Mark tersenyum kepada Tiffany, lalu duduk di sebelahnya. Mark bertanya, "Makan gratis ke sini lagi?"Wajah Tiffany merah tersipu. Dia menyangkal, "Mana ada aku makan gratis? Aku ... aku hanya mau makan dengan Julie."Lalu, Tiffany menoleh pada Julie, berharap bisa mendapat bantuannya. Bagaimanapun, Julie pandai bersilat lidah dan tidak ada yang bisa mengalahkan Julie. Alhasil, wajah Julie ... jauh lebih merah dibanding Tiffany!"Nona Julie sakit?" tanya Mark sambil mengernyit. Mark mengulurkan tangan untuk meraba dahi Julie. "Sepertinya demam tinggi."Mark menjentikkan jari dengan elegan. Staf resepsionis di samping segera datang dan menyapa, "Bos.""Ambilkan obat pereda demam," perintah Mark. Mark mengernyit ketika melihat anggur merah di atas meja di depan Tiffany. Mark menambahkan, "Sekalian ambilkan obat pereda mabuk."Staf resepsionis bergegas pergi dan segera kembali. Dengan jari yang ramping, Mark mengambil obat pereda demam dari tangan staf resepsionis dan secara elegan menyodo
"Kamu dan para wanita murahan itu nggak ada bedanya."Saat itu, Julie meraih lengan baju Mark dan membantah, "Bukan begitu, aku ...."Julie hanya yakin bahwa ginjal ibunya ada di dalam tubuh Mark. Namun, Mark malah menepis tangannya dan pergi dengan ekspresi datar.Ketika teringat pada sikap dingin Mark, Julie membuka sekaleng bir lagi.Tiffany berkata, "Julie, jangan putus asa begini. Sebenarnya Mark juga nggak termasuk hebat. Selain itu ...."Tiffany menggigit bibirnya sebelum meneruskan, "Kamu dan Mark baru bertemu dua kali. Kamu benaran ... begitu menyukainya?"Julie sampai merendahkan harga dirinya untuk mengungkapkan perasaan kepada Mark? Asal tahu saja, Julie termasuk salah satu dari wanita tercantik di kampus. Kalau bukan karena dia galak, pasti ada banyak pria yang mengejarnya.Selain itu, Julie orang yang sangat serius pada suatu hubungan. Dia tidak pernah menerima orang sembarangan.Di kelas sebelah mereka, ada seorang pria yang mengejar Julie selama setahun. Pada akhirnya,
Keesokan hari, Tiffany baru bangun. Dia bangun karena dering ponselnya. Dengan mata yang masih mengantuk, Tiffany menjawab telepon. "Siapa ....""Tiff, ini aku, Samuel." Terdengar suara cemas seorang pria dari ujung telepon. "Kamu tahu di mana Julie?"Tiffany yang baru bangun dari tidurnya masih linglung. Dia bertanya balik, "Samuel? Siapa?""Aku dari kelas sebelah." Samuel menjelaskan dengan sabar, "Aku yang mengajak Julie nonton hari itu, tapi terus ditolak."Tiffany memejamkan matanya dan merenung beberapa saat. Sepertinya, memang ada orang seperti itu. Namun ...."Kok kamu punya nomorku? Ngapain kamu cari Julie?""Begini." Samuel menarik napas dalam-dalam. "Selama kamu cuti, sekitar tiga atau empat hari lalu, Julie mencariku dan memintaku menjadi pacarnya. Makanya, sekarang kami pacaran. Hari ini kami janjian ke perpustakaan. Aku menunggunya setengah jam, tapi dia nggak datang-datang."Terdengar kecemasan dari suara Samuel. "Tadi aku sudah telepon dia, tapi yang terdengar malah sua
Tiffany menunduk dan melihat piama yang dipakainya. Seharusnya Sean yang mengantarnya pulang semalam. Di dunia ini, hanya Sean yang bisa membatunya mengganti piama dengan sabar.Hati Tiffany sontak menghangat. Dia bangkit, lalu pergi ke ruang kerja.Cahaya matahari pagi menyinari punggung Sean. Sean sedang duduk di ruang kerjanya sambil membaca dokumen. Ketika mendengar suara, dia pun mendongak. Tatapannya yang awalnya terlihat suram seketika dipenuhi senyuman saat melihat Tiffany."Sudah bangun?" Suara Sean membuat jantung Tiffany berdebar-debar.Tiffany menggigit bibirnya dan mengangguk. "Sudah. Semalam kamu yang membawaku pulang ya?"Sean mengangguk, lalu melambaikan tangannya kepada Tiffany. "Kemari."Tiffany pun menghampiri, lalu duduk di pangkuan Sean. Sean memeluknya dan mengecup pipinya dua kali. "Memangnya siapa yang bisa membawamu pulang selain aku?"Tiffany bertanya, "Gimana dengan Julie? Semalam ...."Tadi Samuel mengatakan suara pria yang didengarnya masih muda. Seharusnya
"Cuma begini?" Tiffany menatap pesan yang dikirim Sean kepada Mark. "Kamu yakin Mark akan mengantar Julie ke sana?""Dia nggak berhak untuk nggak mengantar Julie." Sean memeluk Tiffany, lalu mencium lehernya dengan lembut. "Itu urusan mereka. Biarkan saja mereka mengatasinya."Ciuman Sean menjadi makin panas. "Hasil pemeriksaan dari rumah sakit sudah keluar. Tubuhmu ...."Sean mencium telinga Tiffany, lalu mengemutnya dengan lembut. "Sekarang tubuhmu sudah bisa menerimaku."Suara pria yang serak ditambah dengan aroma tubuh yang maskulin membuat pikiran Tiffany menjadi hampa. "Kita ...."Tiffany menatap wajah tampan Sean dan tanpa sadar menghindar. "Sayang, aku ....""Yang patuh sedikit, jangan melawan." Sean mencium Tiffany lagi, lalu bertanya, "Kamu masih ingat janjimu yang sebelumnya? Kamu bilang ingin melakukannya di rumah saja."Suara rendah Sean terdengar serak dan merdu. "Kamu juga bilang kalau aku nggak suka melakukannya di kamar utama, kita bisa melakukannya di ruang kerja atau
Namun, setelah mendengarnya, sekujur tubuh Tiffany sontak bergetar. Setelah melakukannya seharian, kini dua kakinya melemas. Namun, didengar dari suara Sean, sepertinya dia ....Karena turun dengan terburu-buru, Tiffany hanya memakai kemeja putih Sean. Sean bertubuh tinggi dan tegap sehingga kemejanya mencapai lutut Tiffany.Saat ini, rambut Tiffany berantakan. Beberapa helai rambutnya tergerai di tulang selangkanya. Matanya besar. Wajahnya yang mungil dipenuhi keterkejutan. Di sudut bibirnya, terdapat pula krim kue berwarna putih.Sean turun dengan menahan hasrat dalam hatinya. Saat ini, dia menjulurkan tangannya untuk menyeka bibir Tiffany. "Apa ini?"Tiffany menatap dengan saksama. "Itu krim kue." Kemudian, dia menambahkan, "Rasanya sangat manis."Sean pun menjilat krim itu di depan Tiffany. "Memang sangat manis."Sean menahan Tiffany di depan kulkas, lalu menatapnya dengan tatapan penuh gairah. "Sama manisnya denganmu."Tiffany menggigit bibirnya. "Aku ... aku nggak manis. Aku ngga
Setelah istirahat seharian di rumah, keesokan harinya Tiffany baru pergi ke kampus. Mengejutkannya, hari ini ada yang duduk di sebelah Julie. Itu adalah Samuel yang parasnya tidak menarik.Samuel yang duduk di samping Julie tampak melambaikan tangannya sambil tersenyum. "Tiff!"Tiffany hampir muntah melihat wajahnya. Dia tahu tidak boleh menilai orang dari penampilan. Namun, paras Samuel terlalu buruk untuk dilihat, sampai-sampai menutupi pesona yang ada pada dirinya.Tiffany lantas tersenyum canggung, lalu menghampiri dan akhirnya duduk di samping Julie.Samuel menyodorkan sekaleng minuman dingin dengan butiran air di luar kepada Tiffany. "Hari ini sangat panas. Ayo diminum supaya kamu nggak kepanasan."Tiffany termangu sebelum berucap, "Terima kasih." Kemudian, dia menoleh melirik Julie. "Kamu ....""Aku membawa pacarku kemari untuk belajar bersama." Julie menatap Tiffany sambil tersenyum menyipitkan mata. Dia seolah-olah sudah menduga reaksi Tiffany.Julie meneruskan, "Samuel baik d
Tiffany mengernyit sambil mengangguk. "Ya."Penny terkekeh-kekeh sinis. "Kalian benaran nggak tahu malu."Julie sontak menampar Penny. "Siapa yang nggak tahu malu?"Penny buru-buru menghindar. Zara pun menghampiri dan menarik Penny. "Penny."Zara melirik Tiffany dan Julie, lalu berkata, "Nggak usah basa-basi dengan mereka."Penny memelototi Tiffany dengan galak, lalu berbalik dan pergi.Samuel menatap sosok belakang kedua wanita itu dengan alis berkerut. "Ada apa dengan mereka?""Bukan urusanmu." Julie menatap Samuel dengan alis agak berkerut. "Kamu bilang temanmu ingin melihatku, 'kan? Ayo."Usai mengatakan itu, Julie menoleh melirik Tiffany dengan tatapan minta maaf. "Aku dan Samuel masih punya urusan. Kami pergi dulu."Tiffany mengernyit dan bertanya, "Kalian mau ke mana?""Ke bar." Samuel berkata, "Aku mengejar Julie setahun lebih. Sekarang dia akhirnya menerimaku. Teman-temanku ingin melihatnya dan memberi selamat kepada kami.""Tapi ...." Tiffany menggigit bibirnya. Kenapa harus
Saat ketiganya sudah menjauh dari lokasi kebakaran, warga desa sudah tiba. Orang-orang dari klub fotografi juga sudah kembali.Warga desa sibuk memadamkan api. Sementara itu, Julie bergegas mendekat dengan mata merah. "Tiffany!" panggilnya.Di belakang Tiffany, Sean menurunkan Zara yang pingsan karena menghirup asap ke tanah. Dia berkata, "Panggil dokter."Chelsea menyahut sambil mengangguk, "Dokter sudah dalam perjalanan!"Kobaran api kian membesar. Semua orang mundur ke jalan kecil di luar halaman. Tiffany masih memegang kamera berharga di tangannya."Kenapa bisa tiba-tiba kebakaran? Tanah di pegunungan lembap, seharusnya nggak mudah terbakar!" ucap Chelsea sambil mondar-mandir dengan gelisah.Sean mengambil handuk yang diberikan Julie dan menyeka noda jelaga di wajahnya sambil berkata, "Nggak aneh kalau ada seseorang yang sengaja menyulut api.""Zara!" Tepat ketika Sean selesai bicara, Penny menyeruak dari tengah kerumunan. Dia langsung menggenggam tangan Zara, cemas saat melihat ba
Sebelum Tiffany menyelesaikan ucapannya, Sean melihat gadis mencurigakan tadi mengeluarkan benda kecil dari sakunya. Mata pria itu membelalak. Benda itu adalah korek api!Gadis itu melempar korek api ke tanah yang sudah dibasahi bensin. Seketika, api mulai berkobar. Api menyala di belakang rumah, jadi Tiffany yang berdiri di depan dan membelakangi rumah sama sekali tidak sadar.Sean mengeratkan pegangannya di ponsel dan berseru, "Cepat lari!"Tiffany tertegun. Mengapa Sean menyuruhnya lari? Dia refleks menoleh ke belakang. Api yang menyentuh bensin membubung tinggi ke langit. Seantero rumah seakan-akan sudah dilahap mulut yang tidak berwujud.Sean melempar ponselnya dan melompat dari beranda sambil berteriak, "Tiffany, lari!"Namun, gadis itu sepertinya tidak mendengar seruannya. Tiffany melepas mantel dan mencelupkannya ke dalam tangki air. Kemudian, dia bergegas masuk ke dalam rumah yang tengah terbakar dengan menutupi hidung dan mulutnya. Zara masih tidur di dalam!"Uhuk, uhuk, uhuk
Tiffany tidak tahu mengapa Zara tiba-tiba mengatakan hal ini padanya. Namun, dia balas tersenyum dan berkata, "Istirahatlah." Usai berkata begitu, gadis itu mengambil ponselnya dan keluar.Sekarang sudah pukul 8 malam. Tiffany sudah berjanji akan menelepon Sean pada pukul 7 malam untuk melaporkan keadaannya. Entah pria itu akan marah atau tidak karena dirinya terlambat satu jam penuh.Tiffany berdiri di halaman. Sambil bersandar di dinding, dia mengambil ponsel dan menelepon suaminya.Di sebelah kiri halaman, ada vila yang disewa oleh klub fotografi. Saat ini vila itu masih gelap gulita. Di sebelah kanan, ada vila yang konon sudah disewakan ke seorang konglomerat. Vila itu terang benderang.Sean duduk di beranda vila, memandang gadis yang berdiri di halaman yang diterangi sinar rembulan. Saat melihat ponselnya berdering, dia tersenyum tipis."Akhirnya mau menghubungiku?" tanya Sean."Maaf, Sayang. Aku nggak bermaksud lupa buat telepon ...," ucap Tiffany, langsung meminta maaf.Pukul 7
Tiffany mengernyit. Meskipun hatinya enggan, dia tidak enak hati menolak Zara di depan banyak orang.Selain itu, Tiffany lebih familier dengan jalan-jalan di desa pada malam hari. Jadi, dia tidak perlu khawatir Zara macam-macam padanya."Oke," sahut Tiffany sambil mengangguk dengan ragu. Kemudian, dia menatap Julie dan berkata, "Habis makan kamu juga cepat kembali, ya."Julie mengernyit dan mengangguk pelan."Ayo jalan," ajak Tiffany.Zara memikul ranselnya dan berjalan menuju vila bersama Tiffany.Malam hari di desa sangat sepi. Yang terdengar di telinga hanyalah suara air, gemeresik dedaunan, suara langkah kaki mereka, dan suara hewan di kejauhan. Zara menghirup udara segar di sana. Suasana hatinya cukup baik."Kudengar kamu tumbuh besar di desa, ya?" tanya Zara dengan tenang.Tiffany mengernyit saat mendengar pertanyaannya. Dia berjalan di depan sambil membawa senter dan menjawab singkat, "Ya.""Lingkungan desa sebenarnya cukup menyenangkan. Daripada di kota, aku lebih suka desa yan
Tiffany mengernyit jengkel. Apa maksudnya dengan tidak peka? Waktu pacaran Samuel dan Julie bahkan belum mencapai sebulan.Selama jangka waktu ini, sikap Samuel pada Julie juga tidak sehangat saat dia masih mengejar gadis itu sebelumnya. Apa haknya untuk menuntut sekamar dengan Julie?Lagi pula, hubungan Samuel dan Julie belum berkembang ke tahap itu. Bahkan jika hubungan keduanya sudah semaju itu, atas dasar apa Samuel bisa meminta Tiffany tidur di luar sendirian sementara dirinya dan Julie tidur di dalam?Chelsea duduk di sebelah Tiffany dan tertawa kecil. Dia berucap, "Samuel, apa maksudmu dengan nggak peka? Kalau nggak ada gadis lain yang sekamar denganku, aku pasti sudah tukar tempat denganmu dan tidur dengan mereka berdua."Samuel mengambil pecahan kaca dan membalas dengan kepala tertunduk, "Aku pacarnya Julie. Apa salahnya kalau aku ingin tidur dengannya?" Jika bukan demi memperdalam hubungannya dengan Julie, buat apa dia repot-repot mengikuti kegiatan klub fotografi ini?"Ada s
Siapa sangka, setelah Zara selesai bicara, Samuel yang merupakan salah satu penanggung jawab klub fotografi mengangguk dan berkata, "Kurasa kata-kata Zara ada benarnya."Semua orang terkejut. Samuel, Tiffany, dan Julie adalah orang-orang pertama yang memilih kamar. Jika alokasi kamar disesuaikan dengan urutan pendaftaran, mereka akan mendapatkan kamar terbaik. Namun, sekarang pemuda itu malah setuju untuk melakukan cabut undi.Orang-orang di vila terdiam untuk beberapa saat. Akhirnya, salah satu gadis penanggung jawab menghela napas dan berucap dengan pasrah, "Okelah, ayo cabut undi."Di antara belasan orang ini, enam orang harus tinggal di rumah desa. Lantaran hari sudah larut, semua orang segera melakukan cabut undi.Hasilnya, gadis penanggung jawab klub fotografi dan temannya, serta Julie, Tiffany, Samuel, dan seorang pemuda lainnya harus tinggal di rumah desa itu.Saat beberapa orang itu tengah berkemas, Penny mengejek Tiffany dengan nada puas, "Kamu memang paling cocok tinggal di
