"Cuma begini?" Tiffany menatap pesan yang dikirim Sean kepada Mark. "Kamu yakin Mark akan mengantar Julie ke sana?""Dia nggak berhak untuk nggak mengantar Julie." Sean memeluk Tiffany, lalu mencium lehernya dengan lembut. "Itu urusan mereka. Biarkan saja mereka mengatasinya."Ciuman Sean menjadi makin panas. "Hasil pemeriksaan dari rumah sakit sudah keluar. Tubuhmu ...."Sean mencium telinga Tiffany, lalu mengemutnya dengan lembut. "Sekarang tubuhmu sudah bisa menerimaku."Suara pria yang serak ditambah dengan aroma tubuh yang maskulin membuat pikiran Tiffany menjadi hampa. "Kita ...."Tiffany menatap wajah tampan Sean dan tanpa sadar menghindar. "Sayang, aku ....""Yang patuh sedikit, jangan melawan." Sean mencium Tiffany lagi, lalu bertanya, "Kamu masih ingat janjimu yang sebelumnya? Kamu bilang ingin melakukannya di rumah saja."Suara rendah Sean terdengar serak dan merdu. "Kamu juga bilang kalau aku nggak suka melakukannya di kamar utama, kita bisa melakukannya di ruang kerja atau
Namun, setelah mendengarnya, sekujur tubuh Tiffany sontak bergetar. Setelah melakukannya seharian, kini dua kakinya melemas. Namun, didengar dari suara Sean, sepertinya dia ....Karena turun dengan terburu-buru, Tiffany hanya memakai kemeja putih Sean. Sean bertubuh tinggi dan tegap sehingga kemejanya mencapai lutut Tiffany.Saat ini, rambut Tiffany berantakan. Beberapa helai rambutnya tergerai di tulang selangkanya. Matanya besar. Wajahnya yang mungil dipenuhi keterkejutan. Di sudut bibirnya, terdapat pula krim kue berwarna putih.Sean turun dengan menahan hasrat dalam hatinya. Saat ini, dia menjulurkan tangannya untuk menyeka bibir Tiffany. "Apa ini?"Tiffany menatap dengan saksama. "Itu krim kue." Kemudian, dia menambahkan, "Rasanya sangat manis."Sean pun menjilat krim itu di depan Tiffany. "Memang sangat manis."Sean menahan Tiffany di depan kulkas, lalu menatapnya dengan tatapan penuh gairah. "Sama manisnya denganmu."Tiffany menggigit bibirnya. "Aku ... aku nggak manis. Aku ngga
Setelah istirahat seharian di rumah, keesokan harinya Tiffany baru pergi ke kampus. Mengejutkannya, hari ini ada yang duduk di sebelah Julie. Itu adalah Samuel yang parasnya tidak menarik.Samuel yang duduk di samping Julie tampak melambaikan tangannya sambil tersenyum. "Tiff!"Tiffany hampir muntah melihat wajahnya. Dia tahu tidak boleh menilai orang dari penampilan. Namun, paras Samuel terlalu buruk untuk dilihat, sampai-sampai menutupi pesona yang ada pada dirinya.Tiffany lantas tersenyum canggung, lalu menghampiri dan akhirnya duduk di samping Julie.Samuel menyodorkan sekaleng minuman dingin dengan butiran air di luar kepada Tiffany. "Hari ini sangat panas. Ayo diminum supaya kamu nggak kepanasan."Tiffany termangu sebelum berucap, "Terima kasih." Kemudian, dia menoleh melirik Julie. "Kamu ....""Aku membawa pacarku kemari untuk belajar bersama." Julie menatap Tiffany sambil tersenyum menyipitkan mata. Dia seolah-olah sudah menduga reaksi Tiffany.Julie meneruskan, "Samuel baik d
Tiffany mengernyit sambil mengangguk. "Ya."Penny terkekeh-kekeh sinis. "Kalian benaran nggak tahu malu."Julie sontak menampar Penny. "Siapa yang nggak tahu malu?"Penny buru-buru menghindar. Zara pun menghampiri dan menarik Penny. "Penny."Zara melirik Tiffany dan Julie, lalu berkata, "Nggak usah basa-basi dengan mereka."Penny memelototi Tiffany dengan galak, lalu berbalik dan pergi.Samuel menatap sosok belakang kedua wanita itu dengan alis berkerut. "Ada apa dengan mereka?""Bukan urusanmu." Julie menatap Samuel dengan alis agak berkerut. "Kamu bilang temanmu ingin melihatku, 'kan? Ayo."Usai mengatakan itu, Julie menoleh melirik Tiffany dengan tatapan minta maaf. "Aku dan Samuel masih punya urusan. Kami pergi dulu."Tiffany mengernyit dan bertanya, "Kalian mau ke mana?""Ke bar." Samuel berkata, "Aku mengejar Julie setahun lebih. Sekarang dia akhirnya menerimaku. Teman-temanku ingin melihatnya dan memberi selamat kepada kami.""Tapi ...." Tiffany menggigit bibirnya. Kenapa harus
