yang bisa membawamu pulang selain aku?"Tiffany bertanya, "Gimana dengan Julie? Semalam ...."Tadi Samuel mengatakan suara pria yang didengarnya masih muda. Seharusnya
"Cuma begini?" Tiffany menatap pesan yang dikirim Sean kepada Mark. "Kamu yakin Mark akan mengantar Julie ke sana?""Dia nggak berhak untuk nggak mengantar Julie." Sean memeluk Tiffany, lalu mencium lehernya dengan lembut. "Itu urusan mereka. Biarkan saja mereka mengatasinya."Ciuman Sean menjadi makin panas. "Hasil pemeriksaan dari rumah sakit sudah keluar. Tubuhmu ...."Sean mencium telinga Tiffany, lalu mengemutnya dengan lembut. "Sekarang tubuhmu sudah bisa menerimaku."Suara pria yang serak ditambah dengan aroma tubuh yang maskulin membuat pikiran Tiffany menjadi hampa. "Kita ...."Tiffany menatap wajah tampan Sean dan tanpa sadar menghindar. "Sayang, aku ....""Yang patuh sedikit, jangan melawan." Sean mencium Tiffany lagi, lalu bertanya, "Kamu masih ingat janjimu yang sebelumnya? Kamu bilang ingin melakukannya di rumah saja."Suara rendah Sean terdengar serak dan merdu. "Kamu juga bilang kalau aku nggak suka melakukannya di kamar utama, kita bisa melakukannya di ruang kerja atau
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli