Karen memicingkan mata saat melihat mobil Maybach abu-perak edisi terbatas sedunia itu. Berlina pun sangat iri. Mobil siapa yang bisa lebih berkelas dibanding Sean? Apakah Mark?Pintu mobil dibuka. Sepasang sepatu kustom buatan tangan berpijak di permukaan tanah depan gerbang sekolah. Semua orang memusatkan perhatian pada pria itu.Sean masih mengenakan jas biru tua yang formal setelah baru selesai melakukan pertemuan bisnis. Kaki Sean ramping dan panjang. Tubuh Sean jangkung dan besar, serta memancarkan aura angkuh dan mulia. Wajah Sean tampak tegas dan sangat tampan. Mata Sean yang kelam tertuju pada wajah Tiffany. "Maaf, aku telat," kata Sean. Sean menutup pintu mobil, lalu tersenyum pada Tiffany dengan penuh kasih sayang sembari mengulurkan dua tangan."Nggak telat!" Seperti biasa, Tiffany langsung maju dan memeluk pinggang Sean yang kekar. Tiffany berkomentar, "Waktunya pas, tapi kamu jarang telat."Tiffany mendongakkan matanya yang hitam dan murni. Tiffany bertanya, "Kamu sibuk,
Dibanding dengan teman-teman sekelas yang tercengang, Karen yang sudah menduga hal itu tampak jauh lebih kalem. Karen tersenyum sopan pada Sean dan berujar, "Iya, aku dan Tiff sekolah bareng, pulang sekolah bareng, dan sama-sama tunggu mobil di sini.""Kalau begitu, Nona Karen pulanglah," kata Sean. Lalu, Sean menoleh pada Berlina dan berkata dengan suara rendah yang penuh aura berbahaya, "Tadi kamu bilang kamu ... menertawakan istriku?"Berlina terdiam. Dia merapatkan bibir, lalu berucap, "Aku ... aku hanya bercanda dengan Tiff."Sean menundukkan pandangan pada gadis polos di dalam pelukannya. Sean tahu dia tidak bisa mendapatkan jawaban dari mulut Tiffany. Tiffany terlalu baik dan tidak menyimpan dendam.Oleh karena itu, Sean menoleh pada Julie dan bertanya, "Apa yang terjadi barusan?"Julie memicingkan mata dengan jengkel saat menceritakan apa yang terjadi barusan kepada Sean."Begitu, ya," kata Sean dengan suara rendah yang dipanjangkan. Berlina takut sehingga bersembunyi di balik
Karen pulang ke rumah Keluarga Winata dengan penuh emosi. Karen melempar tasnya ke sofa dan berseru, "Aku nggak mau lagi!"Slamet Winata duduk di sofa sambil minum teh. Slamet menatap Karen dan bertanya, "Kenapa lagi?""Sean benar-benar seperti batu!" keluh Karen. Karen mengambil cangkir teh dan minum, lalu berujar dengan jengkel, "Hari ini, Tiffany sudah masuk sekolah lagi. Selama seminggu ini, aku sudah berusaha memenangkan hati yang lain dan menyusun siasat agar Tiffany trauma dan salah paham." Karen melanjutkan, "Aku mau Tiffany salah kira aku jauh lebih unggul darinya dan Sean lebih menyukaiku! Tapi? Sore ini, Sean secara pribadi datang untuk jemput Tiffany! Semua usahaku sia-sia!"Karen menaruh cangkirnya ke meja dengan kuat. Terdengar dentingan nyaring karena gesekan antara cangkir kaca dan meja kaca!Slamet mengernyit dan menegur Karen, "Jangan keras-keras! S sedang tidur di atas! Awas kalau kamu bangunkan dia!"Karen berseru dengan jengkel, "Ayah! Aku nggak paham apa yang ha
Sudah ada yang traktir, sayang jika tidak pergi. Tak lama setelah Julie mengirim pesan, orang itu membalas pesan. [ Kalian benaran sudah pergi ke Restoran Imperial? Berlina nggak kasih tahu kalian? Berlina masuk rumah sakit hari ini dan Karen merawatnya. Jadi, acara makan dibatalkan! ]Tiffany berkomentar dengan murung, "Oh, begitu. Aku pikir acara makan tetap jadi.""Aku pikir bisa ambil untung dan bikin mereka jengkel," kata Julie dengan murung juga. Alhasil, lawan menyerah terlebih dahulu."Begini saja," usulkan Tiffany seraya mengeluarkan ponselnya. "Suruh Mark ke sini dan traktir kita makan."Tiffany bepergian dengan tergesa-gesa sehingga tidak membawa kartu hitam yang telah diberikan oleh Sean. Uang yang Tiffany punya saat ini jelas tidak mencukupi. Apabila karyawan hari ini tidak mengenalnya saat melakukan pembayaran nanti, bukankah itu akan sangat merepotkan?Oleh karena itu, biarlah Mark datang dan mentraktir mereka. Sean pun mengatakan Mark sangat santai belakangan ini.Juli
Mark tersenyum kepada Tiffany, lalu duduk di sebelahnya. Mark bertanya, "Makan gratis ke sini lagi?"Wajah Tiffany merah tersipu. Dia menyangkal, "Mana ada aku makan gratis? Aku ... aku hanya mau makan dengan Julie."Lalu, Tiffany menoleh pada Julie, berharap bisa mendapat bantuannya. Bagaimanapun, Julie pandai bersilat lidah dan tidak ada yang bisa mengalahkan Julie. Alhasil, wajah Julie ... jauh lebih merah dibanding Tiffany!"Nona Julie sakit?" tanya Mark sambil mengernyit. Mark mengulurkan tangan untuk meraba dahi Julie. "Sepertinya demam tinggi."Mark menjentikkan jari dengan elegan. Staf resepsionis di samping segera datang dan menyapa, "Bos.""Ambilkan obat pereda demam," perintah Mark. Mark mengernyit ketika melihat anggur merah di atas meja di depan Tiffany. Mark menambahkan, "Sekalian ambilkan obat pereda mabuk."Staf resepsionis bergegas pergi dan segera kembali. Dengan jari yang ramping, Mark mengambil obat pereda demam dari tangan staf resepsionis dan secara elegan menyodo
"Kamu dan para wanita murahan itu nggak ada bedanya."Saat itu, Julie meraih lengan baju Mark dan membantah, "Bukan begitu, aku ...."Julie hanya yakin bahwa ginjal ibunya ada di dalam tubuh Mark. Namun, Mark malah menepis tangannya dan pergi dengan ekspresi datar.Ketika teringat pada sikap dingin Mark, Julie membuka sekaleng bir lagi.Tiffany berkata, "Julie, jangan putus asa begini. Sebenarnya Mark juga nggak termasuk hebat. Selain itu ...."Tiffany menggigit bibirnya sebelum meneruskan, "Kamu dan Mark baru bertemu dua kali. Kamu benaran ... begitu menyukainya?"Julie sampai merendahkan harga dirinya untuk mengungkapkan perasaan kepada Mark? Asal tahu saja, Julie termasuk salah satu dari wanita tercantik di kampus. Kalau bukan karena dia galak, pasti ada banyak pria yang mengejarnya.Selain itu, Julie orang yang sangat serius pada suatu hubungan. Dia tidak pernah menerima orang sembarangan.Di kelas sebelah mereka, ada seorang pria yang mengejar Julie selama setahun. Pada akhirnya,
Keesokan hari, Tiffany baru bangun. Dia bangun karena dering ponselnya. Dengan mata yang masih mengantuk, Tiffany menjawab telepon. "Siapa ....""Tiff, ini aku, Samuel." Terdengar suara cemas seorang pria dari ujung telepon. "Kamu tahu di mana Julie?"Tiffany yang baru bangun dari tidurnya masih linglung. Dia bertanya balik, "Samuel? Siapa?""Aku dari kelas sebelah." Samuel menjelaskan dengan sabar, "Aku yang mengajak Julie nonton hari itu, tapi terus ditolak."Tiffany memejamkan matanya dan merenung beberapa saat. Sepertinya, memang ada orang seperti itu. Namun ...."Kok kamu punya nomorku? Ngapain kamu cari Julie?""Begini." Samuel menarik napas dalam-dalam. "Selama kamu cuti, sekitar tiga atau empat hari lalu, Julie mencariku dan memintaku menjadi pacarnya. Makanya, sekarang kami pacaran. Hari ini kami janjian ke perpustakaan. Aku menunggunya setengah jam, tapi dia nggak datang-datang."Terdengar kecemasan dari suara Samuel. "Tadi aku sudah telepon dia, tapi yang terdengar malah sua
Tiffany menunduk dan melihat piama yang dipakainya. Seharusnya Sean yang mengantarnya pulang semalam. Di dunia ini, hanya Sean yang bisa membatunya mengganti piama dengan sabar.Hati Tiffany sontak menghangat. Dia bangkit, lalu pergi ke ruang kerja.Cahaya matahari pagi menyinari punggung Sean. Sean sedang duduk di ruang kerjanya sambil membaca dokumen. Ketika mendengar suara, dia pun mendongak. Tatapannya yang awalnya terlihat suram seketika dipenuhi senyuman saat melihat Tiffany."Sudah bangun?" Suara Sean membuat jantung Tiffany berdebar-debar.Tiffany menggigit bibirnya dan mengangguk. "Sudah. Semalam kamu yang membawaku pulang ya?"Sean mengangguk, lalu melambaikan tangannya kepada Tiffany. "Kemari."Tiffany pun menghampiri, lalu duduk di pangkuan Sean. Sean memeluknya dan mengecup pipinya dua kali. "Memangnya siapa yang bisa membawamu pulang selain aku?"Tiffany bertanya, "Gimana dengan Julie? Semalam ...."Tadi Samuel mengatakan suara pria yang didengarnya masih muda. Seharusnya
"Menawar harga saat belanja di pasar? Bukankah itu hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang ibu?" Tiffany melirik Sean dengan kesal. Nada suaranya terdengar kurang yakin.Meskipun membantah, Tiffany tahu bahwa sejak datang ke Kota Kintan, tidak ada satu pun tindak-tanduknya yang mencerminkan identitasnya sebagai putri Keluarga Japardi.Namun, dirinya memang seperti itu. Sejak kecil, dia tumbuh di Desa Maheswari dan tidak pernah hidup bergelimang harta, juga tidak iri pada kehidupan seperti itu. Bahkan, dia menyukai kehidupannya yang sekarang.Yang jelas, Tiffany sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Filda dan memberinya peringatan. Jika Filda tidak mau percaya, itu salahnya sendiri karena terlalu picik.Tiffany menarik napas dalam, lalu menatap Sean. "Jadi, selanjutnya kita tinggal menunggu musuh terjebak dalam perangkap?"Sean mengangguk dan tersenyum. "Sambil menunggu, kamu bisa jalan-jalan dengan Julie."Tiffany mengernyit. "Jalan-jalan?""Benar." Tatapan Sean memancarkan sediki
Saat melewati Sean, Julie tersenyum tipis. "Demi menyingkirkan para pengganggu, aku terpaksa mengorbankan kakakmu."Sean tertawa pelan. "Dia pasti sangat senang."Julie mendengus, lalu pergi bersama para dokter muda. Seketika, ruangan itu hanya tersisa Tiffany dan Sean.Tiffany menutup pintu kantor, lalu menoleh ke arah Sean. "Barusan, kamu bertanya tentang aku ke para suster?""Kalau nggak?" Sean tersenyum tipis. "Aku sama sekali nggak tertarik pada mereka."Tiffany terdiam. Meskipun dalam hatinya dia selalu berpikir bahwa mereka tidak punya hubungan lagi, entah kenapa, kata-kata itu membuat hatinya terasa agak hangat.Wanita itu menggigit bibirnya, lalu berdeham dengan pelan. "Mereka bilang apa lagi padamu?""Banyak." Sean duduk di kursi Tiffany, lalu menyilangkan kaki dan membuka berkas di meja Tiffany, sebelum akhirnya melirik ke layar komputernya."'Presdir, Istrimu Kabur Lagi'?" Sean menaikkan alisnya dan menatap Tiffany dengan tatapan penuh makna. "Siapa yang bilang dia sudah ng
Tatapan Tiffany menjadi suram. Saat berikutnya, dia melangkah dengan cepat menuju meja perawat dan berhenti tepat di depannya.Sean membelakangi Tiffany, sama sekali tidak menyadari bahwa dia sudah datang. Sebaliknya, seorang suster yang jeli langsung melihat kehadiran seorang wanita yang berdiri di belakangnya dengan aura penuh amarah."Dok ... Tiff ...." Begitu mendengar suara suster itu, semua orang langsung terdiam.Sean menoleh dan melirik Tiffany, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah saat tertangkap basah. Bahkan, dia tersenyum lembut kepadanya. "Hai."Pria itu terlihat begitu tenang, tetapi para suster di sekitar justru tidak bisa santai. Mereka semua melirik Tiffany dengan hati-hati. Kenapa rasanya Tiffany terlihat tidak senang? Apa dia baru saja dimarahi oleh Filda?"Kalian nggak ada kerjaan?" Tiffany mengerutkan kening. Dari jauh tadi, dia tidak bisa mendengar percakapan mereka. Namun, sekarang saat sudah dekat, dia bisa mendengar suara bel panggilan perawat terus berb
Filda menatap Tiffany untuk waktu yang cukup lama. "Kamu bilang ... Keluarga Japardi yang di Elupa itu?"Marga ini sangatlah istimewa. Filda pernah mendengarnya saat belajar di Elupa dulu. Mereka adalah keluarga dengan kekuatan besar.Kini, Tiffany mengatakan bahwa dirinya bermarga Japardi. Selain keluarga itu, tidak ada keluarga lain yang terpikirkan olehnya."Benar." Tiffany tersenyum santai pada Filda. "Kamu pernah mendengar tentang keluarga kami?""Tentu saja ... pernah." Filda tersenyum, tetapi dalam hatinya mengejek habis-habisan, 'Keluarga Japardi? Jangan bercanda!'Keluarga Japardi adalah keluarga bangsawan di Elupa! Mana mungkin seorang putri dari keluarga bangsawan pergi ke kota kecil seperti Kota Kintan hanya untuk menjadi dokter biasa? Jangan kira dirinya tidak tahu apa-apa!Bahkan, apartemen yang Tiffany tinggali sekarang pun adalah fasilitas kecil yang dia dapatkan dari rumah sakit ketika pertama kali datang! Wanita ini berani mengaku sebagai anggota Keluarga Japardi? Das
Sean tersenyum. "Aku senang kamu berpikir seperti itu."Sanny mencebik. "Kamu senang buat apa? Yang penting itu kamu harus segera mendapatkannya kembali.""Beberapa hari ini, aku dengar dari para suster tentang kehidupannya dalam 2 tahun terakhir. Pria yang mengejarnya banyak sekali. Kalau kamu nggak berusaha lebih keras, anak-anakmu akan memanggil orang lain sebagai ayah!"Mata Sean sedikit meredup, tetapi dia tetap mengupas apel dengan tenang. "Mereka nggak akan punya kesempatan itu."Conan dan Sanny bertatapan. Detik berikutnya, apel dan pisau di tangan Sean kembali direbut. Conan langsung menariknya dan mendorongnya keluar dari kamar. "Jangan buang waktu di sini, kakakmu ada aku yang menjaganya. Pergi temui Dokter Tiffany!"Begitu ucapan itu dilontarkan, bam! Pintu kamar langsung tertutup rapat.Sean berdiri di luar pintu, menatap pintu yang tertutup rapat itu, lalu menghela napas pelan. Ternyata cinta benar-benar bisa mengubah seseorang.Jika 5 tahun lalu Sanny sudah bertemu Conan
"Aku rasa kamu akhir-akhir ini terlalu santai, sampai otakmu nggak bisa berpikir dengan benar ya? Pergi teliti proyek yang kamu bicarakan denganku sebulan lalu! Dalam satu minggu, aku ingin melihat inovasi dan perubahan yang kamu buat dalam penelitian itu!""Pak ...." Tiffany bahkan belum sempat membela diri, tetapi pintu kantor direktur sudah tertutup dengan keras. Brak!"Dok Tiff." Melihat Tiffany baru saja dimarahi lagi oleh Morgan, Filda berpura-pura tersenyum dan menepuk bahunya dengan ramah. “Akhir-akhir ini, Pak Morgan sedang banyak masalah di rumah. Makanya, suasana hatinya sedang buruk. Jangan menambah bebannya lagi."Tiffany mengatupkan bibirnya. Dalam hati, dia mengingat rencana yang sebelumnya dikatakan oleh Sean kepadanya. Dengan pasrah, dia hanya bisa menghela napas dan menatap Filda."Kamu juga tahu, kondisi Zion sekarang sangat sulit." Setelah mengatakan itu, Tiffany menggeleng. "Apa aku boleh duduk di kantormu sebentar? Aku ingin berbincang denganmu."Filda langsung be
"Pak, aku memang punya ... rekaman itu."Begitu keluar dari ruang kantor direktur, Filda langsung kembali ke kantornya, mengunci pintu, lalu menelepon Zion."Tapi ...." Di ujung telepon, Zion menghela napas pelan. "Aku nggak akan memberikannya padamu."Zion selalu lemah lembut dan rendah hati, selalu baik pada siapa pun yang pernah membantunya. Karena itu, dia tidak tega membongkar rencana licik Filda.Dia hanya bisa menghela napas dan berkata pelan, "Bu, sebaiknya sudahi saja masalah ini. Segala sesuatu yang terjadi 2 tahun lalu sudah menjadi hasil akhir. Nggak perlu diungkit lagi."Zion tidak tahu apa maksud Tiffany tiba-tiba menghadap direktur dan mengakui kesalahan. Namun, dia tidak ingin Tiffany ikut terseret dalam masalah ini, juga tidak ingin Filda kehilangan reputasinya seumur hidup."Biarkan semuanya berakhir padaku," ucap Zion.Di sisi lain, Filda begitu marah hingga mengentakkan kakinya ke lantai. "Zion, apa ini caramu membalas semua yang telah Dokter Tiffany lakukan untukmu
"Haha, baiklah! Kalau nanti anak-anak nggak mau ikut pulang denganmu, kamu jangan merasa malu ya!"Tiffany sangat mengenal anak-anaknya! Dia yang melahirkan mereka! Mereka tidak akan memilih pergi dengan Sean!Arlene memang suka jajan, tetapi dia paling tidak bisa jauh dari ibunya! Arlo anak yang cerdas dan dewasa. Dia tidak akan meninggalkan ibunya hanya karena sedikit kebaikan dari orang lain!"Oke." Sean tertawa pelan, lalu melirik Tiffany. "Tapi, soal masalah Bu Filda yang menjebakmu ... aku masih butuh kerja samamu."Mendengar akhirnya mereka berbicara tentang urusan serius, Tiffany tidak lagi berbelit-belit. Dia menatap Sean dengan sungguh-sungguh. "Apa yang harus kulakukan?""Pertama." Sean tersenyum tipis. "Kamu harus sedikit merendahkan diri dan pergi ke kantor Pak Direktur untuk mengaku salah, mengatakan kejadian di masa lalu memang kesalahanmu ...."....Keesokan paginya, setelah selesai memeriksa pasien, Tiffany mengetuk pintu kantor direktur. Saat ini, selain Morgan, Filda
Suasana di ruang tamu terasa sunyi dan agak aneh.Tiffany dan Sean saling menatap untuk waktu yang lama. Mata wanita itu penuh amarah, sedangkan mata pria itu tajam dan dingin.Beberapa saat kemudian, Tiffany akhirnya memalingkan wajahnya karena tidak ingin pria itu melihat wajahnya yang sudah merah padam. "Aku sudah bilang nggak, berarti nggak."Malam ini, Arlo dan Arlene baru saja bertanya tentang ayah mereka. Dia sudah menjelaskan semua dengan serius. Tidak ada harapan bagi mereka untuk bertemu ayah mereka untuk sementara waktu ini.Sekarang Sean malah ingin membawa kedua anak itu jalan-jalan. Dengan status apa dia akan membawa mereka pergi? Sebagai ayah? Sebagai tetangga? Atau sebagai teman ibu mereka?Sean dan Arlo begitu mirip. Jika mereka keluar bersama, pasti akan ada masalah."Dok Tiff." Sean meletakkan peralatan makan, bersandar di sofa dengan santai. Kakinya disilangkan, kedua tangannya bertumpu di lututnya, seperti seseorang yang sedang bersiap untuk bernegosiasi."Tadi kam