"Kamu membawaku ke tempat jelek seperti ini?" Mark yang duduk di lantai dua bar tampak mengernyit dengan kesal. "Tempat macam apa ini?"Bar ini memang sangat kecil. Baik itu fasilitas ataupun dekorasinya, semuanya tidak semewah bar yang biasanya mereka datangi. Bahkan, tempat ini bau rokok.Mark mendongak dan melirik Sean dan Tiffany yang duduk di seberang. "Kalian berdua benaran mengajakku kemari?""Sean, kamu sangat kaya. Kamu baru saja mendapat puluhan miliar dari paman keduamu, 'kan? Kenapa malah mengajakku ke bar seperti ini?"Mark hidup kaya sejak kecil. Meskipun diusir oleh Keluarga Sanskara, dia tidak pernah hidup miskin. Setiap bagian di bar ini lantas membuatnya merasa ternodai.Sean tersenyum tipis. "Tiffany yang mau datang kemari."Tiffany mengerlingkan matanya. Sean ingin menjadikannya kambing hitam? Jelas-jelas Sean yang membawanya kemari setelah tahu Julie dan Samuel akan ke bar ini. Kenapa malah memfitnahnya?Tiffany tidak pernah berniat mengganggu Julie dengan Mark. Di
"Aku setuju!" Salah seorang pria menuangkan anggur untuk Samuel, lalu bertanya, "Omong-omong, kalian sudah pernah tidur bersama belum?"Samuel lantas mengernyit dan menggeleng.Sekelompok pria itu pun tergelak. "Bukannya kamu bilang kalian sudah pacaran hampir setengah bulan? Masa belum pernah?""Dia nggak mau." Samuel menyesap anggurnya, lalu menyahut dengan murung, "Dia bilang masih terlalu cepat. Katanya bakal dibicarakan lagi setelah sudah mengakuiku sebagai suaminya."Teman-teman pria itu pun tertawa lagi. "Kalau dia nggak bakal mengakuimu jadi suami, berarti kamu yang rugi dong?""Ya! Itu namanya menghamburkan uang secara cuma-cuma untuk istri orang lain!"Para pria itu sibuk bergosip dan memberi nasihat kepada Samuel. Bahkan, ada yang menyuruhnya menaruh obat di minuman Julie supaya mereka bisa melakukannya.Namun, Samuel langsung menolak, "Aku ... cepat atau lambat, aku pasti akan membuatnya mengakuiku sebagai calon suaminya! Aku pasti bisa membuatnya bersedia tidur denganku!"
Tiffany mengernyit. Sebelum pergi, dia melirik ke lantai bawah. Samuel sedang minum-minum dengan teman-temannya.Tiffany menggigit bibirnya dan merasa kurang nyaman. Sepertinya yang dikatakan Sean benar. Meskipun Samuel tidak mengikuti instruksi teman-temannya, dia jelas sependapat dengan mereka. Jika tidak, mereka pasti sudah bertengkar dan Samuel tidak akan terlihat sedih.Hati Tiffany mencelos. Dia kurang paham tentang cinta, tetapi dia bisa merasakan bahwa sikap Samuel tidak benar."Pengorbanan dalam suatu hubungan seharusnya bersifat tulus, bukan mempertimbangkan untung dan rugi. Saat kamu memutuskan untuk melahirkan anakku dan merawatku seumur hidup, apa kamu pernah memikirkan imbalan yang bakal kamu dapat?" ucap Sean yang sedang berkemudi dan melihat Tiffany yang murung.Tiffany tanpa sadar menggeleng. "Nggak pernah." Tiffany ingin melahirkan anak untuk Sean karena ingin membuat pengorbanan untuknya. Sejak awal, dia tidak pernah mengharapkan apa pun dari Sean."Itu perbedaannya.