Entah disengaja atau tidak, Samuel mengerahkan cukup tenaga hingga Zara hampir terjatuh ke dalam pelukannya. Untungnya, Zara sempat menstabilkan tubuhnya dengan memegang lengan Samuel sehingga hal itu tidak terjadi."Terima kasih," ujar Zara dengan raut pucat.Samuel membalas dengan wajah tersipu, "Sama-sama.""Cowok jelek, kamu cari kesempatan untuk menyentuh Zara!" seru Penny sambil memelototi Samuel. Dia segera mendekat, lalu menarik Zara pergi.Sebelum beranjak pergi, Zara melirik Samuel sekali lagi. Dia melihat binar antusias dan kegembiraan di mata pemuda itu.Mata Zara berkilat dingin. Jadi, pemuda itu pacar Julie? Tidak ada bagus-bagusnya."Ayo jalan," ucap Julie sambil mengernyit. Dia mendekat sambil membawa kopernya.Tiffany menghampiri temannya dan bertanya dengan alis berkerut, "Kamu lihat kejadian tadi, 'kan?" Dia memandang dengan cemas ke arah Samuel yang masih mengambil barang-barang dari bus bersama orang-orang klub fotografi."Biarpun dia hanya berniat membantu, dia bi
Zara mengenakan gaun panjang bunga-bunga warna putih dan topi matahari. Dengan wajah dan penampilannya yang feminin, dia terlihat sangat menawan saat memandang ke luar jendela.Samuel juga tertegun untuk sesaat saat melihat Zara. Sebelumnya, dia hanya tahu bahwa Julie cantik dan Tiffany manis.Samuel tidak tahu ternyata ada gadis secantik Zara di kelas mereka. Kecantikan gadis itu berbeda jauh dengan Julie. Zara sangat memesona, anggun, dan elegan.Begitu melihat kedua orang itu di dalam bus, Tiffany sontak bertanya sambil mengernyit, "Apa mereka juga anggota klub fotografi?"Seingat Tiffany, Zara baru pindah ke sini beberapa hari lalu. Sejak kapan dia menjadi anggota klub fotografi?Lamunan Samuel buyar. Dia berdeham dan menjawab, "Mereka baru gabung beberapa hari lalu, aku juga baru tahu.""Mungkin karena kita pergi, jadi mereka sengaja ikut. Seperti hantu saja, nempel terus sama kita," ucap Julie sambil mengangkat bahu. Dia memutar bola matanya dengan galak ke arah kedua orang itu.
Akhir bulan tiba dengan cepat. Pada hari keberangkatan klub fotografi, Tiffany bangun pagi-pagi sekali.Ini adalah pertama kalinya Tiffany bepergian jauh setelah menikah. Perjalanan ke desa tempo hari juga jauh, tetapi bagaimanapun itu adalah kampung halamannya. Kegiatan klub fotografi di Kabupaten Purjaga ini barulah bepergian jauh yang sebenarnya.Pagi-pagi buta, Rika sudah bangun untuk menyiapkan barang-barang Tiffany. Dari pakaian dalam, pakaian anti UV, hingga jas hujan. Semua Rika kemas hingga memenuhi dua koper besar.Sambil mengeluarkan barang-barang di dalam koper, Tiffany berucap dengan malu pada Rika, "Aku hanya pergi tiga hari dua malam, nggak perlu bawa sebanyak ini."Rika menggeleng dan membalas, "Bu Tiffany, cuaca di pegunungan nggak menentu. Gimana kalau tiba-tiba panas, lalu tiba-tiba dingin? Gimana kalau hujan? Gimana kalau ada topan?"Tiffany kehilangan kata-kata. Meski merasa Rika terlalu cemas berlebihan, hatinya terasa hangat.Saat Tiffany masih tinggal bersama ke