Setiap kali, Sean mengoleskan krim kue ke tubuhnya dan menjilatnya. Tiffany juga ingin makan, tetapi tidak mungkin menjilat tubuh sendiri. Dia juga tidak mungkin melakukan tindakan rendahan seperti yang dilakukan Sean. Sejujurnya, dia ingin sekali menangis!Di lantai bawah, Rika malah menyimak dan mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Bagus juga kalau wanita mengurangi makanan manis."Usai mengatakan itu, Rika meletakkan kartu di tangannya dan berkata, "Tuan, kamu naik saja dulu. Nanti kubawakan kuenya."Sean mengangguk. Ketika tiba di depan tangga, dia tiba-tiba teringat pada sesuatu sehingga menoleh dan berpesan, "Krimnya yang banyak sedikit.""Oh ... baik." Rika mengiakan. Majikannya ini adalah pria dewasa berusia 26 tahun, tetapi tiba-tiba begitu menyukai krim kue? Ternyata orang yang jatuh cinta memang berbeda ....Ketika Sean masuk ke kamar, Tiffany sedang berbaring di ranjang dan mengirim pesan untuk Julie. Dia menjelaskan semua yang dikatakan Sean kepadanya hari ini.Namun, sebel
Tiffany terpaku menatap video di ponsel Brandon, lalu menyeka ujung matanya yang basah. Wanita itu menarik napas dalam-dalam. "Bisa nggak kamu kirimkan video ini ke aku?""Tentu saja!" Brandon mengangguk dengan cepat, lalu langsung mengirimkan video itu ke e-mail Tiffany."Ngomong-ngomong, Dok Tiff, setelah melihat semua yang sudah dilakukan Kak Sean untukmu, kamu nggak merasa terharu?"Tiffany menerima file video itu dan mengangguk pelan. "Tentu saja aku terharu.""Kalau begitu, apakah kalian akan berdamai?" Brandon masih menatap Tiffany dengan ekspresi penuh harapan. "Kalau kamu merasa terharu, bukankah itu berarti hatimu sudah nggak terlalu menolaknya lagi?"Brandon menatap Tiffany dengan serius. "Kak Sean benar-benar tulus sama kamu, Dok Tiff.""Waktu makan siang tadi, dia menunjukkan video ini ke aku dan menceritakan banyak hal tentang perjalanan panjangnya mencarimu selama bertahun-tahun. Waktu itu, aku tiba-tiba menyadari betapa jauhnya perbedaan antara aku dan dia.""Aku bilang
Mendengar hal itu, Julie melirik Tiffany. "Kalau aku nggak bilang, kamu sendiri nggak kepikiran?"Tiffany menatapnya sejenak, lalu menggeleng pelan. Sebenarnya, dalam hatinya, dia sudah memiliki keputusannya sendiri mengenai Sean. Bahkan tanpa Julie mengatakannya sekalipun, dia tetap bisa mempertimbangkannya.Namun, bagaimanapun juga, masa lalunya dengan Sean masih menjadi luka yang belum sembuh. Dia tidak bisa merelakan masalah itu begitu saja. Kata-kata Julie sebenarnya memberikan dorongan, sekaligus alasan baginya untuk tidak terlalu keras pada dirinya sendiri.Ternyata, bukan hanya dia yang berpikir seperti ini. Orang-orang di sekitarnya juga mendukungnya."Kamu ini ...." Julie mengusap kepala Tiffany dengan lembut. "Bi Nancy sudah lama meninggal. Relakanlah hal-hal yang seharusnya dilepaskan. Dia nggak pernah memilih untuk terlahir dari keluarga seperti itu, dengan ayah seperti itu.""Sama seperti dulu, waktu kamu nggak percaya bahwa pamanmu bisa membakar rumah dan membunuh orang,
"Sudah kubilang Sean bukan orang seperti itu."Di dalam kantor, Julie menuangkan secangkir teh untuk Tiffany sambil menggeleng pelan. "Brandon itu memang selalu di luar dugaan. Percaya sama dia lebih baik percaya sama anjing kampung di luar sana."Tiffany terkulai lesu di atas meja kerja. "Aku benar-benar salah paham sama Sean." Dia menutup matanya dan bayangan pria itu di depan hotel kembali terlintas dalam pikirannya. Sean tampak begitu kesepian dan begitu menyedihkan.Sean tidak melakukan apa pun yang membahayakan pasiennya. Namun, Tiffany malah menuduhnya macam-macam.Tiffany menghela napas panjang, lalu menutupi wajahnya dengan tangan. "Lalu, aku harus bagaimana?"Sean pasti menganggapnya keterlaluan, menganggapnya tidak masuk akal, dan terlalu keras kepala. Semua ini gara-gara Brandon!"Kenapa nggak minta maaf saja?"Julie duduk di hadapannya sembari menyeruput kopi dan membalik halaman majalah. "Kalau nggak, mau gimana lagi?""Dia datang jauh-jauh untuk mendekatimu. Ini baru har
Mungkin sejak lima tahun lalu, saat Sean memilih Sanny dan meninggalkannya, Tiffany sudah tidak berani lagi memercayainya ....Julie menghela napas, lalu mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Tiffany. "Tunggu saja sampai Brandon sadar, nanti kita akan tahu semuanya."Tiffany mengangguk.Dua wanita itu menunggu di luar ruang gawat darurat selama lebih dari setengah jam. Setelah setengah jam berlalu, pintu ruang gawat darurat akhirnya terbuka. Seorang perawat mendorong ranjang Brandon menuju kamar perawatan.Dokter yang menangani Brandon keluar dan menepuk bahu Tiffany. "Pasien ingin ketemu kamu."Tiffany segera berdiri dan melangkah cepat menuju kamar perawatan.Di dalam kamar, Brandon yang wajahnya masih pucat bersandar di ujung ranjang. Matanya berkaca-kaca saat menatap Tiffany. "Dokter Tiffany ...."Melihat pria dewasa menangis seperti ini, Tiffany merasa tidak tega. Dia menggigit bibirnya, lalu melangkah mendekat dan menyerahkan selembar tisu kepadanya. "Aku di sini."Brandon ter
Setelah berkata demikian, wanita itu langsung melepaskan tangan Sean dan berlari menuju kamar tempat Brandon berada. Sean tetap berdiri di tempatnya dan matanya menyipit tajam.Tak lama kemudian, ambulans rumah sakit pun tiba. Tiffany bersama staf hotel mengangkat Brandon ke atas tandu dan ikut pergi bersama ambulans.Saat hendak naik ke ambulans di luar hotel, dia melihat Sean berdiri di pintu masuk hotel dan memandangnya dengan tatapan suram. Wanita itu menggertakkan giginya dan langsung menutup pintu ambulans.Sean ... tidak pantas!Jelas-jelas hubungan mereka sudah berbeda dari lima tahun lalu. Meskipun Sean ingin mendekatinya kembali, itu tetap membutuhkan waktu. Sekarang hubungan mereka masih terasa asing, tetapi Sean sudah berani melakukan hal seperti itu terhadap orang yang mendekatinya.Selain itu, Brandon adalah seorang pasien!Tadi Brandon sudah memberi tahu Sean bahwa jantungnya bermasalah. Namun, Sean tetap saja bertarung dengan Brandon hingga membuatnya pingsan.Setelah l
"Pertama, aku nggak enak membicarakan masa lalu di antara kami di depannya secara langsung. Aku takut itu akan membangkitkan kenangan menyakitkan baginya.""Kedua, Dokter Tiffany masih belum kenyang. Nggak mungkin kita mengganggunya bahkan saat dia sedang makan, 'kan?"Brandon berpikir sejenak dan merasa itu masuk akal. Dia pun bangkit dan berucap, "Dokter Tiffany, silakan lanjut makan. Kami akan keluar sebentar untuk mengobrol."Tiffany bahkan belum sempat bereaksi. Kedua pria itu sudah bangkit dan turun dengan lift bersama.Tiffany termangu sesaat. Kemudian, dia berdiri untuk mengejar mereka. Namun, setelah mengambil dua langkah, akhirnya dia berhenti.Sudahlah. Terserah mereka mau melakukan apa. Lagi pula, dia ingin menjauh dari kedua pria ini. Jadi, kalau mereka pergi bersama, itu justru lebih baik.Dengan tenang, Tiffany melanjutkan makannya. Sesudah selesai, dia bahkan membayar tagihan di restoran.Sepuluh menit kemudian, saat turun ke lobi hotel, dia mendengar suara panik dari m
Restoran di Grand Oriental, restoran bintang lima, sunyi senyap.Demi mengundang Tiffany dan Sean makan, Brandon meminta manajer hotel untuk mengosongkan seluruh restoran. Di dalam restoran yang luas itu, hanya ada tiga orang, yaitu Brandon, Tiffany, dan Sean.Di sebuah meja persegi panjang, ketiganya duduk dalam posisi yang aneh. Tiffany duduk di satu sisi, sementara Brandon dan Sean duduk di sisi lainnya.Dari sudut pandang mereka berdua, Tiffany seperti sedang berhadapan langsung dengan masing-masing dari mereka.Tak lama setelah mereka duduk, pelayan mulai menyajikan semua hidangan. Sean duduk di kursi yang empuk, tersenyum tipis sambil menatap meja makan di depannya.Jelas sekali, Brandon benar-benar telah berusaha keras untuk Tiffany. Jika tidak, bagaimana mungkin seluruh meja dipenuhi makanan yang sesuai dengan selera Tiffany?Memikirkan hal ini, Sean mengangkat alisnya sedikit, lalu menatap Tiffany sambil bertanya kepada Brandon dengan suara datar, "Semua ini makanan favorit Ti
Brandon mengernyit, menatap Tiffany dengan curiga. "Jadi, kalian berdua di dalam itu ...."Tiffany hanya merasa kepalanya semakin pusing. Dia menarik napas dalam-dalam. "Barusan mantan suamiku sakit, aku hanya merawatnya."Brandon memiliki banyak koneksi di rumah sakit. Tiffany tidak ingin semua orang di rumah sakit mengetahui hubungan serta perkembangan antara dirinya dan Sean.Jadi, dia tersenyum tipis ke arah Brandon. "Kamu juga tahu, dokter harus memiliki hati yang penuh belas kasih.""Dia memang mantan suamiku, tapi saat dia sakit dan butuh perawatan, aku nggak mungkin tinggal diam."Brandon langsung menatap Tiffany dengan mata berbinar. "Dokter memang seperti yang aku bayangkan, benar-benar malaikat kecil yang baik hati!"Tiffany terdiam untuk sesaat. Kemudian, dia berdeham pelan. "Bukannya kamu bilang ingin aku memeriksamu? Kemarilah ...."Brandon langsung berlari kecil ke arah Tiffany. "Maaf sudah merepotkanmu."Tiffany berdeham dua kali. "Duduk dulu, aku akan memeriksamu ...."
Usai berbicara, Tiffany mengambil jasnya dan keluar dari kamar.Di luar, Brandon menatapnya dengan penuh kekaguman. "Dokter, sudah setengah bulan kita nggak bertemu, kamu tetap secantik seperti biasanya."Tiffany mengerutkan alisnya, lalu meliriknya sekilas dengan ekspresi datar. "Cari tempat duduk saja. Sebenarnya jantungmu sudah nggak ada masalah lagi. Tapi kalau kamu masih merasa khawatir, aku akan melakukan pemeriksaan sederhana.""Baik! Baik!" Brandon menatapnya dengan terkagum-kagum. "Aku akan pesan kamar sekarang ...."Tiffany langsung mengernyit. "Kita cuma berdua, jangan pesan kamar."Setelah berkata demikian, Tiffany melirik ke arah area duduk di kejauhan yang biasanya digunakan untuk menikmati pemandangan dari atas. "Kita duduk di sana saja."Brandon menggigit bibir dan bergumam, "Justru aku suka kalau cuma berdua denganmu ...."Tiffany mengambil barang-barangnya, lalu berjalan ke tempat duduk itu. Sementara itu, Brandon tampak sedikit enggan, tetapi tetapi mengikuti dari be